BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pembuatan Oriented Strand Board (OSB) Persiapan Bahan 3.3.

KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL) YETVI ROSALITA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3 PENGARUH JENIS KAYU DAN KADAR PEREKAT TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

TEKNOLOGI KOMPOSIT KAYU SENGON DENGAN PERKUATAN BAMBU LAMINASI

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

OPTIMASI PEMBUATAN PAPAN KOMPOSIT BERBAHAN BAKU LIMBAH KAYU DAN BAMBU OPTIMIZING OF COMPOSITE BOARD PRODUCTION MADE FROM WOOD WASTE AND BAMBOO

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

KAPAL JURNAL ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI KELAUTAN

PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp)

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian

2

Panja ng Samp el Uji ( cm ) Lebar Samp el Uji ( cm )

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Penelitian di laksanakan bulan September - November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL) YETVI ROSALITA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tenggara menyediakan kira-kira 80% potensi bambu dunia yang sebagian besar

SNI Standar Nasional Indonesia

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Nangka sebagai Bahan Baku Alternatif dalam Pembuatan Papan Partikel untuk Mengurangi Penggunaan Kayu dari Hutan Alam

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

PEMBUATAN PRODUK BAMBU KOMPOSIT. 1. Dr. Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si 3. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Bahan

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Analisis Teknis Pengaruh Suhu Ruang Mesin Kapal Kayu Terhadap Bambu Laminasi Dengan Variasi Lama Pemanasan

Bambu lamina penggunaan umum

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KAPAL JURNAL ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI KELAUTAN

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGISI ARANG TEMPURUNG KELAPA SAWIT TERHADAP KUALITAS KAYU LAPIS RINA SEPTININGSIH

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.

Metode pengujian lentur posisi tegak kayu dan bahan struktur. bangunan berbasis kayu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH KOMPOSISI FACE-CORE TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIS ORIENTED STRAND BOARD DARI BAMBU DAN ECENG GONDOK

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

BAB I. PENDAHULUAN. Garis perekat arah radial lurus. (c)

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR

Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126; Telp

Transkripsi:

21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun. Bambu diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. 2. LVL hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) yang diproduksi di Balaraja, Serang mempunyai tebal 5 cm dengan tiga 3 (tiga) variasi kombinasi susunan : a. Vinir dari kayu Karet dengan perekat PF, b. Vinir dari kombinasi kayu Karet dan Sengon dengan perekat PF, c. Vinir dari kayu Karet dengan perekat MUF. Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu dan Tokyokoki; 2. Alat pemotong dan pembelah bambu; 3. Kempa dingin 4. Alat pembubut pasak; 5. Oven; 6. Kaliper; 7. Waterbath; 8. Neraca analitik.

22 Metodologi Penelitian 1. Persiapan bahan a. Bahan untuk Pasak : Dua jenis Bambu yaitu bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) dipotong dan dikeringkan kurang lebih tiga minggu hingga mencapai kondisi KA kering udara yaitu ± 12%. Setiap batang bambu dihilangkan kulit dan buku. Ketebalan dinding batang bambu yang diambil adalah ± 3 6 mm dari dinding luar yang berhimpit dengan kulit, dengan target BJ lebih dari 0,6. b. Bahan untuk LVL LVL dengan 3 komposisi, merupakan produk komersial. Ketiga jenis tersebut dengan spesifikasi sebagai berikut : 1. LVL A yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF; 2. LVL B yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF; 3. LVL C yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF. 2. Pengujian sifat fisik mekanik bahan a. Sifat fisik bambu yang diuji adalah kadar air (KA) dan kerapatan, berat jenis (BJ). Metode yang dipakai untuk pengujian sifat fisik berdasarkan International Standard Organization (ISO) 22157-1:2004(E) Bamboo- Determination of Physical and Mechanical Properties, Part 1: Requirements. Sifat mekanik diperoleh dengan pengujian bending yang menghasilkan Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan American National Standard ANSI/ASTM D 790-71:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials. Persiapan contoh dilakukan dengan mengambil bangian bambu ± 9 m dari mulai pangkal. Potongan tersebut menjadi tiga bagian untuk mewakili bagian bawah (B), tengah (T) dan atas (A) dengan panjang masing ± 3 m. Dari masing-masing lokasi B, T dan A diambil 2 lokasi sebagai ulangan, sehingga terdapat sebaran enam titik dari bawah sampai atas untuk pengujian sifat fisik mekaniknya. Pembuatan contoh

