Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya terhadap proses kontestasi para Andi sebagai suatu identitas kultural yang semestinya solid justru di arena politik khususnya pada momentum pilkada tidak menunjukkan kesolidan tersebut. Yang ditandai dengan pertarungan kepentingan para Andi yang notabene satu rumpun keluarga di arena pilkada tersebut. Perubahan politik dari masa ke masa menghadirkan pola pikir serta kehidupan para bangsawan ini yang senantiasa berupaya untuk tetap eksis di arena birokrasi dan politik. Dalam arena politik, fenomena kontestasi para elit akan semakin menarik ketika status dikatikan dengan praktik yang dilakukan oleh individu hingga kelompok masyarakat dalam menyusun peta kekuatannya. Selain status yang menjadi faktor penentu para elit dalam memainkan perannya di arena politik, tidak dapat diabaikan pula adanya habitus para aktor tersebut. Pada umunya masyarakat memiliki aspek historis yang memiliki pengaruh terhadap proses kontruksi habitus baik itu bersifat individu maupun masyarakat. Konsep habitus dari Pierre Bourdieu sangat dibutuhkan dalam melihat kontruksi perilaku para bangsawan baik sebagai individu maupun kelompok yang bersinggungan dengan arena kekuasaan. Dimana pada masa Orde Baru meski bersifat sentralistik yakni sang kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat tidak membuat bangsawan kehilangan power serta kharismanya di masyarakat. Mereka mencari celah serta cara untuk tetap berkuasa (get power), baik dengan bergabung dengan militer, mengendarai partai golkar serta
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 2 melanjutkan pendidikan tinggi. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi tentunya didukung oleh modal ekonomi yang mereka miliki, seperti dengan menjadi pengusaha dan tuan tanah. Pada masa reformasi yang identik dengan liberalisasi politik dimana setiap masyarkat memiliki kesempatan yang sama dalam menunjukkan apresiasinya dalam panggung politik mulai lokal hingga nasional. Kesempatan ini justru membuka celah bagi para Andi ini untuk berdiri sendiri serta berkontestasi dengan menggunakan modal yang mereka miliki, dan tidak lagi menggunakan senjata ataupun adu kekuatan seperti pada masa lalu dalam mendapatkan kekuasaan secara legitimasi. Pertarungan politik praktis para aktor politik dalam memperjuangkan segala kepentingannya meski berdampak pada keretakan hubungan kekerabatan dan berujung pada konflik karena saling adu kompetensi seringkali membuat masyarakat dilemma dalam menentukan pilihannya. Dikala para aktor yang notabene memiliki ikatan kekerabatan justru saling berkompetisi, untuk itu dalam penokohan seseorang ditentukan adanya kualitas dan jati diri seorang aktor itu sendiri yang secara teoritis memiliki syarat-syarat yang layak untuk diangkat sebagai tokoh atau pemimpin. Masyarakat bugis dalam menentukan seorang pemimpin layaknya melihat karakter sang calon pemimpin itu sendiri yang harus memiliki karakter seperti: to acca, to warani, to sugi dan to panrita. Karakter tersebut menjadi kontruksi habitus seorang pemimpin berdasarkan ekspektasi masyarakat, dimana habitus itu terbentuk dan bekerja melalui individu dan atau kelompok begitupun sebaliknya.
