RESPON FISIOLOGIS DOMBA GARUT YANG DIPELIHARA SECARA SEMI INTENSIF DENGAN PERLAKUAN PENCUKURAN DI PETERNAKAN PT INDOCEMENT

dokumen-dokumen yang mirip
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

BAB III METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kandang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

Ilmu Pengetahuan Alam

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016,

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAB VII DARAH A. SEDIAAN NATIF DARAH.

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

BAB III MATERI METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi

III. METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

Penambahan Putih Telur Pada Mineral Blok Dengan Level Yang Berbeda Terhadap Respons Fisiologis Domba Lokal Jantan Lepas Sapih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan 60 itik lokal jantan asal Gunungmanik, Tanjung

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

MATERI DAN METODE. Prosedur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia.

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. Materi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 6. SISTEM TRANSPORTASI PADA MANUSIALATIHAN SOAL

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

I. TINJAUAN PUSTAKA. plasma dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit), yang masing -masing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh pemberian vitamin B komplek terhadap

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

Transkripsi:

RESPON FISIOLOGIS DOMBA GARUT YANG DIPELIHARA SECARA SEMI INTENSIF DENGAN PERLAKUAN PENCUKURAN DI PETERNAKAN PT INDOCEMENT SKRIPSI WALFITRI YANI OKTAMEINA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN Walfitri Yani Oktameina. D14070110. 2011. Respon Fisiologis Domba Garut yang Dipelihara secara Semi Intensif dengan Perlakuan Pencukuran di Peternakan PT Indocement. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, M.Si Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produksi ternak. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap ternak antara lain adalah suhu dan kelembaban. Ternak membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat pada produktivitasnya. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi kurang menguntungkan bagi ternak domba. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan usaha seperti pencukuran bulu domba. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan pengaruh pencukuran terhadap kondisi fisiologis domba garut yang dipelihara secara semi intensif telah dilaksanakan di Peternakan PT Indocement, Citeureup, selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober 2010. Materi penelitian berupa domba garut yang berjumlah 20 ekor, berumur kurang dari satu tahun. Ternak dibagi menjadi dua yaitu 10 ekor jantan dan 10 ekor betina dengan rataan bobot badan 15,75±2,85 kg. Masing-masing diberi perlakuan pencukuran pada 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Peubah yang diamati yaitu suhu tubuh, denyut jantung, laju respirasi dan profil darah. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (2x2), faktor A adalah pencukuran (dicukur dan tidak dicukur), dan faktor B adalah jenis kelamin (jantan dan betina), setiap kombinasi perlakuan terdiri dari lima ulangan untuk parameter suhu tubuh, denyut jantung, dan respirasi, sedangkan untuk peubah profil darah terdiri dari tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Jika terdapat perbedaan nyata atau sangat nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Respon fisiologis berupa suhu tubuh, denyut jantung, dan respirasi dipengaruhi oleh proses pencukuran, dan jenis kelamin. Pada pagi dan siang hari suhu tubuh domba yang dicukur lebih rendah dibandingkan yang tidak dicukur. Pada sore hari denyut jantung jantan lebih tinggi dibandingkan betina. Respirasi pada pagi hari untuk jantan lebih rendah dibandingkan dengan betina dan respirasi ternak yang dicukur lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak dicukur baik pada pagi maupun siang hari. Pada sore hari respirasi domba jantan maupun betina yang tidak dicukur sama, tetapi berbeda dengan respirasi jantan yang dicukur dan betina yang dicukur. Ternak jantan memiliki rasio netrofil/limfosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dapat diindikasikan bahwa ternak jantan kurang tahan terhadap cekaman panas dibandingkan dengan betina. Kata-kata kunci : domba garut, respon fisiologi, pencukuran

ABSTRACT Physiological Response of Garut Sheep Treated by Shearing in Semi Intensive System at PT Indocement Farm Oktameina, W.Y, S. Rahayu, and D. A. Astuti The study was conducted to identify physiological response of garut sheep in different treatments (shearing and not shearing) and sex (male and female) in semi intensive system. The experiment was carried out at the PT Indocement Farm in Citereup district of Bogor regency, West Java. Design of this experiment was completely randomized design factorial with factor A was shearing, and factor B was sex. The parameters observed included body temperature, heartbeat, respiration rate and blood profile. The result showed that shearing significantly (P<0,01) effect on body temperature in the morning. Body temperature of shearing sheep (37.97±0.28 0 C) was lower than not shearing (38.47±0.31 0 C). In the afternoon showed that shearing significant (P<0.05) effect on body temperature. Body temperature of shearing sheep (38.45±0.20 0 C) was lower than not shearing (38.70±0.25 0 C). Heartbeat of male (86.72±6.47 rate/min) was significant higher than female (81.24±4.12 rate/min) in the evening. Respiration rate of male (24.08±2.78 rate/min) was significantly lower than female (28.16±2.20 rate/min) in the morning. For shearing sheep was lower than not shearing in the morning and afternoon. In the evening both male and female sheep that are not shearing was not significant, but significant with respiration of male sheared and female sheared. Stress indicated in male sheep and proved from neutrophils/lymphocytes ratio (0.88±0.36). Conclusion of this experiment showed that shearing, sex and time effected to the physiological response. Keywords: garut sheep, physiological response, shearing ii

LE RESPON FISIOLOGIS DOMBA GARUT YANG DIPELIHARA SECARA SEMI INTENSIF DENGAN PERLAKUAN PENCUKURAN DI PETERNAKAN PT INDOCEMENT WALFITRI YANI OKTAMEINA D14070110 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 iii

