BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pada falsafah hidup senantiasa dilestarikan demi menciptakan dinamika

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam

BAB V PENUTUP. yang melibatkan birokrat masuk dalam arena pertarungan politik yang terjadi dalam

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

I. PENDAHULUAN. ditentukan. Pemimpin dan kepemimpinan masa depan, erat kaitannya dengan

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

I. PENDAHULUAN. Hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau rakyat selalu berada. terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern.

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB V PENUTUP. ekonomi, kultural, sosial, dan modal simbolik. mampu untuk mengamankan kursi Sumenep-1 kembali.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB V KESIMPULAN. Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas,

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

PENDAHULUAN Latar Belakang

Keterlibatan Kaum Bangsawan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB V PENUTUP. Struktur dan Teori Kekuasaan melalui tahapan metode etnografi pada Konsep

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak reformasi, masyarakat berubah menjadi relatif demokratis. Mereka

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

BAB 7 PENUTUP. dalam studi ini berikut argumentasinya. Saya juga akan membingkai temuantemuan

KARTELISASI POLITIK PILKADA LANGSUNG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB V PENUTUP. disimpulkan bahwa KAMMI telah melakukan beberapa hal terkait dengan strategi

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

BAB IV KESIMPULAN. A. Kesimpulan Dalam kaitannya dengan dimensi content dan context, maka implementasi

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif tapi telah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB V KESIMPULAN. serangan Paris oleh kaum Islamis dengan pandangan-pandangan SYRIZA terhadap

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

RADIKALISME AGAMA DALAM KAJIAN SOSIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung sejak sistem otonomi daerah diterapkan. Perubahan mekanisme

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

I.PENDAHULUAN. telah disaksikan tata pola penguasa negara. Jika dilihat kembali awal berdirinya Orde

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. tradisionalnya. Tidak jarang tradisi serta kebudayaan dan kesenian yang

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. berbicara dalam konteks pendidikan formal. Mahasiswa dalam peraturan

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal. penting untuk dilakukan mengingat dua hal : Pertama, dalam kaitannya

BAB VI PENUTUP. Adanya penyelewengan terhadap pelaksanaan khittah Tarbiyah yang lebih

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon

BAB I PENDAHULUAN. Winarno, 2008: vii). Meskipun demikian, pada kenyataannya krisis tidak hanya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggunakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) dengan desain

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah setelah runtuhnya Orde Baru, di era reformasi saat ini, media dengan

BAB IV KESIMPULAN. Kebijakan pemerintahan Francisco..., Fadhil Patra Dwi Gumala, FISIP UI, Universitas Indonesia

SAMBUTAN SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KEBUMEN P A D A CERAMAH NETRALITAS PNS DI HADAPAN PANWASLU KABUPATEN KEBUMEN. Senin, 19 Oktober 2015

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

I. PENDAHULUAN. berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat biasa adalah mahkluk yang lemah, harus di lindungi laki-laki,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Salah satu

Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Profil Kabupaten Karo Medan April 2012.

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi Cossensus politik Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

I. PENDAHULUAN. Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan ruang yang lebih luas bagi elit politik

BADAN PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH PROVINSI DIY Peran dan Fungsinya di Era Informasi 1 Burhanudin

I. PENDAHULUAN. Setelah memasuki masa reformasi, partai politik telah menjadi instrumen

Transkripsi:

