BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. mengarungi suka duka hidup di dunia bersama sama. Setelah akad nikah

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB II TINJAUAN TEORITIS

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA JANDA YANG MENIKAH LAGI DI KALANGAN ETNIS ARAB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. sering mendengar kasus-kasus penganiyaan suami atau istri karena berselingkuh

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika keinginan untuk menjalani hidup bersama dengan pasangannya dalam sebuah ikatan perkawinan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada, dalam arti kebersamaan mereka tidak dapat berlanjut, maka hal ini akan menyebabkan perpisahan. Perpisahan ini dapat disebabkan karena perceraian antara suami istri, atau dapat juga karena sebab meninggalnya pasangan terlebih dahulu. Perpisahan dengan pasangan ini menyebabkan seseorang menjadi janda/duda. Bagi setiap orang, tidak ada yang merencanakan dirinya menjalani hidup menjadi janda/duda. Menjadi janda/duda ini dapat disebabkan beberapa hal, yakni sebab perceraian dan kematian pasangan. Perceraian terjadi ketika dalam kehidupan berumah tangga mereka tidak dapat lagi saling menerima dan memuncak pada satu kondisi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara berdamai sehingga pasangan ini tidak mampu untuk melanjutkan hidup mereka lagi dengan status sebagai pasangan. Beberapa hal yang dimungkinkan dapat memicu terjadinya permasalahan seputar rumah tangga antara lain karena ketidaksejalanan cara pandang masing-masing pasangan dalam melihat sesuatu, perlakuan buruk salah satu pasangan, adanya perselingkuhan, pemberian nafkah 1

2 lahir-batin yang kurang tercukupi, dan masih banyak hal lainnya. Kondisi yang demikian ini sesuai dengan isi Penjelasan Pasal 39 Ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian ialah antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal tersebut menyiratkan bahwa dalam suatu konflik rumah tangga antara suami dan istri rentan terjadi adanya perpisahan meskipun ada juga pasangan yang mencoba untuk bertahan karena beberapa kondisi yang lebih diperjuangkan melalui pernikahan daripada harus hidup sendiri. Bila konflik telah memuncak dan pasangan tidak sanggup lagi untuk bertahan, maka jalan perceraian merupakan salah satu cara untuk memisahkan diri dari pasangannya. Sedangkan pada seseorang yang menjadi janda/duda karena pasangannya meninggal terlebih dahulu, mereka cenderung terpaksa terpisahkan oleh keadaan berupa kematian pasangannya. Peristiwa lain yang menyebabkan seorang wanita berstatus janda adalah ketika suami meninggalkan istri tanpa kabar dan/atau alasan yang jelas selama lebih dari 2 tahun berturut-turut. Hal ini termasuk di dalamnya selama kurun waktu tersebut istri tidak diberikan nafkah baik nafkah lahir maupun batin. Dari peristiwa ini istri berhak untuk melayangkan gugatan cerai kepada pengadilan agama. Istri yang ditinggalkan pasangannya baik karena kematian maupun perceraian mengakibatkan dirinya berstatus menjadi janda. Ketiadaan pasangan ini membuat janda tersebut menjadi sendiri. Menurut Papalia, dkk. (2008),

3 kesendirian merupakan ketidakbiasaan bagi suami atau istri. Berbagai persoalan dapat dihadapi wanita dewasa madya dalam kondisi sendiri terpisah dari pasangan. Beberapa sumber menyebutkan persoalan yang dihadapi wanita dewasa yang mengalami kesendirian ketiadaan pasangan diantaranya adalah persoalan ekonomi, persoalan kebutuhan seks yang kurang terpenuhi, kesulitan-kesulitan praktis berhubungan dengan menjalani aktivitas sehari-hari, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lainnya sehingga dimungkinkan dapat memunculkan persoalan psikologis seperti frustrasi dan stres. Kondisi kesendirian tersebut juga dapat mengakibatkan seorang janda menjadi kesepian. Kesepian ini menurut Hurlock (1980) diperkuat lagi dengan rasa frustrasi yang berasal dari dorongan seksualnya yang tidak dapat dipenuhi dan masalah ekonomi karena mata pencaharian keluarga tidak mencukupi lagi untuk menghidupi keluarga. Pada masalah kesulitan ekonomi, kesendirian ini akan menjadi semakin sulit ketika janda sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari suaminya dan selama itu dia tidak mempunyai penghasilan sendiri. Hal ini memungkinkan adanya situasi kekurangan dukungan finansial. Permasalahan ekonomi juga dapat muncul ketika janda itu tidak tinggal sendirian, misal ada orang tua yang sudah lanjut usia dan tumpuan ekonomi hanya ada pada janda itu. Masalah ekonomi ini akan semakin sulit dan kompleks jika janda mempunyai anak yang masih kecil. Anaknya ini pasti juga memerlukan dana dan didikan dari orang tuanya. Maka, apabila istri telah berubah status menjadi janda dan harus membesarkan anaknya, permasalahan ekonomi dan peran menjadi orang tua ganda tidak dapat terelakkan.

