BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku 2.1.1. Defenisi Perilaku Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2003) : a. Pengetahuan Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan : 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (Aplication) Apikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (Synthesis) Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek. b. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek 3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave) Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Menurut Purwanto (1999) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri ciri sikap (Purwanto, 1999) adalah : 1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat. 2. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syaratsyarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dirumuskan dengan jelas. Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. 4. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sikap inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang. 5. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Purwanto, 1999). Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan : 1. Menerima (Receiving ) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek). 2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi. c. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan : 1. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. 2. Respon terpimpin (Guided Response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua. 3. Mekanisme (Mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. 4. Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
2.1.2. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), ada tiga factor yang merupakan penyebab perilaku, yaitu factor pendorong (predisposing) seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai yang berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak. Factor kedua adalah factor pendukung (enabling) yaitu tersedianya fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung dan memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Factor ketiga adalah factor penguat (reinforcing) seperti keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan dan juga termasuk undang-undang atau peraturan-peraturan baik yang dari pusat maupun kebijakan daerah yang terkait dengan kesehatan. 2.1.3. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1. Perubahan alamiah Sebagian perubahan alamiah disebabkan oleh perubahan alam yang terjadi. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan. 2. Perubahan terencana Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek 3. Kesediaan untuk berubah Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang akan mengadopsi
inovasi tersebut dengan cepat dan sebagian mengadopsi secara lambat. Hal ini menegaskan bahwa setiap orang di dalam suatu masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah. 2.2. Teori Mengenai pemanfaatan pelayanan 2.2.1. Teori Andersen Menurut Andersen yang dikutip Notoadmodjo (2003), bahwa faktor-faktor yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Karakteristik predisposisi (predisposing characteristics), karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecendrungan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam ciri-ciri : a) Varibel demografi (umur, status perkawinan, jumlah keluarga, jenis kelamin), variabel struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, suku bangsa agama). b) Kepercayaan dan sikap terhadap pelayanan kesehatan. 2. Karakteristik pendukung (enabling characteristics), karakteristik ini akan menimbulkan suatu kondisi yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan atau setidak-tidaknya mereka siap untuk memanfaatkannya, beberapa faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaannya seperti faktor kemampuan (penghasilan, simpanan,dll) dan dari komunita (fasilitas pelayanan kesehatan)
3. Karakteristik kebutuhan (need characteristics), faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencoba pelayanan kesehatan dapat terwujud di dalam tindakan itu ila dirasakan sebagai kebutuhan. 2.3. Definisi Kanker Serviks Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh ketidakteraturan hormon sehingga menyebabkan tumbuhnya daging pada tubuh yang normal. Pertumbuhan daging yang tidak normal ini dapat terjadi pada jaringan mana saja termasuk pada alat kelamin wanita, khususnya leher rahim (serviks) (Anonim,2009). Kanker serviks adalah (kanker leher rahim) adalah berkembangnya sel kanker yang menyelimuti leher rahim, dimana ini berlangsung lama. Sebelum menjadi kanker, sel kanker mengalami perubahan, dimana tanda perubahan mengidentifikasikan kanker mungkin berkembang. 