STUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION Muh. Ishak Jumarang 1), Lyra Andromeda 2) dan Bintoro Siswo Nugroho 3) 1,3) Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura Pontianak 2) SMA Gembala Baik Pontianak Jl. Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat E-mail: Abu_khaerul01@yahoo.com Abstract Pontianak city which has a high rainfall values is in needed of an information system which capable of predicting the rainfall value in the future. Artificial Neural Network is one of the information systems that can be used to predict future event by training using available data from the past. Back Propagation is a multi layer Artificial Neural Network which changes its weigh value by moving backward from output layer until input layer. This research using Backpropagation with [12, 30, 1] architecture to estimation rainfall, value in Pontianak. This Back Propagation architecture is used to estimation temperature and relative humidity in that location. The result showed that Back Propagation with [12,30,1] architecture was capable of recognizing the rainfall pattern but it could not recognize the estimation pattern of temperature and relative humidity. The largest deviation from rainfall estimation is 49,68 % and the smallest deviation is 7,61 %. The largest deviation from temperature estimation is 35,80 % and the smallest deviation is 26, 55 %. The largest deviation from the relative humidity estimation is 36,84 % and the smallest deviation is 0,03 %. Keywords: Rainfall, Back Propagation, Temperature, Relative Humidity 1. Pendahuluan Hujan memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan, akan tetapi hujan juga dapat membahayakan kehidupan apalagi dengan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan. Hal ini menjadikan hujan menjadi suatu peristiwa yang perlu diwaspadai karena dapat mengakibatkan banjir. Oleh karena itu, pembuatan sistem informasi untuk memperkirakan besarnya curah hujan yang akan terjadi sangat diperlukan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan sistem informasi tersebut adalah dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST). JST merupakan suatu sistem pemrosesan informasi yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi. JST dapat digunakan untuk pengenalan pola, signal processing, dan peramalan. JST juga dapat digunakan untuk memperkirakan nilai dari data yang hilang berdasarkan informasi dari data-data yang ada sebelumnya [1]. Hujan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang studi estimasi curah hujan, suhu dan kelembaban udara di kota Pontianak dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation. Data hasil estimasi JST kemudian dikorelasikan dan dibandingkan dengan korelasi yang dihasilkan dari data sekunder yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Supadio Pontianak.
2. Metode Penelitian 2.1 Pengambilan Data Data yang akan digunakan merupakan data sekunder yaitu data curah hujan, suhu dan kelembaban yang diperoleh dari BMG Supadio Pontianak. Data yang akan digunakan adalah data curah hujan, suhu dan kelembaban bulanan di Pontianak dari tahun 1987-2006. 2.2 Analisis Data (1). Memisahkan data yang akan digunakan sebagai data pelatihan dan data uji. Data curah hujan bulanan di Pontianak pada tahun 1987-2001 akan digunakan sebagai data pelatihan selama proses pembuatan JST sedangkan data pada tahun 2002-2006 digunakan sebagai data untuk estimasi (2). Desain JST a. Desain JST dilakukan masing-masing untuk meramalkan curah hujan bulanan, suhu bulanan dan kelembaban dimulai dengan menentukan banyaknya data masukan yang digunakan, banyaknya layar tersembunyi yang digunakan dan banyaknya keluaran yang diinginkan. Data yang digunakan sebagai masukan sebanyak 12 data (12 bulan) dan data keluarannya atau target adalah data pada bulan ke 13. Untuk mengetahui jumlah curah hujan pada bulan ke 14 maka data masukannya merupakan data pada bulan ke dua sampai bulan ke 13, demikian seterusnya. Pada penelitian ini lapisan tersembunyi yang digunakan hanya satu buah lapisan tersembunyi dengan 30 buah neuron. Ini berarti arsitektur JST yang akan digunakan adalah [12 30 1]. b. Untuk memudahkan dalam proses komputasi maka data input diubah ke interval 0 dan 1. Persamaan yang digunakan untuk merubah data input ke nilai antara 0 dan 1 adalah: ' x i x =... (1) x max dengan x i merupakan data input ke-i dan x max merupakan data input yang nilainya paling tinggi [2]. (3). Pengenalan Pola (Pelatihan) Pengenalan pola diperlukan untuk melakukan penyesuaian nilai bobot dengan nilai target (keluaran) yang diinginkan sehingga akan menghasilkan bobot optimal yang bisa mengenali data uji. Kondisi penghentian pengenalan pola yang dilakukan pada penelitian ini adalah besarnya error (kesalahan) yang