IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

MODEL HIDROLOGI TERDISTRIBUSI HUJAN LIMPASAN BERBASIS INTEGRASI DATA RADAR CUACA DAN OBSERVASI HUJAN PERMUKAAN DI DAS CILIWUNG RENI SULISTYOWATI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran drainase Antasari, Kecamatan. Sukarame, kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. dan mencari nafkah di Jakarta. Namun, hampir di setiap awal tahun, ada saja

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

III. METEDOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI WILAYAH DKI JAKARTA TANGGAL 08 APRIL 2009

BAB IV ANALISA. Ciliwung Daerah DKI Jakarta pada beberapa stasiun pengamatan, maka datadata

PERHITUNGAN METODE INTENSITAS CURAH HUJAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 6

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI DAS TONDANO BAGIAN HULU

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi

ANALISIS CURAH HUJAN SEPUTAR JEBOLNYA TANGGUL SITU GINTUNG

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

JARINGAN PENGAMATAN HIDROLOGI

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DI PROPINSI BANTEN TANGGAL 24 NOPEMBER 2008

BAB III METODE PENELITIAN

SKRIPSI KAJIAN PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP LIMPASAN CILIWUNG DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI. Oleh: AHMAD LUTFI F

Gambar 1.1 DAS Ciliwung

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

ANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Curah Hujan. Tabel 7. Hujan Harian Maksimum di DAS Ciliwung Hulu

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk pada

REKAYASA HIDROLOGI. Kuliah 2 PRESIPITASI (HUJAN) Universitas Indo Global Mandiri. Pengertian

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

Hasil dan Analisis. Simulasi Banjir Akibat Dam Break

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkiraan Koefisien Pengaliran Pada Bagian Hulu DAS Sekayam Berdasarkan Data Debit Aliran

HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1

PROCESSING DATA RADAR CUACA C-BAND DOPPLER UNTUK CURAH HUJAN (STUDI KASUS : JABODETABEK)

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI KOTA MANADO DAN SEKITARNYA

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HARIMAU 2010 INTENSIVE OBSERVATIONAL PERIOD (IOP) RAWINSONDE OBSERVATION

Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.17 No.2, 2016:

ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY

Peranan Curah Hujan dan Aliran Dasar Terhadap Kejadian Banjir Jakarta

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI

Surface Runoff Flow Kuliah -3

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015)

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Hidrologi

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB IV METODOLOGI DAN ANALISIS HIDROLOGI

PILIHAN TEKNOLOGI SALURAN SIMPANG BESI TUA PANGLIMA KAOM PADA SISTEM DRAINASE WILAYAH IV KOTA LHOKSEUMAWE

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... iii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

Tahun Penelitian 2005

ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODA ANALISIS. Wilayah Sungai Dodokan memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) Dodokan seluas

PENGENALAN DAN PEMANFAATAN

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

homogen jika titik-titik tersebar secara merata atau seimbang baik di atas maupun dibawah garis, dengan maksimum ragam yang kecil.

BAB III METODE PENELITIAN

STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK

I. PENDAHULUAN. Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

DAERAH ALIRAN SUNGAI

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah hujan pada berbagai tingkatan, sedangkan untuk mendapatkan data curah hujan pada waktu yang singkat tetapi dengan resolusi yang tinggi adalah dengan menggunakan gabungan antara data radar cuaca dan data pengukuran permukaan. Ada beberapa gambaran jenis data yang dihasilkan oleh radar cuaca, yang paling umum dalam bidang informasi cuaca adalah data PPI (Plan Position Indicator) dan CAPPI (Constant Altitude Plan Position Indicador). PPI dapat menggambarkan data radar dalam format seperti peta, biasanya posisi radar berada di pusat lingkaran. Data PPI ini diambil berdasarkan sudut elevasi, bentuknya seperti kerucut, dan ketinggiannya berbeda-beda. Arah dari radar ditunjukkan dengan posisi dari pantulan ke radar. Data PPI ini memberikan gambaran target radar berupa area yang diberi arsiran, biasanya area yang diarsir ini bisa menggambarkan pancaran/echo kondisi cuaca tetapi biasanya gambaran ini hanya merepresentasikan pancaran yang ingin dilihat dari pesawat atau kapal, gambaran ini bisa berupa badai atau kondisi lainnya (Rinehart, 2004). Gambar 16. Jenis data radar cuaca CDR, (kiri) data PPI, (kanan) data CAPPI. Teknologi modern kemudian menambahkan dimensi baru pada gambar radar yaitu warna. Radar yang modern telah dapat membentuk gambar yang tidak hanya menunjukkan posisi dari pancaran radar seperti PPI, tetapi radar juga bisa menunjukkan intensitas dari pancaran radar berupa warna semu. Selain itu radar modern ini juga bisa menunjukkan beberapa tingkatan dari intensitas menggunakan kode warna dan juga posisi (jangkauan dan azimut, X dan Y, dan/atau letak bujur dan letak lintang) seperti reflektifitas atau intensitas curah hujan (rainrate) dan kecepatan pada suatu titik. Hal ini sangat berguna bagi bidang Meteorologi untuk menghitung intensitas curah hujan pada berbagai tingkatan. Data radar yang dihasilkan dengan teknologi modern ini biasa disebut data CAPPI (Constant Altitude Plan Position Indicador), jadi dengan menggunakan data CAPPI akan diperoleh gambaran reflektifitas radar yang dapat digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan pada suatu titik, di mana ketinggian pada titik tersebut adalah sama. 26

