BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan adalah suatu karya sastra tradisional yang mempunyai sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh atau pupuh pupuh, dan pupuh tersebut diikat oleh beberapa syarat yang biasanya disebut dengan padalingsa, yaitu banyaknya baris dalam tiap tiap bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap - tiap baris (carik), dan bunyi akhir tiap tiap barisnya (Agastya, 1980 : 16). Dalam Kamus Bahasa Bali Indonesia (1991 : 254) diuraikan secara etimologi kata geguritan berasal dari kata gurit yang artinya karang, gubah, sadur, selanjutnya ngurit berarti mengubah; magurit, kagurit berarti digubah; gurita berarti digubahnya; guritan artinya gubahan, saduran, karangan; gaguritan berarti saduran cerita yang berbentuk tembang (pupuh). Pada umumnya geguritan digunakan untuk mengungkapkan sebuah kisah atau cerita tentang dongeng, kisah kisah sejarah, legenda, ajaran agama, moral dan sebagainya. Selain itu di dalam suatu geguritan ada yang memakai satu jenis pupuh, dan ada yang memakai banyak jenis pupuh. Geguritan yang memakai satu jenis pupuh misalnya Geguritan Jayaprana (Ginada), Geguritan Basur (Ginada), Geguritan Luh Raras (Ginada), dan lain lain, sedangkan yang 1
memakai banyak jenis pupuh adalah Geguritan Sudamala,, dan sebagainya (Agastya, 1980 : 17). Secara umum geguritan dipandang sebagai karya sastra Bali yang dibentuk dengan pupuh pupuh. Menurut Putu Arya Semadi mengatakan, bahwa setelah masyarakat Bali mengenal aksara, sastra sastra daerah mulailah ditulis (di atas daun rontal). Penulisannya dengan menggunakan pisau kecil, dengan jalan menggoret goretnya. Hasil karyanya dinamakan guritan, kemudian menjadi kata geguritan dengan wirama/karangan yang ditulis, dengan menggunakan tembang/pupuh, macapat (Sancaya, 2003:19). Jadi geguritan adalah karangan yang ditulis dengan menggunakan tembang/pupuh macapat. Karya sastra geguritan diciptakan dalam tradisi Bali, baik itu dalam wujud kreatif murni, pengalaman ataupun autobiografi pengarang. Kenyataan yang dapat diketahui banyak karya sastra dalam bentuk geguritan lahir berdasarkan babon atau sumber dari karya sastra yang lahir sebelumnya. Geguritan Kala Rau ini babonnya adalah Adiparwa, yaitu ketika pemutaran Mandara Giri. Namun, pada Adiparwa cerita diawali dari para dewa dan para raksasa mengadakan pertemuan untuk mencari tirta amerta di dasar laut. Sedangkan pada Geguritan Kala Rau dimulai dari ketika sudah mengaduk laut, namun terdapat kesamaan pada akhir ceritanya, yaitu adanya nama surya lan bulan kapangan (gerhana matahari dan gerhana bulan), itulah yang membedakan antara babonnya dengan hasil sadurannya. 2
Geguritan juga merupakan sebuah puisi naratif, karena apabila dilihat dari segi bentuk adalah puisi, sedangkan apabila dilihat dari segi isinya adalah cerita (naratif). Bila ditinjau dari segi isi cerita amatlah beragam, bahkan sering dipakai sebagai lakon dalam seni seni pertunjukan. Geguritan memiliki bentuk puisi yang khas dan unik sebagai ciri kedaerahan dan sangat relevan dalam mengkaji sebuah geguritan yang dikemas dalam padalingsa pupuh. Geguritan yang digunakan sebagai bahan kajian ini adalah Geguritan Kala Rau. Latar belakang diangkatnya Geguritan Kala Rau yang dijadikan penelitian bahwa, didalamnya menceritakan perjalanan para raksasa dan para dewa mencari tirta amerta, sampai adanya mitos terjadinya surya lan bulan kapangan (gerhana bulan dan gerhana matahari). Selain itu, bahasa yang digunakan masih yang lugas atau bahasa Bali lumrah, sehingga mudah dimengerti, dan dalam isinya juga terdapat artinya, sehingga geguritan ini tampak