BAB IV KESIMPULAN Secara formal, Era Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901 dibawah pimpinan Ratu Victoria. Era Victoria yang terkenal dengan Revolusi industri dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan, penemuan medis, kesenian, prosa dan sebagainya. Agama menjadi salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Victoria. Agama menjadi titik dasar bagi masyarakat Victoria dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan mengenai tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Agama juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada konsep keluarga di era Victoria. Seperti yang telah diketahui, bahwa di era Victoria terdapat perbedaan ruang antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dianggap lebih kuat dan memiliki peranan sebagai pemimpin dalam keluarga dan memiliki tempat di ruang publik, berbeda dengan perempuan dianggap makluk lemah dan tempat nya sebagai istri dan ibu yang memiliki peranan di wilayah domestik. Perempuan yang ideal di era Victoria menurut King adalah perempuan yang harus patuh terhadap laki-laki, kepala keluarga dan yang mempunyai kuasa atas mereka. Laki-laki adalah yang memerintah dan perempuan yang diperintah. Sebagai bentuk pengabdian dan kepatuhan kepada keluarga, tugas perempuan adalah 148
mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Sehingga pada abad ke-19, perempuan inggris mengalami posisi marginal didalam area privat dan publik. Nilainilai sosial Budaya Inggris pada abad ke-19 membatasai gerak-gerik perempuan agar berperilaku feminin. Penindasan terhadap perempuan oleh ideologi patriarki banyak ditemukan dalam karya sastra sebagai produk budaya tentu tidak lepas dari kehidupan. Penindasan terhadap perempuan banyak ditulis oleh pengarang-pengarang Inggris salah satunya Anne Bronte dengan nama penanya Acton Bell. Anna Bronte sangat menentang sistem patriarki yang sangat merugikan perempuan, seolah-olah perempuan itu makluk lemah yang tidak berdaya dan yang selalu ditindas. Di dalam novel TToWH ini, pengarang mencoba membuka wawasan perempuan pada era Victoria untuk mencoba keluar dari sistem patriarki yang telah menjadikan laki-laki berkuasa atas perempuan. Makanya TToWH ini merupakan novel klasik sastra inggris yang membawa ide-ide feminisme pertama di Inggris. Sehingga dari hasil analisis tersebut dibab II dan Bab III, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan dalam menjawab rumusan masalah yang telah penulis rumusan tersebut dibab I. Adapun kesimpulan sebagai berikut: Pertama, ada beberapa bentuk kontestasi yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novel TToWH ini dalam de-normalisasi sistem yang selama ini telah dianggap normal. Sistem yang telah terkonstruksi sekian lama dalam 149
masyarakat Inggris di Era Victoria. Sistem yang memposisikan perempuan sebagai makluk yang lemah, inferior, tersubordianasi dan termarjinalkan oleh pihak laki-laki yang memposisikan dirinya makluk yang kuat, pemimpin rumah tangga dan berkuasa atas perempuan; 1) menentang sistem perjodohan karena karakter utama perempuan, Helen punya kuasa dalam menentukan hidupnya sendiri termasuk dalam memutuskan pasangan hidupnya walaupun itu harus menentang bibinya sendiri. Helen juga menjadi volunteer bagi perempuan Inggris yang lain untuk bisa menentang sistem perjodohan. Karena perempuan juga punya hak yang sama dengan laki-laki dalam menentukan pilihan hidupnya seperti Esther; 2) menentang sistem perkawinan yang menjadikan perempuan sebagai boneka atau budak dalam perkawinan, yang dapat memuaskan dan menyenangkan laki-laki, tidak punya hak dalam memberikan nasehat apalagi membantah perkataan suami; 3) menentang perselingkuhan yang dilakukan seorang suami karena perempuan juga punya perasaan dan hati tidak ingin disakiti dan dilukai; 4) menentang sikap seorang ayah yang memberikan pengaruh buruk dalam membesarkan putranya, seperti pesta pora, hura-hura, mabuk-mabukan dan selingkuh. Bahkan seorang ibu, demi kebaikan putranya, rela melakukan apa saja, salah satunya kabur dari rumah tanpa seizin suaminya dan hal ini merupakan jalan yang terbaik; 5) membuktikan pada masyakarat Inggris bahwa seorang ibu juga bisa membesarkan dan mendidik anak-anaknya sendiri tanpa seorang ayah dan juga seorang perempuan juga bisa melakukan pekerjaan setara dengan laki-laki seperti melukis dan lain-lain. 150
Kedua, dalam novel TToWH dapat disimpulkan bahwa pengarang mempunyai pandangan dalam menulis novel ini. Pengarang mencoba mengunggah kesadaran masyarakat Inggris khususnya kaum perempuan untuk dapat melakukan De-Normalisasi sistem yang selama ini telah membuat kaum perempuan hidup selalu mengalami penindasan, tersubordinasi, inferior, dan termarjinalkan. Sistem yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga mereka menganggap perempuan lemah dan mereka sebagai yang kuat. Oposisi biner ini telah membuat stigma masyarakat bahwa sudah selayaknya laki-laki bisa menguasai perempuan merupakan hal yang normal. Pengarang mencoba memberikan wawasan baru lewat karakter utama perempuan dalam novel TToWH ini, bahwa perempuan mampu melakukan De-Normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal tersebut. Sistem yang tidak menguntungkan perempuan namun kalau mereka punya keberanian, wawasan yang cukup dari membaca sehingga semua itu akan memberikan mereka pengetahuan. Pengetahuan yang akan melahirkan kekuasaan untuk mereka untuk de-normalisasi. Hal ini, sesuai dengan apa yang dikatakan Foucault bahwa subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek 151
jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan. Sehingga itulah pengarang optimis kaum perempuan bisa mendobrak sistem yang selama ini dianggap wajar yang sangat memojokkan kaum perempuan. Tidak selamanya kaum perempuan mau dikuasai oleh laki-laki karena perempuan itu bukan objek yang harus ditindas tapi perempuan juga subjek yang mampu melakukan resistensi terhadap kuasa yang membentuknya. Disamping itu juga, pada era ini, yang memimpin Inggris adalah seorang perempuan yakni Ratu Victoria. Jadi setiap perempuan pada era ini, bisa melakukan kontestasi untuk mendobrak sistem yang normatif yang selama ini telah terjadi penyimpangan gender dan mendapatkan kesetaraan diperlakukan sama antara perempuan dan laki-laki. 152