Gambar 17. Citra radar cuaca CDR pada berbagai ketinggian menggunakan data CAPPI. Citra radar cuaca pada ketinggian 0 km berada pada pusat citra radar, pada kondisi ini radar cuaca kurang bisa menangkap frekuensi awan hujan karena jaraknya terlalu dekat dengan permukaan, sehingga pancaran sinyal dari radar cuaca banyak terhalang keadaan di permukaan misalnya pepohonan. Ketinggian yang paling sesuai untuk digunakan dalam pengolahan data radar berbeda-beda, tergantung kondisi area yang dapat terlihat dari radar. Gambar 17 menunjukkan bahwa untuk data radar cuaca Serpong (C-band Doppler Radar/CDR), data pada ketinggian 2.000 m (2 km) adalah yang paling memenuhi syarat, karena ketinggian di atas itu mempunyai kerapatan data yang tidak seragam dan tidak terhalang oleh kondisi di permukaan (seperti pepohonan) yang terjadi pada ketinggian 500 m. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data CAPPI pada ketinggian 2 km sebagai masukan dari data radar. Intensitas curah hujan dapat diperoleh dari pengolahan data radar cuaca menggunakan hasil hubungan Z R berdasarkan rumus Marshall-Palmer Z=200R 1.6 (Doviak dan Dusan, 1993), seperti yang terlihat pada Gambar 18. Gambar 18 menunjukkan grafik intensitas curah hujan yang berasal dari data reflektifitas (warna merah) dan rain rate (warna biru) dari data radar cuaca mengacu pada rumus Marshall-Palmer. Gambar tersebut menunjukkan bahwa data reflektifitas dari radar cuaca mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan data rain rate nya, hanya saja pada beberapa tanggal data rain rate tampak lebih tinggi dibandingkan data reflektifitas. Perbedaan ini dikarenakan persamaan Z=200R 1.6 merupakan persamaan empirik berdasarkan pengukuran R dari setiap distribusi ukuran butir N(D), dan Marshall-Palmer mengukur perpanjangan hanya terbatas pada interval diameter ukuran butir (1 mm< D<3,5 mm) di mana N(D) mendekati eksponensial, seperti terlihat pada Gambar 20 pada kondisi curah hujan tinggi nilai rain rate dapat melonjak melebihi nilai reflektifitasnya. 27

a). b). c). d). e). Gambar 18. Grafik time series data reflektifitas radar dan intensitas curah hujan untuk masing masing Stasiun Citeko, Bogor, Serpong, Serang, dan Pulau Pramuka. 4.2. Hubungan Reflektifitas Radar dan Intensitas Curah Hujan (Z R) Alat pengamatan permukaan seperti AWS hanya dapat menghitung secara akurat intensitas curah hujan permukaan pada satu titik lokasi tertentu. Penakar hujan yang dipasang pada banyak lokasi sehingga posisinya rapat dan tersebar merata pada satu wilayah tertentu, dapat menyediakan informasi perkiraan distribusi curah hujan untuk wilayah yang luas, tetapi biasanya penakar hujan terpasang tidak rapat dan tidak terdistribusi merata khususnya di wilayah pegunungan. Radar cuaca dapat mengukur reflektifitas/pancaran dari partikel presipitasi di atmosfer pada wilayah yang luas dengan resolusi tinggi baik ruang maupun waktu tetapi radar cuaca tidak bisa mengukur partikel presipitasi yang sangat dekat dengan permukaan, reflektifitas radar tidak bisa menggambarkan curah hujan yang akurat di 28