23 uji dilakukan dengan menghilangkan kulit serta bukunya yang selanjutnya disayat setebal ± 1 mm dari luar menuju ke dalam tebal dinding bambu. Semua lapisan akan diuji sifat fisik dan mekaniknya, dengan 3 kali ulangan untuk setiap contoh uji. 1. Pengujian Kadar Air (KA) Penentuan kadar air bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 100 ± 3 o C. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus : KA = Kadar air (%) m = Berat awal contoh uji (g) m 0 = Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g) dengan akurasi 0,01 g 2. Pengujian Berat Jenis (BJ) m m 0 KA = x 100% m 0... 1) Penetapan BJ dilakukan dengan membandingkan kerapatan bambu dengan kerapatan air. Dalam perhitungan kerapatan untuk penentuan berat jenis tersebut, berat contoh uji yang digunakan adalah berat kering oven. Penentuan kerapatan bambu dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus : m ρ = V ρ = Kerapatan (g/cm 3 ) m = Berat contoh uji kering udara (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm 3 ).. 2) 3. Pengujian Modulus of Rupture (MOR) Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Pengujian dilakukan dengan pembebanan terpusat pada bagian tengah contoh uji dengan menggunakan UTM merek Shimadzu dengan

24 kecepatan 0.8 mm/menit. Jarak sangga yang digunakan adalah ±15 x tebal contoh uji. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 5. MOR dihitung dengan menggunakan rumus : MOR = Modulus of Rupture (kgf/cm 2 ) l = Bentang (cm) P = Beban maksimum (kgf) h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm) 3Pl MOR =... 3) 2bh 2 Beban Contoh uji h L l b L : Panjang contoh uji l : Bentang (± 15 x tebal (cm)) h : Tebal contoh uji b : Lebar contoh uji Gambar 5 Pembebanan pengujian MOR dan MOE. 4. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE) Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :

25 Pl 3 MOE =... 4) 4bh 3 Y MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm 2 ) l = Bentang (cm) P = Beban sebelum batas proporsi (kgf) Y = Lenturan pada beban P h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm) b. Pengujian fisik mekanik LVL berdasarkan Standar SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kadar air, kerapatan, delaminasi struktural dan non struktural, pengujian geser horizontal tegak dan datar, MOE, MOR serta pengujian emisi formaldehide. Contoh uji dipotong sesuai standar dan mempunyai masing-masing 3 ulangan. 1. Pengujian KA dan kerapatan Pada penentuan KA dan kerapatan ini menggunakan perhitungan seperti dengan formulasi 1) dan 2) 2. Pengujian Delaminasi Pengujian delaminasi untuk menentukan keteguhan rekat ini dilakukan dua jenis yaitu uji delaminasi non struktural dan struktural. a. Pengujian delaminasi struktural dilakukan dengan merendam contoh uji ke dalam air dengan suhu 70 o C ± 3 o C selama 2 jam, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 o C ± 3 o C sampai KA contoh uji kurang dari 8%. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan. b. Pengujian delaminasi non struktural dilakukan dengan merendam contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60 o C ± 3 o C selama 24 jam. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.

