HUBUNGAN VARIABILITAS IKLIM DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KABUPATEN MINAHASA UTARA TAHUN 2014-2016 Ryan Alberto Lasut*, Wulan P. J. Kaunang*, Angela F. C. Kalesaran* *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado ABSTRAK Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilaporkan ke WHO mengalami peningkatan kasus tiap tahunnya, yakni pada tahun 2010 mencapai 2,2 juta kasus dan tahun 2015 mencapai 3,2 juta kasus. Kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara setiap tahunnya meningkat. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya anomali cuaca serta juga berdampak pada peningkatan beberapa penyakit yang disebabkan oleh nyamuk seperti DBD. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan variabilitas iklim dengan kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016. Penelitan ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi ekologi. Populasi yang diambil adalah seluruh kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 yang tercatat di Dinas Kesehatan Minahasa Utara dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara sedangkan data iklim didapatkan dari Stasiun Klimatologi Minahasa Utara. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji korelasi dan regresi linear dengan α = 0,05. Hasil analisis data hubungannya dengan kejadian DBD adalah curah hujan r (0,196) dan p (0,251), hari hujan r (0,262) dan p (0,123), suhu r (-0,456) dan p (0,005) serta R 2 (0,208), kelembaban r (0,386) dan p (0,020) serta R 2 (0,149), kecepatan angin r (-0,394) dan p (0,017) serta R 2 (0,155). Kesimpulan dari penelitian ini adalah suhu, kelembaban dan kecepatan angin memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD sedangkan curah hujan dan hari hujan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD. Kata Kunci : Demam Berdarah Dengue, Iklim ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) cases reported to WHO have increased in the number of caeses each year, that is 2,2 million cases in 2010 and 3,2 million cases in 2015. The incidence of DHF in North Minahasa District increases annually. Climate change leads to anomalous weather as well as an impact on the increase of some diseases caused by mosquito such as DHF. The purpose of this study was to observe the relationship of climate variability with dengue hemorrhagic fever incidence in North Minahasa District 2014-2016. This research used quantitative method with ecological study design. The population was all dengue hemorrhagic incidents in North Minahasa District 2014-2016 recorded in North Minahasa District Health Office and North Sulawesi Provincial Health Office, while climate data as obtained from North Minahasa Climatology Station. Data analysis used were univariate and bivariate analysis with correlation test and linear regression at α = 0.05. The result of data analysis revealed relationship of variables with DHF incidence: rainfall r (0.196) and p (0.251), rain day r (0.262) and p (0.123), temperature r (-0.456) and p (0.003) and R2 (0.208), humidity R (0.386) and p (0.020) and R2 (0.149), wind velocity r (-0.394) and p (0.017) and R 2 (0,155). The conclusion of this study is there was significant relationship between temperature, humidity and wind velocity with the incidence of DHF. There was no significant relationship between rainfall and rain day with the incidence of DHF. Keywords: Dengue Hemorrhagic Fever, Climate 1