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya terhadap proses kontestasi para Andi sebagai suatu identitas kultural yang semestinya solid justru di arena politik khususnya pada momentum pilkada tidak menunjukkan kesolidan tersebut. Yang ditandai dengan pertarungan kepentingan para Andi yang notabene satu rumpun keluarga di arena pilkada tersebut. Perubahan politik dari masa ke masa menghadirkan pola pikir serta kehidupan para bangsawan ini yang senantiasa berupaya untuk tetap eksis di arena birokrasi dan politik. Dalam arena politik, fenomena kontestasi para elit akan semakin menarik ketika status dikatikan dengan praktik yang dilakukan oleh individu hingga kelompok masyarakat dalam menyusun peta kekuatannya. Selain status yang menjadi faktor penentu para elit dalam memainkan perannya di arena politik, tidak dapat diabaikan pula adanya habitus para aktor tersebut. Pada umunya masyarakat memiliki aspek historis yang memiliki pengaruh terhadap proses kontruksi habitus baik itu bersifat individu maupun masyarakat. Konsep habitus dari Pierre Bourdieu sangat dibutuhkan dalam melihat kontruksi perilaku para bangsawan baik sebagai individu maupun kelompok yang bersinggungan dengan arena kekuasaan. Dimana pada masa Orde Baru meski bersifat sentralistik yakni sang kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat tidak membuat bangsawan kehilangan power serta kharismanya di masyarakat. Mereka mencari celah serta cara untuk tetap berkuasa (get power), baik dengan bergabung dengan militer, mengendarai partai golkar serta

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 2 melanjutkan pendidikan tinggi. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi tentunya didukung oleh modal ekonomi yang mereka miliki, seperti dengan menjadi pengusaha dan tuan tanah. Pada masa reformasi yang identik dengan liberalisasi politik dimana setiap masyarkat memiliki kesempatan yang sama dalam menunjukkan apresiasinya dalam panggung politik mulai lokal hingga nasional. Kesempatan ini justru membuka celah bagi para Andi ini untuk berdiri sendiri serta berkontestasi dengan menggunakan modal yang mereka miliki, dan tidak lagi menggunakan senjata ataupun adu kekuatan seperti pada masa lalu dalam mendapatkan kekuasaan secara legitimasi. Pertarungan politik praktis para aktor politik dalam memperjuangkan segala kepentingannya meski berdampak pada keretakan hubungan kekerabatan dan berujung pada konflik karena saling adu kompetensi seringkali membuat masyarakat dilemma dalam menentukan pilihannya. Dikala para aktor yang notabene memiliki ikatan kekerabatan justru saling berkompetisi, untuk itu dalam penokohan seseorang ditentukan adanya kualitas dan jati diri seorang aktor itu sendiri yang secara teoritis memiliki syarat-syarat yang layak untuk diangkat sebagai tokoh atau pemimpin. Masyarakat bugis dalam menentukan seorang pemimpin layaknya melihat karakter sang calon pemimpin itu sendiri yang harus memiliki karakter seperti: to acca, to warani, to sugi dan to panrita. Karakter tersebut menjadi kontruksi habitus seorang pemimpin berdasarkan ekspektasi masyarakat, dimana habitus itu terbentuk dan bekerja melalui individu dan atau kelompok begitupun sebaliknya.

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 3 Namun bagi masyarakat sendiri terutama pada tokoh masyarakat yang sudah tua dan yang memahami adab, identitas serta kultur yang mestinya dijaga lebih condong untuk memilih pemimpin yang memiliki garis keturunan atau secara genetis merupakan keturunan seorang pemimpin. Point utama yang diperoleh dari data di lapangan bahwa ketika dipertarungkan antara to wija (keturunan) dengan to sissi (orang yang memiliki tanda) dalam suatu arena, yang menang pasti to wija (keturunan) seorang pemimpin. Meskipun seseorang (to sissi) memiliki tanda-tanda ataupun mampu memenuhi syarat untuk menjadi seorang pemimpin tetapi secara genetis tidak memiliki historis kepemimpinan dalam keluarga dan dirinya maka akan tetap dikalahkan dengan to wija (keturunan) yang secara genetis dan historis kepemimpinan dalam hidupnya. Habitus ini kemudian menciptakan genealogis kekuasaan, dimana kekuasaan itu diturunkan berdasarkan garis keturunan. Meski modal atau cara mendapatkan kekuasaan tersebut berbeda dari masa ke masa. Dimana pada masa kini adanya pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat, tetapi doktrin akan pemimpin berdasarkan genetis berlaku bagi golongan masyarakat tertentu. Pertarungan modal dalam arena politik menjadi fenomena yang lumrah dalam praktik politik baik tingkat lokal maupun nasional. Ketika dominasi simbolik berupa gelar kebangsawanan tidak terlalu menghegemoni masyarakat secara keseluruhan meski hanya sebagian yang memegang teguh prinsip kepemimpinan tradisional tetapi tidak cukup mampu mendongkrak elektabilitas para elit politik yang sedang berkontestasi dalam penelitian ini spesifikasi arena pilkada. Gelar simbolik yang disandang hanyalah sebagai penambahan nilai

