1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis paru (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan adanya peradangan pada parenkim paru oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman jenis aerob yang mampu bertahan hidup dalam berbagai keadaan terutama di dalam paru dan di organ tubuh lainnya karena mempunyai kandungan lemak yang tinggi sehingga dapat hidup dalam keadaan asam, tumbuh dan berkembang dengan lambat (Djojodibroto, 2009; Rab, 2010). Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi termasuk dalam kategori penyakit yang mematikan didunia, dimana tahun-tahun terakhir memperlihatkan adanya kasus baru maupun jumlah kematian yang meningkat akibat tuberkulosis paru (TBC) sehingga organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan tahun kedaruratan global penyakit tuberkulosis paru pada tahun 1993 dikarenakan sebagian besar negara didunia tidak mampu untuk mengendalikan penyebaran penyakit TBC yang disebabkan karena banyaknya penderita yang tidak berhasil dalam pengobatan tuberkulosis paru sehingga akan menularkan dengan hasil BTA positif (Depkes RI, 2002). Angka penderita TBC dan angka kematian yang disebabkan oleh TBC pernah mengalami penurunan secara drastis pada negara-negara yang maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, penurunan angka kesakitan dan kematian yang disebkan oleh TBC di yakini disebabkan karena membaiknya keadaan sosioekonomi negara tersebut, infeksi yang terjadinya pada usia muda sehingga sangat mudah ditanggulangi terkait sistem imun yang masih baik pada usia muda, penderita yang rentan segera meninggal sehingga tidak menyebarkan infeksi,dan ditemukannya obat anti tuberkulosis yang diyakini ampuh, akan tetapi seiring dengan bertambahnya tahun angka kesakitan TBC di Amerika Utara kembali
2 meningkat dikarenakan adanya resistensi bakteri terhadap obat yang diberikan (Djojodibroto, 2009). Sedangkan pada negara berkembang insiden kematian yang disebabkan oleh penyakit TBC sekitar 25% dari seluruh kematian, 95% penderita TBC berada pada negara berkembang diantaranya 75% merupakan kelompok usia produktif antara 15 sampai 50 tahun (Kemenkes RI, 2011). Insiden Tuberculosis paru dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini diseluruh dunia, terdapat tiga negara yang berkontribusi terbesar dalam penyakit tuberkulosis paru didunia, diantaranya India, Cina, dan Indonesia (Depkes RI, 2002; Wijaya, 2012). Penyakit tuberkulosis paru terdapat banyak kasus pada negara berkembang dikarenakan pada negara berkembang mempunyai tingkat sosioekonomi yang masih rendah atau menengah kebawah yang menjadi faktor utama sehingga kesehatan pada negara berkembang belum mampu dikendalikan dengan baik. Seperti di Indonesia, kasus kematian utama adalah Tuberkulosis paru, sedangkan tingkat kesakitan TBC masuk dalam urutan teratas setelah ISPA. Jumlah penderita tuberkulosis dari tahun ketahun di Indonesia terus meningkat setiap menitnya, tiap satu menit muncul satu penderita baru tuberkulosis paru dan tiap dua menit muncul satu penderita tuberkulosis paru yang menular hingga empat menit sekali muncul penderita yang meninggal akibat tuberculosis paru (TBC) (Zulkifli dkk, 2006). Di Indonesia, tuberkulosis paru saat ini menduduki urutan ke 4 untuk angka kesakitan dan peringkat ke 5 penyebab kematian. Meskipun sudah dilakukan upaya untuk memberantas TBC akan tetapi insiden maupun prevalensi TBC di Indonesia tidak pernah menurun dengan bertambahnya faktor lain seperti pertambahan penduduk, meningkatnya kasus penyakit lain seperti HIV/AIDS yang secara umum akan menambah penderita TBC (Djojodibroto, 2009). Tuberkulosis paru (TBC) di Indonesia sebagian besar menyerang pada usia produktif dari kelompok sosioekonomi lemah, dengan adanya program penanggulangan TBC dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO akan tetapi belum terlihat
3 keberhasilannya di Indonesia dikarenakan banyaknya temuan kasus baru TBC (case Detection Rate/ CDR), peningkatan CDR sangat penting untuk mengevaluasi penangulangan TBC, apabila CDR rendah tingkat penularan TBC akan berlangsung terus menerus dimasyarakat (Amril dkk, 2003). Masalah utama yang menyebabkan belum menurunnya insiden penderita penyakit TBC adalah banyaknya penderita TBC yang belum memanfaatkan akses fasilitas kesehatan, obat telah disediakan dalam jumlah yang cukup banyak dan gratis oleh pemerintah, fasilitas kesehatan telah siap melakukan pemeriksaan dan pengobatan dengan mengunakan strategi DOTS akan tetapi masyarakat kurang memanfaatkan fasilitas yang telah diberikan. Pada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditemukan sejumlah 977 