PENDAHULUAN Angka kasus kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilaporkan ke WHO mengalami peningkatan kasus tiap tahunnya. Dalam satu dekade dari tahun 1996-2005 mengalami kenaikkan mulai dari 0,4 juta kasus hingga 1,5 juta kasus. Pada tahun 2010 melonjak menjadi 2,2 juta kasus dan pada tahun 2015 mencapai 3,2 juta kasus (WHO, 2016). Jumlah penderita DBD pada tahun 2015 tercatat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 meninggal dunia. Hal ini menjadikan tahun 2015 mengalami peningkatan jumlah kasus dibandingkan tahun 2014 yang tercatat sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia. Jumlah provinsi pada tahun 2015 ada 13 provinsi yang Angka Kematiannya (Case Fatality Rate) masih di atas 1%. Provinsi yang masuk dalam 5 provinsi dengan CFR tertinggi adalah Gorontalo (6,06%), Maluku (6,00%), Papua Barat (4,55%), Sulawesi Utara (2,33%) dan Bengkulu (1,99%) (Kemenkes RI, 2016). Jumlah penderita DBD di Sulawesi Utara pada Tahun 2015 yang terlaporkan adalah sebanyak 730 kasus dengan Incident Rate (IR) per 100.000 penduduk yaitu 30,26. Kasus yang meninggal dunia akibat DBD berjumlah 17 orang dengan Case Fatality Rate sebesar 2,33 (Kemenkes RI, 2016). Kejadian DBD pada tahun 2016 terdapat 2.217 jumlah kasus DBD yang terlaporkan dengan jumlah kasus kematian sebanyak 17 kasus. Incident Rate (IR) sebesar 91.9% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi Case Fatality Rate (CFR) turun menjadi 0,8% (Dinkes Sulut, 2017). Kabupaten Minahasa Utara merupakan salah satu kota yang berada di wilayah Sulawesi Utara yang terindikasi virus dengue. Jumlah kejadian DBD pada tahun 2014, sebanyak 131 kasus DBD terlaporkan dan melonjak naik menjadi 204 kasus di tahun berikutnya tahun 2015 dengan 4 kasus meninggal dunia (Dinkes Minut, 2015-2016). Kasus DBD pada tahun 2016 mengalami peningkatan kasus, mencapai 260 kasus DBD dengan 3 orang meninggal dunia (Dinkes Sulut, 2017). Perubahan iklim berdampak bagi kesehatan umat manusia dimana ada beberapa penyakit yang akan meningkat kejadiannya akibat perubahan iklim diantaranya adalah penyakit yang disebarkan oleh nyamuk. Penyakit-penyakit yang timbul adalah seperti demam berdarah, malaria, chikungunya, dan lain-lain (Kemenkes RI, 2013). Sulistyawati (2015) dalam kajian literaturnya mengenai dampak perubahan iklim pada penyakit menular menyatakan bahwa perubahan iklim seperti peningkatan suhu, curah hujan dan kelembaban merupakan hal- 2
hal yang diyakini meningkatkan kasus penyakit menular seperti DBD, malaria dan measles. Penelitian yang dilakukan oleh Wirayoga (2013) menemukan bahwa adanya hubungan antara kejadian Demam Berdarah Dengue dengan unsur iklim seperti suhu udara, curah hujan dan kelembaban. Yasin (2012) menemukan ada hubungan antara curah hujan, hari hujan dengan kejadian DBD, tetapi suhu udara. Sucipto (2015) menyimpulkan bahwa kelembaban udara memiliki hasil yang signifikan terhadap kejadian DBD. Masrizal (2016) mendapati bahwa kecepatan angin yang memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian DBD. Ariati dan Anwar (2014) menyimpulkan bahwa curah hujan, hari hujan, suhu dan kelembaban mempengaruhi kejadian DBD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan variabilitas iklim dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi ekologi. Penelitian dilaksanakan April-Juni 2017. Populasi adalah seluruh kejadian DBD yang tercatat di Dinkes Minut ataupun Dinkes Provinsi Sulut selama tahun 2014-2016. Data iklim adalah data yang tercatat di Stasiun Klimatologi Minut. Analisis menggunakan program computer SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 22.0 dengan tahapan univariat dan bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat Hasil univariat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kejadian DBD dari tahun 2014-2016 di Minahasa Utara rata-rata yang terjadi adalah sebanyak 17 kejadian. Kejadian terendah yang tercatat adalah sebanyak 0 kejadian yang terjadi pada bulan September hingga November tahun 2015, sedangkan yang tertinggi sebanyak 81 kejadian yang terjadi pada bulan Januari 2015. Curah hujan di Kabupaten Minahasa Utara masuk dalam kategori menengah untuk tahun 2014-2016 yaitu sebanyak 217,5 mm. Curah hujan terendah adalah sebanyak 0 mm yang terjadi pada bulan Agustus dan September 2015 dan yang tertinggi adalah sebanyak 713,8 mm yang terjadi pada bulan Januari 2015. Hari hujan yang terjadi memiliki rata-rata sebanyak 19 hari hujan. Hari hujan terendah terjadi sebanyak 0 hari hujan yang berada pada bulan September 2015, sedangkan hari hujan tertinggi adalah sebanyak 30 hari yang terjadi pada bulan Desember 2016. Suhu udara di Kabupaten Minahasa Utara memiliki rata-rata sebesar 26,7 0 C, sedangkan suhu udara yang terendah adalah sebesar 25,3 0 C yang terjadi di bulan Februari 2015 dan suhu tertinggi yang tercatat adalah sebesar 28,6 0 C yang terjadi di bulan Oktober 2015. Kelembaban memiliki 3