permukaan tanpa adanya kalibrasi dengan alat pengukur permukaan. Oleh karena itu, dengan menggunakan gabungan antara data pengamatan permukaan dan data radar cuaca dapat mengatasi kedua masalah tersebut. Gabungan antara data radar cuaca dan data pengamatan permukaan dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah curah hujan yang mempunyai resolusi tinggi pada waktu dan ruang serta lebih akurat. Perbandingan antara data intensitas curah hujan yang diperoleh dari data AWS dengan data radar cuaca CDR, pada lokasi titik koordinat yang sama menunjukkan bahwa data dari radar cuaca mempunyai kemampuan lebih tinggi untuk menggambarkan kondisi intensitas curah hujan di suatu lokasi karena resolusi temporal dan spasialnya lebih tinggi dibandingkan intensitas curah hujan dari data AWS, seperti yang disajikan pada Gambar 19 berikut: a). b). c). d). e). Gambar 19. Perbandingan intensitas curah hujan hasil pengukuran dari data AWS dan data radar cuaca CDR untuk Stasiun Citeko (a), Bogor (b), Stasiun Serpong (c), Serang (d), dan Pulau Pramuka (e) periode 14 Januari 15 Februari 2010. 29

Dengan menggunakan persamaan empirik hubungan Z R antara data reflektifitas radar di atmosfer (Z) dan intensitas curah hujan di permukaan (R), Z = 200R 1.6, sesuai rumus dari Marshall Palmer, akan diperoleh grafik hubungan Z R untuk masing masing Stasiun Citeko, Bogor, dan Serang yang disajikan pada Gambar 20. a). N=864 r=0,5966 b). N=856 r=0,4500 c). N=1396 r=0,6028 Gambar 20. Grafik hubungan intensitas curah hujan (R) dan reflektifitas radar (Z) berdasarkan rumus Marshall-Palmer (Z = 200R 1.6 ) untuk lokasi Stasiun Citeko, Bogor, dan Serang periode 1 15 Februari 2010. Data reflektifitas radar cuaca di atmosfer dihubungkan dengan data intensitas curah hujan di permukaan dari data AWS, akan menghasilkan nilai-nilai konstanta empirik a dan b untuk masing-masing lokasi Citeko, Bogor, Serpong, Serang, dan Pulau Pramuka seperti disajikan pada Tabel 6. Hubungan antara data refleksitas radar dan intensitas curah hujan permukaan untuk masing masing lokasi dapat digambarkan sebagai berikut: 30

a). N=230 r=0,0142 b). N=176 r=0,4918 c). N=98 r=0.0734 d). N=76 r=0,0338 Gambar 21. Grafik hubungan antara data radar reflektifitas (Z) dan intensitas curah hujan permukaan (R) untuk masing-masing lokasi Stasiun Citeko, Bogor, Serang, dan Pulau Pramuka. 31

Hubungan intensitas curah hujan dan reflektifitas radar yang dihasilkan oleh data per jam Stasiun Citeko dan Pramuka tidak menunjukkan hasil yang sesuai, karena nilainya sangat kecil sehingga koefisien a dan b dihitung menggunakan gabungan antara data Stasiun Citeko dan Bogor per jam dan interval waktu yang digunakan untuk Stasiun Pulau Pramuka dirubah dari setiap jam menjadi setiap 30 menit. a). N=404 r=0,2616 b). N=130 r= - 0,0798 Gambar 22. Grafik hubungan antara data radar reflektifitas (Z) dan intensitas curah hujan permukaan (R) untuk gabungan data Stasiun Citeko dan Bogor (per jam), serta Pulau Pramuka (per 30 menit). Gabungan antara semua data radar reflektifitas dan intensitas curah hujan pada semua stasiun dibandingkan dengan rata-ratanya, akan diperoleh hubungan Z R seperti yang tertera pada Gambar 23 di bawah ini. a). N=576 r=0,2331 b). N=358 r=0,2336 Gambar 23. Grafik hubungan antara data radar reflektifitas (Z) dan intensitas curah hujan (R) untuk gabungan dan rata-rata seluruh lokasi Stasiun Citeko, Bogor, Serang serta Pulau Pramuka. 32