seperti cerita. Dengan membuat geguritan ini pengarang sendiri ingin menumbuhkan kembali tradisi ketika terjadi surya lan bulan kapangan yang sudah hampir punah. Selain itu juga terdapat kekhasan dalam teks Geguritan Kala Rau, bahwa setiap hasil karya geguritannya selalu diawali dengan menggunakan Pupuh Dandanggula yang diakhiri dengan menggunakan Pupuh Durma yang hanya terdiri dari 35 pada yaitu (1 pada) pupuh pembuka, (33 pada) pupuh isi, dan (1 pada) pupuh penutup. Inilah yang membuat penulis ingin meneliti lebih mendalam karya bapak I Nyoman Suprapta ini yang berbeda dari karya karya pengarang lainnya. 3
Teks Geguritan Kala Rau ini muncul dari kepercayaan masyarakat Bali terhadap mitos surya lan bulan kapangan atau yang biasa disebut dengan istilah gerhana matahari dan gerhana bulan. Dari peristiwa tersebut sehingga muncul keinginan seorang bapak Nyoman Suprapta untuk menciptakan sebuah karya sastra yang kisah ataupun ide ide ceritanya berasal dari lingkungan masyarakat maupun peristiwa peristiwa yang terjadi dilingkungan masyarakat. Kemunculan teks ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, serta dengan adanya kepercayaan maupun pengalaman masyarakat Bali saat terjadinya bulan kapangan itu mempunyai tradisi tersendiri, yaitu pada saat hari suci purnama, wanita Hindu di Bali harus keramas karena Kala Rau itu dianggap leteh, selain itu ketika terjadi bulan kapangan, biasanya masyarakat mengambil kentungan dan dipukul. Menurut pengamatan penulis, tradisi ini masih diyakini dan dilakukan oleh masyarakat Bali di daerah pedesaan, sedangkan masyarakat perkotaan tidak pernah melakukan tradisi tersebut. Peristiwa bulan kapangan ini tidak terjadi setiap bulan purnama, tetapi kadang kadang saja. Menurut pengarangnya sendiri yaitu bapak Nyoman Suprapta, Geguritan Kala Rau ini tergolong dalam sebuah mitos yang berasal dari kepercayaan masyarakat. Hal ini terlihat dari judul objek yang di awali dengan kata wit yang artinya awal mula atau asal mula. Wit Surya lan Bulan Kapangan, Surya yang artinya Matahari, Bulan berarti Bulan, Kapangan berarti dimakan, jadi wit surya lan bulan kapangan berarti asal mula dimakannya bulan dan matahari, atau yang biasanya disebut dengan istilah gerhana bulan dan 4
gerhana matahari. Selain itu tokoh tokohnya merupakan para dewa, edangkan Kala Rau berarti kegelapan. Teks Geguritan Kala Rau ini apabila dilihat dari strukturnya, meliputi struktur forma dan struktur naratif. Struktur forma dalam geguritan ini terdiri dari kode bahasa dan sastra, ragam bahasa, serta gaya bahasa. Kode bahasa dan sastra yang mencakup penggunaan pupuh, perwatakan dari masing masing pupuh, dan pelukisan dari masing masing pupuh untuk melukiskan suasana. Geguritan ini menggunakan Sembilan jenis pupuh, yang terdiri dari 35 pada. Pupuh yang digunakan yaitu Pupuh Dandang Gula (1 pada), Pupuh Sinom (5 pada), Pupuh Maskumambang (3 pada), Pupuh Semarandana (3 pada), Pupuh Ginada (7 pada), Pupuh Mijil (1 pada), Pupuh Durma (9 pada), Pupuh Ginanti (3 pada), dan Pupuh Pucung (3 pada). Dalam geguritan ini terjadi pengulangan pada beberapa pupuh dalam membangun cerita, diantaranya pupuh pupuh yang digunakan tersebut memiliki karakter tersendiri dalam membangun cerita, misalnya pupuh ginada yang memiliki watak sendu yang melahirkan perasaan haru (Surada, 2009 : 7). Struktur naratif dalam Geguritan Kala Rau ini meliputi insiden, alur, latar, tokoh dan penokohan, tema, dan amanat. Dalam struktur naratif ini diawali dengan kisah perjalanan para raksasa dan para dewa mengaduk laut untuk mencari tirta amerta. Tetapi para raksasalah yang mendapatkan tirta itu, namun para dewa berusaha dengan tipu dayanya untuk merebut tirta tersebut dari tangan para raksasa. Akhirnya para raksasa dan para dewa berperang sehingga mengakibatkan 5
