Departemen Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO IMS PADA WARIA BINAAN PONDOK PESANTREN (PONPES) WARIA SENIN- KAMIS YOGYAKARTA TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TINGKAT PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKS TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

The Implementation of STI, HIV/AIDS prevention using Role Play Module towards the Direct Knowledge and Attitude of Female Sex Workers

Sugiarto Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Harapan Ibu Jambi

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan


BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

PERILAKU WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) DALAM MELAKUKAN SKRINING INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI LOKALISASI TEGAL PANAS KABUPATEN SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

Bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masuk dan berkembang biak di dalam tubuh yang ditularkan melalui free

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PREDISPOSISI DENGAN PERILAKU MEMAKAI KONDOM UNTUK MENCEGAH IMS DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS SANGKRAH KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELOMPOK RISIKO TINGGI TENTANG HIV-AIDS DI KOTA BANDUNG PERIODE TAHUN 2014

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN

NASKAH PUBLIKASI DISKA ASTARINI I

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN IMS PADA WPS DI LOKALISASI DJOKO TINGKIR SRAGEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL. Anggia Suci W *, Tori Rihiantoro **, Titi Astuti **

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-journal) Volume 4, Nomor 3, Juli 2016 (ISSN: )

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. individu mulai berkembang dan pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG HEPATITIS B PADA DOKTER GIGI DI DENPASAR UTARA

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB II Tinjauan Pustaka

FAKTOR FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016

PERILAKU PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS PADA PENOLONG PERSALINAN SPONTAN DI RSUD BANJARNEGARA

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014).

Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN PROGRAM PREVENTION OF MOTHER TO CHILD TRANSMISSION

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKS BERISIKO PEMANDU KARAOKE TETAP DI KOTA TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

HUBUNGAN ANTARA USIA, PEKERJAAN, PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. kondisi inilah akan mudah terkena infeksi jamur. Keputihan yang terjadi

UNIVERSITAS UDAYANA PEMANFAATAN MODEL REGRESI LOGISTIK DALAM ANALISIS FAKTOR DETERMINAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA PEKERJA SEKS PEREMPUAN DI

Koresponden

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KELOMPOK WPSTL DI 9 KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA (Analisis data sekunder STBP tahun 2013) Meita Ilyana, Yovsyah Departemen Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Meita_ilyana@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan upaya pencegahan IMS pada wanita penjajak seks tidak langsung (WPSTL). Penelitian ini menggunakan data sekunder Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku tahun 2013 dengan desain studi cross sectional. Sampel penelitian ini adalah WPSTL dari 9 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki data lengkap dalam STBP 2013 dengan jumlah 594 responden. Analisis data meliputi analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL yaitu keterpaparan pelayanan kesehatan(pvalue 0,001; PR 2,3 95%CI 1,5-3,6); akses kondom (Pvalue 0,001; OR 2,6 95%CI (1,7-4,2); kepemilikan kondom (Pvalue 0,001; OR 3,6 95%CI 2,2-5,7); layanan konseling dan tes HIV (Pvalue 0,015; OR 1,17 95%CI 1,1-2,7), dukungan pelanggan (Pvalue 0,04; OR 3,96 95%CI 2,12-7,38); dukungan pengelola tempat hiburan ( Pvalue 0,001; OR 3,04 95%CI 1,6-5,5); dan dukungan petugas kesehatan (Pvalue 0,001; OR 3,04 95%CI 1,0-5,2). Peningkatan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL melalui pendidikan dan pelatihan terkait IMS dan HIV agar prevalensi penularan IMS melalui hubungan seksual berisiko semakin berkurang. Kata kunci : Infeksi Menular Seksual; kondom; STBP 2013; Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung. Factors Associated with STI Prevention Efforts among Indirect Female Sex Workers in 9 Districts in Indonesia (IBBS data analysis in the Year of 2013). ABSTRACT This study aims to determine the factors associated with the prevention of STIs among Indirect Female Sex Workers (IFSW). This study uses Secondary Data Analysis of Integrated Biology and Behavior Surveillance in the Year of 2013 with a cross-sectional study design. The sample was IFSW of 9 districts / cities in Indonesia which has a complete data in IBBS 2013 consisting 594 respondents. Data analysis includes univariate and bivariate analyzes. The research s result shows that the factors significantly related to the prevention of STIs among IFSW are health information exposure (Pvalue 0,001; PR 2,3 95%CI 1,5 to 3,6 ) access to condoms (Pvalue 0,001; OR 2,6 95%CI (1,7 to 4,2) ; possession of condoms (Pvalue 0,001; OR 3,6 95%CI 2,2 to 5,7); HIV counseling and testing services (Pvalue 0,015; OR 1,17 95%CI 1,1 to 2,7), customer support (Pvalue 0,04; OR 3,96 95%CI 2,12 to 7,38); owner of entertainment places support ( Pvalue 0,001; OR 3,04 95%CI 1,6 to 5,5) ; and health workers support (Pvalue 0,001; OR 3,04 95%CI 1,0 to 5,2). Increased efforts by IFSW STI prevention through education and training related to STIs and HIV should be done so that the prevalence of STI transmission through sexual intercourse is reduced. Keywords: Condoms; Indirect Female Sex Workers; Integrated Surveillance Biology and Behavior in 2013; Sexually Transmitted Infections. 1