Konstanta a dan b yang diperoleh berdasarkan hubungan antara data reflektifitas radar di atmosfer (Z) dan intensitas curah hujan di permukaan (R). Konstanta a dan b yang sering dipakai adalah 200 dan 1,6 mengacu pada rumus Marshall-Palmer Z = 200R 1,6, hubungan Z-R ini telah terbukti berguna untuk hujan stratiform, karena hubungan Z-R ini diperoleh dari pengukuran butir hujan aktual sehingga R yang diperoleh seharusnya akurat untuk setiap kejadian hujan, meskipun demikian hujanhujan diklasifikasikan sebagai stratiform (sama) tetapi sebenarnya mempunyai distribusi ukuran yang sedikit berbeda. Doviak dan Dusan (1993) menyatakan bahwa kalibrasi radar ke dalam desibel sedikit sulit, dan biasanya terdapat bias sistematik pada pengukur reflektifitas radar, beberapa error ini dapat digantikan dengan memilih hubungan Z-R yang sesuai. Kita harus mengenali bahwa meskipun pada saat distribusi ukuran butir aktual sama berada pada rata-rata dua lokasi yang berbeda, error saat kalibrasi radar dapat diatasi dengan membangun hubungan Z-R yang berbeda sesuai untuk setiap wilayah karena radar perlu dikalibrasi secara reliable. Oleh karena itu perlu dicari hubungan Z-R yang sesuai untuk masing-masing wilayah khususnya di masing-masing lokasi pengamatan yaitu Stasiun Meteorologi Citeko, Balai Agroklimat dan Hidrologi Bogor, Stasiun Meteorologi Serang, dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hubungan reflektifitas radar di atmosfer (Z) dan intensitas curah hujan di permukaan (R). Nama Stasiun Konstanta a Konstanta b Hubungan Z - R Koef. Korelasi Koef. Determinasi Data per 6 Menit: Citeko (N=0) - - - - - Bogor (N=1474) 0,000615 4,613506 Z = 0,000615 R 4,613506 r = 0,3613 R2 = 0,1306 Serang (N=956) 5555,189164 0,275806 Z = 5555,189164 R 0,275806 r = 0,3004 R2 = 0,0902 Pramuka (N=432) - - - r = 0,1002 R2 = 0,0100 Data per 30 Menit: Citeko (N=0) - - - - - Bogor (N=322) 0,025282 3,223665 Z = 0,025282 R 3,223665 r = 0,4547 R2 = 0,2067 Serang (N=196) 727,021918 0,400498 Z = 727,021918 R 0,400498 r = 0,4018 R2 = 0,1614 Pramuka (N=130) 0,000000 5.991382 Z = 0.000000 R 5.991382 r = - 0,0798 R2 = 0,0064 Data per 1 Jam: Citeko (N=230) - - - r = 0,0142 R2 = 0,0002 Bogor (N=176) 0,046175 2.814297 Z = 0. 046175 R 2.814297 r = 0,4918 R2 = 0,2419 Serang (N=98) 0,000000 12.511734 Z = 0.000000 R 12.511734 r = 0,0734 R2 = 0,0054 Pramuka (N=76) - - - r = 0,0338 R2 = 0,0011 Citeko Bogor (N=404) 0,000562 4.614744 Z = 0.000562 R 4.614744 r = 0,2616 R2 = 0,0684 Tabel 6 menunjukkan bahwa konstanta a dan b dapat diperoleh dari beberapa interval waktu pada masing-masing stasiun pengamatan, berdasarkan hasil tersebut nilai a dan b yang relatif stabil pada Stasiun Bogor dibandingkan stasiun pengamatan yang lain, hal ini bisa dilihat dari data Stasiun Bogor per 6 menit, 30 menit, dan 1 jam berturut-turut a = 0,000615; 0,025282; dan 0,046175, serta b = 4,613506; 3,223665; 2.814297. Selain itu koefisien korelasi pada Stasiun Bogor per 6 menit, 30 menit, dan 1 jam berturut-turut adalah 36,13%; 45,47%; dan 49,18%, koefisien korelasi ini paling tinggi dibandingkan stasiun pengamatan yang lain, sedangkan koefisien determinasi tertinggi juga terjadi di Stasiun Bogor sebesar 24,19%. Hal ini juga menunjukkan hubungan yang paling berpengaruh antara variabel reflektifitas radar dan intensitas 33

