BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari Persepsi (perception), Respon terpimpin (Guided Respons),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada hakikatnya

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi 2 yakni (Notoatmodjo, 2003):

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

LEBIH DEKAT DENGAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku sehat. untuk meningkatkan atau mempertahankan kondisi kesehatan mereka (Taylor,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

memang terdapat bentuk-bentuk perilaku instinktif (species-specific behavior) yang didasari

Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan. Drg. Novitasari RA,MPH

Berbagai Teori Tentang Sikap dan Perilaku Menurut Beberapa Referensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. Sintesis (synthesis), merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT KEPALA PADA KONSUMEN YANG DATANG DI ENAM APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

berhubungan dengan kesehatan diklasifikasikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang menyebabkan terjadinya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORITIS. berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tinjauan Pustaka. respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Studi Pendahuluan dan Penentuan Jumlah Sampel Penelitian

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang. benda asing eksternal seperti debu dan benda asing internal seperti dahak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tujuan pendidikan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang

I. PENDAHULUAN. negara-negara maju seperti diabetes melitus, jantung koroner, penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka kematian ibu.( A.Gde Munin

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh Keluarga 1.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga. Pola asuh merupakan pola perilaku orangtua yang paling dominan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu adalah Forum Komunikasi Alih. rangka pencapaian NKKBS ( Mubarak & Chayalin, 2009).

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Self Medication menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Demografi Responden. Distribusi responden berdasarkan umur seperti pada tabel 3.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 1995, WHO Global School Health Initiative telah melakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

PROMOSI KESEHATAN (TEORI SEBAB AKIBAT) Kel tiga sembilan orang

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal. Kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK KELURAHAN WONOKARTO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT MAAG PADA KONSUMEN YANG DATANG DI APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat yang setinggi tingginya (Depkes, 2009). Adanya kemajuan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk.

Transkripsi:

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang Undang No. 23 tahun 1992). Obat pada dasarnya merupakan bahan yang hanya dengan takaran tertentu dan dengan penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosa, mencegah penyakit, menyembuhkan, atau memelihara kesehatan (Depkes RI, 2008). 2.1.1. Penggolongan Obat Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu (Depkes RI, 2006): 1. Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol 2. Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: CTM 3. Obat Keras dan Psikotropika Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Asam Mefenamat

6 Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh: Diazepam, Phenobarbital 4. Obat Narkotika Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas terbatas (Depkes RI, 2006). Obat Bebas Obat Bebas Terbatas Obat Keras Obat Narkotika Gambar 2.1 Tanda khusus penggolongan obat (Sumber: Depkes RI, 2006) Tidak semua obat keras memerlukan resep dokter untuk diserahkan kepada pasien. Sebagian obat keras dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter, obat-obat ini disebut Obat Wajib Apotek (OWA). Dalam keadaan di mana penggunaan obat bebas terasa kurang atau tidak efektif, masyarakat dapat berkonsultasi dengan Apoteker di apotek untuk mengetahui apakah ia sebaiknya mendapatkan obat-obat keras yang masuk dalam OWA ataukah harus periksa ke dokter terlebih dahulu (Widodo, 2004).