4 Pada kebutuhan seksual, Pangkahila (dalam Zulfiana, 2013) mengatakan bahwa dorongan seksual akan kembali seperti semula saat janda telah mampu menyesuaikan diri dan menerima kenyataan. Setelah dorongan seks itu muncul kembali, tidak ada tempat penyaluran dorongan seksual ini yang menyebabkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan seksual dari janda tersebut. Selain itu, Hurlock (1980) menjelaskan bahwa janda yang dahulunya menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam tahun-tahun perkawinannya, setelah menjanda akan merasa frustrasi dan tidak terpakai. Kebutuhan-kebutuhan yang tak dapat tercapai akibat ketiadaan pasangan ini membuat janda merasakan adanya permasalahan hidupnya. Di sisi lain, masih terdapat kalangan masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap janda yang kebanyakan merebut suami orang. Hal ini diperkuat dengan permasalahan wanita dewasa madya yang dapat saja mengalami gejolak remaja kedua. Gejolak ini ditandai dengan munculnya tingkah laku seperti anak muda pada umumnya karena takut kehilangan yang telah dipunyai pada masa mudanya dahulu. Dengan adanya hal ini, maka stigma negatif tersebut akan semakin kuat melekat dan kebutuhan akan rasa keamanan dalam pernikahan ini dirasa semakin mendesak. Permasalahan seputar masa kehidupan selama menjanda tersebut dijawab oleh Ibrahim (2002) bahwa wanita sangat menggantungkan harapan pada keberlangsungan pernikahannya. Jika rumah tangga yang dipunyainya terjadi ketiadaan salah satu sosok (dalam hal ini adalah sosok suami), maka harapan dan aktivitasnya sebagai istri yang senantiasa menemani suami menjadi hilang.

5 Sejalan dengan pemikiran Ibrahim dan Hurlock di atas, Santrock (2002) menguatkan bahwa hidup menjanda berdampak pada munculnya peran dan status baru, kekurangan keuangan, dan hidup tanpa sistem pendukung yang kuat. Peran dan status yang tiba-tiba berganti akan menyebabkan penyesuaian diri terhadap lingkungan menjadi berubah. Kekurangan keuangan mungkin saja terjadi saat janda selama menjadi istri hanya menggantungkan finansial kehidupannya dari penghasilan suaminya. Berkenaan dengan ketiadaan sistem pendukung yang kuat, sebenarnya bisa saja janda mendapatkan dorongan dan dukungan dari kehidupan sosialnya di masyarakat, namun hal itu masih terasa kurang karena ketiadaan teman hidup. Peran pernikahan pada kesehatan mental meningkat seiring usia. Kondisi di atas menyebabkan kesulitan hidup permasalahan seputar menjadi janda. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia terjadi akibat dari kebutuhan-kebutuhan yang kurang atau bahkan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Bila menilik teori Hirarki Kebutuhan Maslow, kebutuhankebutuhan janda tentang kebutuhan untuk menikah lagi bersumber pada kebutuhan dasar fisiologis dan keamanan yang belum dapat terpenuhi, yakni dorongan seksual dan keamanan terhadap perlindungan diri dan harta bendanya. Kebutuhan tersebut ditunjang dengan kehilangan rasa kasih sayang dan rasa dicintai oleh pasangan yang tentu dibutuhkan sepanjang hidup manusia. Bila permasalahan ini ditambah lagi dengan kewajiban mengarahkan anakanak untuk beranjak dewasa sedangkan janda tersebut harus melakukannya seorang diri tanpa adanya pasangan, maka dapat dimungkinkan terjadi kesulitan

