BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian menggunakan data-data dari rekam medik penderita gagal ginjal kronik atau sering disebut CKD (Chronic kidney disease) yang sudah mengalami tahap hemodialisis yang di rawat di RSUD DR M.M dunda limboto selama bulan Januari Juni 2012. Dari 103 kasus pasien CKD yang melakukan Hemodialisis di RSUD DR M.M Dunda Limboto pada bulan Januari Juni 2012, 70 kasus diantaranya merupakan kasus pasien Askes. Sampel diambil 7 kasus (sebagai bahan penelitian), yang mempunyai data rekam medik lengkap. Data rekam medik yang lengkap yaitu yang mencantumkan jenis kelamin, umur, diagnosis utama, terapi (nama obat, dosis, aturan pakai, rute pemberian dan sediaan) serta data laboratorium berupa serum kreatinin. a. Indeks fungsi ginjal Tabel 1. Hubungan antara klirens kreatinin dan fungsi ginjal (Wiffen dkk, 2007) Fungsi ginjal Klirens kreatinin (ml/menit) Normal 80 120 Gagal ginjal ringan 20 50 Gagal ginjal sedang 10 20 Gagal ginjal berat < 10 Klirens kreatinin lazim digunakan untuk mengukur fungsi ginjal. Kreatinin memiliki berat molekul 113 Dalton, merupakan hasil metabolisme kreatin di dalam tubuh. Senyawa endogen tersebut terdistribusi di dalam air tubuh total, takterikat protein plasma, dan tersaring sempurna oleh glomeruli ke dalam filtrat (urin). Yang penting dalam pengobatan, kenaikan kreatinin serum proporsional
dengan penurunan fungsi ginjal (Matzke & Comstock, 2006 dalam Lukman Hakim 2011) Tabel 2. Klirens kreatinin Pasien Jenis Usia BB (kg) Kreatinin serum klirens kreatinin kelamin (tahun) (mg/dl) (ml/menit) Pasien A Pria 47 58 17,2 4,36 Pasien B wanita 68 45 16,1 2,38 Pasien C pria 46 64 16,14 5,18 Pasien D pria 43 56 12,6 5,77 Pasien E wanita 31 56 10,7 6,67 Pasien F Wanita 44 48 10,5 5,18 Pasien G Wanita 28 58 27,8 2,76 Pasien CKD yang berada pada tahapan Hemodialisis hasil penelitian ratarata mempunyai kisaran nilai klirens kreatinin < 10 ml/menit yang menandakan bahwa penurunan fungsi ginjal yang dialami adalah gagal ginjal berat. Hasil dari nilai Klirens kreatinin pada penelitian ini merupakan parameter yang akan dijadikan sebagai acuan untuk penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal yang berat. Dosis merupakan bagian penting dalam terapi obat. Salah satu penyebab kegagalan pengobatan yaitu berkaitan erat dengan jumlah dosis yang diberikan pada pasien. Pengobatan yang benar-benar bermanfaat diperlukan oleh pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik gagal ginjal ringan, sedang maupun berat. Penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis pemeliharaan sering kali diperlukan. Jika dosis obat yang diberikan terlalu rendah maka terapi penyembuhan yang diperlukan tidak tercapai. Dosis yang terlalu rendah ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh atau bahkan memperburuk kondisi kesehatan. Begitu pula
pemberian dosis yang terlalu tinggi dibanding dengan dosis terapinya, hal ini akan berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa membahayakan kondisi pasien. Menurut Lukman Hakim dalam bukunya Farmakokinetik Klinik, Perkara ini lebih mengkhawatirkan jika pengobatan menggunakan obat-obat yang memiliki kisaran teraupeutik sempit, sementara pasien mengalami gangguan fisiologis yang berat, terutama yang berkaitan dengan ADME. Daftar obat dengan rentang teraupeutik sempit merupakan bagian yang butuh monitoring kadar dan individualisasi dosis. Menurut dr. Armen muchtar dalam seminar berkalanya berjudul Monitoring Kadar Terapeutik Obat membahas pentingnya individualisasi dosis, bahwa Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Bila dosis rata-rata itu tidak menimbulkan efek sama sekali atau sudah menimbulkan efek yang berlebihan, biasanya dokter dengan segera menghentikan pengobatan karena dianggap 'tidak cocok' bagi penderita, tanpa perlu mempertimbangkan apakah dosis yang diberikan itu memang sudah sesuai dengan kebutuhan penderita. Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakin beralasan ketika Brodie dkk. memperlihatkan bahwa ada perbedaan spesies, strain dan individual dalam kecepatan metabolisme obat. Kemudian, Hammer dan Sjoqvist menemukan ada perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari kadar "steady state" desmetil imipramin yang diresepkan pada suatu dosis tertentu. Perbedaan individuil kadar obat dalam keadaan "steady state" ini barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila 'Therapeutic window" dari obat yang