7 Berdasarkan keamanan penggunaannya pada kehamilan, obat menurut FDA dibagi dalam kategori (Setiawati, Suyatna, dan Gunawan, 2011): a. Kategori A: Tidak ada risiko. Studi berpembanding yang cukup pada wanita hamil menunjukkan tidak adanya risiko terhadap fetus pada trimester pertama, kedua, maupun ketiga. b. Kategori B: Tidak ada bukti risiko pada manusia. Studi berpembanding yang cukup pada wanita hamil menunjukkan tidak adanya peningkatan risiko kelainan fetus meskipun ditemukan adanya kelainan pada hewan, atau tidak ada studi yang cukup pada manusia, sedangkan studi pada hewan menunjukkan tidak ada risiko terhadap fetus. Efek merugikan terhadap fetus, kemungkinannya kecil, tetapi tetap ada. c. Kategori C: Risiko tidak dapat disingkirkan. Studi yang berpembanding yang cukup pada manusia tidak ada, dan pada hewan juga tidak ada atau telah menunjukkan adanya risiko terhadap fetus. Ada kemungkinan terjadi efek merugikan pada fetus apabila obat diberikan selama kehamilan, tetapi potensial keuntungannya melebihi potensial kerugiannya. d. Kategori D: Bukti risikonya positif. Studi menunjukkan adanya risiko terhadap fetus. Meskipun demikian, potensial keuntungan dari penggunaan obat melebihi potensial risikonya. Misalnya, jika di saat situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius, obat demikian mungkin dapat diterima, di mana obat yang lebih aman tidak dapat digunakan atau tidak efektif. e. Kategori X: Kontraindikasi pada kehamilan. Studi menunjukkan bukti positif adanya risiko pada fetus atau kelainan pada fetus, yang jelas melebihi keuntungannya bagi pasien. 2.1.2. Informasi Kemasan, Etiket, dan Brosur Setiap sebelum menggunakan obat, baca sifat dan cara pemakaiannya pada etiket, brosur atau kemasan obat, sehingga penggunaannya tepat dan aman. Pada setiap brosur atau kemasan obat selalu dicantumkan (Depkes RI, 2006):

8 1. Nama obat 2. Komposisi 3. Indikasi 4. Informasi cara kerja obat 5. Aturan pakai 6. Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas) 7. Perhatian 8. Nama produsen 9. Nomor batch/lot 10. Nomor registrasi, sebagai tanda ijin edar sah yang diberikan oleh pemerintah pada setiap kemasan obat 11. Tanggal kadaluarsa 2.1.3. Tanda Peringatan Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, yang berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm, dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut: Gambar 2.2 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas (Sumber: Depkes RI, 2006)

9 2.1.4. Cara Pemilihan Obat Yang perlu diperhatikan dalam menetapkan jenis obat yang dibutuhkan adalah (Depkes RI, 2006): a. Gejala atau keluhan penyakit b. Kondisi khusus, misalnya: hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes melitus, dan lain-lain. c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu. d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping, dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat. e. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat dengan obat yang sedang diminum. f. Tanyakan kepada apoteker untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap. 2.1.5. Efek Obat Tidak ada obat yang menyebabkan efek spesifik tunggal saja. Suatu molekul obat tidak mungkin berikatan hanya dengan satu jenis reseptor molekul, karena jumlah reseptor potensial dalam setiap pasien sangat banyak. Sehingga, pasien dan dokter mungkin menjumpai lebih dari satu efek obat. Obat lebih bersifat selektif, dibanding spesifik, dalam bekerja, karena obat akan berikatan dengan satu atau beberapa jenis reseptor dengan lebih kuat dibanding reseptor lainnya, sehingga menghasilkan efek yang khusus (Bourne dan Zastrow, 2012). Selain efek terapi yang diinginkan, obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Efek yang tidak diinginkan tersebut dikenal dengan istilah efek samping obat, yang merupakan setiap respons obat yang merugikan dan tidak diharapkan serta terjadi pada manusia karena penggunaan obat dengan dosis atau takaran normal (Depkes RI, 1997). Selektivitas obat biasanya dipisahkan berdasarkan efeknya menjadi dua kategori yaitu: efek menguntungkan atau efek terapeutik dan efek toksik. Iklan farmasi maupun dokter kadangkala menggunakan istilah efek samping, yang menyatakan bahwa efek tersebut tidak bermakna atau terjadi melalui suatu jalur