6 yang menimbulkan rasa tertekan karena tidak adanya dukungan dan bantuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang besar dan sulit. Begitu pula dengan perasaan kehilangan ketika anak-anaknya pergi meninggalkan rumah karena sudah dewasa, maka perasaan kekosongan dari janda tersebut akan semakin lengkap. Hurlock (1980) menegaskan bahwa saat anak telah meninggalkan rumah membentuk kehidupannya sendiri, hubungan yang erat antara suami-istri dapat meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Hubungan yang erat seperti ini dapat dilakukan dengan cara memandang pasangan sebagai teman hidup. Kebutuhan dasar seksual, keamanan dan ketenangan baik dari segi fisik maupun psikologis, juga cinta kasih dari pasangan hidup, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi janda di atas akan mengarahkan janda dalam hal mengambil keputusan untuk menikah lagi. Hal ini berkaitan dengan peran pasangan dalam penelitian Marks, Bumpass, & Jun (dalam Berk, 2012) bahwa sekalipun persahabatan dan hubungan positif dengan rekan kerja sangat penting, pernikahan yang baik dapat lebih meningkatkan kesehatan psikologis. Hal ini mencerminkan bahwa keberadaan pasangan sangat dibutuhkan dalam kehidupan dewasa madya. Bila seorang janda memutuskan untuk menikah lagi, maka ia akan mempunyai teman hidup untuk saling mengisi, saling berbagi, dan membantu mencari alternatif solusi dari kesulitan-kesulitan yang dialami. Hurlock (1980) memaparkan bahwa bagi seseorang janda yang kehilangan pasangannya baik karena kematian ataupun perceraian, setelah beberapa periode waktu ia mempunyai alasan yang dapat diterima untuk tetap hidup sendiri ataupun

7 menikah kembali. Karena waktu terus bergerak maju, baik janda tersebut dalam kondisi terpuruk atau telah bangkit dari kondisi sedih karena kehilangan pasangan, ia tetap harus melanjutkan hidupnya agar tidak berhenti pada suatu keadaan berduka. Adanya kebutuhan-kebutuhan yang telah dipaparkan di atas memungkinkan janda tersebut menginginkan untuk menjalin hubungan lagi dan membina hubungan melalui pernikahan. Saat janda memiliki kebutuhan untuk menikah lagi, hal ini tidak serta merta mudah untuk diputuskan. Pengambilan keputusan tersebut pasti melalui berbagai proses pemikiran dan pertimbangan. Atmosudirdjo (1982) menjelaskan bahwa bila keputusan diambil dengan cara sembarangan, maka akan timbul reaksi-reaksi negatif, berakibat kerugian-kerugian besar yang lebih mudah tampak. Meskipun pernikahan sudah pernah menjadi pengalaman seorang janda, memulai hidup dengan pasangan baru tidak semudah yang diinginkan. Berikut adalah salah satu contoh pengakuan dari janda dengan kondisi dilematiknya dalam memutuskan untuk menikah lagi. Sekarang saya hidup dengan dua anak saya yang masih kecil-kecil. Berat rasanya karena hidup hanya mengandalkan harta bersama yang dibagi seperdua saat perceraian dan belum ada penghasilan lain. Namun jika ada yang meminang saya lagi, rasanya masih ada trauma. Sekarang saya berpikir kegagalan dua kali pernikahan ini apakah bersumber dari saya? Saya ingin juga menjadi istri yang menemani suami sampai kematian yang memisahkan. Tapi kalau memang benar perceraian ini adalah karena saya, rasanya saya sudah tidak pantas lagi untuk menjadi istri. Saya masih takut