Judul : Respon Fisiologis Domba Garut Yang Dipelihara secara Semi Intensif dengan Perlakuan Pencukuran di Peternakan PT Indocement Nama : Walfitri Yani Oktameina NIM : D14070110 Pembimbing Utama, Menyetujui, Pembimbing Anggota, Ir. Sri Rahayu, M.Si Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. NIP: 19570611 198703 2 001 NIP: 19611005 198503 2 001 Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc NIP: 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian: 13 Juni 2011 Tanggal Lulus: iv

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1989 di Garut, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Eka Suryana dan Ibu Sumiati. Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri Karangmulya II Garut dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kadungora, Garut. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Leles, Garut pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2008. Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) periode 2008-2009 sebagai staf. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Bandung pada tahun 2009, dan berkesempatan mendapat beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) pada tahun 2009-2010. v

KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, dan karunia-nya Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Respon Fisiologis Domba Garut yang Dipelihara secara Semi Intensif dengan Perlakuan Pencukuran di Peternakan PT Indocement. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh kondisi di Indonesia yang berada pada daerah tropis yang memiliki suhu sangat panas dengan kelembaban tinggi. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi kurang menguntungkan bagi ternak domba. Salah satu faktor yang dapat menghambat pembuangan panas tubuh pada domba adalah wol, yang akan mempengaruhi produksi ternak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan pencukuran wol. Hal ini menarik perhatian Penulis untuk memberikan informasi mengenai respon fisiologis yang berupa suhu tubuh, denyut jantung, respirasi dan profil darah domba yang dipelihara secara semi intensif di Peternakan Indocement, Citeureup, Bogor. Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Juni 2011 Penulis vi

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... i ABSTRACK... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii LEMBAR PENGESAHAN... viii RIWAYAT HIDUP... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 1 TINJAUAN PUSTAKA... 2 Domba Garut... 2 Suhu dan kelembaban... 2 Pencukuran Bulu Domba... 3 Respon Fisiologis Domba... 4 Denyut jantung... 5 Suhu tubuh... 6 Profil Darah... 6 Hematokrit... 6 Sel-sel darah merah... 7 Sel darah Putih... 8 Konsumsi pakan dan minum... 8 MATERI DAN METODE... 10 Lokasi dan Waktu... 10 Materi... 10 Ternak... 10 Peralatan... 10 Prosedur... 10 Rancangan... 11 Peubah yang diamati... 12 Suhu Tubuh ( 0 C)... 12 Laju Respirasi (kali/menit)... 12 Denyut Jantung (kali/menit)... 12 Profil darah... 13 Suhu dan kelembaban lingkungan... 14 vii

HASIL DAN PEMBAHASAN... 15 Keadaan Umum... 15 Kondisi Fisiologis Domba... 17 Suhu Tubuh... 18 Denyut Jantung... 19 Profil Darah... 23 KESIMPULAN DAN SARAN... 30 Kesimpulan... 30 UCAPAN TERIMA KASIH... 31 DAFTAR PUSTAKA... 32 LAMPIRAN... 34 viii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara... 15 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Garut... 17 3. Rataan Konsumsi Protein Kasar Domba Garut... 17 4. Rataan Suhu Tubuh pada Domba Garut... 19 5. Rataan Denyut Jantung pada Domba Garut... 20 6. Rataan Respirasi pada Domba Garut... 21 7. Butir Darah Merah (BDM) pada Domba Garut (juta/mm 3 )... 23 8. Hemoglobin (Hb) pada Domba Garut (%)... 24 9. Hematokrit (PCV) pada Domba Garut (%)... 24 10. Mean Corpuscular Volume (MCV) (fl)... 26 11. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (%)... 26 12. Butir Darah Putih (BDP) pada Domba Garut (ribu/mm 3 )... 27 13. Netrofil (N) pada Domba Garut (%)... 28 14. Limfosit (L) pada Domba Garut (%)... 28 15. Rasio Netrofil/Limfosit... 29 ix

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Komposisi Nutrient Pakan... 36 2. Hasil Sidik Ragam Suhu Tubuh Pagi... 36 3. Hasil Sidik Ragam Suhu Tubuh Siang... 36 4. Hasil Sidik Ragam Suhu Tubuh Sore... 36 5. Hasil Sidik Ragam Denyut Jantung Pagi... 36 6. Hasil Sidik Ragam Denyut Jantung Siang... 37 7. Hasil Sidik Ragam Denyut Jantung Sore... 37 8. Hasil Sidik Ragam Laju Respirasi Pagi... 37 9. Hasil Sidik Ragam Laju Respirasi Siang... 37 10. Hasil Sidik Ragam Laju Respirasi Sore... 37 11. Hasil Sidik Ragam Hemoglobin... 38 12. Hasil Sidik Ragam Hematokrit (PCV)... 38 13. Hasil Sidik Ragam Butir Darah Merah... 38 14. Hasil Sidik Ragam Butir Darah Putih... 38 15. Hasil Sidik Ragam Limfosit... 38 16. Hasil Sidik Ragam Netrofil... 38 17. Hasil Sidik Ragam Rasio Netrofil/Limfosit... 39 x

PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan adalah faktor yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap tingkat produksi. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap ternak antara lain adalah suhu dan kelembaban. Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain pakan, pengelolaan dan perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit. Ternak agar dapat berproduksi dengan baik, maka harus dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman. Sehingga dalam hal ini lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap penampilan produksi seekor ternak. Ternak domba merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu dengan cara homeostasis melalui proses termoregulasi. Pada temperatur lingkungan yang rendah domba akan memanaskan tubuhnya melalui pembakaran zat makanan dalam darah, sebaliknya pada temperatur yang tinggi domba akan berusaha menurunkan temperatur tubuhnya melalui kulit maupun pernafasan. Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya. Apabila terjadi perubahan maka ternak akan mengalami stres. Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan. Stres terjadi apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan atau penurunan temperatur lingkungan. Indonesia berada pada daerah tropis yang memiliki suhu sangat panas dengan kelembaban tinggi. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi kurang menguntungkan bagi ternak domba. Salah satu faktor yang dapat menghambat pembuangan panas tubuh pada domba adalah wol, yang akan mempengaruhi produksi ternak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan pencukuran wol. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan pengaruh pencukuran, dan jenis kelamin terhadap kondisi fisiologis domba garut yang dipelihara secara semi intensif. 1

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba yang berasal dari persilangan antara domba lokal asli, domba Merino dan domba Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah menjadi satu bangsa karena seleksi bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan di daerah Garut (Balai Informasi Pertanian, 1990). Domba garut memiliki ciri-ciri berat badan domba jantan hidup dapat mencapai 60-80 kg dan berat badan domba betina sekitar 30-40 kg, memiliki daun telinga yang relatif kecil dan kokoh, bulu cukup banyak serta domba betina tidak memiliki tanduk sedangkan domba jantan memiliki tanduk besar, kokoh, kuat, dan melingkar (Mason, 1980). Suhu dan Kelembaban Suhu optimal untuk domba di daerah tropis berkisar antara 24-26 0 C (Kartasudjana, 2001), dengan kelembaban di bawah 75% (Yousef, 1985). Keadaan optimal tersebut tidak terjadi di Indonesia karena suhu rataan harian wilayah Indonesia adalah 29 0 C pada musim hujan dan 30-32 0 C pada musim kemarau. Pada lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi domba akan berusaha menurunkan suhu tubuhnya melalui kulit maupun pernafasan (Yeates et al,. 1975). Keadaan lingkungan yang kurang nyaman akibat suhu dan kelembaban tinggi juga menyebabkan domba mengurangi konsumsi makan dan meningkatkan konsumsi air minum. Pelepasan panas tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Panas tubuh ini dilepaskan secara konveksi, radiasi, konduksi dan evaporasi. Suhu tubuh tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik, tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan langsung tanpa ada transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi kebagian yang memiliki suhu yang lebih rendah. Konveksi adalah suatu perambatan 2

panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi (Martini, 1998). Tingkat cekaman yang terjadi dipengaruhi oleh insulasi wol, kecepatan angin, kelembaban udara, umur ternak dan makanan. Suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan evaporasi lambat sehingga pelepasan panas tubuh terhambat (McDowell, 1972). Jika ternak dalam lingkungan panas energinya berkurang maka aktivitas akan terganggu misalnya laju pertumbuhan menurun, laju pernafasan dan keringat meningkat (Curtis, 1983). Pencukuran Bulu Domba Pencukuran bulu domba merupakan pekerjaan musiman, meskipun pencukuran dapat dilakukan setiap saat. Pencukuran akan kurang baik apabila dilakukan pada musim dingin, kecuali di daerah-daerah yang beriklim lebih panas. Wol pada domba tidak berganti tetapi terus tumbuh secara berkelanjutan. Jumlah zat yang berbeda pada tiap wol tergantung jenis dan kondisi sekelilingnya, seperti iklim dan pakan. Wol bersifat tidak menghantarkan panas (insulator) (Johnston, 1983). Pencukuran bulu sebaiknya dilakukan setelah domba berumur lebih dari enam bulan. Sebelum dicukur, sebaiknya domba dimandikan agar bulunya bersih. Bulu sebagai penutup tubuh alami pada ternak yang berfungsi sebagai perlindungan dari sengatan radiasi matahari di daerah tropis. Bulu yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas (Williamson dan Payne, 1993). Mencukur bulu dapat menurunkan insulasi, meningkatkan pelepasan panas (heat loss), meningkatkan konsumsi pakan, pertumbuhan dan kualitas semen pejantan (Havez, 1968). Wol yang terdapat pada domba, merupakan rambut yang bergelombang dengan sedikit medulla, dan bagian jaringan ikat dari folikelnya tidak padat (jarang) (Frandson, 1992). Tubuh dapat memperoleh panas secara langsung dari sinar matahari. Tingkat penyerapan panas tergantung pada tipe kulit hewan bersangkutan dan bulu yang terdapat pada kulit (insulasi). Pergerakan udara dapat mengubah pengaruh tipe kulit dan insulasi bulu terhadap cahaya tersebut (Parakkasi, 1999). 3

Respon Fisiologis Domba Domba sebagai hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu. Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya adaptasi tinggi. Respon fisiologis domba merupakan respon domba terhadap berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematrokit, dan rasio heterofil/limfosit (Yousef, 1985). Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat pada produktivitasnya, sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan menurun (Johnston, 1983). Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra dan Burns, 1994). Laju Respirasi Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O 2 dan CO 2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Pernafasan pada hewan terdiri dari tiga fase yaitu respirasi external, pertukaran gas, dan respirasi internal. Respirasi external yaitu mekanisme saat hewan mengambil oksigen dari lingkungan dan melepaskan karbondioksida ke lingkungan. Pertukaran gas yaitu mekanisme pendistribusian oksigen ke seluruh sel-sel tubuh hewan dan mekanisme perpindahan karbondioksida dari sel tubuh ke lingkungan. Respirasi internal merupakan reaksi metabolik saat oksigen dalam sel memproduksi energi dan reaksi untuk memproduksi karbondioksida dalam sel (Wilson, 1979). Frekuensi respirasi bervariasi tergantung dari besar badan, umur, aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit. Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan ini adalah dengan 4

panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada sapi, kerbau, kambing dan domba peningkatan frekuensi respirasi merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan (McDowell, 1972). Denyut Jantung Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dan pembuluh vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992). Satu denyut terdiri dari satu sistol dan satu diastole. Siklus jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut diastole, yaitu periode pengisian jantung dengan darah, yang diikuti oleh satu periode kontraksi yang disebut sistol (Guyton, 1997). Kisaran denyut jantung domba normal menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah 70-80 kali tiap menit. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983). Secara umum, kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar pada hewan-hewan kecil dan semakin lambat dengan semakin besarnya ukuran hewan (Frandson, 1992). Al-Haidary (2004) menyatakan bahwa tantangan stres panas mengurangi denyut jantung pada ternak yang diam, dan pengurangan tanda denyut jantung menurun karena upaya umum untuk binatang penurunan produksi panas. Menurut Adisuwirdjo (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung yaitu: (1) aktivitas, aktivitas yang tinggi dapat menigkatkan frekuensi kerja jantung. (2) ion kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu ruangan jantung pada proses pengosongan ruangan tersebut. Diastol adalah reaksi dari satu ruang jantung sesaat sebelum dan selama pengisian ruangan tersebut. (3) kadar CO 2, dapat menaikkan frekuensi maupun kekuatan kontraksi jantung. (4) acetylcolin, mengurangai frekuensi jantung. (5) adrenalin, dapat menaikkan 5

frekuensi jantung. (6) atropin dan nikotin, dapat mempercepat frekuensi jantung. (7) morphin, dapat memperlambat frekuensi jantung. (8) suhu tubuh, semakin tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. (9) berat badan, semakin berat badan seseorang maka frekuensi jantung juga semakin besar. (10) usia, usia muda memiliki frekuensi jantung yang lebih cepat. Suhu Tubuh Suhu tubuh hewan homeotermi merupakan hasil keseimbangan dari panas yang diterima dan dikeluarkan oleh tubuh. Suhu tubuh dapat diamati melalui suhu rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Suhu rektal harian, pada pagi hari rendah sedangkan pada siang hari tinggi (Edey, 1983). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 39,2-40 0 C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kelembaban dapat pula mempengaruhi mekanisme temperature tubuh, pengeluaran panas dengan cara berkeringat ataupun melalui respirasi akan lebih cepat (Parakkasi, 1999). Profil Darah Hematokrit Hematokrit atau Packed Cell Volume (PVC) merupakan persentase sel-sel darah merah di dalam 100% darah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Nilai hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasar volume) dari darah yang terdiri dari sel-sel darah merah. Nilai hematokrit yang normal pada domba adalah 32%. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) nilai hematokrit pada domba berkisar antara 29%-45%. Nilai hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan sel darah merah total, dan pelaksanaannya juga jauh lebih mudah. Penentuannya dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang diberi zat agar tidak menggumpal di bagian dasar (Frandson, 1992). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi (Sujono, 1991). 6

Sel-sel darah merah Elemen-elemen darah yang memiliki bentuk meliputi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan keping darah (platelet). Sel-sel darah merah atau eritrosit berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter rata-ratanya sebesar 7,8µm, dan ketebalan pada bagian yang tebal 2,5 µm dan pada bagian tengah 1 µm. Fungsi utama dari sel darah merah adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1997). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) jumlah sel darah merah pada domba yaitu 9-15 juta/mm 3. Adanya hemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada darah. Dari segi kimia, hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang komplek yang terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam amino. Karena adanya hemoglobin, darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama. Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 ml darah. Konsentrasi hemoglobin normal menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 9-15g/100 ml. Fungsi utama hemoglobin dalam tubuh bergantung pada kemampuannya untuk bergabung dengan oksigen dalam paru-paru dan kemudian melepaskan oksigen ini dalam kapiler jaringan dimana tekanan gas oksigen jauh lebih rendah daripada di paru-paru (Guyton, 1997). Saat kondisi normal konsentrasi hemoglobin hampir selalu mendekati maksimum dalam setiap sel. Namun, bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam sel dapat turun dan volume sel darah merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Setiap keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi jumlah oksigen ke jaringan biasanya akan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah. Pada suatu daerah dengan ketinggian yang sangat tinggi, jumlah oksigen dalam udara sangat rendah maka jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tidak cukup dan produksi sel darah merah meningkat (Guyton, 1997). Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah 7

merah (Guyton, 1997). Salah satu efek utama dari anemia adalah meningkatkan beban kerja jantung. Sel darah Putih Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dengan eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Manfaat dari sel darah putih ialah sebagian besar ditransfer secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan (Guyton, 1997). Leukosit digolongkan menjadi Granulosit dan Agranulosit. Granulosit terdiri dari Netrofil, Eosinofil, Basofil. Netrofil mengandung granula yang memberikan warna indiferen dan tidak merah ataupun biru. Ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk membunuh bakteri sebagai respon terhadap infeksi tersebut dan membersihkan sisa jaringan yang rusak. Jumlah netrofil di dalam darah meningkat cepat apabila terjadi infeksi yang akut. Jumlah netrofil pada domba yaitu 17,50%- 50,0% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit. Limfosit memiliki fungsi utama dapat merespon antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa jumlah limfosit normal untuk domba daerah tropis yaitu 50%-75%. Cekaman iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang meningkat karena adanya cekaman fisiologis (Maxwell, 1983). Konsumsi pakan dan minum Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri yaitu permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Faktor pakan yang diberikan berkaitan dengan nilai nutrisi yang terkait pada pakan tersebut. Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Pada suhu lingkungan tinggi, konsumsi pakan pada umumnya menurun, konsumsi air minum meningkat (Parakkasi, 1999). 8