rata-tara sebesar 80,8% dengan kelembaban terendah sebesar 57% yang terjadi di bulan September 2015 dan yang tertinggi adalah sebesar 92% yang terjadi di bulan Februari 2015. Kecepatan angin rata-ratanya adalah sebesar 4,8 knot dan untuk kecepatan angin terendah yang tercatat adalah sebesar 1 knot yang terjadi di bulan Mei 2015, sedangkan yang tertinggi adalah sebesar 12 knot yang terjadi di bulan Agustus 2015. Tabel 1. Hasil Analisis Univariat Kejadian DBD dan Variabilitas Iklim di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 Variabel Mean Median Min Max Standar Deviasi Kejadian DBD 17 10 0 81 17 Curah Hujan 217,5 203,8 0 713,8 174,7 Hari Hujan 19 21 0 30 8 Suhu 26,7 26,6 25,3 28,6 0,8 Kelembaban 80,8 85,5 57 92 9,5 Kecepatan Angin 4,8 4 1 12 2,7 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi dan regresi liniear pada Confidence Interval sebesar 95%, namun sebelumnya melakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada nilai residualnya dengan hasil yang didapat adalah sebesar 0,191 yang artinya data berdistribusi nomral. Hasil uji bivariat terhadap masingmasing variabel variabilitas iklim dengan kejadian DBD di Kabuapten Minahasa tahun 2014-2016 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Korelasi dan Regresi Linear Variabilitas Iklim dengan Kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 Variabel r R 2 Persamaan Garis p value Kejadian DBD- Curah Hujan 0,196 0,251 Kejadian DBD- Hari Hujan 0,262 0,123 Kejadian DBD- Suhu -0,456 0,208 DBD = 276,366-9,730 x Suhu 0,005 Kejadian DBD- DBD = -39,930 + 0,698 x 0,386 0,149 Kelembaban Kelembaban 0,020 Kejadian DBD-Kecepatan DBD = 28,541-2,529 x -0,394 0,155 Angin Kecepatan Angin 0,017 4
90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Kejadian DBD (kasus) Suhu (celcius) Kecepatan Angin (knot) Curah Hujan (mm) Hari Hujan Kelembaban (%) Gambar 1. Hubungan Variabilitas Iklim dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 a. Hubungan antara Curah Hujan dengan Kejadian DBD tahun 2014-2016 Hasil uji statistik yang ditunjukkan oleh Tabel 2 memperlihatkan bahwa antara curah hujan dan kejadian DBD memiliki niai koefisien korelasi sebesar 0,196. Hal tersebut berarti hubungan yang terbentuk adalah positif dan relatif kecil, akan tetapi hubungan yang terbentuk tidak bermakna dengan p value 0,251. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2013) mengenai Pengaruh Keadaan Iklim Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Medan. Siregar (2016) mengenai Hubungan Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kecepatan Angin dan Kelembaban) Terhadap Kejadian DBD di Kota Medan tahun 2010-2014 menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Medan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yushananta (2014) tentang Pengaruh Faktor Iklim dan Kepadatan Jentik Aedes aegypti terhadap Kejadian DBD menemukan bahwa adanya hubungan bermakna antara curah hujan dengan kepadatan jentik Ae. aegypti dan kejadian DBD dengan nilai (r) sebesar 0,456 dan p 5
