Proposal Penelitian Operasional Evaluasi dan Intervensi Pengobatan Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Kerjasama Kementerian Kesehatan RI, Subdit PP&PL dan Pusat Penelitian HIV/AIDS (PPH)-Universitas Katolik Atma Jaya I. Latar belakang Pengguna jarum suntik (penasun) adalah salah satu kelompok yang rentan terhadap infeksi HIV (UNAIDS, 2013; Aceijas et al., 2004; Pisani et al., 2003). Menurut hasil Surveillans Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes, RI) tahun 2011, prevalensi HIV pada penasun di Indonesia sebesar 41%. Hasil STBP 2011 juga menunjukkan bahwa belum semua penasun mengikuti program pengurangan dampak buruk (harm reduction). Contohnya yang mengikuti layanan PTRM dalam satu tahun terakhir sebesar 53%, sedangkan untuk Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) sebesar 50%. Selain itu, mayoritas penasun yang menerima metadon dalam satu tahun terakhir masih menggunakan jarum suntik karena belum bisa menghilangkan sensasi menggunakan obat (Kemenkes, 2012). DKI Jakarta adalah salah satu propinsi dengan kasus HIV dan AIDS yang tinggi di Indonesia. Menurut laporan triwulan III tahun 2013 Kemenkes Ditjen PP&PL, kasus kumulatif HIV di Propinsi DKI Jakarta sampai September 2013 berjumlah 27, 224 dan kasus kumulatif AIDS berjumlah 6,299 (Kemenkes, 2013). Sedangkan prevalensi HIV pada penasun sebesar39% (Kemenkes, 2012) Program PTRM diluncurkan secara resmi pada tahun 2006, dan pedoman nasional pelaksanaannya diatur dalam peraturan Kemenkes 494/Menkes/SK/VII/2006. Program PTRM diluncurkan mengingat gangguan adiksi memerlukan penanganan komprehensif, berproses dan 1
bersifatjangka panjang. Kemenkes mengeluarkan pedoman PTRM setelah bersama WHO melakukan uji coba di dua rumah sakit yaitu Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta dan Sanglah, Bali di tahun 2003. Hasil uji coba tersebut menunjukkan adanya perubahan perilaku dimana panasun yang mengikuti PTRM berhenti menggunakan obat (Utami et al., 2005). Penelitian lain tentang keuntungan PTRM menyebutkan bahwa panasun yang positif HIV dan mengikuti PTRM memiliki tingkat kepatuhan minum Antiretroviral (ARV) yang lebih baik di bandingkan mereka yang tidak ikut PTRM (Rapid Response Service, 2013; Spire et al., 2007). Sampai akhir 2013, ada 85 layanan PTRM di sejumlah puskesmas, rumah sakit, dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia (Kemenkes, 2013). Di DKI Jakarta sendiri, ada 18 layanan PTRM yang tersebar di 5 wilayah dengan jumlah penasun yang aktif mengakses layanan tersebut sejumlah 1,193 (Kemenkes, 2013). Pelaksanaan PTRM di Indonesia belum maksimal dan telah di dokumentasikan di beberapa penelitian. Salah satu kendala adalah pelaksanaan PTRM tidak selalu mengacu pada pedoman yang ada. Dalam pedoman dikatakan bahwa penasun yang mengakses PTRM diharapkan tidak mengakses layanan LJSS karena mengakses LJSS berarti masih menggunakan obat. Tetapi kenyataannya mereka yang ikut layanan PTRM juga mengakses LJSS (Kemenkes, 2012; Sarasvita, 2009). Lebih lanjut penelitian di Jawa Barat menunjukan bahwa 83% penasun yang ikut PTRM masih menyuntik. Bahkan pada saat terakhir menyuntik, 10% masih melakukan praktik menyuntik yang berisiko (Afriandi et al., 2010). Selain itu, masih terdapat perbedaan dalam praktik pemberian dosis yang dibawa pulang. Menurut pedoman, dosis yang dibawa pulang tidak dianjurkan pada 2 bulan pertama, tetapi hasil penelitian menunjukan bahwapemberian dosis bawa pulang dalam rentang waktu tersebut dapat membantu mengurangi angka drop out (Sarasvita, 2009). Angka drop out bagi yang mengikuti PTRM dilaporkan masih 2
