V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

Iklim Perubahan iklim

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

ENERGI BIOMASSA, BIOGAS & BIOFUEL. Hasbullah, S.Pd, M.T.

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB I PENDAHULUAN I.1

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya.

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsumsi terbesar pemakaian

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diperoleh dari proses ekstraksi minyak sawit pada mesin screw press seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penjemuran. Tujuan dari penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air.

II. DESKRIPSI PROSES

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA A. PEMANASAN GLOBAL

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RANCANG BANGUN TUNGKU PIROLISA UNTUK MEMBUAT KARBON AKTIF DENGAN BAHAN BAKU CANGKANG KELAPA SAWIT KAPASITAS 10 KG

BAB 1 PENDAHULUAN. Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Noor Azizah, 2014

TEBU. (Saccharum officinarum L).

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Pendirian Pabrik Sejarah Perkembangan Pabrik

KLOROFIL XII - 1 : 25 29, Juni 2017 ISSN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

Karakteristik Pembakaran Briket Arang Tongkol Jagung

BAB I PENDAHULUAN. terpenting di dalam menunjang kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari

Ilmu Tanah dan Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui (non renewable ). Jumlah konsumsi bahan bakar fosil baik

PENERAPAN KONSEP CO-GENERATION DALAM PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan negara dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. penting dilakukan untuk menekan penggunaan energi.

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

Karakteristik Limbah Padat

Efisiensi PLTU batubara

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sementara produksi energi khususnya bahan bakar minyak yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan

Arang Tempurung Kelapa

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUMBER EMISI GRK Gas rumah kaca (GRK) merupakan suatu gas yang paling dominan di atmosfer bumi yang berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim. Tiga gas utama dalam gas rumah kaca terdiri atas karbon dioksida (CO 2 ), metan (CH 4 ), dan dinitrogen oksida (N 2 O) yang diproduksi dari aktivitas antropogenik, produksi dan pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan industri, aktivitas pertanian, penanganan dan pengolahan limbah, dan perubahan penggunaan lahan (Wei et al. 2008). Menurut IPCC (Intergovernmental on Panel Climate Change) menyatakan jika laju emisi gas rumah kaca ini dibiarkan terus tanpa dilakukan tindakan untuk menguranginya, maka suhu global rata-rata akan meningkat dengan laju 0,3 ºC setiap 10 tahun. Trismidianto et al. (2008) menyatakan untuk Indonesia kenaikan suhu hanya sekitar 0 sampa 1 derajat. Sementara skenario lain dengan menggunakan model GCM untuk wilayah Indonesia dihasilkan adanya peningkatan suhu sekitar 0,1 ºC - 0,5 ºC pada tahun 2010 dan tahun 2070 sekitar 0,4 ºC - 3,0 ºC. PG Subang sebagai salah satu industri yang berkontribusi dalam pengeluaran emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan industri yang bergerak di bidang pengolahan gula kristal putih. Kapasitas giling PG Subang mencapai 3.000 TCD (Ton Cane Day). Sumber emisi GRK PG Subang berasal dari pembakaran bahan bakar boiler, penggunaan LPG, penggunaan solar untuk mekanisasi dan pabrikasi, dan pengolahan limbah padat. PG Subang merupakan industri gula yang menggunakan hasil samping berupa bagas sebagai bahan bakar boiler. Bagas dihasilkan dari penggilingan tebu yang jumlahnya makin lama makin meningkat. Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot 1986) tiap kilogram ampas dengan kandungan gula sekitar 2,5 % akan memiliki kalor sebesar 1.825 kkal. Nilai bakar tersebut akan meningkat dengan menurunnya kadar air dan gula dalam ampas. Penerapan teknologi pengeringan ampas yang memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong ketel, menjadikan kadar air ampas turun 40 % akan dapat meningkatkan nilai bakar per kg ampas hingga 2.305 kkal. Pada realisasinya, bagas yang digunakan sebagai bahan bakar boiler PG Subang memiliki nilai kalor sebesar 1.777 kkal. Selain bagas, PG Subang juga menggunakan bahan bakar tambahan Industrial Diesel Oil (IDO) untuk memenuhi ketercapaian energi. Konsumsi bahan bakar boiler dalam musim giling (DMG) 2011 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pemakaian bahan bakar boiler DMG 2011 Bulan Ampas Tebu (ton) IDO (Liter) Mei 8.578,65 112.558 Juni 18.107,75 42.200 Juli 28.238,00 0 Agustus 20.775,00 19.500 September 23.178,00 0 Oktober 2.396,50 0 Total 101.273,90 174.258 35