10 yang berlawanan dengan prinsip kerja obat. Pengertian yang demikian sering menjadi keliru (Bourne dan Zastrow, 2012). Respons individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi. Seorang individu dapat memberikan respons yang berlainan terhadap obat yang sama pada waktu yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang kala, penderita menunjukkan respons tidak lazim atau idiosinkrasi, yaitu respons yang jarang terlihat pada kebanyakan penderita. Respons idiosinkrasi biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik metabolisme obat atau mekanisme imunologik, termasuk reaksi alergi (Bourne dan Zastrow, 2012). Variasi kuantitatif respons obat biasanya lebih sering dan secara klinis lebih penting. Respons alergi terhadap suatu obat juga bisa terjadi pada setiap individu, yang disebut reaksi hipersensitivitas. Seorang individu disebut hiporeaktif atau hiperreaktif terhadap suatu obat jika intensitas efek suatu obat dalam dosis tertentu menjadi berkurang atau bertambah bila dibandingkan dengan efeknya pada kebanyakan individu. Dengan beberapa obat, intensitas respons akibat pemberian obat bisa berubah selama masa terapi. Respons biasanya menurun akibat pemberian obat yang terus-menerus, menghasilkan suatu keadaan toleransi relatif efek obat. Apabila respons menghilang dengan cepat setelah pemberian suatu obat, respons demikian disebut sebagai takifilaksis (Bourne dan Zastrow, 2012). Kebanyakan toksisitas serius obat dalam praktik klinis merupakan perluasan farmakologik langsung kerja terapeutik suatu obat. Dalam beberapa kasus (mis, perdarahan disebabkan oleh terapi antikoagulan; koma hipoglikemik akibat insulin), toksisitas bisa dihindari dengan mengatur dosis obat yang diberikan secara bijaksana disertai pemantauan efek dengan seksama (pengukuran koagulasi darah atau glukosa serum) dan ditambah oleh tindakan-tindakan tambahan (menghindari trauma jaringan yang bisa menjurus ke perdarahan; pengaturan asupan karbohidrat). Pada keadaan lainnya, toksisitas bisa dihindari sama sekali tidak memberi obat jika indikasi terapeutiknya lemah, atau jika tersedia obat lain (Bourne dan Zastrow, 2012) Banyak obat juga menghasilkan baik efek menguntungkan maupun efek toksik melalui ikatan dengan satu jenis reseptor yang terdapat di berbagai jaringan.

11 Tiga strategi terapeutik yang digunakan untuk menghindari atau mengurangi toksisitas suatu obat yaitu (Bourne dan Zastrow, 2012): a. Obat harus selalu diberikan dalam dosis terkecil yang dapat menghasilkan efek menguntungkan yang dapat diterima. b. Jika obat-obat tambahan yang bekerja melalui mekanisme reseptor dan menghasilkan beragam toksisitas, sebaiknya dosis obat yang pertama dikurangi sehingga toksisitasnya juga berkurang. Misalnya penggunaan obat imunosupresif lain sebagai tambahan glukokortikoid dalam pengobatan gangguan inflamasi. c. Selektivitas kerja obat dapat ditingkatkan dengan memanipulasi konsentrasi obat di berbagai reseptor tubuh, misalnya, dengan pemberian glukokortikoid aerosol ke dalam bronchi pada asma. Faktor utama yang menentukan dosis dan efek obat, antara lain (Jas, 2007): a. Umur dan berat badan b. Luas permukaan tubuh (body surface area) c. Jenis kelamin d. Waktu dan faktor tempat e. Faktor fisiologik f. Faktor patologik g. Faktor farmakogenetik (idiosinkrasi) h. Faktor imunologik (alergi terhadap obat) i. Faktor psikologik dan lingkungan 2.1.6. Dosis Dosis merupakan aturan pemakaian yang menunjukkan jumlah gram atau volume dan frekuensi pemberian obat untuk dicatat sesuai dengan umur dan berat badan pasien (Depkes RI, 2006). Pengertian lain yaitu, jumlah/takaran obat yang memberikan efek terapeutik pada pasien maupun anak-anak juga berlaku pada hewan (Jas, 2007). Macam-macam dosis antara lain (Jas, 2007): a. Dosis minimal: dosis yang paling kecil yang masih memberikan efek terapeutik.