tinggi yaitu sekitar 40-50% (Kemenkes, 2013). Isu drop out juga terjadi pada penasun yang mengakses PTRM di RSKO, dalam rentang waktu 6 bulan ada 38% penasun yang drop out dari program (RSKO, 2005). Lebih jauh beberapa bukti menunjukkan bahwa isu drop out dapat ditinjau dari dua tingkat yaitu tingkat klinik (pemberi layanan) dan klien (pengguna layanan). Misalnya dosis dan frekuensi dosis obat yang dibawa pulang serta kualitas layanan dan kedalaman memberikan konseling merupakan faktor-faktor ditingkat klinik. Sedangkan dari segi klien, faktor-faktor pendukung untuk tetap berada dalam program adalah latar belakang sosial demografi (e.g. tingkat pendidikan), akses ke layanan, jangka waktu mengikuti layanan, persepsi mengenai program, persepsi mengenai bahaya adiksi, keyakinan akan mampu bertahan dalam program, akses ke LJSS, serta mendapatkan dukungan dari teman dan keluarga (Booth et al., 2004; Sarasvita, 2009; Afriandi et al., 2010). Dengan mempertimbangkan faktor-faktor diatas, diperlukan suatu intervensi untuk menyempurnakan program dan menentukan praktik-praktik positif apa saja di tingkat klinik danklien yang bisa dimasukkan ke dalam pelaksanaan PTRM sehingga program lebih maksimal. Untuk itu Kemenkes RI Subdit PP & PL bekerja sama dengan Pusat Penelitian HIV dan AIDS (PPH) Universitas Katolik Atma Jaya akan melakukan suatu penelitian operasional untuk memperbaiki layanan PTRM dan memberikan rekomendasi untuk penyempurnaan pedoman tata laksana PTRM di masa yang akan datang. 3
II. Tujuan 2.1 Tujuan Umum Meningkatkan efektifitas pengobatan rumatan metadon bagi penasun dengan perbaikan prosedur pengobatan. 2.2 Tujuan Khusus Melakukan evaluasi terhadap layanan PTRM Mendokumentasikan faktor-faktor pendukung dan kendala pelaksanaan PTRM Melakukan uji coba intervensi untuk menyempurnakan pelaksanaan PTRM Merekomendasikan penyempurnaan pedoman tata laksana PTRM III. Metode penelitian 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Propinsi DKI Jakarta di empat PTRM yang berbasis puskesmas yaitu PTRM Gambir, Tanjung Priok, Grogol Petamburan, dan Tambora. Pemilihan PTRM berbasis puskesmas untuk penelitian ini karena puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang paling banyak diakses oleh komunitas yang diteliti. Selain itu, jumlah penasun yang mengakses layanan di keempat PTRM tersebut lebih tinggi dibandingkan di PTRM lainnya. Hasil penelitian operasional ini dapat menyempurnakan kualitas layanan PTRM. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan September 2014 Desember 2014. 3.2 Disain Disain penelitian akan dilakukan melalui tiga tahap yaitu: 4
a) Tahap penjajakan akan dilakukan terhadap kelompok penasun, dan pemberi layanan. Tahapan ini akan membantu memberikan masukan terhadap jenis intervensi yang akan dilakukan. Data primer dan sekunder akan dikumpulkan pada tahap ini. Data primer yang akan dikumpulkan menyangkut pelaksanaan dan kendala-kendala PTRM baik dari sudut pandang pemberi layanan (klinik) dan penerima layanan (penasun). Dari segi klinik, topik yang akan ditanyakan menyangkut tingkat kepatuhan klien, angka drop out, kebijakan dosis obat yang diberikan, durasi rata-rata klien mengikuti program, kebijakan pemberian dosis obat yang dibawa pulang, kualitas layanan dan konseling yang diberikan, serta pemahaman pemberi layanan terhadap pedoman PTRM. Metode pengumpulan data menggunakan in-depth interview terhadap lima orang di setiap PTRM yang dipilih yaitu: penanggung-jawab (kepala Puskesmas), koordinator, perawat, petugas laboratorium, dan kader. Sedangkan dari segi klien, topik yang akan ditanyakan menyangkut pengalaman dalam mengakses layanan, kendala yang dihadapi selama mengakses layanan, dosis obat yang diterima dan kapan mereka bisa bawa obat pulang, persepsi dan pemahaman tentang program, pengalaman drop out, serta motivasi untuk ikut dan bertahan dalam program. Metode pengumpulan data untuk klien menggunakan fokus grup diskusi (FGD) dengan jumlah maksimal penasun 10 orang disetiap PTRM. Data-data klinis atau sekunder PTRM juga akan dikaji.tahap penjajakan akan dilakukan pada bulan September 2014. b) Tahap intervensi. Disain program intervensi akan ditentukan berdasarkan hasil penjajakan, penasun di empat PTRM akan dibagi kedalam dua kelompok untuk diberikan jenis intervensi yang berbeda. Pre dan post test akan digunakan sebagai metode analisis. 5
