Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS a. bahwa dengan terjadinya peningkatan kejadian HIV dan AIDS yang bervariasi mulai dari epidemi rendah, epidemi terkonsentrasi dan epidemi meluas, perlu dilakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu, menyeluruh dan berkualitas; Pasal 1 1. Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. 1
Pasal 2 Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Direkomendasikan untuk mengadaptasi sistem penyelenggaraan salah satu pilar dari prakarsa Treatment 2.0 yang merupakan suatu prakarsa baru dari WHO dan UNAIDS dalam pengendalian HIV. 2
Mengingat latar belakang di atas maka disepakati perlunya mengembangkan suatu Kerangka kerja standar bagi tingkat kabupaten/kota. Kerangka kerja ini dimaksudkan: 1. untuk memberikan pedoman bagi para pengelola program, pelaksana layanan dan semua mitra terkait dalam penerapan layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV & IMS yang berkesinambungan di kabupaten/kota. 2. Layanan HIV & IMS tersebut menggunakan pendekatan sistematis dan komprehensif, serta dengan perhatian khusus pada kelompok kunci dan kelompok populasi yang sulit dijangkau. Ketersediaan fasilitas layanan 3
Jumlah layanan terkait HIV Layanan Jumlah Konseling dan Tes 1,763 PDP 518 PPIA 195 IMS 1,353 PTRM 91 TB HIV 23 Catatan: data di seluruh kabupaten/kota baik RS maupun PKM Sumber: Laporan Kemenkes TW II, 2015 Data Yang Dikeluarkan Konsil Kedoktran Indonesia Tahun 201 Jumlah Dokter 169.287 Dokter Umum : 109.659 Dokter Gigi : 27.060 Dokter Spesialis : 29.763 Dojter Gigi Spesialis : 2.805 Jumlah bidan : 200.000 Stimasi ODHA : 4
Estimasi Populasi Kunci Populasi Kunci LSL 144636 WPSTL 104856 WPSL 124996 Waria 38031 Penasun 74326 Sumber: Kemenkes 2012 Ketersediaan layanan bagi kelompok populasi kunci Para pekerja seks, lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta pengguna narkotik secara umum 10 sampai 20 kali lebih mudah terinfeksi HIV sementara hanya 8% dari mereka yang mendapatkan akses ke layanan HIV. Pengingkaran hak asasi manusia memiliki dampak negatif pada kesehatan mereka. Upaya meningkatkan penjangkauan pada populasi dan kelompok yang tersembunyi dan sulit didekati membutuhkan strategi pendekatan yang tepat dan kebijakan yang memihak. Kunci keberhasilan dalam pencegahan penularan HIV yang diyakini adalah kemampuan mengembangkan strategi dan kebijakan untuk melakukan penjangkauan kepada populasi kunci (Most At Risk Population). 5
Kebijakan layanan pencegahan dan layanan HIV yang memberikan prioritas kepada populasi kunci selama ini dipandang sebagai strategi dan langkah yang tepat dalam penurunan angka penularan HIV yang lebih luas. Penanganan sumber penularan secara proporsional dapat membantu lebih efektif upaya penanggulangan AIDS di berbagai negara. Setiap negara memiliki dinamika perkembangan dan karakteristik penularan epidemi HIV dan AIDS yang berbeda. Sebagian besar Asia dan Asia Tenggara, penularan HIV dan AIDS disebabkan oleh perilaku resiko yang kompleks, meliputi penularan melalui transmisi seksual oleh pekerja seks (WPS), lelaki yang seks dengan lelaki, kelompok transgender dan penasun Satu hal paling mendasar yang perlu terus dikembangkan adalah ketersediaan data yang reliable yang menggambarkan jumlah sekaligus memotret permasalahan yang dihadapi kelompok populasi kunci Satu strategi untuk memperoleh data yang terpercaya adalah dengan melakukan Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada 2007 dan 2011 pada populasi kunci tertentu menunjukkan kecenderungan peningkatan yang tajam seperti : -prevalensi pada kelompok LSL (5%) pada 2007 meningkat menjadi 12 % pada 2011, -populasi waria: 24 % pada tahun 2007 menjadi 23 % pada 2011, meski ada penurunan tetapi tidak cukup bermakna, -populasi WPS, yakni 10 % pada 2007 menjadi 9 % pada 2011. 6