pasien penderita TB paru 29,6 % dari total keseluruhan penduduk DIY pada tahun 2000, angka tersebut lebih rendah dari angka perkiraan nasional dengan perkiraan setiap 100.000 penduduk terdapat 130 penderita TB Paru dengan BTA positif. Terdapat 38,1% penderita yang menjalani pengobatan paru secara teratur, sedangkan pasien TB paru tanpa pengawas minum obat sebanyak 50% dari penderita TB paru di Provinsi DIY (Purwanta, 2005). Pengobatan secara rutin dan teratur khusus penderita TBC merupakan faktor penentu keberhasilan pengobatan tuberkulosis, sebagian besar pengaruh keberhasilan bergantung pada keteraturan pasien untuk mengkonsumsi obat secara tepat. Untuk mencapai keberhasilan pengobatan tuberkulosis bukan merupakan hal yang mudah dilakukan pasien dan petugas kesehatan, dengan adanya pengobatan Tuberkulosis selama enam sampai delapan bulan atau sampai selama kurang lebih satu tahun. Pengobatan TBC diberikan dengan cara dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Hampir semua pasien tuberkulosis mempunyai pengawas minum obat (PMO), sebagian besar pengawas minum obat berasal dari keluarga dan ada juga dari petugas kesehatan. Berdasarkan penelitian di Jawa tengah pengaruh pengawas minum obat (PMO) dinilai dari kepatuhan pengobatan fase awal, konversi, pengobatan
4 fase akhir dan tingkat kesembuhan pasien. Dilihat secara keseluruhan berdasarkan penelitian sebelumnya ada hubungan secara statistik bermakna antara pengawas minum obat (PMO) dengan kepatuhan pengobatan pada fase awal pengobatan saja dan tidak ada hubungan bermakna antara pengawas minum obat (PMO) pada kepatuhan pengobatan sampai akhir pengobatan. Ketika pasien kesulitan untuk mematuhi pengobatan Tuberkulosis sendirian, maka perlu diawasi oleh orang kedua yang diperintahkan untuk mengawasi pengobatan TBC pasien, dengan adanya pendekatan tersebut menghasilkan tingkat keberhasilan kesembuhan TBC yang relative tinggi dan dapat mengurangi resiko resistensi obat (Standar Internasional Untuk pelayanan Tuberkulosis, 2006). Pengawas minum obat (PMO) merupakan pengawas minum obat yang selalu mengingatkan penderita TBC untuk meminum obat secara teratur dan tepat sampai masa pengobatan selesai (Komite DOTS DIY, 2005). Pengawas minum obat (PMO) merupakan kesatuan dari komponen DOTS pengobatan paduan obat anti tuberculosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan yang lengkap, untuk menjamin keteraturan pengobatan dengan tugas maupun perannya. Pada penelitian sebelumnya terdapat 69,9 % pasie TBC Paru tidak mempunyai keluarga yang mendampingi sebagai pengawas minum obat (PMO) sedangkan pasien yang mempunyai PMO hanya sekitar 30,1 % yang sebagian besar PMO adalah keluarga sebanyak 25,3 %, sedangkan PMO yang berasal dari petugas kesehatan hanya sekitar 0,6 % (Murtiwi, 2006), pada penelitian sebelumnya terdapat temuan bahwa tidak semua PMO menjalankan tugasnya dengan benar yaitu: mengawasi penderita meminum obat secara teratur sampai masa pengobatan selesai, memberikan dorongan atau semangat kepada penderita TBC untuk berobat secara teratur, mengingatkan penderita TBC untuk memeriksakan ulang pada waktu yang sudah ditentukan, dan memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala TBC untuk segera memeriksakan ke Unit Pelayanan Kesehatan. PMO sebaiknya adalah
5 petugas kesehatan, seperti bidan, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain sebagainnya. Apabila tidak ada petuga kesehatan yang memungkinkan maka PMO dapat berasal dari kader kesehatan seperti guru, anggota PPTI, PKK, maupun tokoh masyarakat lainnya maupun dari anggota keluarga (Depkes RI, 2002). Maka dalam penelitian ini akan meneliti hubungan antara penderita yang menggunakan pengawas minum obat (PMO) dengan penderita yang tidak menggunakan pengawas minum obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan Tuberkulosis paru. 1.2. Perumusan Masalah Apakah ada hubungan keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru yang di pantau oleh pengawas minum obat (PMO) dengan yang tidak di pantau oleh pengawas minum obat (PMO) di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2012-2013? 1.3. Tujuan Penelitian Berhubungan dengan masalah diatas, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui adakah hubungan tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru yang dipantau oleh pengawas minum obat (PMO) dengan yang tidak dipantau oleh pengawas minum obat (PMO). 1.3.2. Tujuan Khusus A. Untuk mengetahui peran PMO terhadap penderita tuberkulosis paru di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. B. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan dengan pengawasan dari PMO.