Kebutuhan energi yang besar menyebabkan kebutuhan bahan bakar boiler yang besar. Pembakaran bahan bakar ampas dilakukan untuk menghasilkan sejumlah uap yang akan digunakan untuk menggerakkan turbin alternator sebagai pembangkit listrik untuk PG Subang. Jika energi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar tebu tidak mencukupi, maka pihak PG Subang menggunakan bahan bakar tambahan berupa IDO yang memiliki nilai kalor sebesar 9.270 kkal/l. Total bagas yang digunakan dalam musim giling 2011 adalah sebesar 101.273,90 ton dan total bahan bakar IDO yang digunakan sebesar 174.258 liter untuk menghasilkan uap sebesar 202.547,80 ton untuk menghasilkan listrik yang dibutuhkan selama proses produksi gula. Mesin dan peralatan yang digunakan pada PG Subang merupakan mesin yang bekerja secara semi otomatis karena dioperasikan oleh kendali dari pekerja. Mesin dan peralatan yang terdapat pada PG Subang beroperasi dengan sumber tenaga yang berasal dari turbin alternator. Dalam masa giling, seluruh kebutuhan listrik pabrik dan kantor dipenuhi dari listrik yang dihasilkan turbin alternator. Turbin digerakkan oleh tenaga uap yang dihasilkan boiler. Bahan bakar boiler berupa bagas merupakan limbah padat hasil proses penggilingan tebu. Tabel 10. Kebutuhan listrik PG Subang DMG 2011 Kebutuhan Unit/Area kwatt Mesin dan Peralatan Produksi 39 5.662,70 Alat Operasional 143 90,89 Penggunaan Lampu 10 63,00 Total kebutuhan listrik 5.816,59 Tabel 10 menunjukkan bahwa kebutuhan listrik PG Subang sebesar 5.816,59 kwatt dengan rincinan kebutuhan untuk mesin dan peralatan produksi sebesar 5.662,70 kwatt (Lampiran 4a), kebutuhan untuk alat operasional tambahan sebesar 90.89 kwatt (Lampiran 4b), dan kebutuhan penggunaan lampu ± 63 kwatt (Lampiran 4c). Gambar 19. Konsumsi listrik PG Subang DMG 2011 Konsumsi listrik yang digunakan oleh PG Subang dalam musim giling tahun 2011 (Gambar 19) menunjukkan terjadinya fluktuasi penggunaan listrik selama bulan Juni-September 2011. Penggunaan listrik yang rendah pada awal musim giling tahun 2011, yaitu bulan Mei 2011 dikarenakan hanya 15 hari kerja dalam proses produksi dan penggunaan listrik yang rendah pada akhir musim giling disebabkan pada bulan Oktober hanya 3 hari kerja untuk proses produksi gula. Penyebab lain terjadinya fluktuasi bisa disebabkan oleh jam berenti giling yang berbeda setiap bulannya 36

sehingga penggunaan listrik berbeda pula. Penggunaan listrik tertinggi berasal dari mesin dan alat produksi. Jika terjadi jam berhenti giling, mesin dan peralatan produksi ikut berhenti itulah salah satu penyebab adanya fluktuasi penggunaan listrik selama musim giling 2011. Total kebutuhan listrik PG Subang selama proses produksi adalah 5,82 MWatt dengan rata-rata konsumsi listrik sebesar 1.084,67 MWh per bulan. Konsumsi listrik berbanding lurus dengan emisi GRK yang dihasilkan dari konsumsi listrik dalam musim giling 2011. Sumber energi lain yang digunakan PG Subang selama proses produksi adalah bahan bakar solar. Penggunaan solar di PG Subang dibagi atas dua bagian, yaitu solar untuk bagian mekanisasi dan solar untuk pabrikasi. Solar mekanisasi digunakan sebagai bahan bakar untuk pompa air, traktor pengolahan dan pemeliharaan tanaman, traktor angkut giling, traktor tarikan, dan alat berat yang terus beroperasi selama proses produksi gula berlangsung. Total penggunaan solar mekanisasi sebesar ± 910.412 liter selama musim giling 2011. Solar bagian pabrikasi digunakan untuk mesin-mesin atau peralatan yang memakai bahan bakar solar seperti motor-motor penggerak. Total penggunaan solar pabrikasi sebesar ± 84.820 liter. Akumulasi penggunaan solar PG Subang dalam musim giling tahun 2011 adalah sebesar ± 995.232 liter. Tabel 11 menunjukkan konsumsi solar untuk mekanisasi dan pabrikasi dalam musim giling (DMG) 2011. Tabel 11. Konsumsi solar PG Subang DMG 2011 Bulan Solar Mekanisasi (L) Solar Pabrikasi (L) Mei 38.600 7.410 Juni 123880 17.540 Juli 168.255 20.695 Agustus 165.000 17.340 September 191.625 19.435 Oktober 223.052 2.400 Total 910.412 84.820 Penggunaan LPG pada industri juga dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). PG Subang menggunakan bahan bakar LPG pada proses produksinya. Selama musim giling 2011 penggunaan LPG adalah 800 Kg untuk keperluan bengkel. LPG tidak diikutsertakan dalam proses produksi, maka dari itu pemakaian bahan bakar ini lebih sedikit dari bahan bakar lainnya. LPG yang digunakan pada PG Subang adalah LPG berukuran 50 Kg. Konsumsi LPG PG Subang pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Konsumsi LPG PG Subang DMG 2011 Bulan LPG (Kg) Mei 150 Juni 100 Juli 100 Agustus 350 September 50 Oktober 50 Total 800 37

Konsumsi energi PG Subang dalam musim giling 2011 berdasarkan sumbernya ditunjukkan pada Gambar 20. Dapat dilihat adanya perbandingan antara konsumsi listrik, LPG, solar pabrikasi dan solar mekanisasi yang berbeda-beda setiap bulannya tergantung pada kebutuhan. Gambar 20. Konsumsi energi PG Subang DMG 2011 Emisi GRK yang dikeluarkan PG Subang tidak hanya berasal dari penggunaan energi listrik, solar mekanisasi, solar pabrikasi, dan LPG tetapi juga berasal dari pengolahan limbah padat. Limbah padat berupa blotong yang dihasilkan PG subang menghasilkan emisi GRK berupa gas dinitrogen oksida (N 2 O) dari kandungan nitrogen di dalamnya. Perbandingan antara gas CO 2 dan N 2 O dimana nilai GWP (Global Warming Potential) atau indeks pemanasan global N 2 O lebih besar dibandingkan dengan CO 2 namun nilai emisinya masih jauh lebih kecil dibanding CO 2. GWP N 2 O adalah 293 artinya 1 N 2 O memantulkan panas dari bumi sama dengan 293 kali CO 2. Limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi gula terdiri atas ampas tebu (bagasse), blotong (filter cake) dan abu ketel. Bagas yang berjumlah 30-35 % per tebu giling berasal dari hasil pemerahan nira pada stasiun gilingan. Blotong merupakan hasil pemisahan kotoran nira dengan cara penyaringan di Rotary Vacum Filter (RVF) pada stasiun pemurnian. Jumlah blotong yang dihasilkan adalah sebesar 3 % tebu giling. Limbah padat yang terahir adalah abu ketel. Abu ketel (2 % ampas digiling) berasal dari sisa pembakaran pada boiler. Bagas yang dibakar pada ruang pembakaran menghasilkan gas karbon yang dikeluarkan ke udara dan abu yang dibuang ke tempat penampungan abu. Jumlah limbah padat yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling 2011 ditunjukkan pada Tabel 13. Bulan Tabel 13. Limbah padat PG Subang DMG 2011 Ampas (Kwintal) Blotong (Kwintal) Abu ketel (Kwintal) Mei 124.690,30 12.701,45 8.383,54 Juni 226.586,70 26.096,47 17.503,08 Juli 249.768,10 29.232,52 18.994,75 Agustus 214.586,10 21.826,92 13.083,79 September 264.283,30 23.479,97 15.184,54 Oktober 13.121,00 2.007,85 1.300,22 Total 1.093.035,50 115.345,18 74.449,91 38