Pakan konsentrat diberikan sebelum pakan hijauan. Hal tersebut dilakukan agar semua zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi, dan reproduksi dapat terpenuhi (Ridwan, 2010). 9

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober 2010. Analisa darah dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan. Materi Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba garut sebanyak 20 ekor berumur kurang dari satu tahun, yang terdiri dari 10 ekor jantan, dan 10 ekor betina dengan rataan bobot badan 15,75±2,85 kg. Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gunting cukur untuk mencukur domba, thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban lingkunan, termometer untuk mengukur suhu tubuh, stetoskop untuk mengukur denyut jantung, stopwatch untuk menghitung waktu, syiring (spoite dan jarum suntik), tabung yang berisi EDTA, alkohol, dan kapas untuk mengambil darah. Prosedur Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu pertama tahap pendahuluan dan kedua tahap pengambilan data pengukuran. Tahap pendahuluan dilakukan selama dua minggu, dan pengambilan data selama delapan minggu. Penelitian diawali dengan menyiapkan peralatan di kandang seperti menempel termohigrometer, pembersihan kandang. Pencukuran domba dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada minggu kedua. Pencukuran dimulai dari perut bagian bawah, kemudian keatas, kedepan, dan kebelakang sampai daerah kepala dan kaki. Ternak yang mendapat perlakuan pencukuran sebanyak sepuluh ekor, terdiri atas lima ekor domba jantan dan lima ekor domba betina, yang sepuluh ekor sisanya tidak dicukur. Respon fisiologis diukur dengan beberapa parameter meliputi: suhu tubuh, laju pernafasan, denyut jantung, dan profil darah. Pengukuran dilakukan sebelum pemberian pakan. Suhu dan kelembaban diukur sebagai data pendukung. 10

Suhu tubuh diukur dengan menggunakan termometer digital yang dimasukkan ke dalam rektal dan ditunggu sampai menunjukkan suhu tetap (2-3 menit). Denyut jantung diukur dengan menggunakan stetoskop yang ditempelkan pada bagian toraks kiri selama satu menit. Pengukuran pernafasan dilakukan dengan cara menghitung jumlah hembusan nafas dari hidung dengan bantuan stopwatch selama satu menit. Pengukuran dilakukan pagi hari pukul 05.30-06.00, siang pukul 12.30-13.00, dan sore hari pukul 16.30-17.00 WIB setiap dua minggu sekali. Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan di dalam kandang dan di luar kandang dengan menggunakan termohigrometer pada pagi, siang dan sore hari selama penelitian. Pengambilan sampel darah dengan menggunakan syiring ukuran 10 ml pada minggu kesepuluh. Langkah pertama yaitu dengan perabaan pada bagian leher domba bagian kiri atau bagian kanan untuk mencari vena jugularis. Setelah ditemukan vena jugularis selanjutmya ditekan dengan ibu jari agar tampak menggelembung. Bagian yang menonjol dibersihkan dengan alkohol, lalu ditusuk dengan syiring sampai darah mengalir. Darah dimasukkan ke dalam tabung yang berisi EDTA, setelah itu dimasukkan ke dalam tempat yang berisi es. Darah lalu dianalisa di laboratorium untuk mengetahui profil darah yang meliputi sel darah merah, hemoglobin, hematokrit, sel darah putih, limfosit, dan netrofil. Rancangan Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial (2 x 2), faktor A adalah pencukuran (dicukur dan tidak dicukur), faktor B adalah jenis kelamin (jantan dan betina). Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari lima ulangan untuk suhu tubuh, denyut jantung dan respirasi, sedangkan untuk profil darah terdiri dari tiga ulangan. Model matematik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1993) adalah: Yijk = µ+a i +B j + (AB) ij + ε ijk 11

Keterangan: Yijk = variabel respon akibat pengaruh faktor pencukuran ke-i dan faktor jenis kelamin ke-j pada ulangan ke-k. µ = nilai tengah umum A i B j = pengaruh faktor pencukuran ke-i = pengaruh faktor jenis kelamin ke-j (AB) ij = pengaruh interaksi antara faktor pencukuran ke-i dengan faktor jenis kelamin ke-j ε ijk = pengaruh galat percobaan dari factor pencukuran ke-i dan faktor jenis kelamin ke-j pada ulangan ke-k. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Jika terdapat perbedaan yang nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Peubah yang diamati Suhu Tubuh ( 0 C) Suhu tubuh domba diukur pada bagian rektal, karena merupakan salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Pengukuran dilakukan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam rektal, pengukuran ini dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari. Laju Respirasi (kali/menit) Laju respirasi merupakan proses pengambilan oksigen dari lingkungan dan pelepasan karbondioksida ke lingkungan. Laju respirasi domba diukur dengan mengamati kenaikan dan penurunan pada bagian perut, atau dengan cara menghitung jumlah hembusan nafas pada bagian hidung selama satu menit. Denyut Jantung (kali/menit) Denyut jantung merupakan suara yang terdengar yang akan terulang sampai tak terbatas. Suara yang pertama dan kedua dipisahkan oleh suatu interval singkat yang diikuti oleh suatu istirahat yang lebih panjang. Denyut jantung diukur dengan menggunakan stetoskop yang ditempelkan pada bagian torax kiri selama satu menit. 12