12 b. Dosis maksimal: dosis yang tertinggi yang masih dapat diberikan tanpa efek toksis. c. Dosis permulaan: dosis yang diberikan pada permulaan menggunakan obat untuk mencapai kadar tertentu dalam darah, misalnya pemberian antibiotika. d. Dosis pemeliharaan: dosis untuk menjaga agar penyakitnya tidak kambuh lagi. Hanya untuk penyakit tertentu, misalnya: asma, alergi, jantung, dll. e. Dosis terapeutik (dosis lazim, dosis medicinalis): dosis optimal atau yang paling baik. f. Dosis toksik: penggunaan obat melebihi dosis maksimal. g. Dosis letalis: dosis yang menimbulkan kematian. h. Dosis letal 50: artinya dosis yang membunuh 50% dari binatang percobaan. i. Interval waktu: masa/waktu yang diperlukan antara pemberian suatu dosis dengan dosis berikutnya, disebut juga dosage interval. j. Dosage regimen: pengaturan dosis serta jarak antara dosis terapi dengan obat, memberikan efek secara klinik, mempertahankan konsentrasi terapeutik obat dalam tubuh. k. Dosis ganda: pemberian dosis tunggal yang berulang, disebut juga multiple dose administration, mengakibatkan akumulasi obat dalam tubuh, supaya MEC (minimal effect concentration) tercapai. Penggunaan obat harus tepat waktu dan sesuai dengan aturan pemakaian, contoh (Depkes RI, 2006): a. Tiga kali sehari berarti obat diminum setiap 8 jam sekali b. Obat diminum sebelum atau sesudah makan c. Jika menggunakan obat-obat bebas, ikuti petunjuk pada kemasan atau brosur/leaflet Apabila terlupa meminum obat (Depkes RI, 2006): a. Minumlah dosis yang terlupa segera setelah ingat, tetapi jika hampir mendekati dosis berikutnya, maka abaikan dosis yang terlupa dan kembali ke jadwal selanjutnya sesuai aturan. b. Jangan menggunakan dua dosis sekaligus atau dalam waktu yang berdekatan.

13 Pemberian dosis dan frekuensi yang diperlukan untuk mencapai kadar obat yang efektif dalam darah dan jaringan bervariasi untuk pasien yang berlainan karena adanya perbedaan individual dalam distribusi obat serta kecepatan metabolisme dan eliminasi obat. Perbedaan ini ditentukan oleh faktor-faktor genetik dan variabel non-genetik seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme circadian, suhu tubuh, dan faktor-faktor nutrisi serta lingkungan seperti pemaparan bersamaan terhadap induser atau inhibitor metabolisme obat (Bourne dan Zastrow, 2012). 2.2. Pengobatan Sendiri Pengobatan sendiri adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan oleh seseorang untuk mengobati penyakit atau gejala yang dialaminya (WHO, 1998). Pengertian lain dari pengobatan sendiri yaitu pengobatan yang dilakukan secara sendiri tanpa bantuan dokter atau petugas kesehatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat terutama untuk penyakit-penyakit ringan yang bisa diobati dengan jenis obat-obat bebas, misalnya pengobatan sakit kepala, batuk, pilek, panu, dan lain sebagainya (Widodo, 2004). Menurut WSMI (World Self-Medication Industry), pengobatan sendiri adalah pengobatan masalah kesehatan yang umum dengan obatobatan yang didesain khusus dan diberi label untuk dapat digunakan tanpa pengawasan dari tenaga medis, yang disetujui sebagai cara yang aman dan efektif untuk digunakan sendiri (World Self-Medication Industry, n.d.). Pengobatan sendiri merupakan bagian dari cakupan self-care (perawatan diri). Self-care dan pengobatan sendiri, memunculkan isu tentang tanggung jawab seseorang untuk memastikan bahwa perawatan atau pengobatan yang mereka pilih adalah sesuai dengan kebutuhan mereka, aman, dan efektif (WHO, 1998). Self-care merupakan tindakan seseorang untuk membangun dan menjaga kesehatan dirinya, mencegah dan mengatasi penyakit. Ini merupakan konsep yang luas, meliputi (WHO, 1998): a. Kebersihan (umum dan pribadi) b. Nutrisi (jenis dan kualitas makanan yang dimakan) c. Gaya hidup (kegiatan olahraga, rekreasi, dll)