bersangkutan cukup besar. Tetapi bila "therapeutic window" suatu obat sempit, individualisasi dosis menjadi penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kg BB) sudah dapat menimbulkan perbedaan nyata dalam respons. (Muchtar, Armen dalam cermin kedokteran) b. Terapi pasien CKD Daftar terapi obat yang disajikan adalah obat yang sering diresepkan dan utama pada semua sampel (Table terlampir). Pada tabel, data rekam medik berisi terapi obat pasien CKD selama tahap Hemodialisis pada bulan Januari-Juni 2012. Terapi obat dengan pemberian Amlodipin. Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang Identifikasi Drug Related Problems ( DRPs) Potensial Kategori Ketidaktepatan Dosis pada Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Surakarta, Pemberian Amlodipin ini untuk mengatasi kondisi penyakit Hipertensi pada pasien yang memiliki riwayat gangguan fungsi ginjal. Penggunaan Amlodipin dapat menyebabkan peningkatan vasodilatasi pheripheral dan hipotensi ortostatik dengan reflek tachycardia, sehingga dalam penggunaannya perlu penyesuaian dosis untuk pasien fungsi ginjal adalah 2,5 mg/hr sebagai dosis tunggal, regimen dosis yang sama untuk pasien hipertensi pada geriatric (Shorr, 2007). Pemberian dosis untuk pasien pasien diatas adalah 5mg-10mg 1x/hari, dosis yang lebih besar dari anjuran buku standar, sehingga dapat dikategorikan dalam dosis tinggi. Hipotensi ortostatik yaitu berkurangnya tekanan darah yang bermakna bila melakukan perubahan posisi tubuh seperti berdiri dari posisi duduk, bangun dari posisi tidur dan sebagainya, dapat diikuti dengan pusing dan atau hilang kesadaran. Pada terapi
yang dilakukan oleh 7 sampel terdapat pemberian Allupurinol yang merupakan obat antipirai yang diindikasikan untuk gout yang menurunkan kadar asam urat. Sebagian obat ini dieksresikan dalam bentuk utuh melalui tinja, 10 20% dieksresi melalui urin. Pemberian dosis Allupurinol yang diresepkan yaitu 100 mg 2x/hari. Pemberian dosis untuk Allupurinol dalam hal ini untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat dengan nilai klirens kreatinin <10 ml/menit. Berdasarkan literatur Renal dosisng database pada kondisi klinis ini perlu adanya penyesuaian dosis yaitu 100 mg yang diberikan 24-28 jam. Dosis awal pada resep lebih besar dari dosis yang dianjurkan untuk gangguan fungsi ginjal sehingga termasuk kategori dosis tinggi. Pada kondisi gangguan fisiologis berat seperti gagal ginjal berat perlu adanya perhatian khusus terhadap penyesuaian dosis pada obat yang memiliki kisaran terapeutik sempit seperti Clonidin. Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal : Clcr < 10 ml/menit : gunakan 50-75% dosis awal normal (untuk dosis awal, mulai dengan 0.1 mg). Pemberian dosis terhadap pasien untuk Clonidin yaitu 0,15 mg 3x/hr yang merupakan dosis untuk uji toleransi Clonidin sebagai dosis tunggal. Dosis yang diberikan lebih tinggi dari dosis yang dianjurakan pada gangguan ginjal akan meningkatkan toksisitas.
c. Ketidaktepatan dosis terapi dengan kondisi klinik Tabel 3. Daftar terapi obat untuk pasien CKD dengan parameter Klirens kreatinin. No Nama obat Dosis yang diberikan pd pasien Potensi Frekuensi Dosis 1x, 1 hari 1 Allupurinol 100 mg 2 x 1 100 mg, 200 mg 2 Valsartan 80 mg 1 x 1 80 mg, 80 mg 3 Nephrofit Fe 100 mg 1 x 1 100 mg, 100 mg Dosis lazim Awal 100 mg/hari. Maks 800 mg/hari u/ Hipertensi 80 mg 1 x/hr, dpt ditingkatkan 160 mg. gagal jantung awal 40 mg 2 x/hr, dpt ditingkatkan mjd 80 mg & 160 mg 2x/hr. u/ pasca infark miokard awal 20 mg 2x/hr, dpt ditingkatkan mjd 40, 80, & 160 mg 2x/hr 1 tab/ hr 1 tab/ hari Dosis u/ gangguan fungsi ginjal [>80 ml/menit]: dosis umum [60-80]:200-250 mg/hr [40-60]:150-200 mg/hr [20-40]:100-150 mg/hr [10-20]:100 mg selama 24 jam [< 10 ml/menit]100 mg diberikan 24-48 jam u/ Hemodialisis : 100 mg diberikan 24-48 jam (dosis diberikan setelah dialysis) 80 320 mg, 1 x /hr Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat obat yang paling sering dan utama diresepkan oleh dokter pasca Hemodialisis. Dari sejumlah obat yang diberikan terdapat 3 jenis obat yang terdapat pada semua sampel yaitu, Allupurinol, Valsartan dan Nephrofit Fe. Allupurinol merupakan obat antipirai yang diindikasikan untuk gout yang menurunkan kadar asam urat. Sebagian obat ini dieksresikan dalam bentuk utuh melalui tinja, 10 20% dieksresi melalui urin.