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 3 Namun bagi masyarakat sendiri terutama pada tokoh masyarakat yang sudah tua dan yang memahami adab, identitas serta kultur yang mestinya dijaga lebih condong untuk memilih pemimpin yang memiliki garis keturunan atau secara genetis merupakan keturunan seorang pemimpin. Point utama yang diperoleh dari data di lapangan bahwa ketika dipertarungkan antara to wija (keturunan) dengan to sissi (orang yang memiliki tanda) dalam suatu arena, yang menang pasti to wija (keturunan) seorang pemimpin. Meskipun seseorang (to sissi) memiliki tanda-tanda ataupun mampu memenuhi syarat untuk menjadi seorang pemimpin tetapi secara genetis tidak memiliki historis kepemimpinan dalam keluarga dan dirinya maka akan tetap dikalahkan dengan to wija (keturunan) yang secara genetis dan historis kepemimpinan dalam hidupnya. Habitus ini kemudian menciptakan genealogis kekuasaan, dimana kekuasaan itu diturunkan berdasarkan garis keturunan. Meski modal atau cara mendapatkan kekuasaan tersebut berbeda dari masa ke masa. Dimana pada masa kini adanya pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat, tetapi doktrin akan pemimpin berdasarkan genetis berlaku bagi golongan masyarakat tertentu. Pertarungan modal dalam arena politik menjadi fenomena yang lumrah dalam praktik politik baik tingkat lokal maupun nasional. Ketika dominasi simbolik berupa gelar kebangsawanan tidak terlalu menghegemoni masyarakat secara keseluruhan meski hanya sebagian yang memegang teguh prinsip kepemimpinan tradisional tetapi tidak cukup mampu mendongkrak elektabilitas para elit politik yang sedang berkontestasi dalam penelitian ini spesifikasi arena pilkada. Gelar simbolik yang disandang hanyalah sebagai penambahan nilai
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 4 tersendiri bagi para kandidat kemudian cenderung tidak digunakan dalam mendominasi pilihan masyarakat justru menjadi taktik mereka dengan menjadikannya wacana anti feodalism serta menghilangkan sekat di masyarakat. Justru modal sosial berupa jaringan terutama hubungan yang terjalin dengan para pengusaha menjadi modal utama dalam setiap pertarungan politik. Dimana modal sosial ini kemudian bertransformasi menjadi modal ekonomi yang dijadikan fasilitator dalam melakukan kampanye serta memobilisasi massa. Karena berbicara modal ekonomi pribadi para kandidat dapat dikatakan tidak mencukupi tanpa bantuan dari para jaringan yang mereka miliki. 5.2. Refleksi Teoritik Penggunaan konsep oleh Bourdieu disadari sangat membantu dalam menganalisa fenomena praktik politik lokal yang terjadi di lokasi penelitian. Namun dalam penggunaan teorisasi yang disajikan oleh Bourdieu tentunya terdapat kekurangan yang ditemukan berdasarkan esensi penelitian ini. Pertama, Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam struktur sosial di pinrang saling terkait dan dibangkitkan kembali dalam proses kontestasi di arena pilkada. Adanya praktik liberaliasasi politik yang menampilkan kembali para aktor lokal yakni para bansgawan (Andi) ini justru berimplikasi pada keretakan di tubuh bangsawan (Baca: para Andi) itu sendiri dan berujung pada konflik yang terjadi di arena pilkada. Hal ini didasari pada perubahan makna dari gelar Andi itu sendiri yang dianggap hanya menempel pada nama seseorang saja, ketika tidak dihadirkan oleh habitus yang mampu diterima oleh masyarakat sekelilingnya akan
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 5 cenderung mendapat penolakan dari masyarakat tersebut. Sementara yang menjadi masyarakat sendiri tetap mempertahankan konsep kepemimpinan bangsawan. Untuk itu sebagai bangsawan (Baca: Andi) harus membentuk kontruksi habitus seperti yang diinginkan oleh masyarakat, terlebih ketika Andi ini merupakan elit lokal yang bermain di panggung politik baik tingkat lokal maupun nasional. Hal inilah yang kemudian dikatakan Bourdieu bahwa habitus itu sebagai struktur yang terbentuk pada individu oleh struktur yang ada di sekitarnya. Habitus itu pula dapat dipandang oleh struktur yang ada untuk menentukan kapabilitas serta kapasitas seseorang dalam bertarung di arena kuasa. Tidak dapat dihindari bahwa habitus tetap memiliki pengaruh terhadap pilihan masyarakat. Kedua, selain habitus yang membentuk pola pikir masyarakat dalam menentukan karakter kepemimpinan tidak dipungkiri hadinya modal sebagai pendukung aktor untuk menjadi pemimpin pun dibutuhkan. Modal-modal yang dibutuhkan seperti modal simbolik, ekonomi, sosial dan kultural inilah yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dalam mendapatkan dukungan masyarakat. Dalam proses kontestasi Andi di arena pilkada Nampak jelas adanya praktik dominasi simbolik yang dikemukakan oleh Bourdieo identik dengan siapa yang mendominasi dan didominasi secara terbuka dan begitu saja diterima oleh yang didominasi. Hal ini karena yang mendominasi memiliki kuasa dalam mendominasi sang korban sedangkan sang korban menerimanya begitu saja. Seperti yang terjadi pada dominasi laki-laki terhadap wanita dalam rumah tangga, laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumah tangga memiliki kuasa terhadap istrinya yang dianggapnya sebagai subordinasi tersebut.