curah hujan terdekat terjadi di Stasiun Bogor pada interval waktu 1 jam. Oleh karena itu, untuk membuat simulasi aliran sungai pada sub grid Manggarai menggunakan Stasiun Bogor sebagai titik pengamatan. 4.3. Kriteria Sifat Intensitas Curah Hujan Data radar cuaca dan data pengukuran permukaan yang otomatis dapat digunakan untuk mendapatkan data curah hujan pada waktu yang singkat tetapi dengan resolusi yang tinggi. Alat pengukur curah hujan di permukaan secara otomatis salah satunya adalah Automatic Weather Station (AWS). AWS dapat mengukur intensitas curah hujan yang diterima pada satu titik per jangka waktu tertentu (misalnya per menit, per enam menit, dan lain-lain tergantung pada kepentingan pengguna). Data pengukuran permukaan yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Automatic Weather Station (AWS) pada 5 (lima) titik pengamatan, yaitu Citeko, Bogor, Serpong, Serang, dan Pulau Pramuka, seperti yang disajikan pada Gambar 24. Gambar 24. Posisi 5 (lima) lokasi pengamatan data pengukuran curah hujan permukaan selama periode IOP. Grafik time series curah hujan menurut waktu selama periode pengamatan (14 Januari 15 Februari 2010) dari kelima titik pengukuran tersebut disajikan sebagai berikut: a). 34

b). c). d). e). Gambar 25. Grafik deret waktu (time series) data AWS di (a) Citeko, (b) Bogor, (c) Serpong, (d) Serang, (e) Pulau Pramuka. Gambar 25 menunjukkan bahwa curah hujan tinggi banyak terjadi di Stasiun Citeko dan Bogor pada bulan Februari 2010. Curah hujan tertinggi pada Stasiun Bogor terjadi pada tanggal 3 Februari 2010 sebesar 53,8 mm/jam dan 9 Februari 2010 sebesar 54,8 mm/jam. Curah hujan tertinggi pada Stasiun Citeko, terjadi pada tanggal 13 Februari 2010 sebesar 57,2 mm/jam. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengeluarkan kriteria intensitas curah hujan di Indonesia menjadi 4, yaitu hujan ringan dengan interval 1,0 5,0 mm/jam atau 5 20 mm/hari; hujan sedang 5,0 10 mm/jam atau 20 50 mm/hari; hujan lebat 10 20 mm/jam atau 50 100 mm/hari; dan hujan sangat lebat lebih dari 20 mm/jam atau lebih dari 100 mm/hari. 35

Gambar 26. Sifat intensitas curah hujan Stasiun Bogor sesuai dengan kriteria BMKG. Periode yang mewakili tiga kondisi tersebut dipilih dengan menggunakan kriteria BMKG, maka diperoleh beberapa tanggal yang digunakan untuk membuat perbandingan model simulasi model hidrologi terdistribusi berasal dari titik pengamatan Stasiun Bogor, yaitu : a. Hujan Ringan : 22 24 Januari 2010 b. Hujan Lebat : 4 6 Februari 2010 c. Hujan Sangat Lebat : 9 11 Februari 2010 4.4. Pola Distribusi Curah Hujan Curah hujan yang diperlukan untuk membuat suatu sistem rencana peringatan dini berdasarkan volume debit (yang disebabkan oleh curah hujan) dari daerah pengaliran yang kecil, seperti perhitungan debit banjir, adalah curah hujan yang terjadi pada jangka waktu yang pendek dan bukan curah hujan jangka waktu yang panjang seperti curah hujan bulanan atau tahunan (Sosrodarsono dan Takeda (eds), 2006). Intensitas curah hujan pada jangka waktu yang singkat akan dirubah menjadi intensitas curah hujan per jam yang biasa disebut intensitas curah hujan (rain rate). Makin pendek jangka waktu curah hujannya, makin besar intensitasnya. Hujan itu kadang-kadang berhenti atau menjadi kecil/lemah, jadi jika jangka waktu curah hujan panjang maka intensitasnya kecil. Makin kecil daerah aliran sungai, maka jangka waktu curah hujan atau waktu konsentrasi (time of concentration) makin pendek. Waktu konsentrasi merupakan waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik paling jauh ke titik yang ditentukan di bagian hilir daerah aliran. Transek intensitas curah hujan dari data radar seperti yang telah disajikan pada Gambar 14 digunakan untuk melihat posisi DAS Ciliwung berada di dalam wilayah Transek 1 dan 2, serta posisi alat pengamatan permukaan (AWS dan AWLR) juga berada di sekitar transek tersebut. Berdasarkan posisi transek tersebut, dibuat Diagram Hoevmoller dengan menggunakan data intensitas curah hujan sepanjang Transek 1 dan 2 seperti yang terlihat pada Gambar 27. Transek 1, dapat dilihat bahwa curah hujan yang terjadi dari Citeko sampai Pulau Pramuka menunjukkan pola harian, hujan hampir terjadi setiap hari selama satu bulan pengamatan. Curah hujan lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Citeko sampai Depok, tetapi pada beberapa periode distribusi curah hujan berlangsung terus menerus dari Citeko hingga Pulau Pramuka, hal ini terlihat antara lain pada tanggal 31 Januari 36