8 bila terjadi kegagalan lagi. (Komunikasi Personal, 29 Maret 2013) Selain itu, pengakuan terhadap kondisi dilematis janda untuk menikah lagi juga disampaikan oleh janda akibat ditinggal mati suaminya. Suami saya meninggal 9 tahun lalu, ketika ketiga anak saya masih kecilkecil. Dalam usia 47 tahun sekarang ini, saya tidak pernah punya affair ataupun hubungan mesra dengan pria. Setiap kali muncul 'hasrat', saya hanya bisa menangis dan mengadu pada Tuhan, karena saya takut berzina. Akhir tahun lalu, saya bertemu seorang pelatih di sebuah training pembinaan usaha kecil yang saya ikuti. Ia bersimpati pada saya dan sering mengirim SMS mesra. Hati saya selalu bergetar dan berbunga-bunga menantikan SMS darinya. Akan tetapi dia masih punya istri hasil dari perjodohan yang tidak dicintainya. Saya bingung pantaskah saya menikah lagi? (Rieny, 2009) Persoalan-persoalan pada janda yang ingin menikah lagi biasanya adalah seputar kesulitan personal dengan dirinya sendiri dalam kebimbangannya untuk memutuskan memasuki pernikahan kembali. Bumpass, dkk. (1990) menjelaskan bahwa pernikahan kembali sering dilihat hanya sebagai perbaikan pada kondisi awal dalam aspek status dewasa setelah masa transisi singkat menjanda. Kehadiran pasangan baru belum tentu dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan janda tersebut. Coleman, dkk. (dalam Berk, 2012) menguatkan bahwa pernikahan kembali sangat rentan terhadap perpisahan karena sejumlah alasan, dua diantaranya adalah karena persoalan praktis pada pernikahan kedua (keterjaminan ekonomi, bantuan dalam membesarkan anak, keterlepasan dari kesepian, dan

9 penerimaan sosial) tidak memberikan pijakan kuat bagi keberlangsungan hubungan; selain itu pasangan yang menikah lagi mengalami lebih banyak stres dari situasi keluarga tiri. Hal ini menjadi pertimbangan negatif terhadap keberlangsungan pernikahan kedua. Keterjaminan ekonomi tidak selalu memberikan rasa aman terhadap finansial. Bisa jadi kondisi ekonomi yang semakin baik tidak berpengaruh terhadap kebahagiaan hubungan pasangan. Dengan adanya pasangan baru yang menyebabkan munculnya suatu kondisi hubungan baru, maka mau atau tidak mau janda harus melakukan penyesuaian diri dengan pasangan mulai dari awal lagi. Bagi janda yang menikah lagi, ia bukan hanya sebagai istri dari suami barunya, tetapi besar kemungkinannya setelah pernikahan juga akan menjadi ibu tiri. Hal ini akan menjadi tantangan besar bagi wanita. MacDonald & DeMaris (dalam Papalia, dkk., 2008) menjelaskan bahwa wanita memiliki kesulitan lebih besar dibandingkan dengan pria dalam membesarkan anak tiri dimungkinkan karena secara umum wanita menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak tiri mereka. Waktu yang dihabiskan dengan anak tiri ini membutuhkan interaksi dan kerjasama dari keduanya. Walaupun demikian, tidak menjadi soal seberapa keras ibu tiri berusaha menjalin ikatan dekat antara orang tua anak, upaya itu mungkin saja gagal dalam rentang waktu yang agak lama (Berk, 2012). Kegagalan tersebut juga dapat ditinjau dari penerimaan anak kandungnya terhadap keluarga baru dari janda itu. Bisa jadi anak kandung dari janda tersebut juga tidak dapat menerima pernikahan ibunya dengan laki-laki lain. Pertimbangan saat janda memutuskan untuk menikah lagi dapat juga berasal dari kehidupan interaksinya setelah

10 pernikahan. Memilih untuk hidup sendiri atau menikah kembali pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Levin (2007) memaparkan bahwa seseorang menanggapi pilihan berisiko atas dasar sikap yang mendasari untuk mencari atau menghindari risiko yang mungkin terjadi dari segi emosional, dan kemudian menyesuaikan diri pada proses perhitungan kemungkinan selanjutnya dan hasil yang diperoleh. Di sini berarti diperlukan pendekatan secara kognitif yang berhubungan dengan kerja otak dengan kelogisannya dan afektif yang berhubungan dengan emosi dan perasaannya. Mengambil keputusan tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi memutuskan untuk sebuah pernikahan. Menurut Nasy at al Masri (dalam Nurhayati, 2012) keputusan untuk menikah merupakan keputusan terpenting yang pernah diambil manusia dalam perjalanan hidupnya. Melalui pernikahan itu manusia memasuki kehidupan baru dengan hidup bersama pasangannya. Kehidupan ini akan dijalaninya dengan berharap kelanggengan. Siagian (1988) mengatakan bahwa tindakan memutuskan merupakan langkah yang paling sulit. Dalam mengambil sebuah keputusan, perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang detail karena juga mencakup perihal konsekuensi setelah memutuskan. Lebih lanjut dalam bukunya yang lain Siagian (1979) mengatakan dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan, tidak dilakukan secara sembrono. Hal ini menunjukkan bahwa saat seseorang mengambil sebuah keputusan tertentu, maka ia harus dengan jeli dan mempertimbangkan konsekuensinya. Meskipun pernikahan sudah pernah menjadi pengalaman seorang