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 4 tersendiri bagi para kandidat kemudian cenderung tidak digunakan dalam mendominasi pilihan masyarakat justru menjadi taktik mereka dengan menjadikannya wacana anti feodalism serta menghilangkan sekat di masyarakat. Justru modal sosial berupa jaringan terutama hubungan yang terjalin dengan para pengusaha menjadi modal utama dalam setiap pertarungan politik. Dimana modal sosial ini kemudian bertransformasi menjadi modal ekonomi yang dijadikan fasilitator dalam melakukan kampanye serta memobilisasi massa. Karena berbicara modal ekonomi pribadi para kandidat dapat dikatakan tidak mencukupi tanpa bantuan dari para jaringan yang mereka miliki. 5.2. Refleksi Teoritik Penggunaan konsep oleh Bourdieu disadari sangat membantu dalam menganalisa fenomena praktik politik lokal yang terjadi di lokasi penelitian. Namun dalam penggunaan teorisasi yang disajikan oleh Bourdieu tentunya terdapat kekurangan yang ditemukan berdasarkan esensi penelitian ini. Pertama, Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam struktur sosial di pinrang saling terkait dan dibangkitkan kembali dalam proses kontestasi di arena pilkada. Adanya praktik liberaliasasi politik yang menampilkan kembali para aktor lokal yakni para bansgawan (Andi) ini justru berimplikasi pada keretakan di tubuh bangsawan (Baca: para Andi) itu sendiri dan berujung pada konflik yang terjadi di arena pilkada. Hal ini didasari pada perubahan makna dari gelar Andi itu sendiri yang dianggap hanya menempel pada nama seseorang saja, ketika tidak dihadirkan oleh habitus yang mampu diterima oleh masyarakat sekelilingnya akan

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 5 cenderung mendapat penolakan dari masyarakat tersebut. Sementara yang menjadi masyarakat sendiri tetap mempertahankan konsep kepemimpinan bangsawan. Untuk itu sebagai bangsawan (Baca: Andi) harus membentuk kontruksi habitus seperti yang diinginkan oleh masyarakat, terlebih ketika Andi ini merupakan elit lokal yang bermain di panggung politik baik tingkat lokal maupun nasional. Hal inilah yang kemudian dikatakan Bourdieu bahwa habitus itu sebagai struktur yang terbentuk pada individu oleh struktur yang ada di sekitarnya. Habitus itu pula dapat dipandang oleh struktur yang ada untuk menentukan kapabilitas serta kapasitas seseorang dalam bertarung di arena kuasa. Tidak dapat dihindari bahwa habitus tetap memiliki pengaruh terhadap pilihan masyarakat. Kedua, selain habitus yang membentuk pola pikir masyarakat dalam menentukan karakter kepemimpinan tidak dipungkiri hadinya modal sebagai pendukung aktor untuk menjadi pemimpin pun dibutuhkan. Modal-modal yang dibutuhkan seperti modal simbolik, ekonomi, sosial dan kultural inilah yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dalam mendapatkan dukungan masyarakat. Dalam proses kontestasi Andi di arena pilkada Nampak jelas adanya praktik dominasi simbolik yang dikemukakan oleh Bourdieo identik dengan siapa yang mendominasi dan didominasi secara terbuka dan begitu saja diterima oleh yang didominasi. Hal ini karena yang mendominasi memiliki kuasa dalam mendominasi sang korban sedangkan sang korban menerimanya begitu saja. Seperti yang terjadi pada dominasi laki-laki terhadap wanita dalam rumah tangga, laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumah tangga memiliki kuasa terhadap istrinya yang dianggapnya sebagai subordinasi tersebut.