Pendahuluan Infeksi menular seksual (IMS) atau Sexually Transmitted Infections (STIs) adalah infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual. IMS saat ini menjadi salah satu masalah kesehatan dunia termasuk Indonesia dan penyebab terbesar infertilitas, kecacatan jangka panjang, dan kematian. Selain itu IMS juga menyebabkan penurunan produktivitas seseorang, ditambah dengan biaya pengobatan yang tidak sedikit, dan secara tidak langsung hal tersebut berdampak pada peningkatan beban negara dalam pembiayaan kesehatan (Dirjen PP&PL: 2011). Menurut data WHO pada tahun 2013 terdapat lebih dari sejuta orang tertular IMS setiap harinya, dan setiap tahun diperkirakan terdapat 500 (lima ratus) juta orang yang terinfeksi 1 dari 4 IMS seperti klamidia, gonore, trikomoniasis dan sifilis, serta terdapat 290 juta wanita yang terinfeksi human papilomavirus. Pada tahun 2008 tercatat 20 juta kasus baru infeksi menular seksual di Amerika Serikat (CDC,2013). Selain itu pada tahun 2011 di Irlandia terdapat 11.000 kasus IMS di antaranya klamidia 51%, herpes simpleks 9%, gonore 7%, sifilis 6%, trikomoniasis 0,5%, uretritis tidak spesifik 10%, dan kondiloma genital 16% (IUSTI, 2011). Penularan HIV di Indonesia mayoritas terjadi pada kelompok kunci (wanita penjaja seks langsung, wanita penjaja seks tidak langsung, lelaki suka lelaki, penasun dan transgender), melalui kombinasi dua jalur penularan yaitu perilaku seksual berisiko (60%) dan penggunaan narkoba suntik (30%) (Indonesian National AIDS Commission: 2012). Selain melalui kedua jalur tersebut HIV juga dapat ditularkan melalui transfusi darah dan melalui plasenta, namun penularan HIV melalui dua jalur ini sangat sedikit jumlahnya. Peluang penularan melalui hubungan seksual sangat kecil yaitu 0,5-1% per pajanan sedangkan melalui transfusi darah >90% per pajanan, melalui plasenta ±30% per pajanan. Penularan melalui kontak seksual menjadi sangat besar disebabkan banyaknya populasi kunci yang melakukan perilaku seksual berisiko (Kandun: 2000). Data STBP 2013 menunjukkan bahwa cakupan program kesehatan pada WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) masih cukup rendah. Hanya terdapat 39% WPSTL dari 9 kota yang diteliti pernah mengikuti tes HIV. Selain itu 81 % WPSTL tidak pernah berinteraksi dengan petugas kesehatan dalam 3 bulan terakhir, dan 71% WPSTL tidak pernah menerima kondom gratis dalam 3 bulan terakhir. Selain itu proporsi WPSTL yang selalu menggunakan kondom dalam satu minggu terakhir masih cukup rendah yaitu 36%. Sebaliknya prevalensi IMS pada kelompok WPSTL masih cukup tinggi yaitu sebesar 30,8% 2

untuk prevalensi klamidia, 17,7% untuk prevalensi Gonore, 1,8% untuk prevalensi Sifilis dan 1,6% untuk prevalensi HIV. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan kelompok WPSTL sebagai sasaran penelitian (Dirjen PP&PL:2013). Rumusan Masalah Dari hasil surveilans biologi dan perilaku tahun 2013 menunjukkan bahwa, masih rendahnya proporsi perilaku upaya pencegahan IMS pada kelompok wanita penjajak seks tidak langsung, yang dilihat dari proporsi selalu menggunakan kondom selama 1 minggu terakhir yang hanya sebesar 36,84 %(STBP,2011). Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan upaya pencegahan IMS pada kelompok wanita Penjaja Seks Tidak Langsung di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia (Palembang, Tangerang, Yogyakarta, Pontianak, Samarinda, Bitung, Makasar, Bengkulu, Mimika), berdasarkan Data Surveilans terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2013. Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran karakteristik (usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, lama kerja, penghasilan, usia seks pertama kali) WPSTL di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2013 2. Diketahuinya hubungan faktor predisposisi WPSTL (usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, lama kerja, usia seks pertama kali, pengetahuan tentang IMS dan persepsi berisiko) dengan upaya pencegahan IMS di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2013, 3. Diketahuinya hubungan faktor pemungkin (kepemilikan kondom, akses kondom, pelayanan konseling dan tes HIV, dan penghasilan) dengan upaya pencegahan IMS di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2013, 4. Diketahuinya hubungan faktor penguat (Keterpaparan informasi,dukungan pelanggan, dukungan pemilik tempat hiburan dan dukungan tenaga kesehatan) dengan upaya pencegahan IMS di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2013 3

Tinjauan Teoritis Infeksi Menular Seksual (IMS) disebabkan oleh lebih dari 30 (tiga puluh) jenis bakteri, virus, dan parasit. Penyebaran infeksi ini didominasi melalui kontak seksual baik itu melalui vaginal, anal, maupun oral seks. Beberapa IMS dapat menular melalui kulit ke kulit saat kontak seksual. Organisme penyebab IMS juga bisa menyebar tanpa melalui kontak seksual, seperti melalui produk darah dan transfer jaringan. Banyak IMS termasuk klamidia, gonore, hepatitis B, HIV, HPV, HSV2 dan sifilis juga bisa menular dari ibu hamil ke janin saat kehamilan dan persalinan (WHO:2014). Seseorang bisa terinfeksi IMS tanpa menunjukkan gejala yang jelas. Oleh karena itu terminologi infeksi menular seksual lebih besar maknanya dibandingkan dengan penyakit menular seksual. Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi menular seksual di antaranya nyeri abdomen, cairan vagina, cairan uretra pada laki-laki dan luka pada genital (WHO:2014). Green (2005) membagi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku menjadi tiga kelas yaitu faktor Predispocing, Enabling, dan Reinforcing. Predisposing factors (Predisposisi) yaitu faktor pencetus timbulnya perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku. Faktor tersebut adalah pengetahuan individu, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku. Kemudian Enabling Factors (pemungkin), merupakan faktor yang memungkinkan mendukung suatu motivasi atau aspirasi terlaksana menjadi perilaku.contoh faktor ini adalah lingkungan fisik dan sumbersumber yang tersedia di masyarakat seperti fasilitas dan sarana. Ketiga yaitu reinforcing factors (penguat), yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Faktor faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas terutama petugas kesehatan, termasuk juga undang-undang, dan peraturan-peraturan baik dari pusat maupun daerah. 4