2.3.1. Penyebab kanker serviks Kanker serviks menyerang daerah leher rahim atau serviks yang disebabkan infeksi virus HPV (human papillomavirus) yang tidak sembuh dalam waktu lama. HVP adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa. Jika kekebalan tubuh berkurang, maka infeksi HPV akan mengganas dan bisa menyebabkan terjadinya kanker serviks. Gejalanya tidak terlalu kelihatan pada stadium dini, itulah sebabnya kanker serviks yang dimulai dari infeksi HPV dianggap sebagai "The Silent Killer" (Anonim,2009) Beberapa gejala bisa diamati meski tidak selalu menjadi petunjuk infeksi HPV. Keputihan atau mengeluarkan sedikit darah setelah melakukan hubungan intim adalah sedikit tanda gejala dari kanker ini. Selain itu, adanya cairan kekuningan yang berbau
di area genital juga bisa menjadi petunjuk infeksi HPV. Virus ini dapat menular dari seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularannya dapat melalui kontak langsung dan karena hubungan seks. Ketika terdapat virus ini pada tangan seseorang, lalu menyentuh daerah genital, virus ini akan berpindah dan dapat menginfeksi daerah serviks atau leher rahim Anda. Cara penularan lain adalah di closet pada WC umum yang sudah terkontaminasi virus ini. Seorang penderita kanker ini mungkin menggunakan closet, virus HPV yang terdapat pada penderita berpindah ke closet. Bila Anda menggunakannya tanpa membersihkannya, bisa saja virus kemudian berpindah ke daerah genital Anda. Buruknya gaya hidup seseorang dapat menjadi penunjang meningkatnya jumlah penderita kanker ini. Kebiasaan merokok, kurang mengkonsumsi vitamin C, vitamin E dan asam folat dapat menjadi penyebabnya. Jika mengkonsumsi makanan bergizi akan membuat daya tahan tubuh meningkat dan dapat mengusir virus HPV (Anonim,2009). 2.3.2. Faktor Resiko Kanker Serviks Beberapa hal yang dapat meningkatkan resiko seorang perempuan terkena kanker serviks adalah (Bertiani E.Sukaca,2009) : 1. Menikah atau memulai aktivitas seksual pada usia muda. Hubungan seksual pada usia muda yaitu kurang 15 tahun dapat meningkatkan resiko relatif sebanyak 12 kali untuk terkena kanker serviks. Serviks yang belum matang (immatur) dari wanita muda (20 tahun ke bawah), hanya diliputi lapisan sel halus, oleh karena itu mempunyai daya tahan rendah terhadap
infeksi Human Pappiloma Virus (HPV) yang ditularkan pada waktu berhubungan seksual. 2. Pasangan seksual lebih dari satu (multipatner sex) Perilaku bergonta ganti pasangan dapat meningkatkan penularan penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi Human Pappiloma Virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker serviks. Resiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. 3. Trauma kronis pada serviks Trauma ini terjadi karena persalinan yang berulang kali (paritas) adanya infeksi dan iritasi menahun. Diperkirakan resiko 3-5kali lebih besar pada wanita yang sering partus untuk terjadi kanker serviks. Robekan pada bagian leher rahim yang tipis kemungkinan dapat menyebabkan timbulnya suatu peradangan dan selanjutnya berubah menjadi kanker. 4. Higiene Alat genital yang kurang bersih, akan mempermudah terjadinya servisitas yang dipercaya erat kaitannya dengan terjadinya kanker serviks, misalnya melakukan hubungan seks saat mentruasi. 5. Kontrasepsi Pemakaian kontrasepsi oral lebih dari 4 atau 5 tahun dapat meningkatkan resiko terkena kanker serviks 1,5-2,5 kali. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontrasepsi oral menyebabkan perempuan sensitif terhadap HPV yang dapat
menyebabkan peradangan pada genitalia sehingga beresiko untuk terkena kanker serviks. 6. Merokok Tembakau adalah bahan pemicu karsinogenik yang paling baik. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Wanita perokok memiliki resiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun local sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. 7. Paritas Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan bayi yang dapat hidup atau viable. Paritas yang berbahaya adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Sebab dapat menimbulkan perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim dan dapat berkembang menjadi keganasan. 2.3.3. Gejala Klinik Kanker Serviks Pada kanker serviks gejala yang sering ditemukan adalah keputihan, pendarahan sentuh, dan pengeluaran cairan encer. Pada awal penyakit sering tidak terdapat gejala apapun. Jika ditemukan keputihan kemungkinan kanker serviks perlu diwaspadai walaupun gejala tersebut bukanlah gejala khas dari kanker serviks dan pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan dari kemaluan setelah melakukan senggama (perdarahan pasca senggama), jika lebih berat lagi dapat terjadi perdarahan yang tidak teratur (metrorhagia).