1 Februari 2010 dan 13 15 Februari 2010, sedangkan pada tanggal 9 10 Februari 2010 curah hujan hanya terjadi di wilayah Citeko hingga Depok. Sebaliknya pada Transek 2 bisa dilihat bahwa distribusi curah hujan banyak terjadi di daerah Citeko sampai Bekasi, pola harian juga jelas terlihat pada gambar ini. Berdasarkan diagram tersebut dan melihat posisi DAS Ciliwung, bisa disimpulkan bahwa curah hujan yang jatuh di wilayah Citeko, Bogor, sampai Depok akan bergerak menuju Pulau Pramuka dan Bekasi, seiring bergeraknya hujan ini maka intensitas hujan yang jatuh dapat mengisi DAS Ciliwung. Kondisi aktual di lapangan ternyata terdapat beberapa kali kejadian banjir yang terjadi di wilayah Jakarta, antara lain banjir yang terjadi pada tanggal 10 Februari 2010 di wilayah Cawang, Jakarta. Dengan melihat Diagram Hoevmoller pada tanggal 9 10 Februari 2010 dimana curah hujan tinggi terjadi dari Citeko sampai Depok, sehingga bisa disimpulkan bahwa kejadian banjir pada tanggal 10 Februari 2010 berasal dari curah hujan tinggi disekitar Citeko sampai Depok (curah hujan kiriman). Hal ini bisa dibuktikan dengan membuat simulasi aliran sungai pada periode tersebut dengan menggunakan data pengamatan Stasiun Bogor. mm/6menit mm/6menit Gambar 27. Diagram Hoevmoller dari 2 transek yang menggambarkan distribusi curah hujan dari radar di wilayah Jabodetabek periode 14 Januari 15 Februari 2010. 4.5. Model Hidrologi Terdistribusi Hujan Limpasan Kegiatan pengamatan selama IOP (Intensive Observational Period) dapat digunakan untuk memahami dinamika atmosfer yang terkait dengan cuaca ekstrem khususnya di wilayah DKI Jakarta. Hasil pengamatan yang dilakukan serentak di 5 (lima) lokasi yang berbeda, yaitu Citeko, Bogor, Serpong, Serang, dan Pulau Pramuka. Intensitas curah hujan yang diperoleh dari data pengamatan menggunakan radar cuaca CDR dibandingkan dan divalidasi menggunakan data pengukuran permukaan dari AWS, sesuai dengan hasil hubungan antara data reflektifitas radar (Z) dan intensitas curah hujan (R) diperoleh konstanta a dan b yang dapat digunakan untuk menghitung 37