Gambar 1 Kerangka Konsep Faktor Predisposisi Umur Tingkat Pendidikan Status Marital Lama Kerja Usia seks Pertama Pengetahuan terhadap IMS dan HIVA Persepsi berisiko Faktor Pemungkin Kepemilikan Kondom Akses Kondom Pelayanan KT Penghasilan Faktor Penguat Upaya Pencegahan IMS Keterpaparan Informasi tentang IMS dan HIV Dukungan Pelanggan Dukungan Pengelola Tempat hiburan Dukungan Petugas kesehatan Hipotesis Adanya hubungan faktor predisposisi (karekteristik, pengetahuan terhadap IMS dan Persepsi berisiko WPSTL), faktor pemungkin (keterpaparan informasi, kepemilikan kondom, akses kondom, penghasilan dan pelayanan KT), dan faktor penguat (keterpaparan informasi, dukungan pelanggan, dukungan pemilik tempat hiburan, dukungan petugas kesehatan) dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL di 9 Kabupaten/ Kota di Indonesia tahun 2013 (Analisis data sekunder surveilans terpadu biologi dan perilaku tahun 2013). Metode penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel independen 5

(upaya pencegahan IMS pada WPSTL) dan dependen (faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat). Penelitian ini menggunakan data sekunder Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini wanita penjaja seks tidak langsung yang menjadi sampel STBP 2013 di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia. Sedangkan sampel yang terpilih dalam penelitian ini adalah WPSTL yang memiliki data lengkap dari semua variabel yang diteliti. Kemudian data tersebut dilakukan analisis statistik untuk melihat hubungan antara variabel-variabel penelitian, dengan melakukan uji data sebagai berikut: Dilakukan dengan analisis distribusi frekuensi dari tiap variabel independen dan dependen. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi square. Hasil Penelitian Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah WPSTL dari 9 kabupaten/kota di Indonesia yang berjumlah 594 responden. Karakteristik responden dibagi menurut usia, tingkat pendidikan, status pernikahan. Sebagian besar responden berusia diatas atau sama dengan 30 tahun (42,9%), berpendidikan SMA/sederajat (47,6%), berstatus menikah/pernah menikah (73,4%), telah bekerja lebih dari satu tahun di kabupaten/kota tempat dilakukan penelitian dengan proporsi 52,7%, dan melakukan hubungan seksual pertamanya pada usia dibawah 20 tahun dengan proporsi 73,9% atau sebanyak 439 responden. Upaya Pencegahan IMS Responden Upaya pencegahan IMS oleh WPSTL dinilai berdasarkan upaya selalu menggunakan kondom ketika melakukan transaksi seksual. Upaya pencegahan terbagi menjadi 2 kategori yaitu untuk melakukan upaya pencegahan dan tidak melakukan upaya pencegahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa diketahui bahwa mayoritas WPSTL telah melakukan pencegahan IMS melalui upaya untuk selalu menggunakan kondom setiap melakukan transaksi seksual yaitu sebanyak 523 responden, sedangkan responden yang tidak melakukan upaya pencegahan IMS melalui penggunaan kondom sebanyak 71 responden. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Responden terhadap IMS dan HIV Pada variabel pengetahuan didapatkan informasi bahwa mayoritas pengetahuan responden mengenai HIV/AIDS masih kurang. Hal ini terlihat pada proporsi pengetahuan 6

WPSTL tentang HIV/AIDS yang kurang baik sebesar 82,8% atau sebanyak 492 responden. Sedangkan 17,2% responden memiliki pengetahuan tentang HIV yang baik atau sebanyak 102 responden. Kemudian diketahui bahwa mayoritas responden merasa berisiko untuk tertular infeksi menular seksual. Hal ini terlihat pada proporsi responden yang merasa berisiko sebesar 64,3% atau 382 responden dan proporsi responden yang tidak merasa berisiko sebesar 35,7% atau 212 responden. Gambaran Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden pernah terpapar informasi mengenai infeksi menular sekual (80,1%), memiliki kemudahan untuk mengakses kondom (63,3%), memiliki kondom dalam 1 minggu terakhir (66%), dan pernah mendapatkan pelayanan konseling dan tes HIV (59,1%). Tabel 1. Distribusi WPSTL di 9 Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan faktor pelayanan kesehatan tahun 2013 Variabel N % Keterpaparan Informasi Tidak terpapar Terpapar Total Akses Kondom Sulit Mudah Total Kepemilikan Kondom Tidak memiliki Memiliki Total Pelayanan KT Tidak pernah Pernah Total 118 476 594 216 378 594 202 392 594 234 351 594 19,9 80,1 100 36,4 63,3 100 34 66 100 40,9 59,1 100 7