14 d. Faktor lingkungan (kondisi kehidupan, kebiasaan masyarakat, dll) e. Faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan, keyakinan, dll) f. Self-medication (pengobatan sendiri) Menurut Holt (1986), keuntungan pengobatan sendiri adalah aman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self-limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi fasilitas/profesi kesehatan, kepuasan karena ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan terapi, berperan serta dalam sistem pelayanan kesehatan, menghindari rasa malu atau stress apabila harus menampakkan bagian tubuh tertentu di hadapan tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk mengatasi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada masyarakat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005). Holt juga mengutarakan, adapun kekurangan pengobatan sendiri adalah obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitivitas, efek samping atau resistensi, penggunaan obat yang salah akibat informasi yang kurang lengkap dari iklan obat, tidak efektif akibat salah diagnosis dan pemilihan obat, dan sulit bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi dan Notosiswoyo, 2005). Berkaitan dengan pengobatan sendiri, telah dikeluarkan berbagai peraturan perundangan. Pengobatan sendiri hanya boleh menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas (Kemenkes RI, 1983). Semua obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan, aturan pakai, dan pernyataan lain yang diperlukan (Kemenkes RI, 1993). Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter (Kemenkes RI, 1994).

15 Kemanjuran dan keamanan obat bebas akan baik hanya jika digunakan dengan tepat sesuai petunjuk penggunaan dan peringatan untuk obat tersebut dan bukan berarti bebas digunakan tanpa aturan. Penggunaan yang tidak tepat pada obat bebas pun tetap dapat membahayakan penggunanya, minimal akan mengakibatkan tidak efektifnya pengobatan. Pengetahuan tentang keuntungan, kerugian dan konsekuensi dari pengobatan sendiri adalah penting untuk meningkatkan kesadaran tentang betapa seriusnya pembelian obat dengan resep dokter. Beberapa faktor juga mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri, seperti jenis kelamin, pengetahuan tentang pengobatan, dan juga keberadaan apotek di sekitar rumah (Silva, Soares, dan Muccillo-Baisch, 2012). 2.2.1. Golongan Obat dalam Pengobatan Sendiri Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan sendiri sering disebut nonprescription atau over the counter (OTC) dan dapat diperoleh melalui apotek tanpa resep dokter. Di beberapa negara, produk OTC juga tersedia di supermarket dan toko lainnya (World Self-Medication Industry, n.d.). Dalam Permenkes/No.919/Menkes/Per/X/1993 pasal 2, menyebutkan bahwa obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria: a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas, yang kemasannya tertera tanda khusus berupa lingkaran hijau

16 dengan lingkaran biru. Sedangkan obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter, mempunyai tanda khusus berupa lingkaran bulat merah, yaitu obat keras (Depkes RI, 1997). Obat-obat yang digolongkan sebagai obat bebas dengan tanda bulatan hijau (golongan obat bebas) atau biru (golongan obat bebas terbatas) dalam garis lingkaran hitam, bukan merupakan obat kelas rendahan bila dibandingkan dengan jenis obat keras. Suatu obat dimasukkan dalam golongan obat bebas bukan karena khasiatnya rendah, tetapi karena memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Menteri Kesehatan untuk digolongkan menjadi obat bebas (Widodo, 2004). Dalam melaksanakan pengobatan sendiri, harus diwaspadai saat menggunakan obat bebas terbatas, karena khusus untuk obat bebas terbatas selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat. Karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu obat ini aman digunakan untuk pengobatan sendiri (Depkes RI, 2008). 2.3. Pemilihan Pengobatan Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan, menurut Young (1980) yaitu: pengetahuan tentang sakit dan obatnya, keyakinan efektivitas pengobatan, biaya yang dikaitkan dengan ketersediaan dana dan waktu, serta keparahan sakit. Sedangkan menurut Kalangie (1984), yaitu: pengetahuan tentang sakit dan obatnya, biaya yang berkaitan dengan pengobatan, keparahan sakit, serta nasihat keluarga. Proses pengambilan keputusan dimulai dengan penerimaan informasi, memproses berbagai informasi dan kemungkinan dampaknya, kemudian mengambil keputusan dengan berbagai dampaknya (Supardi, Muktiningsih, dan Handayani, 1997). Masalah kesehatan masyarakat, termasuk penyakit, ditentukan oleh 2 faktor utama, meliputi faktor perilaku dan non-perilaku (fisik, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya). Oleh sebab itu, upaya penanggulangan masalah kesehatan masyarakat juga dapat ditujukan pada kedua faktor utama tersebut. Upaya intervensi terhadap faktor fisik (non-perilaku) meliputi upaya pemberantasan penyakit menular, penyediaan sarana air bersih dan pembuangan tinja, serta