6 1.4. Keaslian penelitian Penelitian mengenai Hubungan antara keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru yang dipantau oleh pengawas minum obat (PMO) dan yang tidak di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2012-2013 belum pernah dilakukan, akan tetapi ada beberapa penelitian sejenis. Diantaranya : Tabel 1. Keaslian penelitian No. 1. 2. Judul dan Penulis Ciri-ciri pengawas minum obat yang di harapkan oleh penderita tuberkulosis paru di daerah urban dan rural di Yogyakarta Purwanta (2005) Hubungan antara peran pengawas minum obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis paru di puskesma Wonosobo 1. Sri lestari (2012) Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri dan karakteristik pengawas minum obat yang dikehendaki oleh penderita tuberkulosis daerah urban dan rural di Yogyakarta. Metode penelitian yang dipakai menggunakan jenis deskriptif explorative dengan metode pendekatan cross sectional, teknik sampling menggunakan purposive sampling pada kriteria yang sudah ditentukan. Metode pengumpulan dengan wawancara mendalam terhadap responden. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan peran pengawas menelan obat dengan keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru di puskesmas Wonosobo 1. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian correlational research dengan mengunakan pendekatan Perbedaan Perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui pengaruh pengawas minum obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan tuberkulosis dengan mengunakan metode penelitian kuantitatif cross sectional deskripif analitik dengan mengunakan data sekunder. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat yang di teliti pada penelitian ini yaitu di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2012-2013, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif cross sectional deskriptif anaitik, populasi yang digunakan adalah populasi terjangkau dengan beberapa kriteria inklusi, sampel yang digunakan dengan menggunakan
7 retrospektif uji chi square. Sampel yang digunakan terdiri dari 50 responden dengan menggunakan total sampling, di dapatkan hasil keberhasilan pengobatan TB yang didukung oleh peran PMO sebanyak 92,5% (25 responden) dan ketidak berhasilan pengobatan TB dikarenakan peran PMO yang tidak mendukung sebanyak 43,5% (10 responden) sedangkan yang bersifat netral 56,5%. penghitungan rumus sampel minimal analitik kategorik tidak berpasangan dan cara pengumpulan data penelitianini hanya menggunakan data sekunder berupa data rekam medis. 3. Pengaruh peranan pengawas minum obat (PMO) terhadap keberhasilan pengobatan TB Paru di wilayah kerja puskesmas Baki Sukoharjo. Kholifatul MZ (2012) penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui seberapa besar peranan PMO dalam keberhasilan pengobatan TB yang dilihat dari berbagai faktor seperti karakteristik dari penderita TB dan karakteristik tempat tinggal / lingkungan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan studi retrospektif yaitu peneliti langsung mengobservasi keadaan saat ini dan menilai faktor masa lampau. Dengan jumlah populasi semua penderita TB paru yang terdaftar pada tahun2011 sejumlah 33 pasien, teknik sampel menggunakan total sampling. Penelitian ini menggunkan metode data primer atau dengan kuisoner dengan Hasil peran PMO terhadap keberhasilan pengobatan TB paru sebanyak 56%, dan yang tidak berhasil 3%, dan yang bersifat netral sebanyak Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat yang diteliti di rumah sakit PKU Muhammadiyah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analitik crossectional, populasi yang diteliti menggunakan jenis populasi terjangkau hanya mengambil yang memenuhi kriteria yang sudah dibuat sedangkan sampel yang digunakan menggunakan penghitungan rumus sampel kategorik tidak berpasangan. data yang akan diambil hanya menggunakan jenis data sekunder berupa data pasien di RS dan rekam medis.
8 19%. 4. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi praktik pengawas minum obat (PMO) dalam pengawasan penderita tuberkulosis paru di kota Semarang. Nunuk widyaningsih (2004) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi praktik PMO dalam pengawasan penderita tuberkulosis paru dengan melihat karakteristik PMO, pengetahuan yang dimiliki PMO, sikap dan praktik PMO dalam pengawasan penderita tuberkulosis paru. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian explanatory atau penjelasan dengan rancangan cross sectional dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Menggunakan populasi keseluruhan dan sampel dengan menggunakan rumus dari Vincent gasperz 70 sampel. 1.5. Manfaat penelitian 1.5.1. Bagi penderita Perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti hanya ingin melihat hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan yang dilihat dengan hasil BTA -, sehingga tidak melihat karakteristik dari PMO, sedangkan desain penelitian yang digunakan dengan menggunakan rancangan cross sectional jenis analitik observasional, populasi menggunakan populasi terjangkau berdasarkan kriteria yang sudah dibuat dengan perkiraan sampel minimal menggunakan rumus besar sampel analitik kategori tidak berpasangan.
9 Mengetahui tentang penyakit TBC, penularan, Pencegahan, dan cara pengobatan TBC yang baik dan benar. 1.5.2. Bagi Rumah sakit / Dinas Kesehatan Sebagai masukan untuk menyusun kebijakan baru sesuai dengan keadaan / kondisi yang ada. 1.5.3. Bagi Peneliti Dapat menambah pengetahuan tentang hubungan keberhasilah pasien TBC yang dipantau oleh pengawas miinum obat (PMO) dengan yang tidak, dan dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan di bidang penelitian khususnya tentang masalah program pengobatan TBC. 1.5.4. Bagi peneliti lain Dapat dijadikan sebagai dasar informasi untuk penelitian selanjutnya. 1.5.5. Bagi Pembaca Dapat dijadikan informasi tentang pengawas minum obat dan mengenai penyakit TBC.