Gambaran Faktor Dukungan Pelanggan, Pemilik Tempat Hiburan dan Petugas Kesehatan terhadap Upaya pencegahan IMS pada WPSTL Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden kurang mendapat dukungan dalam upaya pencegahan IMS, baik dari pelanggan, pengelola tempat hiburan, maupun dari petugas kesehatan. Hal ini terlihat dari proporsi pelanggan yang mendukung upaya pencegahan IMS pada WPSTL sebesar 42,1% atau 250 responden. Hal itu terlihat pula pada variabel dukungan dari pengelola tempat hiburan yang menunjukkan bahwa dukungan pengelola tempat hiburan hanya 38,2% dan dukungan dari petugas kesehatan hanya sebesar 17,8%. Berikut ini tabel yang memaparkan proporsi dukungan pelanggan, pengelola tempat hiburan, dan petugas kesehatan: Tabel 2. Distribusi Dukungan upaya pencegahan IMS kepada WPSTL oleh pelanggan, pengelola tempat hiburan, dan petugas kesehatan Variabel N % Dukungan Pelanggan Tidak mendukung Mendukung Total 344 250 594 57,9 42,1 100 Dukungan Pemilik tempat hiburan Tidak mendukung Mendukung Total 367 227 594 61,8 38,2 100 Dukungan Petugas Kesehatan N % Tidak mendukung Mendukung Total 488 106 594 82,2 17,8 100 Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen Pada variabel umur menunjukan bahwa pada kelompok usia WPSTL di atas 25 tahun sebanyak 42 (10,9%) responden tidak melakukan upaya pencegahan terkait IMS dan HIV. Hasil penelitian mendapatkan nilai PR 1.281 dengan 95% CI (0,8-1,9). Nilai P value 0,335 > 8

α (0,05) maka hipotesis nol di terima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan bermakna antara variabel umur dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL. Pada variabel tingkat pendidikan diketahui bahwa WPSTL yang tidak melakukan upaya pencegahan terkait IMS dan HIV sebanyak 69 responden (11,9%). Hasil penelitian mendapatkan nilai PR 0,955 dengan 95% CI (0,2-3,5) dengan nilai p value 1,00>α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Selanjutnya variabel status marital menunjukan bahwa sebanyak 19 responden (12%) WPSTL yang belum menikah tidak melakukan upaya pencegahan terkait IMS dan HIV. Hasil penelitian menunjukan nilai PR 1,008 dengan 95% CI (0,6-1,0) dengan nilai p value 1,00 > α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel status marital dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL Variabel lama kerja diketahui bahwa pada kategori lama kerja < 1 th sebanyak 34 responden (12,1%) tidak melakukan upaya pencegahan terkait IMS dan HIV. Dengan nilai p value 1,00> α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel lama kerja dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Variabel penghasilan menunjukkan bahwa pada kategori penghasilan 2 juta sebanyak 10 responden (9,8%) yang tidak melakukan upaya pencegahan terkait IMS dan HIV. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 0,79 dengan 95%CI (0,42-1,49). Dengan nilai p value 0,57 maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan variabel penghasilan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Kemudian pada variabel usia pertama kali melakukan seks diketahui bahwa pada kategori usia 20 th sebanyak 46 responden (10,5%) tidak melakukan upaya pencegahan IMS. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 0,65 dengan 95% CI (0,41-1,02). Dengan nilai p value 0,085 maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel usia pertama kali melakukan seks dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden yang memiliki pengetahuan tentang IMS dan HIV kurang sebanyak 64 responden (13%) tidak melakukan upaya pencegahan IMS. Hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai PR 1,89 dengan 95% CI (0,8-4,0). Nilai p value 0,11> α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak ada 9

hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Pada variabel persepsi berisiko diketahui bahwa pada kelompok yang tidak merasa berisiko sebanyak 18 responden (8,5%) tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai PR 0,61 dengan 95% CI (0,3-1,0) yang berarti bahwa responden yang tidak merasa berisiko untuk tertular IMS dan HIV memiliki peluang 0,61 lebih kecil untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang merasa berisiko. Dengan nilai p value 0,07 maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara variabel persepsi berisiko dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Berikut ini paparan secara rinci hubungan variabelvariabel yang tersebut diatas: Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 26 (22%) responden yang tidak pernah terpapar informasi tentang IMS dan HIV. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai PR 2,33 dengan 95% CI (1,5-3,6), yang berarti bawa responden yang tidak terpapar informasi memiliki peluang 2,33 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang terpapar informasi mengenai IMS dan HIV. Dengan nilai p value 0,001< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara variabel keterpaparan informasi dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Pada variabel akses kondom juga didapatkan nilai PR 2,6 dengan 95% CI (1,7-4,1) yang bermakna sulitnya akses kondom berdampak pada kecenderungan 2,6 kali lebih besar pada WPSTL untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang memiliki kemudahan untuk mengakses kondom. Hasil p value 0,001< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kemudahan mengakses kondom dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Selanjutnya hasil penelitian kepemilikan kondom menunjukkan bahwa 46 responden (23%) yang tidak memiliki kondom. Hasil uji statistik mendapatkan nilai PR 3,6 dengan 95% CI (2,2-5,7) yang berarti bahwa responden yang tidak memiliki kondom berpeluang 3,6 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang memiliki kondom. Nilai p value 0,001 <α (0,005) maka hipotesis nol ditolak yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan kondom dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil penelitian pada variabel layanan Konseling dan Tes HIV menunjukkan bahwa 39 responden (16%) yang tidak pernah mendapatkan pelayanan KT, tidak melakukan upaya 10

