I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kerangka pembangunan nasional, mandat utama sektor pertanian adalah sebagai penyedia pangan yang cukup bagi penduduknya dan pendukung perkembangan sektor-sektor lainnya. Pada masa mendatang mandat tersebut terasa semakin berat karena laju permintaan terhadap hasil-hasil pertanian terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk dan perbaikan pendapatan perkapita. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian akan meningkat baik dalam jumlah, keanekaragaman, maupun kualitasnya (Suryana, 2003). Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan penting karena selain bertujuan menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, juga merupakan sektor andalan penyumbang devisa negara dari sektor nonmigas. Besarnya kesempatan kerja yang dapat diserap dan besarnya jumlah penduduk yang masih bergantung pada sektor ini masih perlu terus ditumbuhkembangkan. Dibalik peranan sektor pertanian yang semakin penting, keadaan sumber daya manusia yang berada di sektor ini masih memprihatinkan karena sebagian besar masih tergolong berkualitas rendah. Sekitar 69 % penduduk yang berada disektor ini tergolong miskin, diantaranya 82 % berada di pedesaan (Noor, 1996). Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani adalah
produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani (Hardiaputra, 2009). Sejauh petani memproduksi untuk dijual, maka perangsang baginya untuk menaikkan produksi tergantung kepada perbandingan antara harga yang akan diterimanya untuk hasil dan biaya untuk memproduksikan hasil itu. Biaya produksi ini dipengaruhi oleh harga barang-barang input yang harus dibelinya. Harga hasil usahatani baik tingkat maupun stabilitas harga hasil usahatani mempengaruhi sampai dimana harga itu dapat merangsang petani untuk menaikkan produksinya. Adapun syarat lain bagi pembangunan pertanian sudah tersedia, maka semakin tinggi harga yang ditawarkan kepada petani untuk suatu hasil usahatani tertentu, semakin banyak pula hasil yang akan ia produksikan dan dibawa ke pasar (Mosher, 1997). Usaha-usaha pemerintah dalam meningkatkan pendapatan petani, seperti meningkatkan harga dasar gabah (HDG) justru disambut pesimistis oleh petani padi. Hal ini disebabkan oleh masalah klasik. Setiap kenaikan HDG pasti diikuti lonjakan harga kebutuhan pokok petani, seperti pupuk dan dan sarana produksi lainnya. Disinilah sesungguhya salah satu akar terus merosotnya nilai tukar (terms of trade) manusia tani Indonesia selama ini. Sudah jamak diketahui merosotnya pendapatan petani padi adalah karena kita menganut kebijakan
pangan murah (cheap food policy) untuk mendukung industrialisasi tanpa akar yang kukuh. Desakan dana moneter internasional untuk membebaskan impor beras di tanah air yang semakin memperparah keadaan petani padi Indonesia, sebenarnya mempunyai dua tujuan ganda. Pada satu sisi, hal ini memungkinkan industrialis menekan upah riil, disisi lainnya kebijakan ini akan membuka pasar ekspor biji-bijian bagi negara maju (Saragih, 2004). Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi kemampuan produksi padi oleh petani. Pemerintah terus berupaya mengamankan dan menjaga stabilitas harga gabah dan beras. Terhitung mulai tanggal 1 April 2007, melalui Instruksi Presiden RI, Pemerintah memberlakukan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri sebesar Rp 2.000/Kg di penggilingan dan gabah kering giling Rp 2.575/Kg di penyimpanan. Kebijakan penetapan harga pembelian pemerintah ini diharapkan disamping untuk menjaga stabilitas harga, juga diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi beras (padi) dan menjamin peningkatan pendapatan petani (Syam, 2009). Penetapan harga dasar gabah adalah salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani. Harga dasar gabah selalu dinaikkan pemerintah dalam setiap keadaan. Maksudnya untuk mencapai terciptanya mesyarakat Indonesia yang sejahtera dan juga ditujukan demi stabilitas nasional. Fakta yang ditemukan tentang harga dasar adalah kurangnya usaha-usaha untuk memasyarakatkan naiknya harga dasar gabah kepada petani. Akibatnya banyak petani yang tidak dapat memanfaatkan kenaikan harga dasar tersebut. Harga dasar