banyak para raksasa yang mati. Seketika itu Kala Rau marah, ingin balas dendam kepada para dewa, tetapi sang Singhika tidak mengijinkan karena sang Kala Rau masih kecil. Namun, Sang Kala Rau tetap ingin pergi, dan orang tuanya pun mengijinkan. Kala Rau pun menjelma menjadi dewa dan ikut dalam rombongan para dewa untuk mendapatkan tirta amerta. Dewa Wisnu memercikan tirta kepada para dewa, sekarang giliran Sang Kala Rau, belum sempat mengalir ketubuhnya, baru sampai di lehernya, tiba tiba Hyang Ratih dan Hyang Surya melihat ada dewa jelmaan, Hyang Ratih dan Hyang Surya pun memberitahukan Hyang Wisnu, seketika itu Hyang Wisnu pun melepas cakranya, dan tepat kena di leher Kala Rau, badannya pun roboh ke bumi, lehernya masih melayang. Sang Kala Rau sangat marah, dendam kepada Hyang Ratih dan Hyang Suria. Ia pun bersumpah akan memakan Hyang Ratih dan Hyang Surya karena telah membuatnya ketahuan. Akhirnya Kala Rau mencari Hyang Ratih ke Bulan, dan Hyang Surya yang berstana di matahari, serta memakannya. Pertistiwa tersebut dinamakan bulan kapangan dan surya kapangan. Berdasarkan pengertian di atas selain dilihat dari strukturnya, dalam geguritan ini juga terdapat fungsi fungsi yang membangun, diantaranya fungsi agama yang terdiri dari tatwa dan etika yang dilihat dari prilaku atau tingkah laku para tokoh yang membangun cerita tersebut, dan juga fungsi mitos yang memahami tentang kepercayaan masyarakat akan adanya bulan dan surya kepangan tersebut agar terus diyakini. 6
Sejauh ini penelitian terhadap teks Geguritan Kala Rau belum pernah diteliti. Maka penelitian ini dilakukan dengan judul Geguritan Kala Rau Analisis Struktur dan Fungsi. 1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka timbullah suatu permasalahan yang akan dianalisis yaitu : 1. Bagaimanakah struktur yang membangun Geguritan Kala Rau? 2. Fungsi fungsi apa sajakah yang terdapat dalam Geguritan Kala Rau? 1.3 Tujuan Penelitian Setiap penelitian hendaknya memiliki suatu tujuan. Tujuan yang diharapkan harus dicapai secara tepat dan jelas. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dijabarkan atas 2 (dua) tujuan, yaitu : 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendukung, melestarikan dan mengembangkan nilai nilai budaya bali yang terdapat dalam naskah naskah lama sebagai warisan budaya bangsa. 7
2. Meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra tradisional. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendeskripsikan struktur Geguritan Kala Rau. 2. Mendeskripsikan fungsi fungsi yang terdapat dalam Geguritan Kala Rau. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian terhadap karya sastra tradisional sangat besar manfaatnya bagi perkembangan apresiasi masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan nilai nilai budaya suatu bangsa. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengungkap struktur dan fungsi yang terdapat dalam geguritan tersebut dan dapat bermanfaat secara praktis dan teoretis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah karya sastra Bali klasik, serta bermanfaat dalam pelestarian dan pengembangan kesusastraan Bali. 8
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis diharapkan agar masyarakat; 1) mengetahui dan memahami struktur dan fungsi yang terdapat dalam Geguritan Kala Rau, 2) dapat menyadari akan pentingnya tradisi maupun kepercayaan yang ada, 3) dapat membantu pengembangan dan pelestarian karya sastra sehingga kedepannya dapat terus ditingkatkan. 9