Data dasar akan menggunakan data terakhir dan terbarukemenkes atau penelitian nasional lainnya. Tahap ini akan dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Oktober dan November 2014. c) Tahap evaluasi dan laporan. Seberapa besar efektifitas program akan dievaluasi dengan membandingkan data dasar yang sudah ditentukan dan hasil akhir intervensi. Tahapan ini akan dilakukan pada bulan Desember 2014. Metode yang digunakan akan sama dengan tahap penjajakan. 3.3. Etika Penelitian Untuk memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan para responden yang terlibat dalam survei ini maka protokol survei ini akan dimintakan persetujuan etika dari Komisi Etik Universitas Katolik Atma Jaya. Persetujuan individual secara tertulis juga akan diminta pada setiap kelompok sasaran. IV. Tim Peneliti Tim Peneliti untuk penelitian operasional ini adalah personil dari PPH Universitas Katolik Atma Jaya dan Kios Atma Jaya yang juga merupakan bagian dari PPH dan telah berpengalaman dalam melaksanakan program-program pengurangan dampak buruk di Propinsi DKI Jakarta. PPH Universitas Katolik Atma Jaya bertanggungjawab atas pengembangan disain penelitian, 6
pengembangan protokol dan instrumen, pelaksanaan pelatihan bagi peneliti, menjamin kualitas dalam pengumpulan data serta melakukan analisis dan pelaporan. V. Budget Terlampir adalah budget yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian operasional ini. VI. Daftar Pustaka 1. Aceijas, C., et al. (2004). Global Overview of Injecting Drug Use and HIV infection among Injecting Drug Users. AIDS. 18(17), 2295-303. 2. Afriandi, I., Istiqomah, AN., Hidayat, T., Saputra, L. (2010). Individual and organizational determinants of risk injecting practice among clients of methadone maintenance treatment program in Indonesia. Bandung: Faculty of Medicine-University Padjajaran. 3. Booth, R.E., Corsi, K.F., Mikulich-Gilbertson, SK. (2004). Factors associated with methadone maintenance treatment retention among street recruited injection drug users. Drug and Alcohol Dependence, 74 (2), 177-85. 4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Laporan kasus HIV dan AIDS Triwulan III tahun 2013. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 7
6. Pisani, E., Dadun., Sucahya, P.K., Kamil, O., Jazan, S. (2003). Sexual Behavior among Injecting Drug Users (IDUs) in 3 Indonesian cities carries a high potential for HIV spread to non injectors. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, 34(4). 7. Rapis Response Service. (2013). Rapid Response: Adherence to Methadone Maintenance Treatment & Antiretroviral Therapy. Toronto, ON: Ontario HIV Treatment Network. 8. Rumah Sakit Ketergantunga Obat (RSKO). (2005). Laporan Kegiatan Tahunan 2005. Jakarta: RSKO. 9. Sarasvita, R. (2009). Treatment retention in methadone maintenance programs in Indonesia: towards evidence-informed drug policy (Thesis). Adelaide: University Adelaide. 10. Spire, B., Lucas, G.M., Carrieri, M.P. (2007). Adherence to HIV treatment among IDUs & the role of Opiod Substitution Treatment (OST). International Journal of Drug Policy, 18(4): 262-70. 11. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Laporan epidemi AIDS di Indonesia, update. (2013). Geneva: UNAIDS. 12. Utami, D.S., et al. (2005). Final report of WHO collaborative study on substitution therapy of opioid dependency and HIV/AIDS: Indonesia site. Jakarta: MOH RI. 8