BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap organisasi bertanggungjawab untuk berusaha mengembangkan suatu perilaku organisasi yang mencerminkan kejujuran dan etika yang dikomunikasikan secara tertulis dan dapat dijadikan pegangan oleh seluruh pegawai. Kultur tersebut harus memiliki akar dan memiliki nilai-nilai luhur yang menjadi dasar bagi etika pengelolaan suatu organisasi atau suatu entitas. Implementasi nilai-nilai yang terdapat dalam budaya kerja tersebut dalam suatu organisasi sangat erat hubungannya dengan kemauan manajemen untuk membangun suatu etika perilaku dan kultur organisasi yang anti kecurangan, sehingga dapat mengurangi atau menghindari terjadinya 3 (tiga) kecurangan pokok seperti (1) kecurangan dalam laporan keuangan (2) kecurangan penggelapan asset dan (3) kecurangan tindak pidana korupsi (Amrizal, 2004:1). Fraud sering dihubungkan dengan teori keagenan. Hal ini dikarenakan dalam teori keagenan terdapat suatu kontrak antara satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (Masyarakat) yang menunjuk orang lain sebagai agen (SKPD) untuk melakukan jasa untuk kepentingan principal (Jensen dan Meckling: 1976). Agen dan prinsipal memiliki kepentingan sendiri-sendiri dimana keduanya ingin memaksimumkan kepentingan masing-masing. Karena hal inilah yang menyebabkan tidak sejalannya keinginan antara agen dan prinsipal, yang mengakibatkan mungkin 1
2 saja agen akan bertindak yang berdampak pada kerugian bagi prinsipal demi memenuhi keinginannya. Tindakan yang dilakukan agen dalam hal ini bisa mengarah pada kecurangan akuntansi. (Krisdayanthi: 2015). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2001) menjelaskan definisi kecurangan sebagai berikut: Setiap tindakan akuntansi sebagai: (1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan, (2) Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pelaku kecurangan diklasifikasikan dalam dua, yaitu manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan kecurangan biasanya untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting). Sedangkan karyawan/pegawai melakukan kecurangan untuk keuntungan individu, misalnya salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets) (Tunggal, 2010:229).
3 Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan cakupan kecurangan (occupational fraud) kedalam fraud tree. Occupational fraud ini mempunyai tiga cabang utama, yakni corruption, asset misappriation, fraudulent statement. pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya (Tuanakotta, 2014:196). Cabang yang pertama dari fraud tree yang digambarkan oleh ACFE adalah corruption (korupsi). Bentuk korupsi menurut ACFE digambarkan dalam empat ranting, yakni benturan kepentingan (conflicts of interests), penyuapan (bribery), pemberian atau hadiah ilegal (illegal gratitutes), dan pemerasan (economic extortion). Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dipaparkan oleh Transparency International (2015) yang mengukur tingkat korupsi pada seluruh negara sejak tahun 1995. Indeks terebut memiliki rentang skor antara 0-100, semakin mendekati nol, maka semakin tinggi tingkat korupsi pada suatu negara. Berdasarkan hasil survey terhadap seluruh negara, di tahun 2015 Indonesia mendapatkan skor CPI 36 dan berada pada urutan 88. Dikutip dari news.detik.com (2017), Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim), Yoris Maulana mengatakan, tercatat ada enam orang termasuk Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), ke enam orang tersebut ditetapkan menjadi tersangka terkait kasus pungutan liar (Pungli). Dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) tersebut, polisi menyita barang bukti berupa uang Rp 364.000.000, 34.000 USD, 124 Poundsterling, buku tabungan berisikan saldo RP 500 juta, dua unit mobil dan satu unit motor. Akibat perbuatannya, para
4 tersangka melanggar Pasal 5, 11, 12 B UU No 20 tahun 2001 tentang Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Cabang yang kedua dari fraud tree yang digambarkan oleh ACFE adalah pengambilan aset secara ilegal atau Asset misappropriation dalam bahasa seharihari disebut mencuri. Namun, dalam istilah hukum, mengambil aset secara ilegal (tidak sah, atau melawan hukun) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan (Tuanakotta, 2014:199). Cabang yang ketiga dari fraud tree yang digambarkan oleh ACFE adalah Fraudulent financial reporting/ fraudulen statment diartikan sebagai kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan secara materiel (Tuanakotta, 2014:287). Dikutip dari detik.com (2016), Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementrian Keuangan, Sonny Loho, menjelaskan masih banyak Kementerian/Lembaga (K/L) yang tidak menjalankan proses pelaporan dengan benar. Misalnya kendaraan yang dibeli, namun tidak dilaporkan kepada pemerintah. Seharusnya setiap pembelian harus melalui katalog yang sudah ditentukan. Kemudian dilaporkan sebagai inventaris negara. Namun yang terjadi adalah ketika kendaraan dibeli yang tidak sesuai dengan prosedur setelah itu kendaraan tersebut dijual. Dikutip dari news.detik.com (2016), Anggota Kejaksaan Negeri Bandung, Agus Winoto mengatakan, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jabar Asep Hilman
5 diboyong ke Lapas Sukamiskin, Kota Bandung. Asep ditahan karena kasus korupsi pengadaan buku Aksara Sunda pada Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun anggaran 2010. Dalam situs tersebut pula BPK menaksir kerugian negara dalam kasus ini angkanya mencapai Rp 3.980.826.013. tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 18 UU No 20/2001 tentang pemberantasan Tipikor dan pasal 55 ayat (1) KUHPidana. Kecurangan terjadi biasanya disebabkan oleh lemahnya pengendalian intern dan adanya ketidakadilan antar pegawai sehingga menimbulkan kecemburuan (Lestari, 2014). Sistem pengendalian intern di lingkungan instansi pemerintah dikenal sebagai suatu sistem yang diciptakan untuk mendukung upaya agar penyelenggaraan kegiatan pada instansi pemerintahan dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, dimana pengelolaan keuangan negara dapat dilaporkan secara andal, asset negara dapat dikelola dengan aman, dan tentunya mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. (PP No 60 Tahun 2008). Sejarah pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah di Indonesia dimulai dengan adanya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri PAN No. KEP/46/M.PAN/2004. Selanjutnya pada tanggal 28 Agustus 2008 keluarlah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang merupakan adaptasi dari COSO. Unsur-unsur SPIP adalah Lingkungan Pengendalian, Penilaian Risiko, Kegiatan Pengendalian, Informasi dan
