POVERTY ALLEVIATION THROUGH RURAL-URBAN PL6121 - Pembangunan Perdesaan Institut Teknologi Bandung LINKAGES: POLICY IMPLICATIONS (YAP KIOE SHENG) CRITICAL REVIEW LA ODE ATRI SARJANI MUNANTA 254 14 008 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSTITEKTUR PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG I. Identitas Tulisan Page 0
Judul : PL6121 - Pembangunan Perdesaan Poverty Alleviation Through Rural-Urban Institut Linkages: Teknologi Bandung Policy Implications Penulis : Yap Kioe Sheng Tahun : - Publikasi : Poverty Reduction Section Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, II. Rangkuman Fenomena keterkaitan antara desa dan kota sangat kontras jika di pandang dari perspektif pemerataan pembangunan. Kebijakan pembangunan yang lebih memihak kota dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, menyebabkan potensi perekonomian pedesaan tak dapat didayagunakan secara maksimal dan jurang pendapatan desa dan kota semakin melebar. Upaya disentralisasi sebagai pendekatan pembangunan dan pengembangan keterkaitan desa-kota pada satu sisi telah memberikan harapan baru kepada masyarakat perdesaan untuk lebih berkembang dan mengurangi kesenjangan yang terlampau besar dengan perkotaan. Dalam dua dekade mendatang, mayoritas penduduk di kawasan Asia-Pasifik daerah akan tinggal di daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk perkotaan adalah hasil dari tiga proses yaitu: pertumbuhan alami penduduk perkotaan, migrasi desa-kota dan reklasifikasi desa menjadi daerah perkotaan. Reklasifikasi adalah konsekuensi dari alam pertumbuhan penduduk dan migrasi desa-kota, seperti berkembang pesat daerah perkotaan yang meluas ke daerah pedesaan sekitarnya. Kecenderungan pembangunan dewasa ini yang lebih memusatkan perhatiannya pada pengembengan kota besar, dan cenderung mengabaikan kota-kota kecil dan menengah yang juga membutuhkan perhatian. Perbedaan yang sangat mecolok antara desa dan kota terlihat pada skala ekonomi dalam penyimpanan surplus pertanian dan perlindungan/terjaminnya perlindungan kepada masyarakat. Perkembangan perkotaan yang tunjang oleh surplus pertanian yang mampu memenuhi kebutuhan penduduk, keunggulan komparatif faktor ekonomi dan produktivitas perkotaan yang didukung oleh transportasi yang baik sehingga memungkinkan untuk adanya perdagangan skala besar karena kemudahan mengakses pasar sental dengan efisien. Faktor lain yang membuat perkebangan perkotaan cepat berkembang adalah akses masyarakat kota terhadap kekuasaan (politik), teknologi, dan pendidikan dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan yang hidup dengan kesederhanaan (tradisional), dengan kehidupan perekonomian yang berskala kecil. Fakta ini menunjukkan wilayah perkotaan lebih superiorior dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di wilayah perdesaan. Hal ini disebabkan oleh faktor pertukaran yang tidak seimbang barang industri dan pertanian, dimana barang-barang industri yang dijual dengan harga tinggi sedangkan barang-barang pertanian sedang dijual dengan harga rendah untuk menjaga biaya hidup di daerah perkotaan turun. Adanya ekstraksi surplus dari pertanian melalui perdagangan luar negeri, sehingga sebagian dari devisa dengan mengekspor produk pertanian digunakan Page 1
untuk impor barang yang dibutuhkan di sektor industri, serta transfer sumber Institut Teknologi daya dari Bandung desa ke kota melalui sistem kredit atau melalui perpajakan, dimana pendapatan dari sektor pertanian yang dikenakan pajak dan hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan industri, sehingga sering membebani pertanian di luar apa investasi publik dan jasa pemerintah yang diberikan kepada pertanian. Pada saat yang sama, penduduk pedesaan tumbuh lebih cepat daripada yang telah diharapkan dan tidak ada cara untuk sektor pertanian menyerap seperti populasi yang berkembang pesat. Tanpa kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak di daerah pedesaan, kemiskinan meningkat dan ini memaksa banyak penduduk miskin pedesaan untuk mencari pekerjaan di tempat lain, yang mengarah ke migrasi desa-kota yang besar. Daerah perkotaan dan sektor industri muda tidak bisa menyerap pendatang baru yang berakhir di permukiman kumuh dan liar di mana mereka ditemukan bekerja di sektor