BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB II LANDASAN TEORITIS

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KECENDERUNGAN AGRESIVITAS REMAJA AWAL DI JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk budaya yang memiliki ciri-ciri yang

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 12 tahun), usia remaja madya (13-15 tahun) dan usia remaja akhir (16-19 tahun).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

DAFTAR PUSTAKA. Arisandi, (2011), Emosi, (diakses pada tanggal

BAB II TINJAUAN TEORI. ini, akan dijelaskan mengenai parasosial, dan penjelasan mengenai remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Agresi. pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda.

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk pengerusakan terhadap orang atau benda dengan unsur

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

PENGARUH SELF DISCLOSURE ANAK KEPADA ORANG TUA DAN GAYA PARENTING ORANG TUA TERHADAP KENAKALAN ANAK DI SEKOLAH NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BULLYING. I. Pendahuluan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai pemain ke-12, sehingga suatu pertandingan tidak berarti tanpa

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Pada Remaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Siswa. belajarnya (dalam 2014). sebagai suatu pribadi atau individu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Komunikasi interpersonal. antara dua orang atau lebih. Komunikasi merupakan suatu proses yang

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

PENERAPAN PERILAKU HEMAT ENERGI LISTRIK PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa merosotnya moral di kalangan remaja, akhir-akhir ini

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1 Pola Asuh 2.1.1 Definisi Pola Asuh Pola asuh juga dapat diartikan sebagai perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari (Sarwono. 2010). Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu. Sedangkan mengasuh berarti, membina interaksi dan komunikasi secara penuh perhatian sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa serta mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Krisnawati dalam Ebin, 2005).. Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui bahwa pengertian pola asuh adalah cara atau model seseorang dalam membimbing dan mendidik orang lain yang berbeda dalam lingkungan asuhannya dan mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Dalam bahasan ini seseorang diartikan sebagai orang tua, sedangkan orang lain diartikan sebagai anak.

2.1.2 Jenis Pola Asuh Terdapat beberapan jenis pola asuh. Seorang ahli pola asuh terkemuka, Baumrind (1996) menyatakan bahwa, terdapat empat jenis atau bentuk gaya pengasuhan diantaranya : a. Pola asuh otoriter (Authoritarian Parenting Style) Pola asuh ini bersifat membatasi dan menghukum, mendesak anak untuk mengikuti kata orang tua mereka, harus hormat pada orang tua mereka, memiliki tingkst kekakuan yang tinggi, dan memiliki intensitas komunikasi yang sedikit. Baumrind menyatakan bahwa anak yang dididik secara otoritharian ini memiliki sikap yang kurang kompeten secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk, dan takut akan perbandingan sosial. Dengan gaya otoritharian seperti ini anak dimungkinkan memberontak karena tidak terima atau bosan dengan pengekangan. Oleh karena itu, remaja cenderung ingin mencari tahu tanpa mau dibatasi (Arisandi.2011). b. Pola asuh demokratis (Authoritative Parenting Style) Menurut Baumrind pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas tinggi akan kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak, nalar, serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberikan batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Anak yang dididik dengan pola asuh ini memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi, percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, akrab dengan teman sebaya mereka, dan mengetahui konsep harga diri yang tinggi. Karakteristik pola asuh ini dapat mengimbangin rasa keingintahuan