6 Komunikasi, serta Pemantauan Pengendalian Intern, PP No. 60 Tahun 2008 merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 55 ayat (4) dan Pasal (58) ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara (Asterini, 2015). Namun pengimplementasian SPIP di Indonesia belum secara maksimal, berdasarkan Ikhtisah Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2015 (BPK), ditemukan 5.978 permasalahan yang menyangkut SPI di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Permasalahan SPI tersebut meliputi 2.222 (37,17%) kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 2.598 (43,46%) kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, dan 1.158 (19,37%) kelemahan struktur pengendalian intern (IHPS I Tahun 2015). Hal tersebut mengindikasikan masih sering ditemuinya praktik kecurangan di Indonesia. Kecurangan juga dipengaruhi oleh besar tidaknya tekanan. Tekanan (Pressure) adalah motivasi dari individu untuk bertindak curang yang disebabkan oleh adanya tekanan keuangan maupun non keuangan, serta dapat disebabkan pula oleh tekanan pribadi maupun tekanan dari organisasi. Dalam lingkup entitas, baik sektor swasta maupun sektor pemerintahan, faktor utama yang menyebabkan tekanan adalah ketidaksesuaian kompensasi (Tiro, 2014). Kompensasi biasa juga disebut gaji atau pendapatan dan dapat didefinisikan sebagai semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan (Hasibuan, 2006:133).
7 Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri manusia yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut diharapkan akan terpenuhi dengan mendapatkan kompensasi yang sesuai karena ketidakpuasan atau kekecewaan dengan hasil kompensasi yang diterima akan menyebabkan karyawan cenderung berperilaku tidak etis dan berlaku curang untuk memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri (Handoko, 2001:155). Dalam finance.detik.com (2009) Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan bahwa sebanyak 95% dari total PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang jumlahnya 3,7 juta melakukan korupsi karena kebutuhan. Kelakuan buruk ini dipicu oleh gaji terlalu rendah yang diterima PNS. Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan Prasetya (2015) mengindikasikan bahwa semakin tinggi Kompensasi yang diterima semakin menurunkan tingkat fraud yang dilakukan karyawan. Namun hal itu tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wilopo (2006). Penelitian Wilopo menunjukan bahwa kesesuaian kompensasi tidak memberikan pengaruh terhadap kecenderungan kecurangan. Berdasarkan urain latar belakang yang dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam skripsi yang berjudul PENGARUH SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH TERHADAP FRAUD PADA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH KOTA BANDUNG. 1.2. Rumusan Masalah
8 Masalah dalam penelitian ini adalah masih ditemukannya fraud di pemerintahan daerah, dikarenakan belum efektifnya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah serta masih terjadi ketidaksesuaian kompensasi. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis menetapkan pertanyaan penelitian yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 2. Bagaimana pelaksanaan Kompensasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 3. Bagaimana Tingkat Fraud pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 4. Bagaimana Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terhadap Fraud pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 5. Bagaimana Pengaruh Kompensasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 6. Bagaimana Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan Kompensasi terhadap Fraud pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mendapatkan data yang dapat memberi informasi dan gambaran mengenai
9 pengaruh penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan Kompensasi terhadap Fraud pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung. Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini terbagi menjadi empat poin, yaitu : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 2. Untuk mengetahui pelaksanaan Kompensasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 3. Untuk mengetahui Tingkat Fraud pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung 4. Untuk mengetahui Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan Kompensasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung 1.4. Kegunaan Penelitian Harapan peneliti adalah hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pihak yang berkepentingan, seperti: 1. Bagi Peneliti Dapat memahami pengaruh dari sistem pengendalian intern pemerintah dan kompensasi terhadap fraud di pemerintah pada SKPD Kota Bandung, Sehingga mampu menambah pengetahuan dan wawasan lebih mendalam khususnya dalam bidang Audit Sektor Publik. 2. Bagi Pemerintah Kota Bandung
10 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan dan juga sumbangan pemikiran tambahan bagi seluruh entitas pemerintahan di Kota Bandung guna meminimalisasi bahkan menghilangkan praktikpraktik fraud. 3. Bagi Kalangan Akademisi Penelitian ini diharapkan sebagai sumber acuan untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian yang berkaitan dengan topik yang dibahas dan juga menjadi penambah wawasan pengatahuan. 4. Bagi Masyarakat Sebagai referensi dan pertimbangkan yang diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik terhadap komponen Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan Kompensasi terhadap fraud di Satuan Kerja Perangkat Daerah khususnya dan Pemerintah Daerah Umumnya 1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Bandung untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. Sedangkan waktu penelitian dimulai dari bulan Agustus 2016 sampai dengan selesai.