26 Penentuan nisbah delaminasi dalam % didapat dengan formulasi berikut :. 5) 3. Pengujian Geser Horisontal Pengujian geser horisontal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap kekuatan lapisan vinir dan garis rekat. Pengujian ini dilakukan pada dua posisi, yaitu tegak dan datar seperti yang ditunjukkan pada gambar 6 dan pembebanan tepusat seperti pada gambar 4. Contoh uji diletakkan tegak atau datar dengan jarak sangga 4 kali tebal, sedangkan panjang contoh uji 6 kali tebal. Beban yang diberikan dengan laju maksimum 150 kg/cm 2 tiap menit sampai contoh uji patah. Keteguhan horizontal dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : 6) B = Beban maksimum (kg) L = Lebar (cm) pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal (cm) pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji Gambar 6 Posisi benda uji LVL Tegak (kiri) dan benda uji Datar (kanan). 4. Pengujian Modulus of Rupture (MOR) Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan patah yang dapat ditahan dengan memberi pembebanan dua titik beban pada LVL. Contoh uji diletakkan

27 tegak dan datar (seperti pada gambar 6) dengan jarak sangga yang digunakan adalah ±21 x tebal contoh uji, sedangkan panjang contoh uji 23 kali tebal. Laju maksimum pembebanan yang diberikan adalah 150 kg/cm 2 tiap menit. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 7. MOR dihitung dengan menggunakan rumus : 6) MOR = Modulus of Rupture (kgf/cm 2 ) B = Beban maksimum (kgf) S = Jarak sangga/bentang (cm) L = Lebar contoh uji (cm), pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal contoh uji (cm), pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji P = Panjang contoh uji (cm) Beban 1 Beban 2 Contoh uji T 1/3 S 1/3 S 1/3 S S P L Gambar 7 Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan. 5. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE) Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan

28 defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus : 7) MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm 2 ) S = Jarak sangga/bentang (cm) L = Lebar contoh uji (cm), pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal contoh uji (cm), pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji B = Perbedaan batas atas dan batas bawah dalam selang batas proporsional D = Defleksi pada bagian tengah jarak sangga sesuai dengan B 6. Pengujian Emisi Formaldehide Pengukuran emisi formaldehida sesuai dengan metoda botol Wilhelm Klaunitz Institute (WKI). Prinsip dari metode ini adalah contoh uji yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm ditimbang untuk menentukan nilai kadar air. Kemudian, contoh yang lain dengan ukuran yang sama diikatkan pada tutup botol WKI (Gambar 8.a) yang telah berisi air dan disimpan pada suhu 40 o C selama 24 jam. Setelah itu larutan dalam botol WKI direaksikan dengan larutan asetil aseton-amonium asetat kemudian dipanaskan dalam penangas air (Gambar 8.b) bersuhu 60-70 o C selama 10 menit. Larutan diukur absorbansnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm untuk menentukan konsentrasi larutan dengan cara membandingkan dengan larutan standar formalin. a b Gambar 8 a. Botol WKI; b.shaking Water bath.

29 3. Pembuatan pasak bambu Pasak bambu yang akan digunakan sebagai alat penyambung terbuat dari bambu laminasi, disusun dari vinir bambu. Penelitian sifat dasar bambu digunakan sebagai dasar penentuan ketebalan vinir. Pasak disusun oleh vinir dengan ketebalan ± 3 mm serta perekat jenis polyurethane (PU) dengan berat labur 280 g/m 2 menggunakan kempa dingin. Pasak yang dibuat mempunyai diameter 10 mm dan 15 mm, dengan bahan baku bambu Betung dan bambu Sembilang. Proses pembuatan pasak dimulai dengan pembuatan papan laminasi bambu dengan ukuran 400 x 400 x 12 mm, untuk pasak diameter 10 mm (Gambar 9), dan papan dengan ukuran 400 x 400 x 18 mm, untuk diameter 15 mm. Laminasi bambu ini tersusun dari strip bambu dengan tebal 3 mm, lebar 10 mm dan panjang 40 cm. Panjang strip disesuaikan dengan panjang antar buku. Laminasi bambu dibuat diawali dengan pembuatan lapisan-lapisan yang disusun vinir bambu dengan tebal 3 mm. Setelah pengeringan selama 24 jam, lapisan vinir tersebut disusun dengan sejajar arah serat dengan susunan zigzag seperti pada pemasangan batu bata sebanyak 4 lapis untuk pasak 10 mm dan 6 lapis untuk pasak 15 mm. Setelah masa pengeringan ± 1 minggu, papan laminasi dipotong-potong sejajar serat dengan lebar ± 15-18 mm (Gambar 10) yang selanjutnya dilakukan pembubutan sesuai diameter yang diinginkan (Gambar 11). Gambar 9 Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 dan 6 lapis vinir bambu dengan tebal masing-masing 3 mm (untuk dowel 10 dan 15 mm).