Profil darah Profil darah adalah komponen-komponen yang merupakan komposisi dari darah. Komponen tersebut diantaranya sel darah merah, hemoglobin, hematokrit, sel darah putih, limfosit, dan netrofil. Darah diambil dengan menggunakan syiring, lalu dianalisa di laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan darah dilakukan pada minggu kesepuluh. Pengukuran nilai-nilai profil darah menurut Sastradipraja (1989), nilai hemoglobin dilakukan dengan cara larutan Rengen dimasukkan ke dalam tabung sebanyak 2,5 ml lalu ditambahkan sampel darah sebanyak 10 mikroliter. Setelah itu dimasukan ke dalam spektrofotometer. Lalu dibaca angka yang tertera pada spektrofotometer. Penghitungan nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit dengan mikrocapillary hematocrite reader. Ujung mikrokapiler ditempelkan pada tabung berisi darah, biarkan darah mengalir sendiri mengisi ¾ bagian pipa kapiler. Ujung pipa disumbat dengan penyumbat yang berbeda warna. Selanjutnya pipa kapiler disimpan dalam alat pemusing microcentrifuge selam lima menit dengan kecepatan 12.000 RPM. Setelah dipusing terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri atas lapisan plasma yang jernih dibagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu yaitu trombosit dan leukosit dan lapisan merah yang terdiri atas eritrosit. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (mikrocapillary hematocrite reader). Perhitungan eritrosit (butir darah merah) menggunakan pipet (pengencer) eritrosit dengan ciri di dalamnya terdapat butiran warna merah, dan skala pipet 0,5-1,0-101. Larutan pengencer yang digunakan yaitu Hayem. Langkah pertama darah diisap dengan aspirator pada pipet sampai batas angka 0,5, kemudian larutan pengencer Hayem diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet. Aspirator dilepaskan lalu kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan telunjuk dan dikocok dengan membuat gerakan angka delapan. Setetes cairan dimasukan kedalam kamar hitung dengan cara menempelkan ujung pipet pada pertemuan dasar kamar hitung dan kaca penutup. Jumlah butir darah merah dihitung menggunakan teknik yaitu dengan mengamati kamar hitung dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x (objektif 10 x, okuler 10 x) maka akan terlihat gambar kotak-kotak. 13

Perhitungan leukosit sama dengan eritrosit akan tetapi pengencer yang digunakan yaitu larutan pengencer Turk. Pipet yang digunakan memiliki ciri di dalamnya terdapat butiran berwarna putih,. Langkah pertama darah diisap dengan aspirator pada pipet sampai batas angka 0,5, kemudian larutan pengencer Turk diisap sampai tanda 11 yang tertera pada pipet. Pengukuran diferensiasi leukosit dengan menggunakan mikroskop. Langkah pertama membuat sediaan ulas darah yang diwarnai dengan zat warna Giesma lalu dikeringkan. Selanjutnya permukaan apus ditetesi dengan larutan zat warna Wright lalu didiamkan selama satu menit. Setelah itu ditambahkan larutan buffer fosfat pada seluruh permukaan preparat, lalu dikeringkan. Sebelum dilihat di mikroskop preparat ditetesi dengan imersi. Sediaan ulas bentuk butir-butir darah dapat diamati dan % jenis-jenis butir darah putih dapat dihitung. Netrofil berupa granula netral, dengan inti berbentuk batang atau segmen. Limfosit berupa inti bulat, biru tua, dan sitoplasma sedikit. Suhu dan kelembaban lingkungan Suhu dan kelembaban diukur menggunakan termohigrometer pada waktu pagi, siang dan sore hari. Pengamatan ini dilakukan di dalam kandang dan diluar kandang setiap satu minggu sekali. 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan PT Indocement merupakan salah satu peternakan yang berdiri pada tahun 2008 di daerah Citeureup, Bogor. Peternakan ini merupakan kerjasama antara Fakultas Peternakan IPB dengan Indocement. Peternakan Indocement dibangun diatas lahan bekas penambangan semen. Ternak yang dipelihara di peternakan ini yaitu domba garut, yang didatangkan dari Garut. Domba dipelihara secara semi intensif, domba digembalakan pada siang hari yaitu pukul 13.00 WIB sampai 16.00 WIB dan selebihnya domba dikandangkan. Kandang yang digunakan yaitu kandang panggung. Kandang panggung dicirikan dengan adanya tiang penyangga kandang sehingga lantai kandang terletak diatas tanah (sekitar 0,5 1 m) dan berbentuk seperti panggung. Bahan lantai terbuat dari bilah bambu yang dipasang dengan sedikit celah sehingga memudahkan kotoran terjatuh ke bawah kandang. Tipe kandang ini memiliki kolong yang bermanfaat sebagai penampung kotoran. Lantai kolong diberi semen dan dibuat miring ke arah selokan agar lebih memudahkan pekerja ketika membersihkan kotoran. Atap kandang berupa monitor dengan bahan genteng. Atap berfungsi sebagai pelindung terhadap hujan, terik sinar matahari dan pengatur panas dalam kandang. Bahan atap genteng dapat menghantarkan panas dan radiasi yang kecil, dan sangat baik menahan panas sehingga dapat mempertahankan suhu kandang relatif konstan, serta aliran udara dapat keluar melalui celah. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di peternakan Indocement pada pagi, siang dan sore hari di kandang dan di luar kandang tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Lokasi Waktu Suhu ( o C) Kelembaban (%) Pagi 25,06 ± 2.27 81,63 ± 12,70 Dalam Kandang Siang 32,04 ± 3,23 53,00 ± 16,65 Sore 28,55 ± 1,28 69,25 ± 11,25 Pagi 28,49 ± 4,89 73,88 ± 17,59 Luar Kandang Siang 40,25 ± 5,02 32,88 ± 11,61 Sore 29,29 ± 2,16 69,88 ± 9,96 Keterangan : pagi (07.30) WIB, siang (13.30) WIB, sore (17.30) WIB 15

