BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para menteri perdagangan negaranegara anggota WTO pada 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. WTO dibentuk sebagai organisasi perdagangan dunia penerus dan penyempurna General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yaitu suatu persetujuan yang memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia yang telah terbentuk jauh sebelum WTO dibentuk. Indonesia telah secara resmi menjadi anggota WTO dengan adanya peratifikasian Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Nomor 57 Tahun 1994) tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada 2 November 1994. Ratifikasi tersebut menimbulkan akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya. Akibat hukum eksternal yang timbul adalah bahwa melalui tindakan tersebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internalnya adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan 1
dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Akibat hukum internal ini tidak hanya terbatas pada usaha untuk merubah hukum nasional agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan, namun juga harus disertai dengan jaminan bahwa hukum nasional tersebut diterapkan dengan konsisten, atau dengan kata lain hukum tersebut harus efektif. Oleh karena itu, keanggotaan RI pada lembaga internasional ini akan menimbulkan pengaruh yang tidak dapat diabaikan terhadap sistem perekonomian nasional Indonesia, sehingga tentu saja akan mempengaruhi kesejahteraan seluruh warga masyarakat. Sehingga sebagai konsekuensi dari peratifikasian Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tersebut, semua produk perundang-undangan nasional RI harus mengacu pada prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan sebagaimana dirumuskan dalam WTO. 5 WTO merupakan satu satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara negara anggota. WTO sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang telah disetujui bersama. 5 Disertasi Agus Brotosusilo, 2006, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri melalui Undang-undang Anti Dumping dan Safeguard, hlm. 5. 2
WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan, serta dapat menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya, sangatlah besar kemungkinannya untuk terjadi perselisihan, bahkan terjadi sengketa didalamnya. Begitu pula dalam perdagangan antar negara yang menjadi anggota WTO. Karena itu, WTO mempunyai sebuah sistem penyelesaian sengketa yang diatur secara lengkap dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau biasa disingkat Dispute Settlement Understanding (DSU). Selain berfungsi untuk menyelesaikan sengketa, DSU ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Secara umum dapat dijabarkan bahwa tujuan dibentuknya DSU adalah untuk menjamin keamanan dan prediktabilitas sistem perdagangan multilateral. DSU diciptakan untuk mengarahkan tingkah laku negara anggotanya supaya mengikuti rambu-rambu yang ada dalam menyelesaikan perbedaan dan memastikan bahwa ketentuanketentuan dalam berbagai perjanjian WTO dilaksanakan dengan benar. 6 GATT 1947 sebenarnya juga sudah memiliki sistem penyelesaian sengketa yang tertuang dalam pasal XXII mengenai 6 Donald McRae, 2008, Measuring the Effectiveness of the WTO Dispute Settlement System, Asian Center for WTO and International Health Law and Policy Journal volume 1, hlm.6. 3
konsultasi dan pasal XXIII mengenai nullification or impairment namun kedua pasal tersebut tidak menyebutkan secara spesifik mengenai prosedur yang harus dilakukan negara anggotanya ketika bersengketa. Selain itu, pengaturan penyelesaian sengketa menurut GATT 1947 bisa dikatakan cacat karena besarnya faktor kesepakatan contracting parties. Sesuai dengan pasal XXIII maka semua permasalahan dan tindakan harus melalui keputusan dan persetujuan contracting parties. Dalam hal penyelesaian sebuah kasus, akan sangat sulit untuk mendapatkan putusan bulat dari semua pihak karena pihak yang kalah sangat dimungkinkan untuk tidak menyepakati keputusan yang dapat merugikannya. 7 Perbedaan yang paling mencolok diantara sistem penyelesaian sengketa pada GATT dan WTO adalah GATT lebih menyarankan negara-negara anggotanya untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang terjadi di antara mereka. Sedangkan dalam semua sengketa perdagangan yang timbul di antara negara anggota WTO, para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk menyerahkan sengketa tersebut untuk diselesaikan dalam sistem penyelesaian sengketa WTO dan dilarang untuk mengambil kebijakan unilateral untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. 8 Sengketa dagang antar anggota WTO dapat dengan mudah timbul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan 7 David Palmeter dan Petros C. Mavroidis, 2004, Dispute Settlement in The World Trade Organization, Cambridge University Press, New York, hlm.6-9 8 William J Davey, 2005, The WTO Dispute Settlement System: How Have Developing Countries Fared?, Illinois Public Law and Legal Theory Research Paper Series, Research Paper No.05-17, hlm.3. 4
tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan kemudian merugikan negara lain. Selain negara yang paling dirugikan oleh kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan mendapatkan hak-hak tertentu selama berlangsungnya proses penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa dagang antar anggota WTO merupakan tanggung jawab utama dari Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB), yang terdiri dari seluruh anggota WTO. DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel dan Appellate Body yang terdiri atas para ahli yang bertugas menelaah kasus yang sedang disengketakan. DSB juga dapat menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan Appellate Body. Dalam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yang disahkan. Kasuskasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai kasus tersebut dapat diselesaikan. Putusan yang telah disahkan tersebut tidak semata-mata menjadi tahap akhir dalam proses penyelesaian sengketa WTO. Negara yang telah melanggar aturan WTO karena menetapkan aturan perdagangan yang tidak konsisten dengan WTO harus segera mengkoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih saja melanggar aturan WTO, maka negara penggugat berhak mengajukan permintaan kepada DSB untuk melakukan negosiasi dengan negara tergugat dalam menyepakati 5