pencegahan IMS. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 1,7 dengan 95% CI (1,1-2,7) yang berarti bahwa responden yang tidak pernah mendapatkan pelayanan konseling dan tes HIV memiliki peluang 1,7 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang tidak pernah mendapatkan pelayanan konseling dan tes HIV. Dengan nilai p value 0,015 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang bermakna antara layananan konseling dan tes HIV dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada variabel dukungan pelanggan sebanyak 65 responden (13,3) yang tidak mendapat dukungan dari pelanggan, tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 3,96 dengan 95% CI (2,12-7,38) yang berarti bahwa responden yang tidak mendapat dukungan dari pelanggan memiliki kecenderungan 3,96 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS dibandingkan dengan yang mendapat dukungan dari pelanggan. Nilai p value 0,04 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dukungan pelanggan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL. Hal serupa juga terlihat pada variabel dukungan dari pengelola tempat hiburan. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 3,04 dengan 95% CI ( 1,6-5,5) yang berarti bahwa responden yang tidak memiliki dukungan dari pengelola tempat hiburan berpeluang 3,04 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS dari pada responden yang mendapat dukungan dari pengelola tempat hiburan. Nilai p value 0,001 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dukungan dari pengelola tempat hiburan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Pada variabel dukungan petugas kesehatan diketahui bahwa nilai PR 2,35 dengan 95% CI ( 1,04-5,28) yang berarti bahwa responden yang tidak mendapat dukungan dari petugas kesehatan berpeluang 2,35 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS dibandingkan dengan responden yang mendapat dukungan dari petugas kesehatan. Nilai p value 0,001 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dukungan petugas kesehatan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL. Berikut ini rincian dari hubungan antara variabel-variabel diatas: 11

Tabel 3. Hubungan Faktor Predisposisi, Pemungkin, dan Penguat dengan upaya pencegahan IMS dan HIV pada WPSTL Upaya Pencegahan Variabel Tidak Ya PR 95% CI P value N % N % Umur 25 > 25 Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi Status Marital Belum menikah Menikah/pernah menikah Lama Kerja < 1 th 1 th 29 42 69 2 19 52 34 37 13,9 10,9 11,9 12,5 12 11,9 12,1 11,8 179 344 509 14 139 384 247 276 86,1 89,1 88,1 87,5 88 88,1 87,9 88,2 1,281 0,8-1,9 0,335 0,955 0,25-3,55 1,008 0,61-1,06 1,02 0,66-1,58 1,00 1,00 1,000 Penghasilan 2 jt >2 jt 10 61 9,8 12,4 92 431 90,2 87,6 0,79 0,42-1,49 0,57 Usia melakukan sex pertama 20 th >20 th 46 25 10,5 16,1 393 130 89,5 83,9 0,65 0,41-1,02 0,085 Pengetahuan Kurang Baik Baik 64 7 13 6,9 428 95 87 95 1,89 0,8-4,0 0,116 Persepsi Berisiko Keterpaparan Informasi IMS & HIV Tidak Merasa berisiko Merasa berisiko Tidak terpapar Terpapar 18 53 26 45 8,5 13,9 22 9,5 194 329 92 431 91,5 86,1 78 90,5 0,612 0,3-1,0 0,07 2,33 1,50-3,61 0,001 Akses Kondom Kepemilikan Kondom Layanan KT Dukungan Pelanggan Dukungan Pengelola tempat hiburan Dukungan Petugas Kesehatan Sulit Mudah Tidak memiliki memiliki Tidak Ya Tidak mendukung Mendukung Tidak Mendukung Mendukung Tidak Mendukung Mendukung 43 28 46 25 39 32 65 6 60 11 59 12 19,9 7,4 23 6,3 16 9,1 13,3 5,7 17,4 4,4 16,1 5,3 173 350 154 369 204 319 423 100 284 239 308 215 80,1 92,6 77 93,7 84 90,9 86,7 94,3 82,6 95,6 83,9 94,7 2,6 1,72-4,19 3,6 2,29-5,72 1,7 1,13-2,72 3,96 2,12-7,38 3,04 1,67-5,5 2,35 1,04-5,28 0,001 0,001 0,015 0,04 0,001 0,001 Pembahasan Hasil analisis hubungan umur dengan upaya pencegahan IMS didapatkan nilai PR 1.28 dengan 95% CI (0,8-1,9) dan P value 0,335 > α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan bermakna antara variabel umur dengan upaya 12

pencegahan IMS pada WPSTL. Hal serupa juga dilaporkan oleh Budiman dkk (2008) dalam penelitiannya terhadap upaya pencegahan IMS & HIV pada WPS di Kabupaten Klaten bahwa tidak adanya hubungan antara variabel umur dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL dengan nilai p value 0,667. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Kerrigan et al (2003) dilaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara variabel umur dengan upaya pencegahan IMS dan HIV dalam hal ini dilihat dari konsistensi penggunaan kondom oleh WPSTL, yang mana responden dengan usia < 25 tahun lebih mungkin menggunakan kondom secara konsisten dengan pelanggan mereka dibandingkan dengan responden yang usianya lebih tua. Hal ini disebabkan WPSTL yang berusia lebih muda lebih memiliki bargaining power yang tinggi dari pada WPSTL yang berusia lebih muda, WPSTL yang berusia muda lebih disenangi oleh pelanggan, sehingga mereka bisa lebih kuat menentukan keputusan dalam penggunaan kondom. Analisis hubungan tingkat pendidikan dengan upaya pencegahan IMS didapatkan nilai PR 0,95 dengan 95% CI (0,2-3,5) dan nilai p value 1,00>α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Budiman dkk (2008) bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara variabel tingkat pendidikan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL, dengan nilai p value 0,436. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam teori Health Belief Model yang berhubungan dengan perilaku peningkatan kesehatan. Orang yang berpendidikan formal lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi, jika dibandingkan orang yang pendidikan formalnya rendah. Oleh karena itu orang yang pendidikannya lebih tinggi akan lebih mampu memahami arti pentingnya kesehatan (Fachlaeli:2012). Kemudian hasil analisis hubungan status marital dengan upaya pencegahan IMS menunjukan nilai PR 1,0 dengan 95% CI (0,6-1,0) dan nilai pvalue 1,00 > α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel status marital dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Budiman (2008) dalam penelitiannya juga melaporkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status marital dengan upaya pencegahan IMS dan HIV oleh WPSTL, dengan nilai p value 1,00. Hasil penelitian Oppong et al (2007) tentang studi kondom pada WPS di Ghana menunjukan bahwa WPS yang belum menikah lebih cenderung untuk konsisten dalam menggunakan kondom dari pada WPS yang berstatus menikah (Purwatiningsih: 2012 ) 13