Pada keadaan yang lebih lanjut dapat terjadi pengeluaran cairan kekuningan kadang-kadang bercampur darah dan berbau sangat busuk dari liang senggama. Muka penderita tampak pucat karena terjadi perdarahan dalam waktu yang lama. Anemia yang sering ditemukan sebagai akibat perdarahan-perdarahan pervagina dan akibat penyakit, berat badan biasanya baru menurun pada stadium klinim III (Harahap, R.E, 1984). Rasa nyeri di daerah bagian pinggul atau di ulu hati dapat disebabkan oleh tumor yang terinfeksi atau radang panggul. Rasa nyeri di daerah pinggang dan punggung dapat terjadi karena terbendungnya saluran kemih sehingga ginjal menjadi membengkak (hidronefrosis) atau karena penyebaran tumor kelenjar getah bening di sepanjang tulang belakang (para aorta). Juga pada stadium lanjut dapat timbul rasa nyeri di daerah panggul,disebabkan penyebaran tumor ke kelenjar getah bening dinding panggul. Timbulnya perdarahan dari saluran kemih dan perdarahan dari dubur dapat disebabkan oleh penyebaran tumor ke kandung kemih dan ke rektum. Semakin lanjut dan bertambah parahnya penyakit, penderita kanker serviks akan menjadi kurus, anemia, malaise, nafsu makan hilang (anoreksia), gejala uremia, syok dan dapat sampai meninggal dunia. 2.3.4. Stadium Klinik Dan Prognosis Kanker Serviks 2.3.4.1.Stadium klinik Tujuan penentuan stadium klinik adalah untuk dapat merumuskan prognosis, menentukan jenis pembatasan cacat, dan agar hasil penanganan dari berbagai stadium dapat dibandingkan.
Stadium klinik yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dianjurkan oleh International Federation Of Gynecology and Obstetricts (IFGO), yaitu sebagai berikut : 1. Stadium 0, stadium ini disebut juga carcinoma in situ (CIS). Tumor masih dangkal, hanya tumbuh di lapisan sel serviks. 2. Stadium I, kanker telah tumbuh dalam serviks, namun belum menyebar kemanapun. Stadium I dibagi menjadi : - Stadium IA1, dokter tidak dapat melihat kanker tanpa mikroskop. Kedalamannya kurang dari 3 mm dan besarnya kurang dari 7 mm. - Stadium IA2, dokter tidak dapat melihat kanker tanpa mikroskop. Kedalamannya antara 3-5 mm dan besarnya kurang dari 7 mm. - Stadium IB1, dokter dapat melihat kanker dengan mata telanjang. Ukuran tidak lebih besar dari 4 cm. - Stadium IB2, dokter dapat melihat kanker dengan mata telanjang. Ukuran lebih besar dari 4 cm. 3. Stadium II, kanker berada di bagian dekat serviks tapi bukan di luar panggul. Stadium II dibagi menjadi : - Stadium IIA, kanker meluas sampai ke atas vagina, tapi belum menyebar ke jaringan yang lebih dalam dari vagina. - Stadium IIB, kanker telah menyebar ke jaringan sekitar vagina dan serviks, namun belum sampai ke dinding panggul.