informal. Hasilnya adalah kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan. Disisi lain, pemerintah lebih menyukai penduduk perkotaan, karena penduduk perkotaan, bahkan kaum miskin kota, berada di posisi yang lebih baik untuk membuat tuntutan mereka dikenal daripada populasi pedesaan. penghuni Kota terlihat dan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah karena jumlah mereka, kemampuan mereka untuk mengatur dan kedekatannya dengan pusat pemerintahan. Kebijakan yang sebenarnya meningkatkan kondisi di daerah perkotaan yang bertujuan menenangkan penduduk perkotaan dan mempromosikan perkembangan kota. Kebijakan telah menguntungkan sebagian kecil dari populasi, penduduk kota dan mengabaikan mayoritas penduduk di daerah pedesaan. Dia berpendapat bahwa karena sumber daya yang langka di negara berkembang, pemerintah harus menggunakannya dengan cara yang paling efisien dan di mana mereka memiliki dampak yang paling besar. Kebijakan yang telah mendukung pembangunan perkotaan dan mengabaikan pertanian tidak menggunakan sumber daya yang langka dengan yang paling efisien. Pemerintah seharusnya menginvestasikan modal yang langka di bidang pertanian dan digunakan untuk mendukung petani kecil untuk meningkatkan produktivitas mereka. Menurut proyeksi PBB, mayoritas penduduk di wilayah akan tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2025. Tingkat Urbanisasi bervariasi, namun, jauh dari satu negara ke negara: pada tahun 2000, lebih dari 80 persen dari populasi Jepang dan Republik Korea tinggal di daerah perkotaan, sementara di Bhutan dan Nepal ini adalah kurang dari 15 persen. Secara umum, ada hubungan yang erat antara tingkat perkembangan ekonomi dan tingkat urbanisasi suatu negara. Kota-kota sekunder dan kota-kota kecil dan menengah lebih mungkin untuk memiliki hubungan dekat dengan daerah pedesaan sehingga dapat memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan di pedesaan. Dalam hal ini, pengentasan kemiskinan berarti pembangunan infrastruktur dan jasa dalam dan ke daerah perkotaan yang akan memungkinkan penduduk pedesaan dan Page 2
khususnya masyarakat miskin pedesaan untuk memperbaiki kondisi Institut hidup Teknologi mereka Bandung dan menangkap peluang ekonomi baru.. III. Evaluasi Kritis Jurnal yang ditulis oleh Yap Kioe Sheng ini mencoba menjelaskan tentang upaya pegentasan kemiskinan pada negara-negara dalam wilayah Asia Pasifik. Fenomena keterkaitan antara desa dan kota sangat kontras jika di pandang dari perspektif pemerataan pembangunan. Kebijakan pembangunan yang lebih memihak kota dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, menyebabkan potensi perekonomian pedesaan tak dapat didayagunakan secara maksimal dan jurang pendapatan desa dan kota semakin melebar. Upaya disentralisasi sebagai pendekatan pembangunan dan pengembangan keterkaitan desa-kota pada satu sisi telah memberikan harapan baru kepada masyarakat perdesaan untuk lebih berkembang dan mengurangi kesenjangan yang terlampau besar dengan perkotaan. Menurut penulis, faktor pertumbuhan ekonomi, perbaikan transportasi dan komunikasi di seluruh wilayah Asia-Pasifik (terutama pada kota-kota besar) telah membawa daerah perkotaan dan pedesaan lebih dekat yang telah menghubungkan pergerakan produk pedesaan ke daerah perkotaan dan industri perkotaan menghasilkan untuk daerah perdesaan. Pertumbuhan ekonomi telah menjadi magnet bagi penduduk dalam jumlah yang besar, yang dalam level tertentu telah merubah ukuran suatu kota menjadi lebih besar, yang pada akhirnya menyisakan masalah untuk desa (terjadi depopulasi) dan kota (terjadi bonus demografi). Telaah kritis dalam tulisan ini adalah terkait hubungan keterkaitan antara desa dan kota dalam perspektif kekuasaan dan politik. Dalam terminologi politik, keterkaitan desa dan kota dipandandang sebagai hubungan ekonomi dan kekuasaan, yaitu adanya kekuasaan yang lebih absolut kepada penguasa ekonomi sehingga kapitalisme masih memainkan perannya dalam mengendalikan perekonomian wilayah. Dalam permasalahan ini Karl Marx dalam pandangannya melihat pada masa kapitalis, struktur kekuasaan diantara kelas proletar sebagai pekerja dan borjuis sebagai pemilik modal dalam suatu hubungan produksi akan membentuk suatu struktur kekuasaan yang menjadikan adanya pola eksploitasi pada kelas buruh (Ramly. 