30 Gambar 10 Pemotongan laminasi bambusejajar serat dengan lebar 15 18 mm. Gambar 11 Pembubutan pasak sesuai diameter dan dipotong sesuai kebutuhan. 4. Pengujian pasak bambu Pasak bambu yang merupakan produk laminasi akan diuji sifat fisik yang meliputi pengujian KA, kerapatan, kembang susut, MOE dan MOR berdasarkan SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina dengan formulasi telah diuraikan seperti sebelumnya. Sifat mekanik dimana data yang diperoleh dipergunakan untuk mendesain sambungannya adalah momen leleh (yield moment) berdasarkan ISO/TC 165/SC N537:2007 Timbers Structures-Doweltype fasteners-part 1: Determination of yield moment dan kuat tumpu pasak (dowel embedding strength) berdasarkan ISO/TC 165/SC N538:2007. Timbers Structures-Dowel-type fasteners-part 2: Determination of embedding strength and foundation values

31 a. Pengujian Yield Moment (M y ) Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui beban maksimum yang diterima pasak, dimana pasak akan melendut dengan sudut kurang lebih 45 o. Penentuan nilai yield moment dilakukan dengan pembebanan dua titik gaya tekan pada pasak seperti pada Gambar 12, dengan ketentuan bahwa l 1 dan l 3 panjangnya paling sedikit 2d. Panjang l 2 antara d dan 3 d. Adapun nilai yield moment dapat diperoleh dengan perumusan sebagai berikut : 8) My F max l l 2 = Yield moment (kgfcm) = Beban maksimum (kgf) = Jarak antar tumpuan (cm) = Jarak antar beban (cm) Beban 1 Beban 2 Contoh uji d l1 l2 l3 l Gambar 12. Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan b. Pengujian Dowel Embedding Strength Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan mekanik pasak dimana hasil pengujian menunjukkan kuat batas kayu di sekeliling lubang yang terbebani tekan oleh pasak (Gambar 13). Penentuan nilai embedding strength daidapat dengan perumusan sebagai berikut : 9) f h = Embedding strength (kgf/cm 2 )

32 F max d t = Beban maksimum (kgf) = Diameter pasak (cm) = Tebal kayu (penumpu) (cm) Gambar 13 Pengujian Embedding strength. 5. Perencanaan desain sambungan Sambungan yang dibuat adalah sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak (n) yang digunakan berdasarkan pendekatan 4 model kerusakan EUROCODE 5 dan sebagai kontrol adalah sambungan baut dengan diameter 10 mm. Empat model kerusakan EN 1995-1-1: 2004 EUROCODE 5 dengan persamaan tegangan leleh yang terjadi, yaitu menggambarkan karakteristik kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser disajikan dalam gambar 14. Persamaan pendekatan keempat model dapat dilihat pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13. t 1 t 2 t 1 Gambar 14 Model (mode) kerusakan sambungan tipe pasak/baut pada dua dinding geser.