Limbah padat blotong yang dihasilkan oleh PG Subang makin hari makin menumpuk jumlahnya. Pembuangan blotong dilakukan dengan cara open dumping. Pembuangan ke lahan terbuka ini menyebabkan komponen yang terdapat pada blotong akan terurai dan mencemari udara di lingkungan salah satunya komponen nitrogen. Gas dinitrogen oksida yang dihasilkan oleh proses penguraian nitrogen pada blotong perlu dihitung untuk kemudian dilakukan pengendalian sehingga gas tersebut dapat mengurangi dampak pemanasan global yang dapat ditimbulkan. Menurut Singh et al. (2007) press mud cake atau blotong merupakan sumber nitrogen dan fospor yang bermanfaat untuk digunakan sebagai pupuk untuk pengolahan tanah. Pembuangan blotong secara tidak terkontrol dapat menghasilkan sejumlah material didalamnya menjadi terurai ke udara luar. B. EMISI GAS RUMAH KACA PG SUBANG PG Subang merupakan salah satu industri gula di Indonesia yang ikut serta dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca dari proses produksinya. Emisi GRK yang dikeluarkan PG Subang berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, penggunaan solar mekanisasi, solar pabrikasi, penggunaan LPG, dan pengolahan limbah padat. Perhitungan emisi GRK dapat dilakukan dengan menghitung konsumsi dari setiap penggunaan energi dan pengolahan limbah yang dilakukan. 1. Emisi GRK dari Penggunaan Energi Kebutuhan energi di pabrik gula dapat dipenuhi oleh sebagian bagas dari gilingan akhir. Sebagai bahan bakar boiler jumlah bagas dari stasiun gilingan adalah sekitar 33 % berat tebu giling dengan kadar air sekitar 50 %. Energi yang digunakan PG Subang adalah energi uap yang berasal dari pemanasan air dengan pembakaran bagas pada ruang bakar boiler sebagai pemanasnya. Gambar 21 menunjukkan perkiraan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar boiler yang berupa bagas dan Industrial Diesel Oil (IDO). Perhitungan Emisi untuk penggunaan bahan bakar boiler dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 21. Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar boiler DMG 2011 PG Subang memanfaatkan hasil samping bagas untuk digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. Bagas yang dibakar akan menghasilkan sejumlah energi untuk 39

memanaskan air sehingga menghasilkan sejumlah uap. Uap ini kemudian didistribusikan untuk menggerakkan turbin alternator yang merupakan pembangkit listrik PG Subang. Dalam musim giling 2011 kebutuhan energi untuk menghasilkan uap sebesar 202.548 ton adalah 181,62 x 10 9 kkal namun dari hasil pembakaran bagas hanya 180 x 10 9 kkal yang terpenuhi, maka PG subang menggunakan bahan bakar tambahan berupa IDO untuk memenuhi energi sebesar 1,62 x 10 9 kkal. Total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar boiler pada tahun 2011 adalah sebesar 101.927,57 tco 2. Jumlah emisi yang besar disebabkan oleh besarnya konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah uap yang digunakan sebagai pembangkit listrik maupun proses produksi gula. Sebagai perbandingan jika perhitungan emisi CO 2 dianalisis dengan menggunakan rumus kimia pembakaran karbon maka terlebih dahulu perlu diketahui komponen kimia dari bagas untuk menentukan rumus empiris bagas. Komponen kimia bagas dapat dilihat pada Tabel 14. Komponen Jumlah (%) Tabel 14. Komponen kimia bagas Jumlah (gr) Basis : 100 gr Bobot molekul Mol Perbandingan Karbon (C) 47,9 47,9 12 3,99 7 Hidrogen (H) 6,7 6,7 1 6,70 12 Oksigen (O) 45,4 45,4 16 2,84 5 Sumber : Hugot (1986) Dari perhitungan pada Tabel 14 maka diperoleh hasil rumus empiris untuk bagas adalah C 7 H 12 0 5. Rumus empiris bagas akan menentukan persamaan reaksi yang terjadi apabila bagas dibakar dengan penambahan oksigen yang menghasilkan CO 2 dan H 2 O sebagai produk. Persamaan reaksi yang terjadi : C 7 H 12 O 5 + 7,5 O 2 7CO 2 + 6H 2 O Persamaan reaksi pembakaran bagas (C 7 H 12 0 5) membentuk enam persamaan kimia ekuivalen yang dapat digunakan sebagai faktor konversi dalam perhitungan. Persamaan ekuivalen dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Persamaan ekuivalen dari reaksi pembakaran bagas (C 7 H 12 O 5 ) 1 mol C 7 H 12 0 5 = 7,5 mol O 2 1 mol C 7 H 12 0 5 = 7 mol CO 2 1 mol C 7 H 12 0 5 = 6 mol H 2 O 7,5 mol O 2 = 7 mol CO 2 7,5 mol O 2 = 6 mol H 2 O 7 mol CO 2 = 6 mol H 2 O Jumlah bagas (C 7 H 12 O 5 ) yang dibakar pada proses produksi gula dalam musim giling 2011 sebesar 101.273,90 ton dengan bobot molekul bagas sebesar 176 maka diperoleh ton mol bagas sebesar 575,42 ton. Dari persamaan ekuivalen diperoleh hasil bahwa 1 mol C 7 H 12 O 5 setara dengan 7 mol CO 2. Maka diperoleh 4.027,94 ton mol CO 2 dari pembakaran bagas. Jika dikonversi menjadi ton CO 2 yang dihasilkan maka jumlah ton mol CO 2 dikalikan dengan bobot molekul CO 2 sebesar 44. Perhitungan dengan menggunakan reaksi pembakaran bagas diperoleh hasil 177.229,34 ton CO 2. Nilai 40