dihasilkan dari pelatihan). Pelatihan akan selesai apabila error yang dihasilkan kurang dari 0,001. Error tersebut dihitung setelah tahapan forward propagation selesai dilakukan. Apabila error lebih besar dari error max (0,001) maka pelatihan akan dilanjutkan ke tahap backward propagation. (4). Pengujian dan Estimasi Pengujian dan estimasi dilakukan setelah proses pengenalan pola yang dilakukan oleh jaringan telah selesai. Pengujian dilakukan untuk melihat pola yang dihasilkan dari jaringan dengan menggunakan data pelatihan. Proses estimasi dilakukan untuk melihat kemampuan jaringan dalam mengenal pola data baru yaitu data dari tahun 2002-2006. (5). Menentukan besarnya korelasi antara suhu dan jumlah curah hujan bulanan dengan menggunakan data sekunder dan data hasil prediksi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut [3]: x i yi r( x, y) =... (2) 2 2 x y dengan: r( x, y) = i i koefisien korelasi antara suhu dan jumlah curah hujan bulanan
x i = Suhu udara rata-rata bulanan ( 0 C) y i = Jumlah curah hujan bulanan (mm) (6). Menentukan besarnya korelasi antara kelembaban dan jumlah curah hujan bulanan dengan menggunakan data sekunder maupun data hasil prediksi. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pengenalan Pola Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban dengan (JST) Proses pertama yang dilakukan untuk pengenalan pola curah hujan, suhu dan kelembaban adalah melakukan pelatihan dengan menggunakan set data untuk pelatihan. Pelatihan dilakukan untuk membuat jaringan mengenal pola yang dihasilkan dari pasangan input dan output dari set pelatihan. Pengenalan dilakukan dengan cara mengubah bobot-bobot (v ij dan w jk ) sampai mendapatkan bobot-bobot yang sesuai untuk pasangan input dan output yang dimasukkan ke dalam JST. Pada JST yang penulis buat pelatihan akan selesai pada saat error (selisih antara keluaran JST dengan nilai sebenarnya) mencapai 0,001. Untuk mengetahui Bobot-bobot yang dihasilkan dari proses pelatihan tersebut akan digunakan dalam proses pengujian dan prediksi. Proses pengujian dilakukan untuk melihat kemampuan JST untuk mengenal pola set data pelatihan sedangkan proses estimasi dilakukan untuk melihat kemampuan JST mengenal data baru. 3.1.1 Pengenalan Pola Curah Hujan Hasil pengujian JST untuk curah hujan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa JST mampu mengenali pola curah hujan di kota Pontianak. Hal ini dapat dilihat dari pola yang dibentuk dari grafik dengan menggunakan data sebenarnya dan data dari hasil pengujian jaringan. Pola grafik dari JST mampu mendekati pola yang sebenarnya walaupun besarnya curah hujan hasil pengujian berbeda dari nilai sebenarnya. Simpangan terkecil dari pengujian terdapat pada bulan Oktober 1990 yaitu sebesar 7,61 % dan simpangan terbesar terdapat pada bulan Agustus 1991 sebesar 49,68 %. Gambar 4.1 Perbandingan Grafik Pola Curah Hujan Sebenarnya dengan Grafik Pola Curah Hujan yang dihasilkan JST dari Tahun 1987-2001
Hasil estimasi untuk curah hujan dapat dilihat pada Gambar 4.2. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa hasil estimasi dari JST mampu mendekati nilai yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari pola grafik hasil estimasi yang mampu mengikuti pola yang dihasilkan dari nilai yang sebenarnya. Simpangan terkecil yang dihasilkan oleh JST terdapat pada bulan Oktober 2005 dan Mei 2006 yaitu sebesar 0,01 % dan simpangan terbesar terdapat pada bulan Agustus 2004 yaitu sebesar 43,30 %. Gambar 4.2 Perbandingan Pola Curah Hujan Sebenarnya dan Pola Curah Hujan Hasil Estimasi JST dari Tahun 2002 s.d 2006 Pada saat pengujian, terlihat ada perbedaan nilai output yang agak besar, tetapi apabila dilihat dari pola pada grafik terlihat jaringan mampu mengikuti pola yang dihasilkan dari data sebenarnya. Sedangkan pada saat JST di uji dengan data untuk estimasi, output yang dihasilkan tidak begitu besar selisihnya dengan nilai yang sebenarnya bahkan pada grafik terlihat pola hasil estimasi mengikuti alur grafik nilai yang sebenarnya. Oleh karena itu, dilihat dari pola yang dihasilkan pada saat pengujian dan estimasi dapat dikatakan bahwa jaringan dapat mengenal pola curah hujan di kota Pontianak dengan sangat baik. 3.1.2 Pengenalan Pola Suhu Udara Hasil pengujian JST untuk suhu udara dapat dilihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh JST, simpangan terkecil yang dihasilkan pada saat pengujian terdapat pada bulan Oktober 1996 yaitu sebesar 34,20 %. Simpangan terbesar terdapat pada bulan Oktober 2000 yaitu sebesar 42,34 %. Gambar 4.3 menunjukkan output yang dihasilkan pada saat pengujian berbeda dengan output yang sebenarnya. Akan tetapi, jaringan dapat dikatakan mampu mengenali pola suhu udara karena grafik yang dihasilkan menyerupai grafik yang sebenarnya.