yang semula diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, tetapi kenyataannya justru menekan kehidupan petani (Sastraatmadja, 1991). Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah adalah besaran harga terendah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap gabah sesuai dengan kualitas gabah tersebut yang tujuannya untuk melindungi petani dengan adanya jaminan harga yang wajar. Apabila harga yang ditetapkan oleh para tengkulak dan penggilingan lebih rendah daripada HPP gabah maka Bulog diharapkan bersedia untuk membeli gabah petani. HPP gabah ini dibahas dalam konferensi Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian dan Dirut Bulog atas dasar indikator dinamika ekonomi nasional seperti harga-harga kebutuhan pokok, harga sarana produksi pertanian. Selanjutnya ditetapkan dalam instruksi presiden. Diharapkan HPP gabah yang ditetapkan pemerintah telah dapat memberikan keuntungan bagi petani. Dalam HPP gabah, harga di petani lebih rendah dipenggilingan dan bulog. Ini disebabkan oleh perbedaan kualitas gabah disetiap lembaga. Tetapi dalam Gabah Kering Panen HPP gabah lebih tinggi di penggilingan daripada di petani/tengkulak disebabkan oleh tengkulak hanya sebagai pengumpul dan masih harus mengeluarkan biaya untuk memasarkan gabah tersebut kembali meskipun kadangkala ada juga tengkulak tersebut memiliki kilang padi sendiri. Dan HPP GKG lebih tinggi di Bulog daripada di Penggilingan disebabkan oleh Bulog berperan sebagai gudang penyimpanan untuk menampung gabah petani sedangkan penggilingan menyerap gabah dan langsung mengolahnya menjadi beras dan dipasarkan. Perubahan dan penyesuaian harga pembelian pemerintah terhadap gabah pada empat tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Lima Tahun Terakhir Instruksi Presiden Jenis Harga (Rp/Kg) Keadaan No. 13 Tahun 2005, Tgl GKP 1.730 Di Penggilingan 10 Oktober 2005, GKG 2.250 Di Gudang Penyimpanan berlaku mulai 1 Januari 2.280 Di Penggilingan 2006 BERAS 3.550 Di Gudang Penyimpanan No. 1 Tahun 2008, Tgl GKP 2.200 Di Petani 22 April 2008, berlaku 2.240 Di Penggilingan mulai 22 April 2008 GKG 2.800 Di Penggilingan 2.840 Di Gudang BULOG BERAS 4.300 Di Gudang BULOG No. 8 Tahun 2008, Tgl 24 Desember 2008, GKP 2.400 2.440 Di Petani Di Penggilingan berlaku mulai 1 Januari GKG 3.000 Di Penggilingan 2009 3.040 Di Gudang BULOG BERAS 4.600 Di Gudang BULOG No. 7 Tahun 2009, Tgl GKP 2.640 Di Petani 29 Desember 2009 2.685 Di Penggilingan berlaku mulai 1 Januari GKG 3.300 Di Penggilingan 2010 3.345 Di Gudang BULOG BERAS 5.060 Di Gudang BULOG Sumber: Dinas Pertanian Sumatera Utara, 2010 Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa berdasarkan Inpres No. 7 tahun 2009, pemerintah menaikkan HPP untuk gabah dan beras untuk menjaga keuntungan usaha tani padi. Adapun ketentuan penetapan perbedaan HPP gabah di petani, penggilingan dan bulog diakibatkan oleh perbedaan kualitas gabah dimasing-masing lembaga tersebut. Kenaikan tersebut sebesar 10 % mulai berlaku pada 1 Januari 2010. Adapun rinciannya, yakni harga untuk Gabah Kering Panen (GKP) di petani dengan kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa/kotoran maksimal 10 %, harga sebelumnya Rp 2.400/Kg menjadi Rp 2.640/Kg. Sedangkan GKP di penggilingan, naik dari Rp 2.440/Kg menjadi Rp 2.685/Kg. Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan dengan kadar air maksimal 14 % dan kadar hampa/kotoran
