RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta I. PEMOHON Antonius Iwan Dwi Laksono. Kuasa Hukum Muhammad Sholeh, SH., dkk advokat pada Kantor Hukum Sholeh and Partners, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 12 Juli 2012. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 29/2007). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; 1
4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dilakukan pengujiannnya oleh Mahkamah Konstitusi. 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 29/2007, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 2. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merupakan penduduk DKI Jakarta yang merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 29/2007, karena pengaturan pemenang dalam 2
Pilkada Jakarta yang menggunakan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak efektif dan efisien serta cenderung berbiaya tinggi; 3. Kerugian konstitusional yang dialami dan atau berpotensi dialami oleh Pemohon adalah dengan sistem Pilkada DKI Jakarta yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 29/2007 menyebabkan retribusi dan pajak yang dibayarkan Pemohon tidak dapat digunakan sebagaimana seharusnya tetapi untuk melaksanakan putaran ke-2 Pilkada DKI Jakarta apabila ternyata tidak ada pasangan calon yang memperoleh 50% lebih suara, selain itu Pemohon juga merasa dirugikan apabila hanya ada calon tunggal sehingga Pemohon tidak dapat dapat menggunakan haknya untuk memilih pada bulan Februari 2017 mendatang. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 29/2007: 1. Pasal 11 ayat (1): Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yangmemperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. 2. Pasal 11 ayat (2): Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama. 3. Pasal 11 ayat (3): Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 18 ayat (4): Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demoktatis. 3
2. Pasal 18B ayat (1): Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa norma Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 29/2007 mengesampingkan konsep negara hukum tetapi menampakkan konsep machstaat karena pembentuk undang-undang menjadikan kekhususan yang diatur dalam UUD 1945 ditafsirkan dengan membuat norma baru tanpa dasar rasionalitas konstitusi yang jelas; 2. Ketentuan a quo telah menghilangkan hak persamaan dalam hukum Pemohon selaku warga negara Indonesia yang berdomisili di DKI Jakarta dalam hal penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, dimana warga negara indonesia di provinsi lain dalam hal penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015; 3. UUD 1945 memang mengakui dan menghormati bentuk-bentuk khusus atau istimewa dari pemerintahan daerah yang diatur dalam UU, namun menurut Pemohon satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus tersebut harus dimaknai karena ada sejarah yang melatarbelakangi daerah a quo; 4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 11/PUU-VI/2008 bagian pertimbangan hukum paragraf [3.19] sama sekali tidak menyinggung bahwa makna kekhususan Provinsi DKI Jakarta dalam UU 29/2007 dalam hal pelaksanaan Pilkada yang berbeda dengan daerahnya sendiri, sebab pelaksanaan Pilkada sudah diatur dalam UU tersendiri; 5. Bahwa ketidakpastian hukum disebabkan penerapan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 29/2007 membawa implikasi yang bersar terkait dengan penggunaan APBD DKI Jakarta; 6. Norma Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU DKI Jakarta justru memasung dan menghambat hak warga negara dan menghambat setiap 4
warga negara yang menginginkan Pemilukada di Jakarta berlangsung secara demokratis dan efisien dalam anggaran. 7. Bahwa menurut Pemohon, Pilkada sistem dua putaran telah merugikan hak konstitusional Pemohon, karena Pemhon harus mendatangi TPS lagi jika pemilihan tahap pertama tidak menghasilkan pemenang yang mendapatkan suara sah lebih dari 50%, dan adakalanya Pilkada telah menutup usaha Pemohon dalam satu hari, sebab hari dalam Pilkada adalah hari yang diliburkan, sementara usaha Pemohon adalah mengandalkan masuknya pekerja di suatu pabrik. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan: Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945; 3. Menyatakan: Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Begara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 5