4. Stadium III, kanker telah menyebar ke jaringan lunak sekitar vagina dan serviks sepanjang dinding panggul. Mungkin dapat menghambat aliran urin ke kandung kemih. 5. Stadium IV, pada stadium ini, kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh, seperti kandung kemih, rektum, dan paru-paru. Stadium IV dibagi menjadi : - Stadium IVA, kanker telah menyebar ke organ terdekat, seperti kandung kemih dan recktum. - Stadium IVB, kanker telah menyebar ke organ yang lebih jauh seperti paru-paru. 2.3.4.2. Prognosis Kanker Serviks Makin tinggi stadium klinik kanker serviks maka prognosisnya semakin buruk. Untuk itu program pencegahan kanker tingkat I dan II harus ditingkatkan. Program pencegahan tingkat I yaitu penerangan kepada masyarakat. Sedangkan tingkat II yaitu pemeriksaan kolposkopi dan sediaan apusan vagina. 2.3.5. Diagnosa Kanker Serviks Gejala seseorang terinfeksi HPV memang tidak terlihat dan tidak mudah diamati, sehingga dengan membuat diagnosis sedini mungkin dan memulai pengobatan yang sesuai, hasil yang diperoleh akan lebih baik sehingga jumlah perempuan yang meninggal akibat kanker dapat berkurang atau dicegah. Cara paling mudah untuk mengetahuinya dengan melakukan pemeriksaan sitologis leher rahim. Ada berberapa metode untuk deteksi dini terhadap infeksi HPV dan kanker serviks seperti berikut:
1. Pap smear Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik atau sikat untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim. Kemudian sel-sel tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat menyingkapkan apakah ada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal. Menurut laporan sedunia, dengan secara teratur melakukan tes Pap smear telah mengurangi jumlah kematian akibat kanker serviks. 2. IVA IVA yaitu singkatan dari Inspeksi Visual dengan Asam asetat. Metode ini bisa didapatkan di Puskesmas dengan harga relatif murah. Ini dapat dilakukan hanya untuk deteksi dini. Jika terlihat tanda yang mencurigakan, maka metode deteksi lainnya yang lebih lanjut harus dilakukan. 3. Thin prep Metode Thin prep lebih akurat dibanding Pap smear. Jika Pap smear hanya mengambil sebagian dari sel-sel di serviks atau leher rahim, maka Thin prep akan memeriksa seluruh bagian serviks atau leher rahim. Tentu hasilnya akan jauh lebih akurat dan tepat. 4. Kolposkopi Jika semua hasil tes pada metode sebelumnya menunjukkan adanya infeksi atau kejanggalan, prosedur kolposkopi akan dilakukan dengan menggunakan alat yang dilengkapi lensa pembesar untuk mengamati bagian yang terinfeksi. Tujuannya untuk menentukan apakah ada lesi atau jaringan yang tidak normal pada serviks atau leher rahim. Jika ada yang tidak normal, biopsi
pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh dilakukan dan pengobatan untuk kanker serviks segera dimulai. 2.3.6. Pencegahan Kanker Serviks 2.3.6.1. Pencegahan primer Pencegahan primer adalah pencegahan awal kanker yang utama. Hal ini untuk menghindarai faktor resiko yang dapat dikontrol. Cara0cara pencegahan primer adalah sebagai berikut (Dalimartha.S, 2004) : 1. Tundalah berhubungan seksual sampai batas usia di atas remaja Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang perempuan benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari ia sudah menstruasi atau belum, tetapi juga tergantung pada kematangan sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah perempuan berusia 20 tahun ke atas. Terutama untuk perempuan yang masih di bawah 16 tahun memiliki resiko yang sangat tinggi terkena kanker serviks bila telah melakukan hubungan seks. 2. Batasi jumlah pasangan Resiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang berganti-ganti pasangan seks daripada dengan yang tidak. Hal ini terkait dengan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papiloma Virus (HPV). 3. Hindari kebiasaan mencuci vagina terlalu sering Douching atau cuci vagina dapat menyebabkan iritasi di serviks. Iritasi yang berlebihan dan terlalu sering akan merangsang terjadinya perubahan sel, yang akhirnya berubah menjadi sel kanker. Sebaiknya pencucian vagina tidak
dilakukan secara rutin, kecuali bila ada indikasi, misalnya infeksi yang memerlukan pencucian zat-zat kimia atas saran dokter. 4. Hindari kebiasaan menaburi talk Pemakaian talk pada vagina perempuan usia subur bisa memicu terjadinya kanker di daerah serviks dan ovarium (indung telur), karena pada usia subur sering ovulasi dan saat ovulasi dipastikan terjadi perlukaan di ovarium. Bila partikel talk masuk dan menempel di atas luka, menumpuk dan mengendap maka akan menjadi benda asing yang berubah sifat menjadi kanker. 5. Melakukan vaksinasi HPV Vaksin dapat dilakuka sebelum remaja. Bisa dilakukan saat umur 9 tahun. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kanker yang mematikan ini 6. Hindarilah rokok Zat yang terkandung dalam nikotin yang ada pada rokok akan mempermudah selaput sel lender sel-sel tubuh bereaksi. Sedangkan isi daerah serviks adalah lendir. Dengan begitu resiko untuk berkembangnya sel yang abnormal akan semakin mudah. Wanita perokok beresiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang bukan perokok. 7. Makanlah makan yang mengandung vitamin C, Beta Karoten dan Asam Folat Vitamin C, beta karoten dan asam folat dapat memperbaiki atau memperkuat mukosa serviks. Kekurangan vitamin C, beta karoten dan asam folat bisa menyebabkan timbulnya kanker serviks.