maksimal 3 % naik dari Rp 3.000/Kg menjadi Rp 3.300/Kg. Sedangkan GKG di Gudang Bulog naik dari Rp 3.040/ Kg menjadi Rp 3.345/Kg. Harga Pembelian Beras dengan kadar air maksimum 14 %, butir patah maksimum 20 %, kadar menir maksimum 2 %, dan derajat sosoh minimum 95 % adalah 5.060. Kenaikan HPP padi ini diharapkan dapat merangsang petani untuk lebih intensif mengusahakan usahatani padi sawah sehingga produktivitas lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Keadaan produktivitas padi sawah per kecamatan di Kabupaten Deli Serdang tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Luas Panen, Produksi, Produktivitas Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 NO Kecamatan Luas lahan Luas Panen Produksi Produktivitas (Ha) (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 1 Gunung Meriah 566 1.132 5.674 5,01 2 STM Hulu 666 1.332 6.651 4,99 3 Sibolangit 565 1.129 5.689 5,04 4 Kutalimbaru 960 1.919 9.772 5,09 5 Pancurbatu 383 766 3.873 5,06 6 Namorambe 772 1.543 7.951 5,15 7 Biru-biru 624 1.248 6.246 5,00 8 STM Hilir 720 1.440 7.291 5,06 9 Bangun Purba 183 365 1.825 5,00 10 Galang 1.001 2.002 10.130 5,06 11 T. Morawa 2.396 4.791 24.798 5,18 12 Patumbak 653 1.305 6.556 5,02 13 Deli Tua 21 42 211 5,02 14 Sunggal 2.495 4.989 26.041 5,22 15 H. Perak 5.376 10.751 56.021 5,21 16 Labuhan Deli 3.712 7.424 38.442 5,18 17 Percut Sei Tuan 4.844 9.688 51.170 5,28 18 Batang Kuis 800 1.600 7.986 4,99 19 Pantai Labu 3.765 7.529 39.146 5,20 20 Beringin 2.479 4.958 25.794 5,20 21 Lubuk Pakam 1.462 2.923 15.900 5,44 22 Pagar Merbau 2.349 4.698 25.101 5,34 Jumlah 36.685 73.369 381.955 5,21 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang, 2010
Tabel 2 menunjukkan produktivitas padi sawah di Kabupaten Deli Serdang adalah 5,21 Ton dan Kecamatan Beringin memiliki produktivitas yang tertinggi urutan keenam sebagai daerah sentra produksi padi di Kabupaten Deli Serdang sebagai daerah sentra produksi padi sawah di Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan data produksi dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Deli Serdang, Kecamatan Beringin merupakan salah satu Kecamatan yang cukup berpotensi dengan luas lahan 2.479 Ha, produksi 25.794 Ton dan produktivitas sebesar 5,20 Ton/Ha. Selanjutnya keadaan luas panen, produksi dan produktivitas padi sawah di Kecamatan Beringin menurut desa dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Luas Panen, Produksi, Produktivitas Padi Sawah di Kecamatan Beringin Tahun 2009 NO Desa/ Kelurahan Luas Lahan (Ha) Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ Ha) 1 Tumpatan 116,13 232 1.118 4,81 2 Emplasman Kuala Namo - - - - 3 Sidodadi Ramunia 419,93 840 4.263 5,08 4 Pasar V Kebun Kelapa 66,15 132 631 4,77 5 Aras Kabu 263,62 527 2.526 4,79 6 Serdang 254,31 509 2.514 4,94 7 Sidourip 123,97 248 1.216 4,91 8 Pasar VI Kuala Namu - - - - 9 Karang Anyar 406,70 813 4.221 5,19 10 Beringin 304,78 610 3.382 5,55 11 Sidoarjo II Ramunia 523,28 1.047 5.924 5,66 Jumlah 2.478,87 4.958 25.794 5,20 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang, 2010 Tabel 3 menunjukkan bahwa Kecamatan Beringin sebagai daerah sentra produksi padi sawah di Kabupaten Deli Serdang ternyata 82 % desa yang ada menghasilkan padi sawah. Desa Sidoarjo II Ramunia merupakan desa yang potensial di Kecamatan Beringin dengan luas areal 523,28 Ha, produksi 5.924 Ton dan