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 6 Namun dalam praktek pertarungan modal di arena pilkada dalam penelitian ini hadirnya intimidasi terhadap para para pemilih yang berlatar belakang PNS dan bawahan Bupati sebagai hal yang unik ditemukan di lapangan. Dimana para PNS serta para birokrasi lainnya yang menjadi bawahan sang bupati dianggap sebagai subordinasi dari salah satu aktor (Baca: Incumbent yang menjadi kandidat) justru mendapatkan intimidasi. Bentuk intimidasi tersebut berwujud adanya reward kepada PNS serta birokrat yang memberikan dukungannya terhadap sang incumbent serta funishment terhadap para PNS dan birokrasi yang melakukan pembangkangan. Berbeda halnya dengan praktik dominasi yang dikemukakan oleh Bourdieu dimana yang tidak memiliki kuasa ini justru pasrah untuk didominasi. Ketiga, adanya habitus dan modal tersebut kemudian diaktualisasikan dalam suatu arena yakni pilkada. Konsep arena yang dimaksudkan oleh Borudieu sebagai wadah bertarungnya segala kekuatan dan modal, didalamnya terdapat aturan main untuk para aktor. Andi sebagai gelar yang didapatkan berdasarkan garis keturunan terkadang menjadi arena itu sendiri tatkala masyarakat dari kalangan biasa melakukan pembelian darah untuk mendapatkan gelar tersebut melalui proses menaikkan derajat mereka. Mulai dari tampil sebagai aktor baru yang menguasai kapital ekonomi, memiliki gelar pendidikan setinggi-tingginya serta membangun jaringan sosialnya. Proses transformasi dari masyarakt biasa hingga mendapatkan derajat atau strata sosial yang tinggi hingga mampu setara dengan kaum bangsawan yang dulunya berkuasa disinyalir sebagai praktik pertarungan habitus para bangsawan dengan non bangsawan. Karena hadirnya
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 7 habitus baru di tengah masyarakat ini yang mana masyarakat biasa mampu mendapatkan gelar kebangsawanan hanya dengan menguasa segala kapital yang ada. Namun di sisi lain dalam pertarungan, sang aktor yang dipelopori oleh kaum bangsawan justru cenderung menampilkan sisi lain dari kepemilikan status simbolik (Baca: Gelar Andi) tersebut. mereka cenderung tidak terlalu menampilkan adanya gelar simbolik yang dimilikinya untuk menghilangkan sekat di masyarakat. Demikianlah uraian mengenai kajian kontestasi antar bangsawan yang dikerangkai oleh ketiga konsep besar Bourdieu yakni Habitus, modal dan field dimana ketiga konsep ini terkait satu sama lain. Berbeda dengan kajian kebangkitan bangsawan dirasa cukup lumrah di kalangan akademik, untuk itu penelitian lebih berfokus dari kelanjutan dari kebangkitan tersebut melahirkan kontestasi sesama bangsawan menjadi hal yang menarik. Selain itu kurangnya riset mengenai praktik politik lokal yang terjadi di Kabupaten Pinrang ini menjadi motivasi bagi penulis dalam menghadirkan karya akademik ini. Serta menambah pengetahuan tentang praktik politik lokal di Indonesia yang secara spesifik mengkaji tentang local strongman yakni bangsawan (Baca: Andi) serta proses kontestasinya di ranah kekuasaan.