144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hingga saat ini terdapat dua kewenangan MK yang mengalami perluasan, yaitu kewenangan dalam memutus sengketa hasil pemilukada dan kewenangan dalam menguji Perpu terhadap UUD NRI Tahun 1945. Perluasan dua kewenangan tersebut disebabkan adanya 2 (dua) faktor, yaitu faktor sosiologis dan faktor yuridis. Faktor sosiologis terdapat dalam perluasan kewenangan memutus sengketa hasil pemilukada. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar yuridis untuk diselenggrakannya pemilihan kepala daerah secara langsung, ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Timbulnya banyak konflik di tengah masyarakat ini mendorong beberapa kalangan untuk menguji kesesuaian konsep pemilihan kepala daerah secara langsung terhadap dasar konstitusional pemerintahan daerah dan dasar konstitusional pemilihan umum yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945. Mengenai hal tersebut MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2008 yang memberikan kebebasan kepada
145 pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk memasukkan pemilihan kepala daerah secara langsung, apakah masuk kedalam rezim pemerintahan daerah sehingga perselisihan hasil uang timbul menjadi kewenagan MA atau dimasukkan kedalam rezim pemilukada sehingga perselisihan hasil yang timbul menjadi kewenangan MK. Pada akhirnya pembentuk undang-undang memasukkan pemilihan kepala daerah secara langsung kedalam rezim pemilu dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Istilah pemilihan kepala daerah (pilkada) pun diubah menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Sebagai sinkronisasi pengaturan, dikeluarkanlah UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 236C nya mengalihkan kewenangan memutus sengketa hasil pemilukada dari MA kepada MK. Inilah yang disebut sebagai dasar yuridis perluasan kewenangan MK yang pertama. Selain itu perluasan kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil pemilukada yang menjadikan MK juga berwenang memutus sengketa hasil pemilukada juga mengalami perluasan kewenangan dari yang tadinya hanya sebatas sengketa hasil saja menjadi berwenang juga untuk menilai konstitusionalitas penyelenggaraan pemilukada. Dalam hal ini, MK juga berwenang memerintahkan pemungutan suara ulang, mendiskulaifikasi pasangan calon, bahkan juga menetapkan pasangan calon terpilih. Perluasan kewenangan ini banyak terdapat dalam putusan MK dalam
146 menangani perselisihan hasil pemilukada. Dasar perluasan kewenangan ini adalah bahwa jangan sampai keadilan yang bersifat prosedural memasung MK untuk menciptakan keadilan substanstif mengingat MK merupakan peradilan konstitusional tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Perluasan kewenagan MK yang kedua adalah kewenagan menguji Perpu terhadap UUD. Dalam hal ini MK menjadi tidak hanya berwenang menguji UU saja, tetapi juga berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu. Dasar perluasan kewenangan ini terdapat dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perpu Nomor 4 tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Mengenai konstitusionalitas perluasan kewenangan MK, Penulis menyimpulkan bahwa perluasan kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil pemilukada dengan melalui instrumen atau dasar hukum undang-undang adalah tidak tepat secara konstitusi, teori perundangundangan, dan teori lembaga negara. Tidak tepat secara konstitusi sebab kewenangan MK telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sedangkan perluasan kewenangan MK itu berarti penambahan kewenangan MK, penambahan kewenagan MK berarti merubah hal yang telah ditentukan dalam konstitusi secara limitatif. Hal ini berarti melanggar ketentuan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 tentang prosedur perubahan konstitusi.
147 Tidak tepat secara teori perundang-undangan adalah bahwa hal yang diatur dalam UUD tidak dapat diubah menggunakan instrumen UU, sebab UU tingkatannya berada di bawah UUD. Oleh sebab itu, hal ini bertentangan dengan asas Lex superiori derogate legi inferiori. Tidak tepat secara teori lembaga negara karena MK merupakan organ konstitusi yang kewenangannnya diatur secara limitatif dalam konstitusi, bukan organ UU yang kewenangannya diatur dalam UU. Maka dari itu, penambahan atau pengurangan kewenangan MK hanya dapat dilakukan dengan prosedur perubahan konstitusi. Sedangkan perluasan kewenangan MK yang menyebabkan MK tidak hanya berwenang sebatas menyelesaikan sengketa hasil pemilukada dapat dibenarkan secara konstitusi, teori konstitusi, dan teori keadilan. Dibenarkan secara konstitusi karena UUD NRI Tahun 1945 merupakan konstitusi yang hidup (living constitution) yang di desain fleksibel untuk mengikuti perkembangan kebutuhan ketatanegaraan. Dibenarkan secara teori konstitusi karena salah satu cara perubahan konstitusi adalah melalui penafsiran hakim (judicial interpretation) yang dituangkan kedalam putusan hakim. Dibenarkan secara teori keadilan karena perluasan kewenangan MK lebih menitikberatkan pada pencapaian keadilan substantif dibanding dengan pencapaian keadilan prosedural. Mengenai konstitusionalitas kewenangan MK dalam melakukan pengujian terhadap Perpu, Penulis berkesimpulan bahwa perluasan kewenangan tersebut tidak tepat secara konstitusi. Teori yang menyatakan bahwa salah
148 satu cara perubahan konstitusi adalah melalui penafsiran hakim (judicial interpretation) tidak dapat diterapkan dalam kasus ini sebab pengujian Perpu telah ditentukan secara jelas dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 dan penafsiran hakim bukanlah bebas tanpa batas, melainkan terdapat tingkatan metode penafsiran hakim. Penafsiran secara original intent merupakan penafsiran yang harus diutamakan dan jika dikaji melalui penafsiran original intent dan penafsiran sistematis, maka kewenangan MK melakukan pengujian Perpu terhadap UUD tidak dapat dibenarkan. B. Saran Dari hasil penelitian ini, Penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Saran ini ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi: Jika suatu saat terjadi lagi perluasan kewenangan MK yang hanya menggunakan dasar hukum undang-undang, sebaiknya MK tidak langsung menerima begitu saja, tetapi MK perlu mengkaji apakah dasar perluasan kewenangan MK tersebut dapat dibenarkan menurut konstitusi dan teori-teori yang ada. Dalam melakukan penafsiran terhadap UUD NRI Tahun 1945, sebaiknya MK mendahulukan untuk menggunakan metode penafsiran original intent, penafsiran sistematis, dan penafsiran historis. Sebab ketiga metode penafsiran tersebut merupakan metode penafsiran yang sifatnya terukur dan tidak lepas dari maksud dibuatnya UUD NRI Tahun 1945. 2. Saran ditujukan kepada MPR:
149 Perlu melakukan perbaikan sistem ketatanegraan, yaitu dengan melakukan penguatan kembali fungsi MPR sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mengubah UUD NRI Tahun 1945. Penguatan disini dimaksudkan sebagai bentuk checks and balances terhadap MK sebagai lembaga penafsir tunggal UUD NRI Tahun 1945. Hal ini dimaksudkan agar hal-hal di luar konstitusi yang tidak dibenarkan secara konstitusi, tidak dibiarkan begitu saja dengan berlindung dibalik putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Sebab, segala hal yang dilakukan dalam ketatanegaraan secara berulang-ulang dan diterima oleh masyarakat dapat menjadi sebuah konvensi ketatanegaraan yang merupakan salah satu sumber hukum tata negara meskipun pada awalnya hal itu bukanlah hukum. Oleh sebab itu, adanya kontrol terhadap putusan-putusan MK perlu dilakukan oleh MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk menolak apabila MK memutuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 agar hal yang bertentangan dengan konstitusi tersebut tidak berubah menjadi sebuah konvensi ketatanegaraan.