tersebut tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan perhitungan emisi dengan menggunakan faktor emisi bagas sebesar 0,485 ton CO 2 /MWh. Nilai yang lebih besar dari perhitungan reaksi pembakaran dapat diakibatkan karena semua karbon yang terkandung diasumsikan terkonversi menjadi gas yang terbuang ke udara, namun pada kenyataannya terdapat abu dari pembakarang yang masih mengandung sejumlah karbon yang tidak terbuang langsung ke udara. Dari asumsi tersebut, maka jumlah emisi yang digunakan dalam perhitungan jumlah emisi pabrik keseluruhan menggunakan jumlah emisi yang berasal dari perkalian faktor emisi. Gambar 22 Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar LPG dan solar DMG 2011 Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 22 adalah grafik perkiraan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar LPG dan solar PG Subang dalam musim giling 2011. Emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar LPG adalah sebesar 2,51 tco 2. Emisi ini terhitung kecil karena LPG hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk pengelasan dan pemotongan alat bila terdapat alat yang harus diperbaiki. Pada proses produksi gula tidak digunakan bahan bakar gas LPG karena energi yang digunakan berasal dari uap dan listrik. Selain LPG, bahan bakar yang berpotensi mengeluarkan emisi GRK pada PG Subang adalah penggunaan bahan bakar solar. Solar digunakan oleh dua bagian pada PG Subang, yaitu bagian mekanisasi dan bagian pabrikasi. Penggunaan bahan bakar solar mekanisasi menghasilkan emisi GRK sebesar 2.612,06 tco 2 selama musim giling 2011. Penggunaan bahan bakar solar pabrikasi menghasilkan emisi GRK yang lebih kecil yaitu 243,39 tco 2. Penggunaan bahan bakar solar yang tinggi disebabkan oleh konsumsi solar yang banyak pada bagianbagian tertentu. Penggunaan solar yang tinggi berasal dari sektor transportasi angkut tebu, transportasi pemeliharaan tanaman dan bahan bakar untuk pompa kebun. Maka diketahui penggunaan bahan bakar lain selain bagas dan IDO yang menghasilkan emisi tertinggi adalah solar mekanisasi. Dari keseluruhan penggunaan solar dan emisi yang dihasilkan maka diperoleh emisi sebesar 2,87 tco 2 /1000 liter solar. Perhitungan Emisi untuk LPG dan solar dapat dilihat pada Lampiran 6a dan 6b. Emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan energi berupa bagas dan IDO (bahan bakar boiler), LPG, solar mekanisasi dan solar pabrikasi akan dijumlahkan untuk mengetahui jumlah emisi setara dengan CO 2 yang dihasilkan oleh PG Subang dalam musim giling 2011. Gambar 23 menunjukkan jumlah keseluruhan emisi GRK yang digunakan dari penggunaan bahan bakar. Perhitungan total emisi GRK yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling 2011 dapat dilihat pada Lampiran 7. Besarnya total emisi GRK yang dihasilkan PG Subang dari sektor penggunaan energi dipengaruhi oleh besarnya emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar pada boiler yaitu sebesar 16.987,93 tco 2 per bulan. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai faktor emisi untuk bahan 41

bakar ampas yaitu sebesar 0,485 tco 2 /MWh sehingga pembakaran menghasilkan emisi yang besar. Total emisi GRK yang berasal dari penggunaan energi sebesar 104.785,52 tco 2 setara. Selain itu, kebutuhan bahan bakar pabrik gula dengan kapasitas giling 3.000 ton tebu per hari untuk menghasilkan sejumlah uap yang dipakai pada proses produksi gula pun terhitung besar sehingga emisi yang dihasilkan sebanding dengan besarnya energi yang digunakan. Gambar 23. Total emisi GRK PG Subang DMG 2011 dari penggunaan energi 2. Emisi GRK dari Pengolahan Limbah Padat Sumber emisi GRK yang dihasilkan dari PG Subang tidak hanya berasal dari konsumsi energi, emisi dapat berasal dari pengolahan limbah padat. Emisi yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat berupa gas dinitrogen oksida (N 2 O). Gas dinitrogen oksida memiliki nilai panas 293 kali gas karbon dioksida. Perhitungan emisi GRK yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat dapat dilihat pada Lampiran 8a. Emisi gas dinitrogen oksida (N 2 O) yang dihasilkan oleh PG Subang berasal dari pengolahan limbah padat berupa blotong yang tidak terkendali. Blotong merupakan padatan atau kotoran yang terlarut pada nira. Blotong dihasilkan dari proses pemurnian nira dimana nira yang mengandung sejumlah padatan terlarut akan diberikan koagulan untuk memudahkan proses pengendapan. Kotoran yang mengendap tersebut di proses di Rotary Vacum Filter (RVF) kemudian dibuang sebagai hasil samping yang dinamakan blotong. Blotong merupakan limbah padat organik yang masih mengandung sejumlah gula dan bahan lainnya termasuk nitrogen. Limbah blotong yang dihasilkan oleh PG Subang mempunyai volume yang cukup besar tiap harinya sekitar 3 % tebu giling. Selama ini pabrik membuang limbah blotong dengan cara penumpukan pada lahan tanah terbuka (open dumping). Penumpukan tersebut berpotensi menjadikan kandungan yang terdapat dalam blotong akan terurai secara aerob maupun anaerob. Emisi N2O dari tanah merupakan hasil dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang melibatkan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter. Nitrifikasi terjadi dalam kondisi aerob sedangkan denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Oleh karena itu, N2O dapat terbentuk pada kondisi aerob maupun anaerob. Menurut Mosier et al. (2004) kandungan nitrogen yang terdapat pada blotong berpengaruh pada timbulnya emisi N 2 O yang dihasilkan. Dalam proses nitrifikasi, ammonium (NH 4 + ) akan dioksidasi menjadi nitrit oleh Nitrosomonas, kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Melalui denitrifikasi, nitrit kemudian direduksi menjadi N 2. Baik dalam proses nitrifikasi maupun denitrifikasi, dihasilkan N 2 O sebagai produk antara yang keluar ke udara. 42

