BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi dapat terjadi pada semua orang yang kontak dengan pasien termasuk di dalamnya Co Ass ( mahasiswa program pendidikan profesi dokter gigi ) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, karena mereka tidak terlepas dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam saliva dan darah pasien. Penyebaran infeksi dapat terjadi melalui transmisi mikroorganisme dari serum dan dari tangan yang tidak bersih. Hal ini dapat menyebabkan pelayanan dalam praktek kedokteran gigi menempatkan mahasiswa program pendidikan profesi kedokteran gigi berisiko tinggi terutama terhadap penyakit menular / infeksi nosokomial berbahaya yang disebabkan oleh bakteri dan virus dari pasien dan sebaliknya pada waktu menjalankan proses pendidikan profesinya di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM). Presentase data infeksi nosokomial di rumah sakit dunia mencapai 9% (WHO) variasi 3 21% atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia mendapatkan infeksi nosokomial. Penelitian lain yang dilakukan oleh World Health Organization menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial, dan untuk Asia Tenggara sebanyak 10,0% (WHO, 2002). 1
2 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang angka infeksi nosokomialnya masih cukup tinggi, data kejadian infeksi nosokomial di Indonesia dapat dilihat dari data surveilans yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 1987 di sepuluh (10) RSU Pendidikan diperoleh angka infeksi nosokomial sebesar 6-16 % dengan rata-rata 9,8 %, dan penelitian yang pernah dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8 % pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat (Balaguris, 2009). Dari beberapa rumah sakit lain dilaporkan hasil penelitian angka kejadian infeksi nosokomial tahun 2005 adalah di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta sebesar 7,94%, Rumah Sakit Dr.Sutomo Surabaya sebesar 14,60%, Rumah Sakit Bekasi sebesar 5,06%, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung sebesar 4,60%, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 4,60% (Bady et al., 2007). Infeksi terjadi karena adanya interaksi segitiga epidemiologi yang sering dikenal dengan istilah trias epidemiologi yaitu ; host (tuan rumah / penjamu), environment ( lingkungan ) dan agent ( mikro organisme / bakteri ) (Maryani dan Muliani, 2010). Semua mikro organisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri. Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebaran mikro organismenya melalui benda atau bahan-bahan yang tidak steril, termasuk dari tangan petugas kesehatan
3 yang kurang bersih akibat tidak mengimplementasikan panduan kebersihan tangan secara baik dan benar (WHO,2009). Sejak ditemukan mikroskop oleh Antony van Leeuwenhoek pada tahun 1683 (Gupte, 1990), dapat diketahui ternyata kuman ada di mana-mana, di air, tanah, udara, benda-benda, bahkan di tubuh setiap orang misalnya pada telapak tangan, ujung jari dan di bawah kuku seperti E.coli, Salmonella sp, Shigela sp, Clostridium perfringens, Giardia lamblia, virus Norwalk dan virus hepatitis A (Synder, 1988). Flora tetap tidak bersifat patogen yang sering dijumpai pada kulit seperti Staphylococcus epidermis, Staphylococcus koagulase, Corynebaterium (Trampuz & Widmer, 2004), sedangkan flora tetap yang patogen adalah Staphylococcus aureus (Synder, 2001). Keberadaan kuman-kuman yang tidak kasat mata tersebut seringkali membuat kita tidak sadar akan bahaya berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan (Rachmawati dan Triyana,2008). Bakteri patogen penyebab infeksi nosokomial yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumonia (Tennant dan Harding, 2005 ; Prabhu et al., 2006). Berdasarkan data, penyebab infeksi nosokomial yang paling sering adalah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Zulkarnain, 2009 ; Bereketet al., 2012). Peningkatan insiden infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan virus hepatitis B (HBV) menyebabkan peningkatan kewaspadaan terhadap infeksi silang semakin meningkat.tingkat disiplin pada pengendalian infeksi telah