produktivitas sebesar 5,66 Ton/Ha. Keadaan data produksi tersebut akan lebih besar lagi dengan intensitas pertanaman ditingkatkan. Selanjutnya data tentang jumlah kepala keluarga menurut komposisi mata pencaharian di Desa Sidoarjo II Ramunia dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Komposisi Mata Pencaharian di Desa Sidoarjo II Ramunia Tahun 2010 No Mata Pencaharian Jumlah (KK) Persentase 1 Pertanian 567 85 % 2 Buruh/ Karyawan 15 2 % 3 Perdagangan 50 7 % 4 PNS 30 4 % 5 Industri 8 1 % Jumlah 670 100 % Sumber : Kantor Kepala Desa Sidoarjo II Ramunia, 2010 Tabel 4 menunjukkan bahwa 85 % kepala keluarga yang ada di Desa Sidoarjo II Ramunia bermatapencaharian sebagai petani dan selanjutnya pola tanam di desa tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Gbr 1. Pola Tanam Padi Sawah di Desa Sidoarjo II Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang Tahun Musim Tanam I Musim Tanam II Bulan Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Padi Sawah Bero Padi Sawah Bero Sumber: Kantor Kepala Desa Sidoarjo II Ramunia, 2010 Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pola tanam padi sawah dalam setahun terdiri dari dua kali musim tanam padi sawah yaitu musim tanam pertama dimulai dari bulan April-Juli yang meliputi pembukaan lahan sampai panen. Setelah panen pertama yaitu pada bulan Juli, maka dilakukan pengistirahatan lahan selama
kurang lebih dua bulan. Setelah itu, musim tanam kedua dimulai bulan Oktober- Januari yang meliputi pembukaan lahan sampai panen. Dan kurang lebih dua bulan berikutnya yaitu setelah panen kedua pada bulan Januari, maka petani menanami lahannya dengan tanaman palawija untuk menunggu musim tanam berikutnya. Pola tanam dua kali setahun sudah lama dilakukan oleh petani dengan produktivitas padi sawah rata-rata 5,66 Ton/Ha namun sudah berada diatas produktivitas rata-rata Kabupaten Deli Serdang dengan asumsi pengunaan sarana produksi belum optimal. Dengan naiknya HPP padi sawah serta didukung penggunaan sarana produksi yang optimal diharapkan petani di Desa Sidoarjo II Ramunia dapat meningkatkan produktivitas padi sawah lebih tinggi. Kenaikan HPP berlaku mulai 1 Januari 2010, dimana telah berlangsung dua kali musim tanam dan setiap musim tanam petani menjual sebagian atau seluruhnya produksi padi sawah. Untuk itu perlu diteliti apakah kenaikan HPP berpengaruh terhadap pendapatan petani padi sawah menjadi perhatian dari penelitian ini. Disisi lain juga perlu diamati apakah kenaikan HPP padi yang ditetapkan oleh pemerintah telah memasyarakat dilingkungan petani masih mengandung pertanyaan. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan beberapa identifikasi permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut seberapa besar persentase kenaikan harga penjualan gabah petani dibandingkan dengan persentase kenaikan HPP gabah mulai tahun 2006-2010 di daerah penelitian, apakah ada perbedaan pendapatan usahatani padi sawah petani sebelum dan sesudah kenaikan HPP gabah di daerah penelitian.
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan identifikasi masalah maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa besar persentase kenaikan harga penjualan gabah petani dibandingkan dengan persentase kenaikan HPP gabah mulai tahun 2006-2010 di daerah penelitian, untuk mengetahui perbedaan pendapatan usahatani bagi petani sebelum dan sesudah kenaikan HPP gabah di daerah penelitian. 1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam membuat suatu kebijakan tentang harga gabah yang layak bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani beserta keluarganya, sebagai bahan masukan bagi para Petani yang mengusahakan tanaman padi di daerah penelitian, sebagai bahan referensi atau sumber informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.