Cakupan yang semakin luas dalam penjangkauan pada kelompok yang sulit dijangkau merupakan bentuk dari keberhasilan pengembangan strategi pendekatan yang dikembangkan oleh NGO untuk mengakses layanan HIV sebagai bagian dari continuum of care. Peran kelompok NGO dalam hal ini menentukan dalam mendorong peningkatan cakupan jangkauan populasi kunci untuk dapat bekerjasama dalam penyediaan layanan HIV Intervensi program yang menyertakan kader komunitas dapat mengurangi barrier pada kelompok yang sulit dijangkau dalam mengakses layanan Yayasan Pelita Ilmu sejak tahun 2010 menjalankan program penjangkauan populasi kunci di 11 provinsi, yaitu: Sumbar, Lampung, Banten, Yogyakarta, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Sulut, Maluku, NTB, NTT. Populasi kunci yang dijangkau tersebut adalah wanita penjaja seks (WPS), pecandu narkoba suntik (IDU), lelaki seks lelaki (LSL), pelanggan WPS/lelaki resiko tinggi, dan waria Di 11 provinsi tersebut, YPI bekerjasama dengan 11 LSM setempat sebagai SSR (sub-sub recipient), yaitu Yayasan Lantera Minangkabau, PKBI Lampung, Sankar Tangerang, Vesta Yogyakarta, Yayasan Pontianak Plus, LKKNU Kalsel, Yayasan LARAS, LKKNU Sulut, LPPM Maluku, Yayasan Inset, Yayasan Tanpa Batas. 7
Sebanyak 143 petugas lapangan di 11 provinsi tersebut menjangkau populasi kunci dengan menyampaikan informasi pencegahan HIV, memberikan materi KIE, menyediakan kondom, serta mengajak dan menemani mereka ke sarana kesehatan untuk mendapatkan layanan VCT, IMS, PMTCT, harm reduction, ataupun ke PABM (pemulihan adiksi berbasis masyarakat). Melalui program ini, direncanakan sebanyak 80% populasi kunci di 11 provinsi tersebut terjangkau pada tahun 2015, dan ditargetkan sebanyak 70% dari mereka menjalani perubahan perilaku dan mengikuti layanan VCT untuk mendapatkan konseling dan tes HIV. Dari aspek kebijakan menunjukkan terkait dengan penjangkauan kelompok-kelompok yang sulit dijangkau masih mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, seperti kebijakan anti prostitusi yang menghalangi populasi untuk mendapatkan perawatan dan akses layanan kesehatan oleh karena keberadaan kebijakan anti prostitusi menyebabkan terjadinya pergerakan yang tidak terkontrol dari populasi kunci ke berbagai daerah lain Kebijakan baru yang akan merevisi UU Narkotika (pasal 4 No 35 tahun 2009) terkait pasal rehabilitasi dengan pemenjaraan untuk semua pengguna napza pada 2016 yang didengungkan oleh Kepala BNN yang baru 8
isu isu sensitif dari kelompok populasi kunci: Jaminan kesehatan Jaminan sosial Jaminan masa depan Perlindungan Sosial bagi ODHA di Indonesia Belum secara langsung diarahkan untuk mengantisipasi berbagai dampak yang diakibatkan oleh HIV dan AIDS Masih sangat terbatas dalam cakupannya: ODHA yang memanfaatkan, Manfaat yang diperoleh, Cakupan wilayah Kecukupan dan kualitas layanannya Belum ada jaminan sosial kesehatan yang bisa dimanfaatkan untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatannya agar memungkinkan bisa memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan dan hidup lebih produktif Masih terbatasnya perlindungan sosial yang bersifat preventif atau promotif, apalagi yang bersifat transformatif. 9
transparansi dan akuntabilitas layanan. Sudah menjadi komitmen bersama bangsa Indonesia, untuk menuju masyarakat Indonesia yang demokratis, terbuka, antara lain dengan melakukan reformasi di segala bidang, termasuk reformasi birokrasi menuju Good Governance. Hal sama juga perlu dilakukan dalam semua upaya penanggulangan HIV- AIDS di Indonesia agar lebih transparan dan akuntabel. Transparansi dan akuntabel dalam semua kegiatan HIV-AIDS di Indonesia perlu terwujud agar masyarakat Indonesia dan dunia terus mendukung kegiatankegiatan penanggulangan yang diharap dapat menahan laju penularan baru. Mungkinkah Upaya Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia bisa transparan dan akuntabel? Langkah kecil yg bisa dilakukan antara lain : *diskusi terbuka para anggota komunitas AIDS Indonesia. *Adanya konsep dan pedoman bersama, *koordinasi yang terus dibicarakan terbuka. *kegiatan yang transparan dan akuntabel, *menghindari penyalahgunaan dana, *penggunaan yang tidak tepat, Mengurangi duplikasi kegiatan 10
11