4 meningkat selama 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan insidensi AIDS yang lebih beresiko mengenai tenaga medis kedokteran gigi. Pasien dan tenaga medis di kedokteran gigi beresiko untuk tertular mikro- organisme patogen yang menginfeksi rongga mulut. Penyakit infeksi dapat menyebar di tempat praktek melalui kontak secara langsung antara manusia dengan manusia, atau secara kontak tidak langsung dari alat, bahan dan tempat pelayanan dengan manusia (Wibowo et al., 2009). Kegiatan pencegahan dan pengedalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu standar mutu pelayanan dan penting bagi pasien, petugas kesehatan maupun pengunjung rumah sakit. Pengendalian infeksi harus dilaksanakan oleh semua rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya untuk melindungi pasien, petugas kesehatan dan pengunjung dari kejadian infeksi. Untuk itu Departemen Kesehatan menetapkan lima rumah sakit sebagai pusat pelatihan regional pencegahan dan pengendalian infeksi, yaitu RSUP Adam Malik Medan, RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr SardjitoYogyakarta, RSUD Dr Soetomo Surabaya, dan RSUP Sanglah Denpasar (Depkes.RI., 2007). Pencegahan dan pengendalian infeksi mutlak harus dilakukan oleh perawat, dokter/dokter gigi termasuk calon dokter gigi dan seluruh orang yang terlibat dalam perawatan pasien.salah satu cara/ usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjdinya infeksi nosokomial adalah dengan dekontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga kebersihan tangan dengan cara cuci tangan (Depkes.RI., 2007). Cuci tangan
5 menjadi salah satu langkah yang efektif untuk memutuskan rantai transmisi infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat berkurang. Salah satu komponen standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi nosokomial adalah menggunakan panduan kebersihan tangan (hand hygiene) yang benar dan mengimplementasikan secara benar dan efektif (WHO, 2002). Kebiasaan cuci tangan tidak timbul begitu saja, tetapi harus dibiasakan sejak kecil.anak-anak merupakan agen perubahan untuk memberikan edukasi baik untuk diri sendiri dan lingkungannya sekaligus mengajarkan pola hidup bersih dan sehat.anak-anak juga cukup efektif dalam memberikan contoh terhadap orang yang lebih tua khususnya mencuci tangan yang selama ini dianggap remeh (Batanoa, 2008). Peran tangan sebagai sarana transmisi kuman patogen telah disadari sejak tahun 1840an, dengan cuci tangan diharapkan akan mencegah penyebaran kuman patogen melalui tangan.sejak itu banyak penelitian yang memastikan bahwa dokter yang membersihkan tangannya dari kuman sebelum dan sesudah memeriksa pasien dapat mengurangi angka infeksi rumah sakit (Teare, 1999).Cuci tangan merupakan suatu hal yang sederhana yang biasa kita lakukan tapi sangat besar manfaatnya. Aktivitas cuci tangan menyebabkan hilangnya kotoran di tangan secara mekanis (tanah, bahan-bahan organik) dan flora yang melekat di tangan sehingga cuci tangan dapat menurunkan jumlah kuman di tangan (Girou et al., 2002). Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan intervensi kesehatan yang paling murah dan efektif dibandingkan dengan hasil intervensi kesehatan dengan
6 cara lainnya dalam mengurangi risiko penularan berbagai penyakit (Fewtrell et al., 2005). Oleh karena itu kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas yang tinggi, karena cuci tangan dengan sabun sebagai pembersih, penggosokan, dan pembilasan dengan air mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroorganisme (Fatonah, 2005). Tangan adalah salah satu penghantar utama masuknya kuman penyakit ke tubuh manusia, cuci tangan dengan sabun dapat menghambat masuknya kuman penyakit ke tubuh manusia melalui perantaraan tangan, hampir semua orang mengerti pentingnya cuci tangan pakai sabun namun tidak membiasakan diri untuk melakukannya dengan benar (Depkes.RI., 2010). Kebersihan tangan merupakan salah satu cara yang paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Penyedia layanan kesehatan harus berlatih dan membiasakan dengan kebersihan tangan pada titik-titik kunci sebelum kontak dengan pasien, setelah kontak dengan cairan tubuh atau darah atau permukaan yang terkontaminasi, sebelum prosedur invasif, dan setelah melepas handscoens, karena mencuci tangan merupakan salah satu unsur pencegahan penularan infeksi (CDC, 2012). Cuci tangan merupakan salah satu cara yang mudah untuk pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial, tetapi pada kenyataannya cuci tangan ini tidak dilakukan karena banyaknya alasan seperti kurangnya sarana-prasarana, alergi sabun pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya cuci tangan, dan waktu mencuci tangan yang lama (Lankford et al., 2003).