Penumpukan ini yang menyebabkan dihasilkannya emisi N 2 O. Perhitungan emisi N 2 O menggunakan jumlah blotong yang dihasilkan selama musim giling 2011 dikalikan dengan faktor emisi 0,01 kg N 2 O-N/Kg N yang telah ditetapkan oleh IPCC (2006) sebagai faktor emisi untuk limbah padat organik pada lahan. Jumlah blotong yang dihasilkan oleh PG Subang pada tahun 2011 sebesar 11.534,52 ton dengan kandungan nitrogen sebesar 0,76 %. Emisi N 2 O yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat sebesar 1.378 kg N 2 O dengan rata-rata emisi N 2 O sebesar 229,67 per bulan. Total emisi N 2 O yang dihasilkan setara dengan 403,62 ton CO 2 setara. Jika dilihat dari jumlah blotong yang dihasilkan maka diperoleh hasil emisi sebesar 0,12 kg N 2 O/ton blotong. Dimana dalam 1 ton blotong menghasilkan emisi N 2 O sebanyak 0,12 kg. Gambar 24. Perbandingan emisi N 2 O dan CO 2 setara dari pengolahan limbah padat C. TOTAL EMISI GRK PG SUBANG PT PG Rajawali II Unit PG Subang dalam pelaksanaan memproduksi 23.194,675 ton SHS selama musim giling 2011. Rendemen yang terkandung pada tebu bernilai 7 dan memiliki kapasitas kualitas produk SHS IA. Hasil samping proses produksi tebu berupa tetes tebu (molases) sekitar 5 % tebu, blotong 3 % tebu, dan ampas sekitar 30-35 % tebu. PG Subang memiliki kapasitas giling sekitar 3.000 ton tebu per hari. Total emisi GRK keseluruhan sebesar 105.189,14 tco 2 setara. Jika dilihat dari total emisi dan jumlah produk yang dihasilkan maka diperoleh nilai emisi sebesar 4,54 tco 2 /ton produk dengan kata lain setiap memproduksi 1 ton gula SHS emisi GRK yang dihasilkan sebesar 4,54 tco 2 setara. Rincian perhitungan total emisi GRK PG Subang dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Total emisi GRK PG Subang DMG 2011 Jenis Sumber Jumlah Emisi (tco 2 ) Bahan Bakar Boiler 101.927,57 Solar 2.855,45 LPG 2,51 Limbah Padat 403,62 Total CO 2 e (ton) 105.189,15 Total gula SHS (ton) 23.194,68 Total tebu digiling (ton) 343.646,90 Emisi CO 2 /Produk (tco 2 /ton produk) 4,54 Emisi CO 2 /tebu digiling (tco 2 /ton tebu) 0,31 43

Sektor industri merupakan sektor paling besar dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca yang kini sedang marak diperbincangkan akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi. Menurut Putt del pino dan Bhatia (2002) sektor industri berpotensi menyumbang emisi GRK sebesar 29,3 % disusul dengan transportasi sebesar 26,8 %, sektor perumahan atau tempat tinggal 19,4 %, sektor komersil 15,6 % dan sektor pertanian 8 %. Menurut Maraseni et al. (2010) industri kain katun di Australia menghasilkan emisi sebesar 2,67 tco 2 setara/ ton produk. Jika dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan PG Subang sebesar 4,54 tco 2 setara/ ton gula maka nilai emisi yang dihasilkan tidak terlalu berbeda secara signifikan dari sektor emisi yang dihasilkan oleh suatu industri. Menurut Zen (2007) bahwa pabrik kelapa sawit dengan kapasitas olah 45 ton TBS dan mengolah 174.000 ton TBS per tahun diperkirakan menghasilkan 18.000 tco 2 setara per tahun, maka diperoleh hasil emisi sebesar 0,10 tco 2 /ton TBS. Jika dihitung berdasarkan jumlah ton tebu yang digiling selama musim giling 2011 maka PG Subang menghasilkan emisi sebesar 0,31 tco 2 /ton tebu. Konversi total emisi N 2 O selama musim giling 2011 adalah sebesar 403,62 tco 2 setara dari pengolahan limbah padat. Gambar 25 yang menunjukkan grafik perbandingan total emisi yang dihasilkan oleh PG Subang selama musim giling 2011 dari penggunaan energi dan pengolahan limbah industri dengan nilai keseluruhan setara CO 2. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa emisi yang paling besar adalah emisi dari penggunaan energi terutama dari penggunaan bahan bakar boiler. Gambar 25. Perbandingan emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan energi dan pengolahan limbah. Pada penelitian ini diketahui bahwa emisi yang paling banyak dihasilkan dari emisi tidak bergerak yang berasal dari cerobong asap pabrik dan pengolahan limbah padat yaitu 93 % dari total keseluruhan emisi yang dihasilkan PG Subang. Sementara emisi bergerak yang berasal dari emisi transportasi, lebih kecil dengan presentase hanya 3 %. Data tersebut disajikan pada diagram berikut (Gambar 26). Gambar 26. Persentase emisi GRK PG Subang DMG 2011 44