2.3.6.1. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan kasuskasus dini sehingga kemungkina penyembuhan dapat ditingkatkan, termasuk skrining, deteksi dini (pap s smear/iva) dan pengobatan. Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining, dimana dengan program ini dapat memperoleh keuntungan yaitu : memperbaiki prognosis pada sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian akibat kanker, tidak diperlukan pengobatan radikal untuk mencapai kesembuhan, adanya perasaan tentram bagi mereka yang menunjukka hasil negative dan penghematan biaya karena pengibatan yang relatif murah. Selain dengan skrining dapat dilakukan pula program deteksi dini dengan paps smear atau IVA, hal ini harus rutin dilakukan oleh wanita yang sudah pernah berhubungan seksual atau menikah untuk mendeteksi keberadaan sel-sel kanker agar dapat ditangani segera ke pengobatan selanjutnya sebelum terlambat. Adapun pengobatan yang dilakukan pada penderita kanker serviks sebagai pencegahan tingkat sekunder adalah : 1. Operasi (bedah) Pada prinsipnya operasi sebagai pengobatan apabila kanker belum menyebar yang tujuannya agar kanker tidak kambuh lagi. Operasi terutama dilakukan untuk kuratif disamping tujuan paliatif ( meringankan). Operasi dilakukan pada karsinoma in situ dan mikrovasif, dalam operasi tumor dibuang dengan konisasa, koagulasi, atau histerktomi. Khusus karsinoma mikrovasif banyak ahli ginekoligik memilih tindakan histerektomi radikal (seluruh rahim diangkat berikut seperti vagina, serta
penggantung rahim akan dipotong hingga sedekat mungkin dengan dinding panggul ). Pada perempuan yang masih menginginkan anak atau penderita yang menolak histerektomi dapat dipertimbangkan konisasi atau elektrokoagulasi. Pada karsinoma invasive stadium IB dan IIA, lebih banyak dipilih tindakan operasi pengangkatan rahim secara total berikut kelenjar getah bening sekitarnya (histerektomi radikal ) (Anonim,2009). 2. Radioterapi Radioterapi adalah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi,. Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel normal di sekitarnya, terapi kerusakan pada sel kanker umumnya lebih besar daripada sel normal, karena itu perlu diatur dosis radiasi sehingga kerusakan jaringan yang normal minimal dan dapat pulih kembali. Radioterapi dilakukan pada karsinoma invasive stadium lanjut (IIB, III, IV). Terapi biasanya hanya bersifat paliatif (mengurangi atau mengatasi keluhan penderita), dititikberatkan pada radiasi eksternal dan internal. Kemajuan teknologi radioterapi pada saat ini dimana radiasi dapat diarahkan pada massa tumor secara akurat, sehingga pemberian dosis tinggi tidak memberikan penyulit yang berarti. Pada stadium IV lebih banyak memilih mutilasi eksentaris total yaitu mengangkat kantong kemih, rectum dan dibuat uretra dan anus tiruan (praetor naturalis) 3. Khemoterapi Khemoterapi ialah terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat anti kanker yang disebut sitostatika. Pada umumnya sitostatika hanya merupakan terapi anjuvant (terapi tambahan yaitu : terapi yang bertujuan untuk menghancurkan
sisa-sisa sel kanker yang mikroskopik yang mungkin masih ada) setelah terapi utama dilakukan. Khematerapi yang sering digunakan pada karsinoma serviks adalah Methotrexate, Cyclophospahanimide, Adiamycin dan Mitomicin-C. sitostatika biasanya diberi kombinasi. 2.4. IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah metode deteksi dini kanker serviks yang sesuai untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Tekniknya cukup sederhana, yaitu dengan mengaplikasikan asam asetat 3-5% pada serviks. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white epithelium. Dengan munculnya bercak putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA positif. (Trisilia,2010). 2.4.5. Cara Kerja IVA : 1. Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien akan mendapat penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalankan. Privasi dan kenyamanan sangat penting dalam pemeriksaan ini. 2. Pasien dibaringkan dengan posisi litotomi (berbaring dengan dengkul ditekuk dan kaki melebar). 3. Vagina akan dilihat secara visual apakah ada kelainan dengan bantuan pencahayaan yang cukup. 4. Spekulum (alat pelebar) akan dibasuh dengan air hangat dan dimasukkan ke vagina pasien secara tertutup, lalu dibuka untuk melihat leher rahim. 5. Bila terdapat banyak cairan di leher rahim, dipakai kapas steril basah untuk menyerapnya.