17 penyediaan pelayanan kesehatan. Sedangkan upaya intervensi terhadap faktor perilaku dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni (Notoatmodjo, 2010): a. Pendidikan (education) Pendidikan merupakan upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Melalui proses pembelajaran ini terjadi perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini. Sehingga, perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan juga menetap karena didasarkan oleh kesadaran dan pengetahuan yang diperolehnya melalui proses pembelajaran tersebut. b. Paksaan atau tekanan (coercion) Dilakukannya paksaan atau tekanan kepada masyarakat agar mereka melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Hasil dari paksaan atau tekanan ini memang cepat, akan tetapi, tindakan atau perilaku yang sebagai hasil tekanan ini tidak akan berlangsung lama. Ini disebabkan karena perilaku ini tidak didasari oleh pemahaman dan kesadaran untuk apa mereka berperilaku seperti itu. Jadi, berdasarkan keuntungan dan kerugian dua pendekatan tersebut, pendekatan pendidikanlah yang paling cocok sebagai upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat, melalui faktor perilaku (Notoatmodjo, 2010). Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan. Maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku itu sendiri. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010), 3 faktor tersebut yaitu: a. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempengaruhi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan. b. Faktor pemungkin (enabling factors)

18 Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. c. Faktor penguat (reinforcing factors) Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia terkadang belum menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Sehingga diperlukan faktor penguat untuk menjaminnya. Faktor-faktor penguat tersebut antara lain tokoh masyarakat, peraturan, undang-undang, surat-surat keputusan dari para pejabat pemerintahan pusat atau daerah. 2.4. Konsep Perilaku Kesehatan Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Jadi, perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus Organisme Respons, sehingga disebut juga teori S-O-R (stimulusorganisme-respons). Ada dua jenis respons, yaitu: a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh stimulus tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan responsrespons yang relatif tetap. Misalnya: cahaya terang akan menimbulkan reaksi mata tertutup, makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makanan, mendengar musibah akan menimbulkan rasa sedih, dan sebagainya. b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons. Misalnya, apabila seorang petugas kesehatan melakukan tugasnya dengan baik merupakan respons terhadap gaji yang cukup, misalnya (stimulus). Kemudian karena kerja baik tersebut, menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi, kerja baik tersebut sebagai reinforcer untuk memperoleh promosi pekerjaan. Berdasarkan teori S-O-R tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

19 a. Perilaku tertutup (Covert behaviour) Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk unobservable behaviour atau covert behaviour yang dapat diukur dari pengetahuan dan sikap. Contoh: Ibu hamil tahu pentingnya periksa hamil untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri (pengetahuan), kemudian ibu tersebut bertanya kepada tetangganya dimana tempat periksa hamil yang dekat (sikap). b. Perilaku terbuka (Overt behaviour) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behaviour. Contoh, seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas atau ke bidan praktik, seorang penderita TB Paru minum obat anti TB secara teratur, seorang anak menggosok gigi setelah makan, dan sebagainya. Ini merupakan bentuk tindakan nyata, dalam bentuk kegiatan, atau dalam bentuk praktik (practice). Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan (health behaviour) adalah respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan merupakan semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Pemeliharaan kesehatan mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh sebab itu, pada garis besarnya perilaku kesehatan dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Notoatmodjo, 2010): 1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat, yang disebut dengan perilaku sehat (healthy behaviour), yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan

20 covert behaviour) dalam mencegah atau menghindar dari penyakit dan penyebab penyakit/masalah, atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku promotif). 2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, yang disebut dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behaviour). Perilaku ini dilakukan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya, yang mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau pelayanan kesehatan tradisional (dukun, sinshe, paranormal), maupun pengobatan modern atau profesional (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan sebagainya). Menurut Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan dibedakan menjadi tiga, yakni: 1. Perilaku sehat (healthy behaviour) Perilaku sehat merupakan perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, yang diantaranya: a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup. c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba. d. Istirahat yang cukup. e. Pengendalian atau manajemen stres. f. Perilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk dapat terhindar dari berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan, termasuk perilaku untuk meningkatkan kesehatan. 2. Perilaku sakit (illness behaviour) Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau untuk mengatasi masalah yang lainnya. Tindakan tersebut diantaranya:

21 a. Didiamkan saja (no action), artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari. b. Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment atau self medication). Pengobatan sendiri ini ada 2 cara, yaitu: cara tradisional (kerokan, minum jamu, obat gosok, dan sebagainya), dan cara modern, misalnya minum obat yang dibeli dari warung, toko obat, atau apotek. c. Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar, yaitu dari fasilitas pelayanan kesehatan, yang dibedakan menjadi dua, yakni: fasilitas pelayanan kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan paranormal), dan fasilitas atau pelayanan kesehatan modern atau profesional (puskesmas, poliklinik, dokter atau bidan praktik swasta, rumah sakit, dan sebagainya). 3. Perilaku peran orang sakit (the sick role behaviour) Menurut Becker, hak dan kewajiban orang yang sedang sakit merupakan perilaku peran orang sakit (the sick role behaviour), yang diantaranya: a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. b. Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan. c. Melakukan kewajibannya sebagai pasien, yaitu mematuhi nasihat-nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya. d. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan proses penyembuhannya. e. Melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya, dan sebagainya. 2.4.1. Domain Perilaku Perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal, meskipun perilaku telah dibedakan antara covert behaviour dan overt behaviour. Menurut Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010), domain perilaku ini dibedakan atas 3, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.

22 Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dengan perkembangan selanjutnya, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010): 1. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Intensitas atau tingkat pengetahuan seseorang terhadap objek secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya saat mengamati sesuatu. b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek tidak hanya sekedar tahu objek tersebut dan dapat menyebutkan, tetapi juga harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila seseorang yang memahami suatu objek, dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk memisahkan dan menjabarkan, kemudian mencari hubungan antar komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. e. Sintesis (synthesis) Sintesis diartikan apabila seseorang mampu merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki, atau dengan kata lain mampu untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation)

23 Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu, yang didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. 2. Sikap (attitude) Sikap juga merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senangtidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2010), mendefinisikan sikap dengan sederhana, yakni: An individual s attitude is syndrome of response consistency with regard to object. Jadi dengan jelas dikatakan bahwa sikap merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010), ada 3 komponen pokok sikap. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude), yaitu: a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Seperti halnya dengan pengetahuan sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: a. Menerima (receiving) Menerima, diartikan bahwa seseorang (subjek) mau menerima stimulus yang diberikan (objek). b. Menanggapi (responding) Menanggapi diartikan apabila seseorang memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan (objek) yang dihadapi. c. Menghargai (valuing) Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau menganjurkan orang lain merespons.

24 d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi tingkatannya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain. 3. Tindakan atau Praktik (Practice) Faktor-faktor misalnya adanya fasilitas atau sarana dan prasarana perlu supaya sikap meningkat menjadi tindakan. Praktik atau tindakan dapat dikelompokkan menjadi 3 tingkatan mengikut kualitasnya, yaitu: a. Praktik terpimpin (guide response). Subjek telah melakukan sesuatu tetapi masih bergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. b. Praktik secara mekanisme (mechanism). Subjek telah melakukan sesuatu hal secara otomatis tanpa harus menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan. c. Adopsi (adoption). Tindakan yang sudah berkembang, dimana tindakan tersebut tidak sekadar rutinitas tetapi sudah merupakan perilaku yang berkualitas.