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang baik pagi, siang, ataupun sore lebih rendah dibandingkan dengan suhu di luar kandang, sedangkan kelembaban di dalam kandang lebih tinggi dibandingkan dengan di luar kandang. Hal ini menandakan kandang dapat memanipulasi kondisi lingkungan dengan menurunkan suhu udara. Kelembaban di dalam kandang yang tinggi menunjukan bahwa udara di dalam kandang mengandung uap air yang tinggi yang dihasilkan dari proses respirasi ternak. Suhu optimal untuk domba berkisar antara 24-26 0 C (Kartasudjana, 2001), dengan kelembaban di bawah 75% (Yousef, 1985). Hal ini menunjukan bahwa lingkungan di peternakan Indocement berada di atas suhu nyaman untuk domba. Siang hari suhu di dalam kandang 32,04±3,23 0 C dan suhu di luar kandang yaitu 40,25±5,02 0 C yang artinya berada di atas kisaran suhu nyaman. Pada pagi hari kelembaban di dalam kandang berada di atas kisaran normal (81,63% ± 12,70%) dan pada siang dan sore hari berkisar kurang dari 75%. Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat terhadap produktivitasnya, sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan menurun (Johnston, 1983). Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang dikeluarkan dari tubuh (Devendra dan Burns, 1994). Konsumsi pakan merupakan sejumlah makanan yang dimakan oleh ternak. Kandungan yang terdapat di dalam pakan digunakan untuk mencukupi kehidupan pokok dan untuk keperluan produksi. Kebutuhan ternak dapat dikelompokkan menjadi komponen utama yaitu energi, protein, mineral dan vitamin. Energi merupakan suatu komponen penting yang terkandung dalam pakan. Energi dapat didefinisikan sebagai kalori yang berasal dari senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, protein dan lemak. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri yaitu permintaan fisiologis dari hewan 16

tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Pada suhu lingkungan tinggi, konsumsi pakan pada umumnya menurun, sedangkan konsumsi air minum meningkat. Domba diberi pakan rumput dan konsentrat serta air minum diberikan secara ad libitum. Pakan konsentrat diberikan sebelum pakan hijauan. Hal tersebut dilakukan agar semua zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi, dan reproduksi dapat terpenuhi (Ridwan, 2010). Rataan konsumsi bahan kering pada domba garut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering (BK) pada Domba Garut Jenis Kelamin Pencukuran Cukur Tidak cukur Rataan --------------------------- g/ekor/hari ---------------------------- Jantan 426,27±21,22 432,32±33,88 429,29±26,84 Betina 434,44±26,10 405,58±15,71 420,01±25,37 Rataan 430,35±21,93 418,95±28,61 424,65±25,86 Rataan konsumsi bahan kering yaitu 424,65±25,86 g/ekor/hari yang setara dengan 2,7% dari bobot badan. Menurut Kearl (1982) kebutuhan konsumsi bahan kering domba adalah 3% dari bobot badan. Rataan bobot badan domba yang digunakan yaitu 15,75±2,85 kg sehingga jumlah bahan kering yang dibutuhkan adalah 500-1000 g/ekor/hari. Hal ini berarti konsumsi bahan kering domba penelitian masih di bawah konsumsi standar yang dibutuhkan domba. Protein merupakan suatu zat makanan yang dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat pembangun dan pengatur. Rataan konsumsi protein kasar domba garut selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Konsumsi Protein Kasar Domba Garut Pencukuran Jenis Kelamin Rataan Cukur Tidak cukur ------------------------------ g/ekor/hari ------------------------ Jantan 59,06±3,04 59,95±4,89 59,50±3,86 Betina 60,24±3,76 56,08±2,28 58,16±3,66 Rataan 59,65±3,28 58,02±4,13 58,83±3,41 17

Rataan konsumsi protein kasar pada domba garut yaitu 58,83±3,41 g/ekor/hari. Menurut National Research Counsil (1985), domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein kasar sebesar 127-167 g/ekor/hari. Hasil ini menunjukan bahwa konsumsi protein kasar domba dibawah standar yang dibutuhkan untuk domba. Kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi yang terkandung di dalam pakan mampu mempengaruhi pertumbuhan dari ternak tersebut. Rendahnya konsumsi pakan pada domba penelitian dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah pakan atau konsumsi pakan yang berkualitas rendah. Kondisi Fisiologis Domba Respon fisiologis domba merupakan tanggapan fisiologis domba terhadap berbagai macam faktor lingkungan sekitar. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematrokit, dan rasio netrofil/limfosit. Suhu Tubuh Suhu tubuh dapat diukur melalui suhu rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Rataan suhu tubuh domba tertera pada Tabel 4. Suhu rektal harian, pada pagi hari rendah sedangkan pada siang hari tinggi (Edey, 1983). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pencukuran sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap suhu tubuh pagi yaitu domba yang dicukur lebih rendah (37,97±0,28 0 C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,47±0,31 0 C). Pada siang hari pencukuran berbeda nyata (P<0,05) terhadap suhu tubuh, yaitu suhu tubuh yang dicukur lebih rendah (38,45±0,20 0 C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,70±0,25 0 C). Hasil ini mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang dialamin oleh domba yang tidak dicukur lebih tinggi jika dibandingkan dengan domba yang dicukur. Domba yang dicukur memiliki bulu yang lebih sedikit dibandingkan domba yang tidak dicukur, sehingga domba dapat melepaskan panas tubuhnya dengan mudah. Domba yang tidak dicukur pelepasan panasnya terhambat. 18