Pabrik gula Subang merupakan perusahaan yang terintegrasi antara pabrik, kantor, dan lahan tanam tebu karena masih dalam satu lingkup besar. Emisi yang dikeluarkan oleh pabrik sebagai hasil samping dari proses produksi akan diserap kembali oleh tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis selama tanaman tebu tumbuh. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan jumlah karbon yang diserap oleh tanaman. Perhitungan dapat dilakukan dengan cara menghitung jumlah biomasa yang terdapat pada tebu selama masa pertumbuhan sampai akhir panen. Data berat tebu selama musim giling 2011 dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Data berat tebu DMG 2011 Komponen Jumlah Bibit (ton/ha) 11,00 Luas areal lahan (ha) 5.016,47 Total jumlah bibit (ton) 55.181,17 Total tebu dihasilkan (ton) 346.018,32 Jumlah Biomassa tebu 290.837,15 Berat tebu yang meningkat dalam masa pertumbuhan dinyatakan sebagai penyerapan beberapa komponen dari lingkungan tempat tebu tumbuh yang nantinya akan terbentuk menjadi komposisi yang terkandung dalam tebu. Komposisi terbesar dalam tebu yang mengandung karbon adalah sukrosa dan serat. Serat dapat disetarakan dengan ampas tebu yang dihasilkan. Komposisi kandungan tebu dapat dilihat pada Tabel 18. Table 18. Komposisi kandungan tebu Komponen Komposisi (%) Sukrosa 11-19 Gula pereduksi 0,5-1,5 Senyawa organik 0,15-0,5 Asam organik 0,15 Serat 16-19 Zat warna 6-9 Air (H 2 O) 65-75 Sumber: Soemarno (1977). Penyerapan karbon dari tanaman tebu dapat dihitung dari jumlah komposisi tebu yang mengandung karbon. Jumlah biomassa tebu sampai akhir panen sebesar 290.837,15 ton dengan kandungan sukrosa sebanyak 19 % dan serat 19 %. Dari persentase tersebut dapat diketahui bahwa kandungan sukrosa tebu sebesar 55.259,01 ton dan serat sebesar 55.259,01 ton. Menurut Hugot (1986) bahwa sukrosa memiliki rumus kimia C 12 H 22 O 11 dan serat C 14 H 24 O 10. Komponen karbon pada rumus kimia sukrosa adalah sebesar 12 dan komponen karbon bagas pada rumus kimia serat 14. Maka diperoleh hasil bahwa karbon yang terkandung sebagai sukrosa adalah sebesar 24.866,55 ton C dan yang terkandung dalam serat sebesar 26.469,01 ton C. Keseluruhan karbon yang terserap oleh tanaman tebu yang terdapat pada sukrosa dan serat selama pertumbuhan adalah sebesar 51.335,56 ton C yang berasal dari CO 2 di lingkungan. 45

D. PELUANG PENURUNAN EMISI GRK PG SUBANG Industri gula memiliki beberapa peluang untuk melakukan penurunan emisi GRK yang dihasilkan. Opsi yang dapat diberikan sebagai upaya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca PG Subang dapat berupa pengurangan penggunaan bahan bakar IDO dan pemanfaatan limbah padat blotong sebagai pupuk kompos. 1. Pengurangan Bahan Bakar Industrial Diesel Oil (IDO) Secara umum industri merupakan sektor yang akan menghasilkan emisi gas CO 2 terbesar. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang besar untuk kebutuhan energi di industri. Emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat menyebabkan pemanasan global. Untuk itu perlu dilakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain penghematan energi dan diversifikasi energi. Diversifikasi energi atau penggantian bahan bakar dengan jenis energi lain, bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar yang mempunyai kandungan karbon tinggi dengan jenis energi yang mempunyai kandungan karbon rendah atau tanpa kandungan karbon. Subtitusi energi adalah upaya untuk mengganti energi yang ada dengan jenis energi lain yang lebih murah, mudah secara teknis dan tanpa mengurangi kinerja alat. Salah satunya adalah penggunaan bahan bakar dari biomassa. Bahan bakar biomassa walaupun mempunyai kandungan karbon yang cukup tinggi, tetapi CO 2 yang dihasilkan dianggap dihisap kembali oleh tanaman yang sedang tumbuh sehingga emisinya dianggap 0 atau tanpa emisi. Hal ini disebabkan pohon dianggap merupakan zink atau penyerap CO 2 hanya pada masa pertumbuhan (0 sampai 12 tahun). Pemanfaatan teknologi rendah karbon sebagai pengganti bahan bakar fosil secara drastis akan mengurangi pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer (Boedoyo 2008). Limbah bagas merupakan salah satu biomassa yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan energi dari limbah biomassa yang saat ini sedang dikembangkan sangat diperlukan oleh industri-industri yang suplai energinya bergantung pada bahan bakar minyak (BBM). Pemanfaatan limbah bagas sebagai bahan bakar dilaksanakan oleh keseluruhan pabrik gula di Indonesia. Mengingat begitu banyak limbah bagas yang dihasilkan, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah tersendiri bagi pabrik gula karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembangkit bakar ketel uap. Kebutuhan limbah bagas ini digunakan sebagai bahan bakar boiler penghasil uap air (steam) untuk proses penggilingan gula dan pembangkit listrik untuk kebutuhan pabrik. Beberapa tanaman berpotensi menghasilkan limbah biomassa yang dapat dimanfaaatkan sebagai bahan bakar alternatif (Tabel 19). Tabel 19. Jenis tanaman dan limbah biomassa Jenis Tanaman Jenis Limbah Biomassa Kelapa sawit Tandan kosong, cangkang, dan fibre Tebu Ampas tebu/bagas Karet Kulit batang Kelapa Tempurung, sabut Kayu Kulit kayu, serbuk kayu Padi Sekam padi Ketela pohon Batang, daun, ranting, kulit umbi Jagung Tongkol jagung, daun, batang Sumber : Bahrin et al. (2011) 46