value sebesar 0,025. Wongkoon (2012) dalam penelitiannya mengenai Climate Variability and Dengue Virus Transmission in Chiang Rai, Thailand menemukan bahwa terdapat hubungan antara curah hujan dengan kejadian dengan transmisi virus dengue. Masrizal (2016) menyatakan bakwa tidak terdapatnya hubungan antara curah hujan dengan kejadian DBD dapat disebabkan oleh data mengenai curah hujan merupakan data global pada kota/kabupaten sehingga data tersebut belum cukup representatif mencakup seluruh kecamatan yang ada di daerah penelitan. Saragih (2013) mengatakan bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada awal musim hujan yaitu pada permulaan tahun dan akhir tahun, akan tetapi pada penelitian ini tidak semua kejadain DBD pada musim hujan terjadi peningkatan kasus malahan sebaliknya atau hanya terdapat kasus yang sedikit. Curah hujan tinggi dalam selang waktu yang lama dapat menyebabkan larva nyamuk hanyut dan mati akibat air mengalir terus dan tidak terdapat genangan yang merupakan tempat bagi perkembangbiakan nyamuk. b. Hubungan antara Hari Hujan dengan Kejadian DBD tahun 2014-2016 Hasil uji korelasi yang didapat adalah nilai (r) sebesar 0,262 dan p value sebesar 0,123 yang menunjukkan bahwa tidak ada ada hubungan yang bermakna antara hari hujan dengan kejadian DBD di Minahasa Utara. Sejalan dengan penelitian dari Ariati dan Musadad (2012) mengenai Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Faktor Iklim di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau menemukan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara hari hujan dengan kejadian DBD dengan nilai (r) sebesar 0,07. Apriliana (2017) tentang Pengaruh Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa pola hari hujan tidak secara signifikan mempengaruhi pola perubahan kejadian DBD. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yasin (2012) tentang Hubungan Variabilitas Iklim (Suhu, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun 2004-2011. Ia menemukan adanya hubungan yang bermakna antara hari hujan dengan insiden DBD di Kota Bogor. nilai (r) sebesar 0,364 dengan nilai signifikansi sebesar 0,001. Hari hujan memiliki hubungan yang erat dengan curah hujan. Hari hujan pada penlitian ini tidak memilki hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD yang tentunya berpengaruh terhadap tidak terbentuknya curah hujan yang ideal bagi nyamuk. Hari hujan yang tinggi bervariasi terjadi juga saat musim kemarau. c. Hubungan antara Suhu dengan Kejadian DBD tahun 2014-2016 Hasil analisis antara suhu dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai (r) sebesar - 6
0,456 dan p value 0,005 dan R 2 sebesar 0,208 yang berarti hubungan yang terbentuk adalah sedang dengan arah negatif dan hubungan tersebut adalah bermakna serta 2. Sejalan dengan penelitian dari Wrayoga (2013) dalam penelitiannya tentang Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Iklim di Kota Semarang tahun 2006-2011 yang menemukan ada hubungan antara suhu dengan kejadian DBD dengan nilai (r) sebesar -0,439 dan p value 0,001. Phuong, dkk (2016) dalam penelitiannya mengenai Climate Variability and Dengue Hemorrhagic Fever in Ba Tri District, Ben Tre Province, Vietnam during 2004-2014 menemukan hubungan antara suhu dengan DBD dengan nilai (r) sebesar 0,37. Penelitian ini tidak sejalan dengan yang dilakukan ole Gama (2013) yang berjudul Climate Variability and Dengue Hemaorrhagic Fever Incidence in Nganjuk District, East Java, Indonesia menemukan bahwa suhu maksimum tidak berhubungan dengan kejadian DBD. Apriliana (2017) juga dalam penelitiannya mengenai Pengaruh Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu dengan insiden DBD di Kota Bandar Lampung. Ariati dan Musadad (2012) menyatakan bahwa suhu yang ideal bagi perkembangan nyamuk adalah berkisar pada 24 0 C-28 0 C. Ratarata suhu di Kaupaten Minahasa Utara juga merupakan suhu yang ideal bagi perkemangan nyamuk. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab terdapat hubungan antara suhu dan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara. d. Hubungan antara Kelembaban dengan Kejadian DBD tahun 2014-2016 Hasil uji korelasi regresi pada Tabel 2 menunjukkan hubungan kelembaban dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014 hingga 2016 merujuk pada hasil analisis korelasi regresi memiliki hubungan yang bermakna sedang antara kelembaban dan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara dengan arah yang positif, artinya bahwa setiap terjadi kenaikkan kelembaban maka akan diikuti juga oleh kenaikkan kejadian DBD. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gama (2013) dalam penelitiannya berjudul Climate Variability and Dengue Haemaorrhagic Fever Incidence in Nganjuk District, East Java, Indonesia mendapatkan bahwa kelembaban memiliki hubungan dengan kejadian DBD di Nganjuk, Jawa Timur. Sejalan juga dengan Phuong, dkk (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Climate Variability and Dengue Hemorrhagic Fever in Ba Tri District, Ben Tre Province, Vietnam during 2004-2014 menemukan bahwa kelembaban berhubungan dengan kejadian DBD. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian dari Sirisena, dkk (2017) yang berjudul Effect of Climatic Factors and Population Density on the Distribution fo Dengue in Sri Lanka: A GIS Based Evaluation 7
for Prediction of Outbreaks menemukan bahwa kelembaban tidak memiliki hubungan signifikan dengan penyebaran dengue. Hidayati (2016) juga menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan insiden DBD. Wirayoga (2013) menyatakan bahwa kelembaban memiliki hubungan dengan penguapan nyamuk. Kelembaban mempengaruhi akan jarak terbang hingga kecepatan berkembangiak dari nyamuk. Kelembaban di Kabupaten Minahasa Utara memiliki rata-rata pada 80,8%. Kelembaban tersebut merupakan yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk, sehingga menyebabkan adanya hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian DBD. Pada Januari 2015 yang merupakan kejadian DBD tertinggi berada pada kelembaban 89% sedangkan pada kelembaban terendah 57% pada bulan September 2015 kejadian DBD yang terjadi tidak ada dan pada kelembaban yang berkisar pada 80-89% seperti pada Januari 2014, Maret 2014, April 2014, November 2014, Februari 2015 hingga April 2015, Januari 2016 hingga Juli 2016 dan September hingga November memiliki kejadian DBD 10. Hal ini membuktikan arah hubungan yang terjadi adalah positif. e. Hubungan antara Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD tahun 2014-2016 Hasil uji korelasi regresi lewat SPSS, didapatkan hasil dari hubungan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014 hingga 2016 yaitu antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 terdapat hubungan yang bermakna sedang dengan arah yang negatif, artinya setiap kenaikkan kecepatan angin maka akan diikuti oleh penurunan kejadian DBD. Sejalan juga dengan penelitian dari Gama (2013) dalam penelitiannya Climate Variability and Dengue Haemaorrhagic Fever Incidence in Nganjuk District, East Java, Indonesia menemukan adanya hubungan antara peningkatan IR DBD dengan kecepatan angin. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yasin (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Varibilitas Iklim (Suhu, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun 2004-2011. Ia menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD. Wirayoga (2013) mengemukakan bahwa kecepatan angin saat matahri trbit dan tenggelam dimana nyamuk terbang masuk atau keluar rumah menetukkan jumlah kontak manusia dengan nyamuk. Kecepatan angin yang berkisar 11-14m/detik mempengaruhi atau menghambat penerbangan nyamuk. Kecepatan angin mempengaruhi akan jarak terbang nyamuk, sehingga pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016. 8