intensitas curah hujan yang mempunyai resolusi spasial dan temporal yang tinggi dan lebih akurat. Tetapi hasil Z R yang diperoleh dari kelima lokasi tidak semuanya bagus, sesuai hasil yang disajikan pada Tabel 5 disimpulkan bahwa data intensitas curah hujan yang paling sesuai adalah data Stasiun Bogor, selain itu melihat dari pola distribusi curah hujan selama periode pengamatan terkonsentrasi di wilayah Citeko sampai Depok, sehingga simulasi aliran sungai yang dilakukan pada tahap selanjutnya menggunakan data intensitas curah hujan pada koordinat Stasiun Bogor sebagai masukannya. Diagram yang menggambarkan variasi debit atau permukaan air menurut waktu disebut hidrograf. Salah satu sumber air sungai adalah curah hujan, curah hujan yang jatuh langsung pada permukaan air di sungai utama dan anak-anak sungainya, umumnya termasuk dalam limpasan permukaan dan tidak dapat dipisahkan sebagai komponen dari hidrograf (Sosrodarsono dan Takeda (eds), 2006). Data radar cuaca dirubah menjadi data intensitas curah hujan di wilayah cakupan radar, setelah itu informasi presipitasi pada area yang luas tersebut menjadi masukan pada model simulasi aliran. Kamimera et al. (2003) melalui penelitiannya di wilayah China telah membuktikan bahwa gabungan antara data radar dan data pengamatan permukaan lebih bisa menggambarkan kondisi curah hujan di suatu wilayah dengan akurasi spasial tinggi. Masukan yang diperlukan dalam model simulasi hidrologi terdistribusi hujan limpasan adalah data intensitas curah hujan yang diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan konstanta a dan b, selain itu juga dilihat data tinggi muka air di DAS Ciliwung untuk menentukan periode kejadian banjir. Gambar 28. Grafik tinggi muka air di DAS Ciliwung (atas) dan intensitas curah hujan dari AWS (bawah) selama periode 14 Januari 15 Februari 2010. Grafik tinggi muka air dan intensitas curah hujan permukaan yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa intensitas curah hujan tinggi banyak terjadi pada bulan Februari 2010, hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan tinggi muka air di daerah aliran sungai Ciliwung terutama pada tanggal 31 Januari 1 Februari 2010, 9 10, 11 12, dan 14-16 Februari 2010. Hal ini seiring dengan terjadinya hujan tinggi pada tanggal 3, 9, dan 14 Februari 2010. 38

Berdasarkan kriteria intensitas curah hujan dan diwakili oleh Stasiun Bogor yang mempunyai kualitas data dan hubungan Z R yang paling bagus maka data intensitas curah hujan yang diperoleh dari hasil hubungan antara data radar cuaca dan pengamatan permukaan digunakan sebagai masukan dalam model hidrologi terdistribusi untuk titik Manggarai. Sebelum menghitung rata-rata aliran sungai (flow rate), data CAPPI setiap 6 menit dirubah menjadi data intensitas curah hujan setiap 10 menit (mm/10 menit). Data curah hujan setiap 10 menit ini akan menjadi masukan dalam simulasi aliran sungai. Asumsi awal yang digunakan bahwa tanah mempunyai kandungan air yang berada pada kondisi kapasitas lapang, maka akan dihitung kecepatan aliran sungai menggunakan Bucket Runoff Model, dalam hal ini dari Stasiun Bogor hingga mencapai Bendungan Manggarai (Jakarta). Gambar 29 memperlihatkan simulasi aliran sungai pada tanggaltanggal di mana curah hujan yang diamati di permukaan ringan, lebat, dan sangat lebat, yaitu pada tanggal 22 24 Januari 2010 (hujan ringan), 4 6 Februari 2010 (hujan lebat), dan 9-11 Februari 2010 (hujan sangat lebat) berdasarkan pengamatan dari Stasiun Bogor. a. 22 24 Januari 2010 (intensitas hujan ringan). b. 4 6 Februari 2010 (intensitas hujan lebat). 39