Tabel 4. Rataan Suhu Tubuh Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut Waktu Pagi Siang Sore Jenis Kelamin Cukur Pencukuran Tidak Cukur Rataan ----------------------- o C------------------------------- Jantan 37,91±0,25 38,28±0,13 38,10±0,28 Betina 38,04±0,32 38,65±0,34 38,34±0,45 Rataan 37,97±0,28 B 38,47±0,31 A 38,22±0,38 Jantan 38,34±0,19 38,64±0,26 38,49±0,27 Betina 38,56±0,15 38,76±0,24 38,66±0,22 Rataan 38,45±0,20 b 38,70±0,25 a 38,57±0,25 Jantan 39,05±0,15 39,23±0,26 39,14±0,22 Betina 39,15±0,17 39,26±0,13 39,20±0,15 Rataan 39,10±0,16 39,24±0,20 39,17±0,19 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran. Meskipun nilai rataan suhu tubuh domba pada kondisi yang berbeda, namun suhu tubuh keduanya masih berada dalam kisaran normal. Sebagaimana yang dikemukakan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 39,2-40 0 C. Suhu lingkungan pada siang dan sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan pagi hari sehingga dapat mempengaruhi tingginya suhu tubuh domba. Suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan evaporasi lambat sehingga pelepasan panas tubuh terhambat (McDowell, 1972). Pada saat siang sampai sore hari domba digembalakan ditempat yang tidak dinaungi, sebagai akibatnya ada tambahan panas dari luar tubuh terutama yang berasal dari radiasi panas matahari secara langsung. Oleh sebab itu suhu tubuh domba pada siang dan sore lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Pada keadaan normal suhu tubuh ternak sejenis dapat bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan dan jumlah air yang diminum. Denyut Jantung Satu denyut terdiri dari satu sistol dan satu diastol. Siklus jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut diastol, yaitu periode pengisian jantung dengan 19

darah, yang diikuti oleh satu periode kontraksi yang disebut sistol (Guyton, 1997). Fungsi jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk mempertahankan jaringan selalu disuplai darah (Soeharsono, 2010). Denyut jantung dapat diukur dengan menggunakan stetoskop dan stopwatch untuk menghitung waktu. Hasil pengamatan dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Denyut Jantung Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut Waktu Pagi Siang Sore Jenis Kelamin Cukur Pencukuran Tidak Cukur Rataan -----------------------kali/menit------------------ Jantan 73,92±4,92 75,84±5,26 74,88±4,91 Betina 73,28±3,69 72,64±4,88 72,96±4,09 Rataan 73,60±4,11 74,24±5,07 73,92±4,51 Jantan 78,88±3,13 82,40±4,31 80,64±4,01 Betina 79,84±7,21 78,56±6,38 79,20±6,46 Rataan 79,36±5,26 80,48±5,52 79,92±5,28 Jantan 88,40±2,50 85,04±8,99 86,72±6,47 a Betina 79,92±3,78 82,56±4,43 81,24±4,12 b Rataan 84,16±5,39 83,80±6,81 83,98±5,98 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran. Denyut jantung domba 70-80 kali/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Hasil analisis ragam menunjukan bahwa denyut jantung pada pagi dan siang hari tidak terdapat perbedaan yang nyata baik dari faktor jenis kelamin maupun pencukuran. Pada sore hari faktor jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap denyut jantung. Denyut jantung jantan (86,72±6,47 kali/menit) lebih tinggi dibandingkan dengan betina (81,24±4,12 kali/menit). Hal ini disebabkan domba garut jantan bersifat lebih agresif dan sangat kuat dibandingkan dengan betina. Sehingga aktivitas jantan lebih banyak yang menyebabkan denyut jantungnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Denyut jantung domba pada sore hari meningkat seiring dengan peningkatan suhu tubuh, selain itu aktivitas yang dilakukan oleh ternak pada sore lebih tinggi dibandingkan siang ataupun pagi hari. Sore hari ternak dimasukkan ke dalam 20

kandang setelah digembalakan sehingga ternak berlari-larian yang dapat menyebabkan denyut jantung domba berdetak lebih cepat. Hasil penelitian ini sesuai dengan Adisuwirdjo (2001), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung yaitu suhu tubuh, semakin tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. Aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi kerja jantung. Namun berbeda dengan Al-Haidary (2004) menyatakan bahwa tantangan stres panas mengurangi denyut jantung pada ternak yang diam, dan pengurangan tanda denyut jantung karena upaya umum untuk ternak menurunkan produksi panas. Laju Respirasi Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O 2 dan CO 2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Frekuensi respirasi bervariasi tergantung dari aktivitas ternak, temperatur dan kondisi tubuh, ukuran tubuh hewan, dan aktivitas metabolisme serta faktor umur (Soeharsono, 2010). Hasil pengukuran respirasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Respirasi Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Cukur Tidak Cukur Rataan ---------------------(kali/menit)----------------------------- Jantan 22,28±2,42 25,88±1,84 24,08±2,78 B Pagi Betina 26,64±1,10 29,68±1,97 28,16±2,20 A Rataan 24,46±2,90 B 27,78±2,69 A 26,12±3,21 Jantan 34,16±4,73 55,72±9,42 44,94±13,36 Siang Betina 43,52±4,45 56,00±8,65 49,76±9,24 Rataan 38,84±6,56 B 55,86±8,53 A 47,35±11,45 Jantan 42,64±3,99 b 50,24±5,88 a 46,44±6,21 Sore Betina 34,84±3,99 c 52,64±3,30 a 43,74±10,00 Rataan 38,74±5,57 51,44±4,67 45,09±8,22 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran. 21