PG Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler yang merupakan biomassa dari hasil penggilingan. Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif baik pencemaran udara akibat partikulat yang berterbangan maupun emisi yang dihasilkan. Pada tahun 2011 PG Subang memiliki target ampas sebesar 132.197,00 ton namun pada realisasinya hanya 101.273,90 ton ampas yang dihasilkan. Energi yang diperlukan untuk proses produksi gula PG Subang tahun 2011 adalah 181,62 x 10 9 kkal namun realisasi energi yang dihasilkan oleh pembakaran ampas hanya 180 x 10 9 kkal. PG Subang kekurangan 1,62 x 10 9 kkal untuk memproduksi gula. Ketidaktercapaian tersebut menyebabkan PG Subang memerlukan bahan bakar tambahan berupa IDO untuk memenuhi energi yang dibutuhkan. Jumlah IDO yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Data PG Subang DMG 2011 Uraian Satuan Target Realisasi Tebu giling ton 400.597,00 343.646,88 Ampas tebu ton 132.197,00 101.273,90 Uap/tebu % 45,00 58,94 Uap dihasilkan ton 180.269,00 202.547,80 Uap digunakan ton 180.269,00 207.519,70 IDO L 0 174.258,00 IDO merupakan bahan bakar minyak yang digunakan untuk jenis mesin diesel putaran sedang atau lambat dengan kecepatan (300-1000 rpm), atau dapat juga digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran langsung di dalam dapur (furnace) boiler. IDO yang digunakan pada sektor industri hampir setara dengan solar yang digunakan untuk motor-motor diesel, maka dari itu potensi sebagai penghasil emisi CO 2 terhitung besar. Tahun 2011 PG Subang menggunakan bahan bakar IDO untuk memenuhi kebutuhan energi sebanyak 174.258 liter. Jika dikonversi menjadi CO 2, maka dihasilkan 500 ton CO 2. Pengurangan penggunaan bahan bakar IDO akan menurunkan emisi CO 2 dari penggunaan bahan bakar boiler. Bila diasumsikan penurunan penggunaan IDO sebesar 50 % dapat digantikan dengan penggunaan bagas, maka emisi yang turun adalah sebesar 250 ton CO 2 dari emisi bahan bakar fosil yang akan digantikan dengan bahan bakar biomassa. Energi yang dihasilkan dari penggunaan IDO akan diganti dengan energi yang berasal dari bahan bakar bagas sehingga emisi yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Emisi keseluruhan yang berkurang jika peluang ini digunakan adalah 0,02 tco 2 / ton produk. Upaya penurunan ini dapat dilakukan dengan pengendalian dan optimalisasi penggilingan tebu pada stasiun gilingan. Proses penggilingan yang optimum dapat menghasilkan ampas tebu (bagas) yang memiliki kadar air yang rendah sehingga bagas yang dihasilkan tidak basah. Bagas kering lebih mudah terbakar dibandingkan bagas yang basah dengan nilai kalor yang lebih tinggi. Selain itu upaya pengendalian dapat dilakukan dari penambahan air imbibisi. Air imbibisi yang ditambahkan pada saat proses penggilingan akan tergabung bersama nira untuk kemudian didistribusikan ke stasiun berikutnya. Penambahan air imbibisi yang berlebihan akan memberatkan beban kerja pada stasiun penguapan dimana air tersebut harus dihilangkan untuk menaikkan kadar brix nira. Untuk menguapkan air banyak terkandung dalam nira dibutuhkan uap dalam jumlah yang besar. Hal ini berdampak pula pada kerja boiler sebagai mesin penghasil uap. Kebutuhan uap yang besar menjadikan boiler membutuhkan konsumsi bahan bakar yang besar pula. Maka dari itu efisiensi penggunaan uap berpotensi pada pengurangan bahan bakar boiler yaitu bagas dan IDO. Jumlah bagas 47