Gambar 4.3 Perbandingan Grafik Pola Suhu Udara Sebenarnya dengan Grafik Pola Suhu Udara yang dihasilkan JST dari Tahun 1987-2001 Hasil estimasi JST untuk suhu udara dapat dilihat pada Gambar 4.4. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan oleh JST, simpangan terkecil terdapat pada bulan Juli 2001 yaitu sebesar 26,55 %. Simpangan terbesar terdapat pada bulan Juli 2004 yaitu sebesar 35,80 %. Pada Gambar 4.4 terlihat hasil estimasi jaringan tidak dapat mengikuti pola dari data yang sebenarnya. Ini berarti jaringan tidak dapat mengenal pola dari data yang digunakan untuk prediksi. Gambar 4.4 Perbandingan Pola Suhu Udara Sebenarnya dengan Pola Suhu Udara Hasil Estimasi JST dari Tahun 2002 s.d 2006
Output yang dihasilkan oleh jaringan pada saat pengujian dengan data pelatihan maupun pada saat JST di uji dengan data untuk estimasi menunjukkan bahwa JST tidak dapat menghasilkan nilai yang mendekati nilai sebenarnya. Akan tetapi, apabila dilihat dari grafik hasil pengujian, JST dapat dianggap mampu mengenali pola dari set yang digunakan untuk pengujian karena pola grafik yang dihasilkan hampir sama dengan pola yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa JST dapat digunakan untuk mengenal pola suhu udara di Pontianak tetapi perlu dilakukan perubahan parameter pada jaringan agar jaringan mampu menghasilkan output yang sesuai dengan nilai yang sebenarnya. 3.1.3 Pengenalan Pola Kelembaban Udara Hasil pengujian JST untuk kelembaban dapat dilihat pada Gambar 4.5. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh JST, simpangan terkecil yang dihasilkan pada saat pengujian terdapat pada bulan Oktober 1998 yaitu sebesar 13,52 %. Simpangan terbesar terdapat pada bulan Maret 1989 yaitu sebesar 17,10 %. Gambar 4.5 menunjukkan pola grafik yang dihasilkan dari pengujian maupun pola grafik kelembaban yang sebenarnya. Pada gambar terlihat pola yang dihasilkan dari pengujian yang dilakukan jaringan mampu mengikuti pola dari nilai yang sebenarnya. Oleh karena JST mampu mengikuti pola grafik dari nilai yang sebenarnya, JST dapat dikatakan mampu mengenal pola dari set data pengujian walaupun output yang dihasilkan tidak mendekati nilai yang sebenarnya. Gambar 4.5 Perbandingan Grafik Pola Kelembaban Udara Sebenarnya dengan Grafik Pola Kelembaban Udara yang dihasilkan JST dari Tahun 1987-2001 Hasil estimasi yang dilakukan JST untuk kelembaban udara dapat dilihat pada Gambar 4.6. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan oleh JST, simpangan terkecil terdapat pada bulan November dan Desember tahun 2005 yaitu sebesar 0,03 %. Simpangan terbesar terdapat pada bulan April 2006 yaitu sebesar 36,84 %. Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa hasil estimasi JST tidak dapat mengikuti pola data kelembaban. Ini berarti JST tidak dapat mengenal data yang digunakan untuk estimasi.