kompensasi. Jika tidak tercapai kesepakatan dalam penentuan kompensasi, negara penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi dimaksudkan sebagai upaya terakhir (last resort) dengan tujuan agar negara pelanggar memperbaiki tindakannya agar sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota WTO. Penerapan retaliasi biasanya dalam bentuk peningkatan drastis pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan ekspor dari negara pelanggar. 9 Tidak semua kasus yang diselesaikan dalam proses penyelesaian sengketa WTO diselesaikan melalui proses retaliasi. Negara yang memenangkan sengketa belum tentu memiliki keberanian untuk mengajukan tindakan retaliasi meskipun negara yang kalah tidak mau melaksanakan keputusan DSB hingga batas waktu yang telah ditentukan. Sejalan dengan hal tersebut, negara yang dijatuhi tindakan retaliasi pun belum tentu dapat melaksanakan retaliasi karena kondisi perekonomian negara tersebut yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan retaliasi. Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Australia adalah contoh negara maju yang telah menerapkan tindakan retaliasi. Sedangkan, hingga saat ini belum ada negara berkembang apalagi negara kurang maju yang berani melaksanakan tindakan retaliasi. Jangankan melaksanakan, mengajukan permintaan penjatuhan retaliasi pun seakan tidak berani 9 Peter Van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and Materials, Cambridge University Press, USA, hlm.222. 6
meskipun negara berkembang dan negara kurang maju tersebut memenangkan sengketa pada proses penyelesaian sengketa WTO. Hal ini terjadi di Indonesia ketika memenangkan sengketa dengan Korea Selatan dimana sengketa itu berkaitan dengan pengenaan bea masuk anti dumping atas produk kertas Indonesia di Korea Selatan. Indonesia menggugat pemerintah Korea Selatan telah melakukan pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan anti dumping terhadap produk kertas Indonesia. Namun hingga saat ini, Korea Selatan tidak melaksanakan putusan DSB dan Indonesia belum juga mengajukan retaliasi. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk membahas lebih jauh dan mendalam mengenai pelaksanaan retaliasi dalam proses penyelesaian sengketa WTO dalam sebuah penelitian yang berjudul Retaliasi World Trade Organization (WTO) sebagai Bentuk Perlindungan Hukum dalam Ranah Perdagangan Internasional. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah yang menjelaskan secara garis besar tentang pelaksanaan retaliasi WTO, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan retaliasi dan bagaimanakah pengaturannya di dalam WTO? 7
2. Bagaimanakah pelaksanaan retaliasi oleh beberapa negara anggota WTO dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan retaliasi tersebut? 3. Bagaimanakah pengalaman Indonesia dalam melaksanakan retaliasi dan bagaimanakah pengaruh dan manfaat retaliasi bagi perdagangan di Indonesia? 4. Hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi Indonesia dalam melaksanakan retaliasi dan bagaimanakah upaya pemerintah dalam mengatasinya? C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Subjektif Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan tesis guna melengkapi persyaratan akademis dalam rangka memperoleh gelar Magister Hukum Bisnis pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain daripada itu, melalui penelitian ini penulis berharap bahwa nantinya penulis dapat berpikir secara ilmiah, rasional, sistematis, dan problematik apabila melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap hal-hal lain. 2. Tujuan Objektif 8
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji secara kritis tentang masalah yang berhubungan dengan hukum perdagangan internasional, khususnya mengenai: 1. Apakah yang dimaksud dengan retaliasi dan bagaimanakah pengaturannya di dalam WTO? 2. Bagaimanakah pelaksanaan retaliasi oleh beberapa negara anggota WTO dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan retaliasi tersebut? 3. Bagaimanakah pengalaman Indonesia dalam melaksanakan retaliasi dan bagaimanakah pengaruh dan manfaat retaliasi bagi perdagangan di Indonesia? 4. Hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi Indonesia dalam melaksanakan retaliasi dan bagaimanakah upaya pemerintah dalam mengatasinya? D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan di internet, ditemukan tesis yang berjudul : 1. Analisis Hukum Pengenaan Bea Masuk Antidumping Produk Kertas Tertentu Indonesia Di Korea (Antini Triwidati, Universitas Gadjah Mada, 2011). 9
2. Memaksimalkan Kegunaan Sistem Penyelesaian Sengketa World Trade Organization Bagi Kepentingan Negara Berkembang (Elvis Napitupulu, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012). Setelah ditelaah lebih lanjut, permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam tesis ini tidak memiliki kesamaan dengan permasalahan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Apabila ternyata di kemudian hari ditentukan penelitian yang lebih dahulu yang sama atau mirip, hal tersebut di luar sepengetahuan penulis dan bukan merupakan hal yang disengaja. Dengan demikian penulis dapat menyatakan bahwa karya ilmiah dalam bentuk tesis ini adalah asli. E. Manfaat penelitian 1. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pembuat kebijaksanaan atau pembentuk hukum dalam bidang perdagangan dalam rangka penyempurnaan sistem yang baik dalam sengketa perdagangan internasional. 2. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai data sekunder, khususnya bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam mengenai perdagangan internasional yang menyeimbangkan kepentingan negara maju dan negara berkembang. 10