7 Hasil Studi Formatif Perilaku Higienitas yang digelar Water and Sanitation Program menunjukkan, perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) belum menjadi praktik yang umum ataupun norma sosial (USAID, 2006) dan angka prevalensi nasional berperilaku benar dalam cuci tangan adalah 23,2% (Depkes. RI, 2008a). Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mencuci tangan pakai sabun hingga kini masih tergolong rendah, indikasinya dapat terlihat dengan tingginya prevalensi penyakit diare (Depkes. R.I. 2008) dan tercatat rata-rata hanya 12% masyarakat yang melakukan cuci tangan pakai sabun (Kemenkes. RI., 2010). Dari 99,6% mahasiswa kedokteran mengetahui prosedur cuci tangan yang benar, namum dalam kenyataannya hanya 52,9% dari mereka menganggap itu sebagai tindakan preventif yang paling penting untuk mengontrol infeksi (Huang et al., 2013). Cuci tangan adalah tindakan sederhana, tetapi kurangnya kepatuhan diantara penyedia layanan kesehatan adalah masalah di seluruh dunia (WHO, 2009). Penelitian lain yang mengamati tingkat kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan di unit perawatan intensif Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan cuci tangan paling tinggi adalah perawat 43%, dokter 19% dan tenaga kesehatan lainnya 28% (Jamaluddin et al., 2012), sedangkan hasil penelitian perbedaan angka kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan di RSUP Kariadi Semarang hasilnya adalah angka kepatuhan cuci tangan perawat 31,31%, residen 21,22% dan Co Ass 21,69% (Suryoputri, 2011).
8 Tingkat kepatuhan cuci tangan dikalangan mahasiswa program pendidikan profesi kedokteran Fakultas Kedokteran Univesitas Udayana Denpasar juga masih rendah, terbukti dari data RSUP Sanglah Denpasar menunjukkan tingkat kepatuhan cuci tangan periode April Juni 2014 adalah 24,32 %, periode Juli September 2014 adalah 44,83 % (RSUP Sanglah, 2015). Data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan cuci tangan masih rendah, masih berada dibawah standar WHO yang mewajibkan kepatuhan cuci tangan harus lebih dari 50%. Kebiasaan cuci tangan wajib dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) termasuk Co Ass FKG UNMAS, namun sampai saat ini datanya belum dijumpai sehingga perlu dilakukan penelitian. Analisis penyebab ketidak patuhan akibat kurangnya pengetahuan dan informasi yang ilmiah tentang hand hygiene sehinggaa menjadi penghambat atau kurangnya motivasi untuk taat dalam melakukan cuci tangan sesuai dengan rekomendasi (Pitted, 2001 ; WHO 2002), faktor ketidak mengertian akan tekhnik hand hygiene atau standar hand hygiene (Burke, 2003), kurangnya pengetahuan terhadap standar (Lankfordet al.,2003), kurangnya pendidikan cuci tangan (WHO, 2005), kurangnya sosialisasi cuci tangan yang baik dan benar (Jamaluddin et al., 2012), oleh karenanya diperlukan Program penyadaran (Awareness program). Dengan adanya permasalahan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang program penyadaran (Awareness program) dengan judul program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat meningkatkan pengetahuan cuci tangan, dapat menurunkan jumlah koloni bakteri dan jumlah
9 bakteri Staphylococcus aureus pada tangan Co Ass Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut ; 1 Apakah program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat meningkatkan pengetahuan cuci tangan Co Ass FKG UNMAS Denpasar? 2 Apakah program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat menurunkan jumlah koloni bakteri pada tangan Co Ass FKG UNMAS Denpasar? 3 Apakah program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat menurunkan jumlah bakteri Staphylococcus aureus pada tangan Co Ass FKG UNMAS Denpasar? 1.3 Tujuan 1 Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat meningkatkan pengetahuan cuci tangan, menurunkan jumlah koloni bakteri dan jumlah bakteri Staphylococcus aureus pada tangan Co Ass FKG UNMAS Denpasar 2 Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Untuk membuktikan bahwa program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat meningkatkan pengetahuan cuci tangan Co Ass FKG UNMAS Denpasar.
10 2. Untuk membuktikan bahwa program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat menurunkan jumlah koloni bakteri pada tangan Co Ass FKG UNMAS. 3. Untuk membuktikan bahwa program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat menurunkan jumlah bakteri Staphylococcus aureus pada tangan Co Ass FKG UNMAS 1.4 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1 Manfaat akademis ; Penelitian ini dapat dipakai acuan dalam panduan kebersihan tangan yang sangat penting untuk pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. 2 Manfaat praktis ; 1. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dapat dilakukan dengan program penyadaran kepatuhan cuci tangan. 2. Kalau program penyadaran kepatuhan cuci tangan terbukti dapat meningkatkan pengetahuan cuci tangan, dapat menurunkan jumlah kolon bakteri dan jumlah bakteri Staphylococcus aureus pada tangan maka program penyadaran kepatuhan cuci tangan dapat disosialisasikan ke peserta didik khususnya dilingkungan Co Ass Fakultas Kedok teran Gigi dan profesi kesehatan lainnya.