yang dibutuhkan untuk menggantikan bahan bakar tambahan IDO sebesar 466,03 ton. Penghematan biaya produksi yang didapatkan dari penghilangan pemakaian IDO untuk bahan bakar boiler adalah sebesar Rp 848.636.460 per tahun dengan harga IDO untuk PG Subang sebesar Rp 9.740 per liter. Emisi gas CO 2 dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara merupakan parameter terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global. Sehingga perlu upaya yang nyata bagaimana mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca (CO 2 ) salah satunya adalah menggunakan bahan bakar alternatif seperti biomassa ampas tebu. Menurut Bahrin et al. (2011) potensi energi terbarukan yang cukup besar dan belum banyak dimanfaatkan adalah biomassa. Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Sebagian besar biomassa berasal dari tumbuhan yang mengandung energi tersimpan dari matahari yang diserap pada waktu tanaman tumbuh dalam proses yang disebut fotosintesis. 2. Pemanfaatan Limbah Padat sebagai Pupuk Kompos Limbah padat blotong merupakan hasil endapan (limbah pemurnian gula) sebelum dikristalkan menjadi gula pasir. Bentuknya seperti tanah berpasir berwarna hitam, memiliki bau tak sedap jika dalam kondisi basah. Bila tidak segera dikeringkan akan menimbulkan sejumlah panas dan bau yang menyengat (Hamawi 2005). Limbah padat yang dihasilkan pabrik gula mempunyai volume yang cukup besar tiap harinya berupa blotong yang dihasilkan sejumlah 3 % tebu. Selama ini pabrik membuang limbahnya dengan cara penumpukan di lahan terbuka (open dumping). Pembuangan secara penumpukan tanpa pengelolaan lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan lingkungan dan bau tidak sedap. PG Subang menyediakan sejumlah lahan kosong sebagai tempat pembuangan limbah padat blotong. Oleh masyarakat sekitar limbah blotong yang dibuang diambil secara cuma-cuma digunakan untuk keperluan lain. Jumlah blotong yang tertumpuk makin hari makin meluas sehingga berpotensi sebagai penghasil emisi N 2 O yang berdampak pada pemanasan global. Maka dilakukan alternatif lain untuk menangani limbah padat yaitu dengan pengomposan blotong. Firmansyah (2010) menyatakan bahwa pengomposan adalah proses pelapukan (dekomposisi) sisa-sisa bahan organik secara biologi yang terkontrol menjadi bahan-bahan yang terhumuskan. Proses pengomposan membutuhkan beberapa kondisi terkontrol, salah satunya adalah C/N rasio. Nilai C/N rasio yang ideal untuk pembuatan kompos adalah sebesar 25-35 : 1 (nilai C sebesar 25-35 dan N sebesar 1). Blotong merupakan salah satu bahan yang dapat dibuat kompos dengan nilai kandungan nitrogen sebesar 0,76 %. Komposisi kimia blotong dapat dilihat pada Tabel 21. Tablel 21. Komposisi kimia blotong Kandungan ( %) Kadar Air 47,33 Carbon (C) 10,68 Nitrogen (N) 0,76 N-NO 3 6,14 N-NO 2 0,49 Rasio C/N 0,08 Sumber : Agastirani (2011) Jumlah blotong yang dihasilkan PG Subang (Tabel 19) dari proses pemurnian terhitung banyak, namun pihak PG Subang belum memanfaatkan blotong tersebut dengan baik. Jumlah limbah 48

yang tidak diolah lama kelamaan jumlahnya akan semakin meningkat dan berpotensi mencemari lingkungan sekitar. Jumlah limbah padat dalam musim giling 2011 dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah limbah padat blotong PG Subang DMG 2011 Bulan Blotong (Kwintal) Mei 12.701,45 Juni 26.096,47 Juli 29.232,52 Agustus 21.826,92 September 23.479,97 Oktober 2.007,85 Total 115.345,18 Pemanfaatan blotong sebagai kompos sejalan dengan pemanfaatan limbah pabrik gula yang dihasilkan dari pengolahan tebu dan dibuang begitu saja. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Volume blotong yang dihasilkan dapat menyusut menjadi 1/3 bagian dari volume awal. Hal tersebut menyebabkan penyusutan pula pada material yang dikandung di dalamnya, termasuk kandungan nitrogen pada blotong. Secara rinci, Isroi (2008) menjelaskan bahwa proses pengomposan sederhana terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Hal yang sama terjadi pada perubahan ph kompos yang semakin meningkat. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70 ºC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan organik terurai, suhu akan mengalami penurunan secara bertahap. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-40 % dari volume/bobot awal bahan (Isroi 2008). Hasil samping padat pabrik gula yang memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber bahan organik yaitu blotong. Blotong sangat berguna dalam usaha memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga daya menahan airnya meningkat. Jumlah blotong berkisar antara 4-5 % berat tebu dan untuk tiap ton blotong berkadar air 70 % mengandung hara setara dengan 28 kg ZA, 22 kg TSP, dan 1 kg KCl (Suhadi et al. 1988). Hasil penelitian Mulyadi (2000) menyatakan bahwa pemberian blotong nyata meningkatkan tinggi tebu, diameter tebu, diameter batang, jumlah tanaman per rumpun, dan bobot kering tebu bagian atas berumur 4 bulan dengan dosis efektif 40 ton/ha. Parinduri (2005) menyatakan pemberian dosis 20 ton/ha blotong saja dapat meningkatkan jumlah anakan, luas daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering tanaman tebu terhadap control pada umur 3,5 bulan berturut-turut 11,02 %, 20,43 %, 8,43 %, dan 5,33 %. Fathir (2007) menambahkan bahwa penggunaan kompos blotong belum nyata meningkatkan serapan hara pada tanaman. Namun, pemberian kompos blotong dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Pemberian kompos blotong tidak nyata meningkatkan sifat kimia tanah tetapi meningkatkan unsur N dalam tanah dan basa Ca dibandingkan tanpa kompos blotong. Dosis 7,5 ton/ha sampai 10 ton/ha kompos blotong menghasilkan sifat kimia tanah optimum bagi ketersediaan hara dalam tanah. Apabila merujuk pada kajian-kajian tersebut dan ketersediaannya, blotong memiliki potensi yang besar sebagai sumber bahan organik tanah. 49

Jumlah blotong yang dihasilkan PG Subang selama 2011 sebesar 11.534,52 ton dengan asumsi massa jenis blotong 1,50 ton/m 3 maka diperoleh volume blotong sebesar 7.689,68 m 3. Penyusutan volume setelah pengomposan adalah sebesar 3.844,85 ton. Emisi N 2 O yang hilang akibat pengomposan adalah sebesar 459,18 kg N 2 O atau setara dengan 134,54 ton CO 2 setara. Emisi N 2 O yang tersisa karena pengolahan blotong menjadi kompos sebesar 269,08 ton CO 2 setara. Jika peluang ini digunakan oleh perusahaan maka emisi yang dihasilkan akan berkurang menjadi 4.52 tco 2 setara/ton gula. Pengurangan emisi keseluruhan yang dihasilkan sebesar 0,02 tco 2 setara/ton gula. 50