remaja. Sehingga proses anak dalam menimbulkan perilaku tindakan antisocial cenderung bisa dibatasi. Oleh karena itu, walaupun anak dibebaskan, orang tua tetap terlibat dengan memberikan batasan berupa peraturan yang tegas (Arisandi.2010). c. Pola asuh Mengabaikan (Neglectful Parenting Style) Pola asuh ini karakterisitik orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak karena cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orang tua sebagai bukan urusan mereka atau orang tua menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari urusan mereka. Baumrind menyatakan anak yang diasuh dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap secara sosial, memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks ini pola asuh seperti ini dapat menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi dalam melakukan tindakan anti sosial. Oleh karena itu, mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau melakukan, mereka akan lakukan tanpa mau dilarang oleh siapapun (Arisandi.2010). d. Pola Asuh Memanjakan (Indulgent Parenting Style) Menurut Baumrind, pala asuh memanjakan membuat orang tua sangat terlibat dengan anak-anak mereka. Mereka menuruti semua kemauan anak mereka, den sangat jarang membatasi perilaku anak mereka. Anak yang dihasilkan dengan pola asuh ini, merupakan anak-anak yang sulit untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri, karena terbiasa untuk dimanja. 2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah : (Edwards, 2006),

a. Pendidikan orang tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain : terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh

anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000). 2.2 Kecenderungan perilaku Agresif Remaja 2.2.1 Definisi Kecenderungan perilaku Agresif Remaja Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cenderung berarti ingin atau akan, berarti kecenderungan diartikan sebagai keinginan/ kemungkinan. Sedangkan menurut (Drever, 1998) kecenderungan dapat diartikan sebagai suatu arah tertentu dari kemajuan pikiran menuju suatu tujuan. Kecenderungan ini bisa ada pada individu karena pengalaman ataupun faktor bawaan. Myers (1999), menyatakan bahwa agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Sedangkan menurut Berkowitz (2005), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Baron dan Bryne (2004) mendefinisikan perilaku agresi sebagai suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut. Berdasarkan definisi tersebut didapat empat pengertian mengenai agresi, pertama adalah agresi merupakan suatu bentuk perilaku bukan emosi, kebutuhan atau motif kedua adalah si pelaku agresi mempunyai maksud untuk mencelakakan korban yang dituju, ketiga adalah korban agresi yaitu makhluk hidup bukan benda mati, sedangkan yang keempat adalah korban dari perilaku agresi ini tidak menginginkan atau menghindarkan diri dari perilaku pelaku agresi. Menurut Atkinson (2000), Secara operasional agresi pada penelitian ini diperoleh dari skor nilai alat ukur agresi yang mengacu pada teori Buss dan Perry

(1996) agresi dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu physical Aggression (agresi fisik), verbal aggression (agresi verbal). Physical aggression merupakan perilaku agresi yang dapat di observasi (terlihat/overt). Physical aggression adalah kecenderungan individu untuk melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan fisik tersebut seperti memukul, mendorong, menendang, mencubit, dan lain sebagainya. Verbal Aggression (agresi verbal) merupakan perilaku agresi yang dapat diobservasi (terlihat/overt). Verbal aggression dalah kecenderungan untuk menyerang orang lain ataumemberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkankepada organismlain secara verbal, yaitu melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti cacian, ancaman, mengumpat, atau penolakan. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan perilaku agresif adalah keinginan untuk melukai ataupun menyakiti orang lain. Perilaku ini dapat berupa kekerasan secara fisik ataupun verbal, merampas hak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.. 2.2.2 Macam-Macam Agresi Myers (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi dalam dua jenis, yaitu agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) dan agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) adalah ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi dimana perilaku agresi ini adalah tujuan agresi itu sendiri. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Menurut Atkinson (1999) ada beberapa jenis perilaku agresi yaitu:

a. Agresi instrumental, yaitu: agresi yang ditujukan untuk membuat penderitaan kepada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik benda ataupun orang atau ide yang dapat menjadi alat untuk mewujudkan rasa agresinya. b. Agresi verbal, yaitu: agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau kata-kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan, melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita. c. Agresi fisik, yaitu: agresi yang dilakukan dengan fisik sebagai pelampiasan marah oleh individu yang mengalami agresi tersebut, d. Agresi emosional, yaitu: agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan marah dan agresi ini sering dialami orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan agresi secara terbuka, misalnya: karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan ketidakberdayaan. e. Agresi konseptual, yaitu: agresi yang juga bersifat penyaluran agresi yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk melawan baik verbal maupunfisik. Individu yang marah menyalurkan agresinya secara konsep atau saran-saran yang membuat orang lain menjadi ikut menyalurkan agresi. 2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Remaja