Gambar 4.6 Perbandingan Pola Kelembaban Udara Sebenarnya dengan Pola Kelembaban Udara Hasil Estimasi JST dari Tahun 2002 s.d 2006 Pada saat JST di uji dengan data pengujian (data latih) dan data estimasi, JST tidak dapat menghasilkan output yang mendekati nilai kelembaban udara sebenarnya. Akan tetapi, apabila dilihat dari grafik hasil pengujian, JST dapat dianggap mampu mengenali pola dari set data yang digunakan untuk pengujian karena pola grafik yang dihasilkan hampir sama dengan pola yang sebenarnya (Lihat Gambar 4.5). Ini berarti JST dapat digunakan untuk mengenal pola kelembaban di Pontianak tetapi perlu dilakukan perubahan parameter pada jaringan agar jaringan mampu menghasilkan output yang sesuai dengan nilai yang sebenarnya. 3.1.4 Analisis Pengenalan Pola Menggunakan JST JST merupakan suatu sistem informasi yang dapat dilatih dengan menggunakan data yang sudah diketahui hasilnya dan dapat mengklasifikasikan setiap pola yang telah dilatihkan sesuai dengan hasil yang dikehendaki. JST dilatih dengan menggunakan beberapa konfigurasi data pelatihan dan pengujian. Pengenalan pola yang dilakukan pada curah hujan, suhu udara dan kelembaban di Pontianak bertujuan untuk mengetahui apakah JST mampu mengenal pola dari curah hujan, suhu udara dan kelembaban di Pontianak. Apabila JST dapat mengenal maka JST dapat dikembangkan untuk dijadikan sebagai alat untuk memprediksi keadaan cuaca di masa yang akan datang khususnya keadaan curah hujan, suhu udara dan kelembaban di Pontianak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa JST dengan arsitektur [12,30,1] mampu mengenal pola curah hujan di Pontianak dengan baik. Hal ini terlihat dari pola yang dihasilkan pada saat pengujian maupun pada saat estimasi (Gambar 4.1 dan Gambar 4.2). Pola curah hujan yang dihasilkan pada saat pengujian maupun estimasi mampu mengikuti pola curah hujan yang sebenarnya. Akan tetapi, JST dengan arsitektur [12,30,1] kurang mengenal pola suhu udara dan kelembaban di Pontianak. Ini terlihat dari pola yang dihasilkan pada saat pengujian maupun pada saat dilakukan estimasi. Pada saat pengujian, JST mampu mengikuti pola dari suhu dan kelembaban tetapi output yang dihasilkan berbeda jauh dengan output yang sebenarnya. Pada saat estimasi, pola suhu dan kelembaban yang dihasilkan JST tidak dapat mengikuti pola dari data yang sebenarnya. Selisih nilai yang dihasilkan pada suhu adalah 9 sedangkan pada kelembaban
adalah 5. Hal ini mungkin disebabkan oleh arsitektur yang penulis buat hanya mampu mengenal data dengan fluktuasi data yang cukup besar. Hal ini terlihat pada saat JST yang dibuat mampu mengenal pola curah hujan yang fluktuasinya lebih besar, sedangkan data dengan fluktuasi yang kecil (data suhu dan kelembaban udara), JST tidak dapat mengenal pola dan mendekati nilai sebenarnya. Hal tersebut juga dapat dilihat pada pola grafik estimasi curah hujan, pada grafik terlihat simpangan terbesar terjadi pada bulan yang curah hujannya kecil (misalnya: pada bulan Agustus 2004 yaitu sebesar 19 mm. 3.2 Korelasi Suhu Udara dan Kelembaban Terhadap Curah Hujan Pontianak sebagai kota yang dilewati garis khatulistiwa memiliki karakteristik suhu udara, kelembaban dan curah hujan yang berbeda dari daerah lain. Untuk mengetahui hubungan antara suhu udara terhadap curah hujan dan hubungan kelembaban terhadap curah hujan, penulis menghitung besar korelasi antara suhu terhadap curah hujan dan kelembaban terhadap curah hujan di kota Pontianak. Data yang digunakan adalah data selama 5 tahun (2002-2006) yaitu data yang digunakan untuk proses estimasi pada JST. Perhitungan nilai koefisien korelasi bertujuan untuk melihat sama atau tidaknya koefisien korelasi yang dihasilkan oleh JST dengan yang dihasilkan oleh data yang sebenarnya (Data dari BMG). Tabel 1 Nilai Koefisien Korelasi Suhu Udara dan Kelembaban Terhadap Curah Hujan (2002 s.d 2006) Korelasi Data dari BMG Data dari Estimasi JST Suhu udara dengan Curah Hujan 0,893 0,897 Kelembaban dengan Curah Hujan 0,903 0,897 Nilai