6. Dengan menggunakan pipet atau kapas, larutan asam asetat 3-5% diteteskan ke leher rahim. Dalam waktu kurang lebih satu menit, reaksinya pada leher rahim sudah dapat dilihat. Bila warna leher rahim berubah menjadi keputihputihan, kemungkinan positif terdapat kanker. Asam asetat berfungsi menimbulkan dehidrasi sel yang membuat penggumpalan protein, sehingga sel kanker yang berkepadatan protein tinggi berubah warna menjadi putih. 2.4.6. Keunggulan IVA Dibandingkan Papsmear: 1. Tidak memerlukan alat tes laboratorium yang canggih (alat pengambil sampel jaringan, preparat, regen, mikroskop, dll) 2. Tidak memerlukan teknisi lab khusus untuk pembacaan hasil tes 3. Hasilnya langsung diketahui, tidak memakan waktu berminggu-minggu 4. Sensitivitas IVA dalam mendeteksi kelainan leher rahim lebih tinggi dari papsmear (sekitar 75%), meskipun dari segi spesifikitas (kepastian) lebih rendah (sekitar 85%). 5. Biayanya sangat murah (bahkan gratis bila di puskesmas).
2.11. Kerangka Pikir Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Predisposing: 1. Demografi informan (Umur, agama) 2. Struktur sosial (suku, pendidikan, pekerjaan) 3. Pengetahuan 4. Sikap dan keyakinan informan terhadap pelayanan kesehatan Enabling: 1. Sumber daya masyarakat (tersedianya fasilitas, ketercapaian pelayanan dan biaya) Karakteristik kebutuhan : 1. Kebutuhan yang dirasakan (perasaan subjektif terhadap penyakit, kepercayaan, pengalaman) Tindakan Pemanfaatan Layanan Iva Sebagai Upaya Deteksi Dini Kanker Serviks Kerangka pikir yang tertera di atas sesuai dengan teori Andersen yang ia sempurnakan bersama koleganya Newman (1957) yang menggambarkan bahwa factor pendorong yaitu demografi informan (umur, agama), struktur sosial (suku, pendidikan, dan pekerjaan) akan mempengaruhi faktor penguat pada informan yaitu sumber daya keluarga (pendapatan) dan sumber daya masyarakat yaitu kemampuan informan dalam menjangkau layanan kesehatan yang dimaksud (fasilitas dan biaya). Faktor pendorong dan faktor penguat akan menimbulkan rasa butuh dari informan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dan setidaknya mempersiapkan informan dalam pemanfaatan pelayanan IVA di Puskesmas.
Alasan penggunaan teori Andersen dan Newman (1957) karena : 1. Teori ini memang bercerita tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti Rumah sakit, Puskesmas, Pustu, dll sehingga lebih sinkron dengan penelitian yang dilakukan. 2. Ada banyak faktor yang dikaji jika menggunakan teori ini, jadi lebih banyak variable yang dibahas, mengetahui penyebabnya dan melihat seperti apa kondisi masyarakat di lokasi penelitian. Hasil penelitian akan lebih dalam jika dibandingkan dengan menggunakan teori yang lain.