11 janda, memulai hidup dengan pasangan baru tidak semudah yang diinginkan. Daripada laki-laki, Lizarraga, dkk. (2007) mengemukakan bahwa perempuan lebih mengkhawatirkan ketidakpastian, keraguan, dan dinamisme yang terlibat dalam keputusan, lebih peduli konsekuensi keputusan, tidak menjadi soal keputusan ini mempengaruhi mereka atau orang lain. Ini menunjukkan bahwa wanita lebih mengacu kepada proses keberhasilan dari pengambilan keputusan itu. Apabila seorang janda mengambil keputusan untuk menikah, maka janda tersebut akan terlebih dahulu memikirkan secara matang sebab-akibatnya ketika memutuskan. Pengambilan keputusan sampai batas tertentu ditentukan oleh perbedaan individu dalam kepekaannya terhadap penghargaan yang diperolehnya bila ia mengambil sebuah keputusan (Franken & Muris, 2005). Hal ini mengacu pada hasil yang diperoleh ketika seseorang telah mengambil suatu keputusan tertentu. Keberadaan pasangan dalam kehidupan akan tetap dibutuhkan karena perjalanan hidup seseorang dihadapkan pada kebutuhan biologis, cinta kasih, keamanan, dukungan penguatan dan berbagai hal lainnya yang terpenuhi jika mereka mempunyai pasangan. Akan tetapi dalam kehidupan nyata tidak dapat dipungkiri terdapat adanya banyak hal yang harus mendapatkan perhatian untuk dipertimbangkan sedangkan pernikahan bukan merupakan satu-satunya alternatif jawaban untuk memenuhi kebutuhan itu. Hal inilah yang menjadikan janda berada pada kondisi dilematis mengambil keputusan memilih untuk menikah lagi atau memilih untuk tidak menikah lagi. Penelitian ini menjadi penting karena pengambilan keputusan untuk

12 menikah lagi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat kembali memasuki kehidupan pernikahannya, akan terdapat risiko dan konsekuensi penting dan besar yang harus janda hadapi. Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk memasuki kehidupan pernikahan harus dipertimbangkan dengan matang. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, peneliti ingin meneliti tentang proses pengambilan keputusan pada pernikahan kedua dengan judul Studi Fenomenologis Pengambilan Keputusan Wanita Dewasa Madya Untuk Menikah Lebih Dari Satu Kali. B. Tujuan Penelitian Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk memahami proses pengambilan keputusan yang dilakukan wanita dewasa madya untuk menikah lebih dari satu kali. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan: 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini dapat memberikan wacana kepustakaan psikologi perkawinan dalam kaitannya dengan pentingnya pengambilan keputusan untuk menikah lagi.

13 2. Manfaat Praktis a. Bagi para janda yang ingin melakukan pernikahan lagi, penelitian ini dilakukan agar dapat lebih mencermati berbagai pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menikah lagi agar keputusan yang dibuatnya tidak merupakan keputusan yang diambil secara sembarangan. Selain itu, para janda diharapkan dapat mengasah kepekaan hasil dari pengambilan keputusan yang dibuatnya. b. Bagi kerabat atau keluarga terdekat janda yang dipercaya untuk membantu janda dalam persoalan pertimbangan keputusan menikah lagi dapat memberikan saran atau alternatif yang objektif tanpa dibubuhi prasangka pribadi. Saat dimintai pendapat, kerabat atau keluarga dekat janda juga diharapkan dapat memberikan pertimbangan secara dewasa dan bijaksana. c. Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk memahami kekompleksan kondisi wanita dewasa madya yang memutuskan untuk menikah lagi. d. Bagi masyarakat luas, penelitian ini dapat dijadikan bahan pemahaman kondisi wanita dewasa madya tentang keputusannya untuk menikah kembali.