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 6 Namun dalam praktek pertarungan modal di arena pilkada dalam penelitian ini hadirnya intimidasi terhadap para para pemilih yang berlatar belakang PNS dan bawahan Bupati sebagai hal yang unik ditemukan di lapangan. Dimana para PNS serta para birokrasi lainnya yang menjadi bawahan sang bupati dianggap sebagai subordinasi dari salah satu aktor (Baca: Incumbent yang menjadi kandidat) justru mendapatkan intimidasi. Bentuk intimidasi tersebut berwujud adanya reward kepada PNS serta birokrat yang memberikan dukungannya terhadap sang incumbent serta funishment terhadap para PNS dan birokrasi yang melakukan pembangkangan. Berbeda halnya dengan praktik dominasi yang dikemukakan oleh Bourdieu dimana yang tidak memiliki kuasa ini justru pasrah untuk didominasi. Ketiga, adanya habitus dan modal tersebut kemudian diaktualisasikan dalam suatu arena yakni pilkada. Konsep arena yang dimaksudkan oleh Borudieu sebagai wadah bertarungnya segala kekuatan dan modal, didalamnya terdapat aturan main untuk para aktor. Andi sebagai gelar yang didapatkan berdasarkan garis keturunan terkadang menjadi arena itu sendiri tatkala masyarakat dari kalangan biasa melakukan pembelian darah untuk mendapatkan gelar tersebut melalui proses menaikkan derajat mereka. Mulai dari tampil sebagai aktor baru yang menguasai kapital ekonomi, memiliki gelar pendidikan setinggi-tingginya serta membangun jaringan sosialnya. Proses transformasi dari masyarakt biasa hingga mendapatkan derajat atau strata sosial yang tinggi hingga mampu setara dengan kaum bangsawan yang dulunya berkuasa disinyalir sebagai praktik pertarungan habitus para bangsawan dengan non bangsawan. Karena hadirnya

Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 7 habitus baru di tengah masyarakat ini yang mana masyarakat biasa mampu mendapatkan gelar kebangsawanan hanya dengan menguasa segala kapital yang ada. Namun di sisi lain dalam pertarungan, sang aktor yang dipelopori oleh kaum bangsawan justru cenderung menampilkan sisi lain dari kepemilikan status simbolik (Baca: Gelar Andi) tersebut. mereka cenderung tidak terlalu menampilkan adanya gelar simbolik yang dimilikinya untuk menghilangkan sekat di masyarakat. Demikianlah uraian mengenai kajian kontestasi antar bangsawan yang dikerangkai oleh ketiga konsep besar Bourdieu yakni Habitus, modal dan field dimana ketiga konsep ini terkait satu sama lain. Berbeda dengan kajian kebangkitan bangsawan dirasa cukup lumrah di kalangan akademik, untuk itu penelitian lebih berfokus dari kelanjutan dari kebangkitan tersebut melahirkan kontestasi sesama bangsawan menjadi hal yang menarik. Selain itu kurangnya riset mengenai praktik politik lokal yang terjadi di Kabupaten Pinrang ini menjadi motivasi bagi penulis dalam menghadirkan karya akademik ini. Serta menambah pengetahuan tentang praktik politik lokal di Indonesia yang secara spesifik mengkaji tentang local strongman yakni bangsawan (Baca: Andi) serta proses kontestasinya di ranah kekuasaan.