Rata-rata kecepatan angin di Kabupaten Minahasa Utara selama kurun waktu 2014-2016 adalah sebesar 4,8 knot. Kecepatan seperti ini merupakan kecepatan yang tidak akan menghambat vektor nyamuk untuk terbang, sehingga bisa dikatakan adalah ideal bagi vektor nyamuk. KESIMPULAN 1. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 2. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara hari hujan dengan kejadian DBD di Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 3. Ada hubungan yang bermakna antara suhu dengan kejadian DBD di Kaupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 4. Ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian DBD di Kaupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 5. Ada hubungan yang bermakna antara kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kaupaten Minahasa Utara tahun 2014-2016 SARAN 1. Bagi Dinkes Minut Hasil ini kiranya bisa menjadikan acuan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit berbasis lingkungan seperti DBD yang kontinu 2. Bagi Stasiun Klimatologi Minut Penelitian ini kiranya mampu mempenetrasi Stasiun Klimatologi Minahasa Utara untuk menyajikan data iklim yang representatif 3. Bagi Peneliti lain Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan lokasi yang berbeda dengan variabel yang lebih banyak lagi dengan rentan waktu yang lebih lama DAFTAR PUSTAKA Apriliana. 2017. Pengaruh Iklim Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. CDK-250 Vol. 44 No. 3 Ariati J, Anwar A. 2014. Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 42 No. 4 Ariati J, Musadad AD. 2012. Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Faktor Iklim di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 11 No.4 Dinkes Minahasa Utara. 2015. Penemuan Kasus Demam Berdarah Dengue Kabupaten Minahasa Utara tahun 2014. Minahasa Utara: Bagian P2 dan PL. Dinkes Minahasa Utara. 2016. Penemuan Kasus Demam Berdarah Dengue 9
Kabupaten Minahasa Utara tahun 2015. Minahasa Utara: Bagian P2 dan PL. Dinas Kesehatan Sulut. 2017. Jumlah Kasus DBD Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2016. Manado: Bagian P2P. Gama, ZP. 2013. Climate Variability and Dengue Haemaorrhagic Fever Incidence in Nganjuk District, East Java, Indonesia. Acta Biologica Malaysiana Vol. 2 No.1 Hidayati L. 2016. Status Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida dan Hubungan Iklim Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Sukabumi. Tesis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kemenkes RI. 2013. Kemenkes Tanggulangi Penyakit Akibat Perubahan Iklim, (Online) Kemenkes RI. 2016. Situasi DBD di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi. Masrizal. 2016. Analisis Kasus DBD Berdasarkan Unsur Iklim dan Kepadatan Penduduk Melalui Pendekatan GIS di Tanah Datar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas Vol. 10 No. 2 Phuong LTD, et al. 2016. Climate Variability and Dengue Hemorrhagic Fever in Ba Tri District, Ben Tre Province, Vietnam during 2004-2014. AIMS Publich Health Saragih HS. 2013. Pengaruh Keadaan Iklim Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan. Tesis, Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Sirisena PDNN, et al. 2017. Effect of Climate Factors and Population Density on the Distribution of Dengue in Sri Lanka: A GIS Based Evaluation for Prediction of Outbreaks. PLOS ONE Sucipto PT. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit DBD dan Jenis Serotipe Virus Dengue di Kabupaten Semarang, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 14 No. 2 Sulistyawati. 2015. Dampak Perubahan Iklim Pada Penyakit Menular: Sebuah Kajian Literatur. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 08 No. 01 Wirayoga MA. 2013. Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue dengan Iklim di Kota Semarang Tahun 2006-2011. Skripsi, Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Wongkoon, S. 2012. Climate Variability and Dengue Virus Transmission in Chiang Rai, Thailand. Biomedica Vol. 27 World Health Organization. 2016. Dengue Vaccine: WHO Position Paper-July 2016. Geneva: Weekly Epidemiology Record. Yasin M. 2012. Hubungan Variabilitas Iklim (Suhu, Curah Hujan, Hari Hujan dan Kecepatan Angin) dengan Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor 2004-2011. Skripsi, Depok: Fakultas 10
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Yushananta P. 2014. Pengaruh Faktor Iklim dan Kepadatan Jentik Aedes aegypti Terhadap Kejadian DBD. Jurnal Kesehatan Vol. 5 No. 1 11