BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1 Pola Asuh 2.1.1 Definisi Pola Asuh Pola asuh juga dapat diartikan sebagai perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari (Sarwono. 2010). Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu. Sedangkan mengasuh berarti, membina interaksi dan komunikasi secara penuh perhatian sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa serta mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Krisnawati dalam Ebin, 2005).. Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui bahwa pengertian pola asuh adalah cara atau model seseorang dalam membimbing dan mendidik orang lain yang berbeda dalam lingkungan asuhannya dan mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Dalam bahasan ini seseorang diartikan sebagai orang tua, sedangkan orang lain diartikan sebagai anak.
2.1.2 Jenis Pola Asuh Terdapat beberapan jenis pola asuh. Seorang ahli pola asuh terkemuka, Baumrind (1996) menyatakan bahwa, terdapat empat jenis atau bentuk gaya pengasuhan diantaranya : a. Pola asuh otoriter (Authoritarian Parenting Style) Pola asuh ini bersifat membatasi dan menghukum, mendesak anak untuk mengikuti kata orang tua mereka, harus hormat pada orang tua mereka, memiliki tingkst kekakuan yang tinggi, dan memiliki intensitas komunikasi yang sedikit. Baumrind menyatakan bahwa anak yang dididik secara otoritharian ini memiliki sikap yang kurang kompeten secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk, dan takut akan perbandingan sosial. Dengan gaya otoritharian seperti ini anak dimungkinkan memberontak karena tidak terima atau bosan dengan pengekangan. Oleh karena itu, remaja cenderung ingin mencari tahu tanpa mau dibatasi (Arisandi.2011). b. Pola asuh demokratis (Authoritative Parenting Style) Menurut Baumrind pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas tinggi akan kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak, nalar, serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberikan batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Anak yang dididik dengan pola asuh ini memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi, percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, akrab dengan teman sebaya mereka, dan mengetahui konsep harga diri yang tinggi. Karakteristik pola asuh ini dapat mengimbangin rasa keingintahuan
remaja. Sehingga proses anak dalam menimbulkan perilaku tindakan antisocial cenderung bisa dibatasi. Oleh karena itu, walaupun anak dibebaskan, orang tua tetap terlibat dengan memberikan batasan berupa peraturan yang tegas (Arisandi.2010). c. Pola asuh Mengabaikan (Neglectful Parenting Style) Pola asuh ini karakterisitik orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak karena cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orang tua sebagai bukan urusan mereka atau orang tua menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari urusan mereka. Baumrind menyatakan anak yang diasuh dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap secara sosial, memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks ini pola asuh seperti ini dapat menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi dalam melakukan tindakan anti sosial. Oleh karena itu, mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau melakukan, mereka akan lakukan tanpa mau dilarang oleh siapapun (Arisandi.2010). d. Pola Asuh Memanjakan (Indulgent Parenting Style) Menurut Baumrind, pala asuh memanjakan membuat orang tua sangat terlibat dengan anak-anak mereka. Mereka menuruti semua kemauan anak mereka, den sangat jarang membatasi perilaku anak mereka. Anak yang dihasilkan dengan pola asuh ini, merupakan anak-anak yang sulit untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri, karena terbiasa untuk dimanja. 2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah : (Edwards, 2006),
a. Pendidikan orang tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain : terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh
anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000). 2.2 Kecenderungan perilaku Agresif Remaja 2.2.1 Definisi Kecenderungan perilaku Agresif Remaja Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cenderung berarti ingin atau akan, berarti kecenderungan diartikan sebagai keinginan/ kemungkinan. Sedangkan menurut (Drever, 1998) kecenderungan dapat diartikan sebagai suatu arah tertentu dari kemajuan pikiran menuju suatu tujuan. Kecenderungan ini bisa ada pada individu karena pengalaman ataupun faktor bawaan. Myers (1999), menyatakan bahwa agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Sedangkan menurut Berkowitz (2005), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Baron dan Bryne (2004) mendefinisikan perilaku agresi sebagai suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut. Berdasarkan definisi tersebut didapat empat pengertian mengenai agresi, pertama adalah agresi merupakan suatu bentuk perilaku bukan emosi, kebutuhan atau motif kedua adalah si pelaku agresi mempunyai maksud untuk mencelakakan korban yang dituju, ketiga adalah korban agresi yaitu makhluk hidup bukan benda mati, sedangkan yang keempat adalah korban dari perilaku agresi ini tidak menginginkan atau menghindarkan diri dari perilaku pelaku agresi. Menurut Atkinson (2000), Secara operasional agresi pada penelitian ini diperoleh dari skor nilai alat ukur agresi yang mengacu pada teori Buss dan Perry
(1996) agresi dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu physical Aggression (agresi fisik), verbal aggression (agresi verbal). Physical aggression merupakan perilaku agresi yang dapat di observasi (terlihat/overt). Physical aggression adalah kecenderungan individu untuk melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan fisik tersebut seperti memukul, mendorong, menendang, mencubit, dan lain sebagainya. Verbal Aggression (agresi verbal) merupakan perilaku agresi yang dapat diobservasi (terlihat/overt). Verbal aggression dalah kecenderungan untuk menyerang orang lain ataumemberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkankepada organismlain secara verbal, yaitu melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti cacian, ancaman, mengumpat, atau penolakan. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan perilaku agresif adalah keinginan untuk melukai ataupun menyakiti orang lain. Perilaku ini dapat berupa kekerasan secara fisik ataupun verbal, merampas hak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.. 2.2.2 Macam-Macam Agresi Myers (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi dalam dua jenis, yaitu agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) dan agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) adalah ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi dimana perilaku agresi ini adalah tujuan agresi itu sendiri. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Menurut Atkinson (1999) ada beberapa jenis perilaku agresi yaitu:
a. Agresi instrumental, yaitu: agresi yang ditujukan untuk membuat penderitaan kepada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik benda ataupun orang atau ide yang dapat menjadi alat untuk mewujudkan rasa agresinya. b. Agresi verbal, yaitu: agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau kata-kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan, melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita. c. Agresi fisik, yaitu: agresi yang dilakukan dengan fisik sebagai pelampiasan marah oleh individu yang mengalami agresi tersebut, d. Agresi emosional, yaitu: agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan marah dan agresi ini sering dialami orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan agresi secara terbuka, misalnya: karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan ketidakberdayaan. e. Agresi konseptual, yaitu: agresi yang juga bersifat penyaluran agresi yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk melawan baik verbal maupunfisik. Individu yang marah menyalurkan agresinya secara konsep atau saran-saran yang membuat orang lain menjadi ikut menyalurkan agresi. 2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Remaja
Menurut (Sarwono, 2006 ) remaja adalah mereka yang berusia antara 12-20 tahun, di mana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak anak lagi. Pada usia remaja menandakan keterkaitan emosional, pembelaan diri yang tinggi, bahkan fanatisme kuat terhadap teman sebayanya, remaja akan marah besar bila ke luarga / orang tua memberikan penilaian negatif pada perilaku sahabat dan teman temannya. 2.3.2 Teori Perkembangan Remaja Menurut Sarwono (2006) ada 3 tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa : a.remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-12 tahun masih terheran heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti orang dewasa. b. Remaja Madya ( Middle Adolescence ) Tahap ini berusia 13-15 tahun. Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawankawan. Ia senag kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narastic, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi
kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis. c.remaja Akhir (Late Adolescence) Tahap ini (16-19 tahun) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal dibawah ini. 1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). 2.4 Persepsi 2.4.1 Pengertian Persepsi Fieldmen (dalam Hartini, 1999) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah tanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungan dan bagaimana segala sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi dan perilaku yang
dipilihnya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gibson (1990) yang menyatakan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal sangat berpengaruh pada bentuk tingkah laku yang muncul. Sedangkan menurut Walgito (2002) persepsi adalah suatu proses yang aktif, karena seluruh aspek dalam diri individu seperti pengalaman dan kemampuan berfikir dapat mempengaruhi proses persepsi tersebut. Keterlibatan seluruh aspek dalam diri individu dalam melakukan pemaknaan menyebabkan stimulus yang sama dapat diartikan berbeda-beda pada beberapa individu. Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah tanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungan yang sangat berpengaruh pada bentuk tingkah laku yang akan muncul. 2.5 Kerangka Pemikiran Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Remaja dalam tahap berkembang ini akan mengalami masa kritis dimana mereka sedang mencoba dan berusaha untuk menemukan dirinya. Remaja akan banyak mempertanyakan tentang sesuatu yang baru dibuat, sedang diperbuat, dan memikirkan apa yang akan diperbuat. Remaja akan mencoba sampai mereka berhasil (Ronald, 2006). Dalam masa yang labil, remaja mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk berperilaku agresif. Perilaku agresif pada remaja antara lain seperti perkelahian, tawuran, saling mencaci dan bentuk- bentuk perilaku agresif lainnya (Godall dalam Koeswara, 1988)
Perilaku agresif pada anak berhubungan dengan orang tuanya melalui pengontrolan, pengalaman anak dan juga cara orang tua memberikan penguatan ataupun hukuman terhadap tingkah laku agresif. Itu semua tergantung pada pola asuh yang di gunakan orang tua. Pola asuh yang digunakan berhubungan dengan kecenderungan agresivitas remaja awal. Menurut penelitian Eyefni dengan judul Hubungan Pola Asuh Terhadap Perilaku Agresif Pada Siswa SMPN 5 Padang mengatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif pada siswa SMPN5 Padang. Remaja yang berperilaku agresif tingkat berat (72,3%) dan hanya (27,7) yang berperilaku agresif tingkat ringan. Dengan sesuai sumber literatur di atas menunjukkan peneliti ingin melihat adanya pengaruh antara pola asuh orang tua terhadap kecenderungan agresivitas anak SMP. 2.6 Hipotesis Hipotesis 1 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Otoriter terhadap Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Otoriter terhadap Hipotesis 2 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Demokratis terhadap
Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Demokratis terhadap Hipotesis 3 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Memanjakan terhadap Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Memanjakan terhadap Hipotesis 4 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Mengabaikan terhadap Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara variabel Pola Asuh Mengabaikan terhadap.