2004: 134-139), teori ini juga digunakan untuk mengungkap bentuk-bentuk ekploitasi yang dilakukan tengkulak atau petani-pedagang kepada petani berlahan sempit. Pendapat ini telah mengkonfirmasi kenyataan bahwa kapitalisme yang telah memegang kendali kekuasaan politik dan penentu kebijakan. Dalam keterkaitan wilayah desa-kota, kondisi pasar ditentukan oleh pemegang modal dan pihak yang menguasai pasar, petani yang berada di perdesaan tidak memiliki kekuatan modal akhirnya dipaksa untuk menerima mekanisme pasar yang telah ditentukan tersebut. Menurut Sutoro Eko terdapat empat bentuk ketimpangan ekonomi-politik baik secara internal maupun eksternal antara desa-kota. Kuadran I (ekonomi-eksternal) menggambarkan kapitalisasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya (penduduk dan tanah) desa. Kuadran II (politik-eksternal) Page 3
memperlihatkan pengendalian Institut Teknologi penguasa Bandung supradesa terhadap entitas desa melalui sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi. Kuadran III (ekonomiinternal) memotret ketimpangan sosialekonomi yang terjadi dalam desa, antara si kaya dan si miskin. Kuadran IV (politikinternal) menunjukkan oligarki dan dominasi elite dalam proses politik di desa yang memperlemah partisipasi (voice, akses dan kontrol) rakyat biasa (ordinary people). Lebih lanjut lagi Mike Douglas (1998), melukiskan dengan gamblang bekerjanya kapitalisme, sebagai bentuk negaranisasi dan kapitalisasi sektor pertanian di desa. Akibatnya adalah terkonsolidasinya deferensiasi sosial, ketimpangan sosial dan kekuasaan politik karena semakin banyaknya modal dan campur tangan negara ke desa. Yang paling banyak memperoleh keuntungan adalah elite desa dan pemilik modal. Oleh karena itu menurut saya aspek kekuasaan dan politik merupakan sesuatu yang penting dalam menjelaskan keterkaitan antaka wilayah desa-kota, orientasi pembangunan selama ini yang lebih menpertimbangkan aspek ekonomi dan fisik (infrastruktur, teknologi, dll), sehingga kepentingan masyarakat mandiri untuk terlibat langsung dalam pembangunan dapat terlaksana. IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di daerah perkotaan dan pedesaan serta menghubungkan daerah perkotaan dan pedesaan adalah salah satu elemen inti perkotaan dan pedesaan pengentasan kemiskinan. Saat ini, kemiskinan dipahami sebagai suatu kondisi yang memiliki tiga aspek terkait: "kemiskinan pendapatan", "akses kemiskinan" dan "kekuasaan kemiskinan". Pengentasan kemiskinan pendapatan hanya dapat berkelanjutan, jika si miskin itu sendiri memulai dan mempertahankan kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Menggunakan hubungan pedesaan-perkotaan untuk pengentasan kemiskinan berarti memperkuat hubungan melalui distribusi yang lebih seimbang kekuasaan politik antara daerah perkotaan dan pedesaan dan peningkatan kapasitas untuk menangkap peluang ekonomi dalam ekonomi global. Pemberdayaan masyarakat pedesaan merupakan bagian dari proses desentralisasi, redistribusi fungsi pemerintahan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, langkah ke arah pemerintahan yang baik dan penekanan tumbuh pada partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. B. Saran Page 4
Tulisan ini akan lebih lengkap lagu jika penulis meninjau aspek Institut kekuasaan Teknologi dan Bandung politik dalam menganalisis keterkaitan antara desa-kota. Partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan yang secara langsung mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian mereka perlu untuk membawa lingkungan yang mendukung perbaikan pembangunan wilayah perdesaan dalam keterkaitannya dengan sistem perkotaan. Literatur Mahmudah.E.2012. Bargaining Position Petani Dalam Menghadapi Tengkulak. Program Studi S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial,Universitas Negeri Surabaya. 2012. Skripsi. Eko Sutoro. 2003. Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia. Majalah Pembaharuan Pemerintahan dan Pembangunan Desa, FORUM INOVASI UI, Vol. 6, Maret-Mei 2003. Douglass, Mike.1998. Urban and Regional Policy After the Era of Native Globalism. Paper presented at the Global Forum on Regional Policy United Nations Center for Regional Development. Nagoya, December 1-4 Page 5