33 Persamaan Model I : 10) Persamaan Model II : 11) Persamaan Model III : 12) Persamaan Model IV : 13) Dimana : F v, Rk : kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser (kgf) t 1 t 2 : tebal balok pengapit (cm) : tebal balok utama (cm) f h : Embedding strength (kgf/cm 2 ), bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.31 dan 8.32, untuk beban dengan sudut α terhadap serat 14).. 15) f h,0,k ρ D : Embedding strength pada sejajar serat : density balok : diameter pasak/baut (cm)

34 M y : Yield moment (kgfcm), bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.30 16) f u,k : tegangan tarik pasak/baut (kgf/cm 2 ) β : rasio perbandingan antara Embedding strength pada balok utama terhadap balok pengapit 17) 6. Pengujian mekanik sambungan Pengujian yang dilakukan dengan uji tarik sambugan untuk pengetahui lendutan/sesaran yang diterima oleh baut/pasak terhadap beban yang dikenakan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM) merk Tokyokoki berdasarkan ASTM D 5652 : Standard Test Methods for Bolted Connection in Wood and Wood-Based Products Gambar 15 Pengujian tekan sambungan dengan UTM merek Tokyokoki (kiri) dan data logger (kanan). Analisis Statistika a. Analisis pengujian sifat fisis mekanis LVL dan bambu Analisis yang digunakan untuk pengujian sifat fisik mekanik bahan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Sederhana (Simple Random Sampling), dengan formulasi sebagai berikut : Y ij = µ + τ + i ε ij 18)

35 dimana : i = 1,2,3 (jenis LVL atau bambu) j = 1,2,3 (ulangan) Y ij = respon dari jenis ke-i serta ulangan ke-j µ = rata-rata umum τ i ε ij = pengaruh perlakuan ke-i = galat dari perlakuan ke-i serta ulangan ke-j b. Analisis pengujian sifat fisis dan mekanis pasak bambu Analisis pengujian sifat fisik mekanik pasak bambu menggunakan Rancangan Faktorial dalam RAL, dengan formulasi sebagai berikut : Y ijk Dimana : i j k Y ijk µ τ κ τκ + ε = + i + j + ( ij ) = 1,2 (jenis bambu) = 1,2 (besar diameter) = 1,2,3,4,5 (ulangan) = respon dari jenis ke-i, kelompok ke-j serta ulangan ke-k µ = rata-rata umum τ i κ j τκ (ij) ε ijk = pengaruh jenis ke-i = pengaruh kelompok ke-j = pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan kelompok ke-j = galat dari perlakuan ke-i, kelompok ke-j, serta ulangan ke-k ijk 19) c. Analisis pengujian mekanik sambungan Analisis perilaku sambungan menggunakan Linear Model The Two Stages Nested Design (Nested Design), dengan formulasi sebagai berikut : y ijk = µ + τ i + β j ( i ) + ε ijk i = 1,2,..., a j = 1,2,..., b k = 1,2,..., r 20)

36 dimana : Y ijk = pengamatan dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, serta ulangan ke-k µ = rataan umum τ i β j(i) ε ijk = pengaruh faktor A ke-i = pengaruh faktor B ke-j tersarang dari faktor A ke-i = pengaruh acak dari faktor A ke-i, faktor B ke-j serta ulangan ke-k Faktor A = variasi bambu dan variasi diameter pasak Faktor B = variasi jumlah pasak dalam sambungan i = 1,2,3,4, yaitu : 1. Betung dengan Ø 10 mm, 2. Betung dengan Ø 15 mm, 3. Sembilang dengan Ø 10 mm, 4. Sembilang dengan Ø 15 mm; j = 1,2,3,..12, yaitu : 1. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 4, 2. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 6, 3. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 8, 4. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 4, 5. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 6 6. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 8, 7. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 4, 8. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 6, 9. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 8, 10. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 4, 11. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 6 12. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 8 k = 1,2,3 (ulangan)

Diagram Penelitian 37