Menurut (Sarwono, 2006 ) remaja adalah mereka yang berusia antara 12-20 tahun, di mana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak anak lagi. Pada usia remaja menandakan keterkaitan emosional, pembelaan diri yang tinggi, bahkan fanatisme kuat terhadap teman sebayanya, remaja akan marah besar bila ke luarga / orang tua memberikan penilaian negatif pada perilaku sahabat dan teman temannya. 2.3.2 Teori Perkembangan Remaja Menurut Sarwono (2006) ada 3 tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa : a.remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-12 tahun masih terheran heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti orang dewasa. b. Remaja Madya ( Middle Adolescence ) Tahap ini berusia 13-15 tahun. Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawankawan. Ia senag kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narastic, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi

kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis. c.remaja Akhir (Late Adolescence) Tahap ini (16-19 tahun) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal dibawah ini. 1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). 2.4 Persepsi 2.4.1 Pengertian Persepsi Fieldmen (dalam Hartini, 1999) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah tanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungan dan bagaimana segala sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi dan perilaku yang

dipilihnya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gibson (1990) yang menyatakan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal sangat berpengaruh pada bentuk tingkah laku yang muncul. Sedangkan menurut Walgito (2002) persepsi adalah suatu proses yang aktif, karena seluruh aspek dalam diri individu seperti pengalaman dan kemampuan berfikir dapat mempengaruhi proses persepsi tersebut. Keterlibatan seluruh aspek dalam diri individu dalam melakukan pemaknaan menyebabkan stimulus yang sama dapat diartikan berbeda-beda pada beberapa individu. Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah tanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungan yang sangat berpengaruh pada bentuk tingkah laku yang akan muncul. 2.5 Kerangka Pemikiran Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Remaja dalam tahap berkembang ini akan mengalami masa kritis dimana mereka sedang mencoba dan berusaha untuk menemukan dirinya. Remaja akan banyak mempertanyakan tentang sesuatu yang baru dibuat, sedang diperbuat, dan memikirkan apa yang akan diperbuat. Remaja akan mencoba sampai mereka berhasil (Ronald, 2006). Dalam masa yang labil, remaja mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk berperilaku agresif. Perilaku agresif pada remaja antara lain seperti perkelahian, tawuran, saling mencaci dan bentuk- bentuk perilaku agresif lainnya (Godall dalam Koeswara, 1988)

Perilaku agresif pada anak berhubungan dengan orang tuanya melalui pengontrolan, pengalaman anak dan juga cara orang tua memberikan penguatan ataupun hukuman terhadap tingkah laku agresif. Itu semua tergantung pada pola asuh yang di gunakan orang tua. Pola asuh yang digunakan berhubungan dengan kecenderungan agresivitas remaja awal. Menurut penelitian Eyefni dengan judul Hubungan Pola Asuh Terhadap Perilaku Agresif Pada Siswa SMPN 5 Padang mengatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif pada siswa SMPN5 Padang. Remaja yang berperilaku agresif tingkat berat (72,3%) dan hanya (27,7) yang berperilaku agresif tingkat ringan. Dengan sesuai sumber literatur di atas menunjukkan peneliti ingin melihat adanya pengaruh antara pola asuh orang tua terhadap kecenderungan agresivitas anak SMP. 2.6 Hipotesis Hipotesis 1 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Otoriter terhadap Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Otoriter terhadap Hipotesis 2 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Demokratis terhadap

Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Demokratis terhadap Hipotesis 3 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Memanjakan terhadap Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Memanjakan terhadap Hipotesis 4 Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Pola Asuh Mengabaikan terhadap Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara variabel Pola Asuh Mengabaikan terhadap.