c. 9 11 Februari 2010 (intensitas hujan sangat lebat). Gambar 29. Simulasi aliran sungai di Bendungan Manggarai, tanggal 22 24 Januari 2010 (a), 4 6 Februari 2010 (b), dan 9-11 Februari 2010 (c). Berdasarkan simulasi aliran sungai di sub-grid Manggarai yang dilakukan pada berbagai periode, yaitu tanggal 22 24 Januari 2010 pada saat intensitas hujan ringan, simulasi aliran yang terbentuk landai dan tidak memberikan response dengan adanya curah hujan yang turun di bawah 5 mm/jam, sehingga seharusnya tidak terbentuk simulasi aliran karena curah hujan habis untuk evaporasi; tanggal 4 6 Februari 2010 pada saat intensitas hujan lebat, mulai ada response aliran akibat adanya curah hujan meskipun masih relatif landai, dimana simulasi aliran tertinggi yang terbentuk sebesar 844,002 m 3 /s; sedangkan response tertinggi akibat adanya curah hujan sangat lebat menyebabkan simulasi aliran yang terbentuk mencapai titik tertinggi sebesar 887,66 m 3 /s dan 760,852 m 3 /s terjadi pada tanggal 9 11 Februari 2010, dengan 2 puncak aliran pada tanggal 10 Februari 2010 saat intensitas hujan sangat lebat. Bersamaan dengan hal ini ternyata terjadi kejadian banjir di daerah Cawang, Jakarta pada tanggal 10 Februari 2010, seperti terlihat pada Gambar 30. Gambar 30. Kejadian banjir di kawasan Cawang Atas, Jakarta, pada tanggal 10 Februari 2010. Gambar 31 berikut menggambarkan perbandingan antara hasil simulasi aliran sungai sub-grid Manggarai dengan menggunakan data radar saja (yang diperoleh 40

menggunakan persamaan Marshall Palmer) dan data gabungan radar dengan pengamatan curah hujan permukaan (didapat dari hasil perhitungan menggunakan konstanta a dan b yang diperoleh dalam penelitian ini), dibandingkan dengan data pengukuran debit di Bendung Manggarai. Perbandingan ini menggunakan data simulasi aliran sungai pada kecepatan 0.8 m 2 /s pada saat kecepatan aliran mulai naik karena adanya curah hujan. a. 22 23 Januari 2010 (intensitas hujan ringan). b. 4 5 Februari 2010 (intensitas hujan lebat). c. 9 10 Februari 2010 (intensitas hujan sangat lebat). Gambar 31. Perbandingan hasil simulasi aliran sungai di Bendungan Manggarai pada tanggal 22 23 Januari 2010 (a), 4 5 Februari 2010 (b), dan 9-10 Februari 2010 (c). 41

Perbandingan antara hasil simulasi aliran sungai dari model dengan data hasil observasi pada kecepatan aliran rata-rata 0,8 m 2 /s menghasilkan grafik landai dan tidak menunjukkan kenaikan laju aliran yang sama seperti data hasil observasi, terutama pada intensitas hujan ringan, sedangkan pada saat hujan lebat dan sangat lebat terdapat kenaikan tetapi terjadi perbedaan waktu antara kenaikan laju aliran hasil simulasi model dengan data hasil observasi dimana kenaikan data hasil model mempunyai waktu lebih cepat dibandingkan data hasil observasi. Tetapi jika melihat kondisi intensitas curah hujannya maka hasil model lebih bisa merepresentasikan aliran sungai dibandingkan hasil observasinya, hal ini kemungkinan terjadi karena kualitas data observasi belum optimal. Pada ketiga kondisi curah hujan di atas, hasil simulasi aliran yang berasal dari gabungan antara data radar cuaca dan data pengamatan permukaan mempunyai hasil lebih tinggi dibandingkan hasil simulasi dengan hanya menggunakan data radar saja. Evaluasi hasil simulasi model yang berasal dari data gabungan antara data radar cuaca dan data pengamatan permukaan serta data radar saja dibandingkan dengan data observasi di lapangan, disajikan pada Tabel 7 berikut ini: Tabel 7. Perbandingan hasil simulasi aliran sungai dengan data observasi lapangan. Tanggal RMSE Observasi dengan Gabungan Radar Pengamatan Permukaan RMSE Observasi dengan Radar Saja 22 24 Jan 266,87 m 3 /s 339,22 m 3 /s 4 5 Feb 226,38 m 3 /s 328,15 m 3 /s 9 10 Feb 287,32 m 3 /s 350,30 m 3 /s Berdasarkan perbandingan tersebut, hasil simulasi menggunakan gabungan data radar dan pengamatan permukaan lebih mendekati data observasi di lapangan dibandingkan hasil simulasi hanya menggunakan data radar saja, hal ini terlihat dari besarnya nilai RMSE gabungan radar dan pengamatan permukaan lebih rendah dibandingkan hanya menggunakan radar saja. Skenario mitigasi bencana banjir khususnya di sub grid Manggarai dapat disusun berdasarkan data radar cuaca dan pengamatan permukaan yang sesuai untuk wilayah Jabodetabek. 42