Valsartan merupakan obat antihipertensi sebagai antagonis reseptor angiostensin II, yang dieksresikan melalui feses sehingga tidak diperlukan untuk penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien hemodialisis dan pada usia lanjut. (Farmakologi dan Terapi, 2007). Dan Nephrofit Fe adalah multivitamin yang diindikasikan untuk pra dan pasca hemodialisis.( MIMS, 2010/2011) Berdasar data dilihat dosis yang diberikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal tidak selamanya adalah dosis lazim berdasarkan ketentuan buku standar. Penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal khususnya pasien CKD dilihat berdasarkan nilai dari klirens kreatinin. Dosis untuk pasien CKD yang klirens kreatininnya di bawah nilai normal lebih cenderung dilakukan perubahan terapi dengan pertimbangan berdasarkan kerja fungsi ginjal yang mengalami penurunan dengan mengurangi dosis di bawah dosis lazim. Pada pemberian terapi obat berdasar tabel diatas ketidak tepatan dosis kategori dosis tinggi yaitu pada Allupurinol. Allupurinol yang over dosis terjadi pada 6 kasus dari 7 kasus pasien yang diteliti yang dapat ditarik persentase terjadi DRPsnya sebesar 85,71%. Pemberian dosis Allupurinol untuk pasien Hemodilialisis diatas 100 mg selama 24-48 jam, dosis yang lebih besar dari anjuran buku standar untuk dosis gangguan fungsi ginjal, sehingga di kategorikan dalam dosis tinggi. Pemberian Nephrovit Fe sebagai vitamin dan mineral bagi pasien pra dan pasca hemodialisis dapat dikatakan sangat baik sebagai multivitamin penambah nutrisi bagi pasien. Akan tetapi jika penggunaan melebihi batas dosis yang ditetapkan juga akan mempengaruhi fungsi ginjal walau tidak signifikan. Pada tabel diatas dapat ditarik kesimpulan ketidaksesuaian dosis untuk
pemberian Nephrovit Fe dari 7 kasus didapatkan hanya 1 kasus yang mengalami kesalahan dengan persentasi 14,28%. Ketepatan dalam pemberian dosis adalah salah satu indicator tercapainya terapi yang diperlukan dalam pengobatan terutama bagi pasien dengan gangguan fisiologi yang berat seperti halnya gagal ginjal berat. Dari 3 kasus obat yang di lihat persentasi ketidaktepatan dosis didapatkan 2 kasus yang mengalami DRPs yaitu Allupurinol 85,71% dan Nephrovit Fe 14,28%. Persentasi akumulasi kesalahan keseluruhan pada studi kasus ini dengan jumlah 84 kasus terapi diresepkan didapatkan 24 kasus terapi obat yang tidak tepat dosis. Dari data yang telah disajikan dapat ditarik kesimpulan bahwa diduga telah terjadi tingkat kesalahan terapi Hemodialisis untuk kesesuaian dosis di RSUD DR M.M Dunda Limboto pada kisaran bulan Januari Juni 2012 dengan persentasi angka kejadian sebesar 28,57%. Dalam penelitian ini masih terdapat keterbatasan. Pada terapi hemodialisis sampel diberikan Spironolakton yang menangani Hipertensi, yang dalam hal ini mengalami gagal ginjal dengan nilai klirens kreatinin <10mL/mnt. Berdasarkan literatur Renal dosing database penggunaan Spironolakton untuk kondisi ini harus dihindari. Pemberian Spironolakton ini jika tidak dihindari akan memberikan efek samping berupa edema, gangguan SSP seperti mengantuk, lethargi, sakit kepala, kebingungan, demam, ataksia, makulopopular, erupsi eritematosus, urtikaria, hiesutism, eosinofilia, ginekomastia, sakit payudara, hiperkalemia serius, hiponatremia, dehidrasi, metabolik asidosis, impotensi, haid tidak teratur, amenorea, pendarahan setelah postmenopouse, anoreksia, mual, muntah, kram perut, diare, pendarahan lambung, ulserasi, gastritis, muntah, agranulositosis,
toksisitas hepatoselular peningkatan konsentrasi BUN. Dalam kasus ini terjadi masalah ketidaktepatan pemilihan obat. Pada penelitian ini tidak secara khusus membahas angka kejadian DRPs dengan kategori ketidaktepatan pemilihan obat tetapi disajikan singkat sebagai bahan acuan dalam penetuan terapi obat untuk kasus-kasus dengan gangguan fungsi ginjal yang berat. Jadi, disarankan untuk adanya penelitian lebih lanjut mengenai DRPs dengan kategori ketepatan pemilihan obat.