Koefisien korelasi suhu udara terhadap curah hujan selama 60 bulan (5 tahun) yang dihitung dengan menggunakan data dari BMG adalah sebesar 0,893 (Tabel 1). Nilai koefisien korelasi suhu udara terhadap curah hujan yang dihitung dengan menggunakan data dari estimasi JST adalah sebesar 0,897. Selisih kedua koefisien tersebut adalah sebesar 0,004. Kedua koefisien tersebut menunjukkan bahwa hubungan suhu udara dengan curah hujan bulanan selama 60 bulan termasuk kategori sangat kuat. Nilai koefisien tersebut juga menunjukkan bahwa walaupun hasil estimasi yang dihasilkan JST dengan arsitektur [12, 30, 1] tidak dapat menghasilkan pola yang sama dengan data yang sebenarnya tetapi hasil dari estimasi suhu udara dan curah hujan yang dihasilkan JST dapat menujukkan kategori tingkat korelasi yang sesuai dengan tingkat korelasi yang dihitung dengan menggunakan data sebenarnya. Penghitungan korelasi kelembaban udara terhadap curah hujan bulanan di kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari BMG adalah sebesar 0,903 sedangkan dari hasil estimasi JST adalah sebesar 0,897. Selisih kedua nilai koefisien korelasi tersebut adalah sebesar 0,006. Kedua koefisien.tersebut menunjukkan bahwa hubungan kelembaban udara dengan curah hujan bulanan selama 60 bulan termasuk kategori sangat kuat. Nilai koefisien tersebut juga menunjukkan bahwa walaupun hasil estimasi yang dihasilkan JST dengan arsitektur [12, 30, 1] tidak dapat menghasilkan pola yang sama dengan data yang sebenarnya tetapi hasil dari estimasi kelembaban udara dan curah hujan yang dihasilkan JST dapat menunjukkan tingkat korelasi yang sesuai dengan tingkat korelasi yang dihitung dengan menggunakan data sebenarnya. Koefisien korelasi yang dihitung menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan hujan. Pembentukan hujan diawali dengan proses evaporasi. Evaporasi merupakan proses perubahan air menjadi uap air. Proses perubahan tersebut dipengaruhi oleh suhu yang diterima oleh permukaan. Kota Pontianak sebagai daerah yang
berada di garis Khatulistiwa memiliki suhu permukaan yang relatif tinggi dan hampir sama sepanjang tahun. Hal ini membuat peluang terjadinya evaporasi lebih besar dibandingkan kota lain. Pembentukan uap air yang berlangsung terus-menerus menyebabkan udara di Khatulistiwa banyak mengandung uap-uap air sehingga kelembaban udara di Khatulistiwa juga tinggi. Oleh karena itu peluang terjadinya hujan di kota Pontianak semakin besar sehingga hujan setiap bulan terjadi di kota Pontianak. 4. Kesimpulan (1). Pola curah hujan yang dihasilkan dari JST dengan arsitektur [12,30,1] pada saat pengujian maupun estimasi mampu mengikuti pola dan mendekati nilai curah hujan yang sebenarnya. (2). Pola suhu udara dan kelembaban yang dihasilkan dari JST pada saat pelatihan mampu mengikuti pola suhu udara yang sebenarnya, tetapi tidak mampu menghasilkan pola dan nilai suhu udara dan kelembaban yang bersesuaian dengan nilai yang sebenarnya pada saat estimasi. (3). koefisien korelasi antara suhu dan kelembaban terhadap curah hujan bulanan di kota Pontianak, termasuk dalam kategori tinggi (0,89 dan 0,90). Selisih nilai koefisien korelasi yang dihitung dengan data dari BMG dan data dari estimasi JST adalah sebesar 0,004 dan 0,006. 5. Daftar Pustaka [1] J.J. Siang, Jaringan Syaraf Tiruan dan Pemogramannya Menggunakan Matlab, Andi, Yogyakarta. (2004) [2] D. Puspitaningrum., Pengantar Jaringan Syaraf Tiruan, Andi, Yogyakarta. (2006) [3] Purnomo, Mauridhi, Hery dan K. Agus, Supervised Neural Networks dan Aplikasinya, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006 [4] F. Arpan; D. Galuh, dan Sudjarwali,, Kajian Meteorologis Hubungan Antara Hujan Harian dan Unsur-Unsur Cuaca, Majalah Geografi Indonesia Vol 18 No.2, Jakarta (2004), (http://i_lib.ugm.ac.id//jurnal/detail.php?id=1996) diakses tanggal 20 Oktober 2007 [5] B. Tjasjono, Klimatologi Umum, ITB, Bandung (1999). [6] Lakitan dan Benyamin., Dasar-Dasar Klimatologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta (1994)