Selanjutnya hasil analisis statistik pada variabel lama kerja didapatkan nilai PR 1,02 dengan 95% CI (0,66-1,58) dan nilai p value 1,00> α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel lama kerja dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Budiman (2008) juga melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL, dengan nilai p value 0,402. Berikutnya hasil analisis statistik hubungan antara usia melakukan seks pertama dengan upaya pencegahan IMS mendapatkan nilai PR 0,65 dengan 95% CI (0,41-1,02) dan nilai p value 0,085 maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan antara variabel usia pertama kali melakukan seks dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL. Lama kerja dan usia pertama kali melakukan hubungan seksual terkait dengan pengalaman seseorang dalam pekerjaan tersebut, dalam hal ini sebagai penjaja seks komersial. Semakin berpengalaman seseorang akan semakin menguasai bidang kerjanya, contohnya risiko dari pekerjaan tersebut. Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, baik dari pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Hal tersebut merupakan hasil pengulangan kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi, bila berhasil maka orang akan menggunakan cara tersebut dan bila gagal tidak akan mengulangi cara itu (Purwatiningsih 2012). Hasil uji statistik menunjukan bahwa nilai PR 1,89 dengan 95% CI (0,89-4,0) yang berarti bahwa responden yang memiliki pengetahuan tentang IMS dan HIV yang kurang memiliki kecenderungan 1,89 kali lebih besar untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS daripada kelompok yang berpengetahuan baik. Nilai p value 0,11> α (0,05) maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hal serupa juga dilaporkan pada penelitian Budiman (2008) bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL, dengan nilai P value 0,032 CI 95%. Berdasarkan jawaban dari responden diketahui bahwa sebagian besar responden (79%) tahu kondom merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko penularan IMS, namun pengetahuan responden tentang bagaimana cara-cara penularan IMS masih kurang. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan WPSTL tentang IMS dan HIV masih belum komprehensif. 14

Menurut Green dalam teorinya preceed and procede bahwa pengetahuan merupakan bagian dari faktor predisposisi yang menentukan dalam membentuk perilaku seseorang, dan pengetahuan sebelum melakukan tindakan adalah merupakan hal yang sangat penting (Green:2000). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semakin baik pengetahuan maka akan semakin baik perilaku pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai PR 0,612 dengan 95% CI (0,3-1,0) dan nilai p value 0,07 maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara variabel persepsi berisiko dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil yang berbeda dilaporkan pada penelitian Budiman (2008) yang melaporkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara persepsi kerentanan WPSTL terhadap IMS dengan upaya pencegahan IMS, dengan nilai p value 0,001 95% CI. WHO (1984) merumuskan bahwa perilaku sehat seseorang dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu pemikiran dan perasaan (pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek), acuan dari seseorang, adanya sumber daya, dan kebudayaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi WPSTL tetang kerentanan dirinya untuk terinfeksi HIV dapat mempengaruhi upaya pencegahan IMS dan HIV pada WPSTL. Namun persepsi berisiko yang dimiliki oleh responden pada penelitian ini tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang IMS dan HIV yang komprehensif, sehingga hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara persepsi berisiko dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Pada hasil analisis statistik hubungan penghasilan dengan upaya pencegahan IMS mendapatkan nilai PR 0,79 dengan 95%CI (0,42-1,49) dan nilai p value 0,57 maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa tidak adanya hubungan variabel penghasilan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Budiman dkk (2008) dalam penelitiannya juga melaporkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL, dengan nilai p value 0,40. Namun hasil berbeda dilaporkan Kerringan et al (2003) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel penghasilan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL, yang mana responden yang memiliki penghasilan > US$ 232 berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan konsistensi penggunaan kondom, dengan nilai OR 1,94 95% CI (1,12-3,38) dengan p value< 0,01. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai PR 2,33 dengan 95% CI (1,5-3,6), yang berarti bawa responden yang tidak terpapar informasi memiliki kecenderungan 2,33 kali 15

untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dengan nilai p value 0,001< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara variabel keterpaparan informasi dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil yang berbeda dilaporkan pada penelitian yang dilakukan oleh Budiman dkk (2008) yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara keterpaparan informasi dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL dengan nilai p value 0,177 (95% CI). Hasil analisis menunjukan nilai PR 2,6 dengan 95% CI (1,7-4,1) yang bermakna sulitnya akses kondom berdampak pada kecenderungan 2,6 kali WPSTL untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang memiliki kemudahan untuk mengakses kondom. Hasil p value 0,001< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kemudahan mengakses kondom dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Basuki et al (2002) melakukan penelitian kualitatif terkait alasan tidak menggunakan kondom pada wanita penjaja seks. Penelitian tersebut melaporkan bahwa penggunaan kondom pada WPS tergantung pada ketersediaan kondom di tempat kerja WPS tersebut karena tidak semua tempat kerja WPS yang menyediakan kondom, apalagi jika pelanggannya sendiri tidak menyediakan kondom. Hasil uji statistik mendapatkan nilai PR 3,6 dengan 95% CI (2,2-5,7) yang berarti bahwa responden yang tidak memiliki kondom cenderung 3,6 kali untuk tidak melakukan upaya pencegahan IMS dibandingkan dengan responden yang memiliki kondom. Nilai p value 0,001 <α (0,005) maka hipotesis nol ditolak yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan kondom dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku sehat seseorang menurut WHO (1984) adalah ketersediaan sumber daya. Dalam hal ini, kemudahan akses kondom merupakan salah satu sumber daya yang tersedia yang dapat memudahkan WPSTL dalam upaya untuk mengurangi risiko penularan IMS melalui penggunaan kondom. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 1,7 dengan 95% CI (1,1-2,7) dan nilai p value 0,015 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang bermakna antara layananan konseling dan tes HIV dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Layanan konseling dan tes HIV merupakan pintu masuk yang penting dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan infeksi HIV pada kelompok berisiko. Dalam pelaksanaannya tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global 16

yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection /linkage to prevention, care, and treatment service ). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan konseling dan tes HIV. Dengan adanya metode pendekatan layanan konseling dan tes HIV melalui providerinitiated HIV testing and counseling (PITC), yang mana petugas kesehatan memiliki wewenang untuk berinisiatif melakukan tes HIV dan konseling kepada kelompok yang berisiko, diharapkan cakupan tes HIV menjadi lebih besar (PP&PL : 2014). Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 3,96 dengan 95% CI (2,12-7,38) yang berarti bahwa responden yang tidak mendapat dukungan dari pelanggan memiliki kecenderungan 3,9 kali untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS dibandingkan dengan yang mendapat dukungan dari pelanggan. Nilai p value 0,04 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dukungan pelanggan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL. Hasil analisis statistik mendapatkan nilai PR 3,04 dengan 95% CI (1,67-5,53) yang berarti bahwa responden yang tidak memiliki dukungan dari pengelola tempat hiburan cenderung 3,04 kali untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS dari pada responden yang mendapat dukungan dari pengelola tempat hiburan. Nilai p value 0,001 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dukungan dari pengelola tempat hiburan dengan upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Hasil yang sama juga dilaporkan Kerrigan, et al (2003) di Republic Dominican yang mana terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan pengelola tempat hiburan dengan konsistensi penggunaan kondom pada WPSTL. Dengan nilai OR 2,52 95% CI ( 1,54-4,13) Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai PR 2,35 dengan 95% CI (1,04-5,2) yang berarti bahwa responden yang tidak mendapat dukungan dari petugas kesehatan cenderung 2,35 kali untuk tidak melakukan upaya pencegahan terhadap IMS dibandingkan dengan responden yang mendapat dukungan dari petugas kesehatan. Nilai p value 0,001 < α (0,05) maka hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dukungan petugas kesehatan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL Dalam Notoatmodjo (2003) Kar menganalisis perilaku kesehatan yang dipengaruhi salah satunya oleh dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Dalam hal ini dukungan pelanggan, pengelola tempat hiburan, dan petugas kesehatan cukup signifikan 17

berpengaruh terhadap upaya pencegahan IMS oleh WPSTL. Maka semakin besar dukungan yang diberikan upaya pencegahan IMS dan HIV yang dilakukan WPSTL semakin baik. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang dapat diperoleh tujuan penelitian adalah sebagai berikut: sesuai dengan a. Sebagian besar responden WPSTL berusia 30 tahun dengan tingkat pendidikan tertinggi SMA/sederajat dan pernah menikah. Rata rata responden telah bekerja selama kurang dari satu tahun dan telah melakukan hubungan seksual sejak usia mereka 20 tahun. Mayoritas responden memiliki pengetahuan yang kurang terkait IMS dan HIV, namun keyakinan mereka akan kerentanan tertular IMS dan HIV akibat perilaku yang seksual berisiko cukup tinggi. b. Pada faktor predisposisi tidak ditemukan satupun variabel yang berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan IMS pada wanita penjajak seks tidak langsung. c. Selanjutnya pada faktor pemungkin ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara variabel akses kondom, kepemilikan kondom dan layanan konseling dan tes HIV dengan upaya pencegahan IMS pada wanita penjajak seks tidak langsung. Sebaliknya pada variabel penghasilan per bulan tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan upaya pencegahan IMS pada wanita penjajak seks tidak langsung. d. Kemudian pada faktor penguat ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara upaya pencegahan IMS pada WPSTL dengan seluruh variabel, yaitu variabel keterpaparan informasi tentang IMS dan HIV, dukungan pelanggan, dukungan pengelola tempat hiburan, dan dukungan petugas kesehatan. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka berikut ini beberapa saran yang penulis rumuskan: a. Seperti yang diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan upaya pencegahan IMS pada WPSTL diantaranya dukungan dari pelanggan dan pengelola tempat hiburan, maka diperlukannya upaya untuk meningkatkan keterlibatan pelanggan dan pengelola tempat hiburan dalam pencegahan IMS, contohnya seperti pemerintah pusat merumuskan kebijakan yang mewajibkan setiap pengelola tempat hiburan 18

menyediakan kondom secara gratis di tempat hiburan yang mereka miliki, dan setiap pelanggan diwajibkan untuk menggunakan kondom ketika bertransaksi seksual seperti di Thailand yang menetapkan kebijakan dalam bertransaksi seksual no condom no sex. b. Peningkatan peran petugas kesehatan dalam upaya pendidikan kesehatan terkait IMS dan HIV, seperti perugas kesehatan secara berkala mengadakan kegiatan diskusi mengenai upaya pencegahan IMS dan HIV ketika bertransaksi seksual untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan problematika yang terjadi di lapangan. c. Seperti yang dilaporkan pada hasil penelitian bahwa upaya pencegahan IMS pada WPSTL sudah cukup baik namun dukungan pelanggan dalam penggunaan kondom masih sangat rendah. Dalam hal ini dibutuhkan upaya peningkatan keterampilan WPSTL dalam bernegosiasi terkait penggunaan kondom. Seperti yang dilakukan di Thailand para WPS diberi pelatihan bagaimana bernegosiasi dengan baik dan keterampilan menggunakan kondom yang tidak terlalu mengganggu kenyamanan pelanggan. Daftar Isi Basuki, E, et al (2002). Reason For Not Using Condoms Among Female Sex Workers In Indonesia, Jakarta : AIDS Education and Prevention, Vol 14 no 2 April 2002 Budiman, et al. (2008). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol 3/No.2/Agustus 2008: Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Wanita Pekerja Seks Jalanan Dalam Upaya Pencegahan IMS/HIV&AIDS Di Sekitar Alun-Alun Dan Candi Prambanan Kabupaten Klaten: Semarang. Undip Centers of Disease Control and Prevention.(2013). Sexually Transmitted Disease. www.cdc.gov/std/general/other htm. diakses 5 Januari 2014 Direktorat Jendral PP & PL. (2014). Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan El-Sadr, Wafaa,dkk.(1994). Evaluation and management of early HIV infection. Rockville: United States Department of Health and Human Services Fachlaeli, Evi.(2012). Hubungan konsistensi penggunaan kondom satu bulan terakhir dengan kejadian infeksi menular seksual (IMS) pada wanita penjaja seks langsung (WPSL) di 19

kabupaten Bekasi & Kota Bandung Jawa Barat Tahun 2011 (analisis data sekunder Survei Terpadu Biologi dan Perilaku). Depok: Universitas Indonesia Grayman, et al. (2005). AIDS and Behaviour, Vol 9 No. 1: Factors Associated with HIV Testing, Condom Use, and Sexually Transmitted Infections Among Female Sex Workers In Nha Trang, Vietnam. Springer Science + Business Media, Inc Green, Lawrence. (1968). The Preecede Proceed Framework http://www.med.uottawa.ca/courses/epi6181/images/precede.pdf diakses 4 Januari 2014 Hoek, et al. (2001). AIDS 2001: High Prevalence of Syphilis and Other Sexually Transmitted Disease among sex workers in China: Potential for fast spread of HIV. Lippincott Williams & Wilkins Vol 15 no 6 Indonesian National AIDS Commission.(2012). Republic of Indonesia Country Raport On the Follow up to the Declaration of Commitment On HIV/AIDS (UNGASS) Reporting Periode 2010-2011. Diakses tanggal 25 Desember 2014. Kawangung, Verlina Yohana.(2012). Pengaruh Ketersediaan Kondom Terhadap Penggunaan Kondom Pada Seks Komersial di Lokasi Batu 24 dan Batu 80 Kabupaten Bintas Provinsi KepRi Tahun 2012: Depok. Universitas Indonesia Kementrian Kesehatan. (2013). STBP pada kelompok berisiko tahun 2013. Final STBP total draft 13 Januari. www.slideshare.netdiakses 30 September 2014 Kerrigan, et al. (2003). AIDS 2003 Vol 17 no. 3: Environment Structural Factors Significantly associated with consistent condom use among female seks workers In Dominican Republic. Lippincott Williams & Wilkins Lokollo, Fitriana Yuliawati.(2009). Studi kasus perilaku wanita penjajak seksual tidak langsung dalam pencegahan IMS, HIV, dan AIDS di Pub& karaoke, cafe, dan diskotik di kota Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro WHO & UNAIDS. (2013). Epidemic global HIV.www.who.int diakses 15 September 2014 Muma, Richard D,dkk.(1997). HIV manual untuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC 20

National AIDS Commision.(2011). Republic of Indonesia country report on the follow up to the declaration of commitment on HIV/AIDS (UNGASS) reporting periode 2010-2011. Jakarta Nemoto, et al. (2012). HIV-Related Risk Behaviours Among Sex Workers In Ho Chi Minh City, Vietnam: Ho Chi Minh. Proquest pg 435 Outshoorm, Joyce.(2004). The politics of prostitution. Cambridge: The Press Syndicate of teh University of Cambridge Pribadi, dkk. (2011). Perilaku wanita pekerja seksual tidak langsung (pendamping lagu) dalam pencegahan AIDS di kabupaten Pekalongan: Pekalongan. Universitas Pekalongan dan Poltekkes Semarang Purwatiningsih. (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan kondom pada pelanggan pekerja seks komersial dalam rangka pencegahan HIV/AIDS di lokalisasi Kampung Baru Kabupaten Blora tahun 2012: Depok. Universitas Indonesia Schoub, Barry. D.(1999). AIDS & HIV In Perspective A guide to understanding the virus and its consequences. Cambrige: Press Syndicate of the University of Cambridge Scornet, Catherine.(2012). Gender, Sexuality, and Reproduction in Viet Nam: Tam Dom Summer School Week. AFD United Nation of AIDS. (2013). Guidelines for second generation HIV surveillance: an update: know your epidemic. Switzerland: Author United Nation of AIDS. (2008) Report Commission`AIDS: Redefining AIDS In ASIA Crafting an Effective Response. Oxford University Press (2013). Global Report UNAIDS Report on The Global AIDS Epidemic 2013. www.unaids.org (2012).Global Summary of the AIDS Epidemic : Core Epidemiology Slides 21