1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin maju suatu bangsa maka kesadaran akan pendidikan juga semakin tinggi. Hal ini terbukti bahwa banyak orangtua yang mulai menyekolahkan anaknya sedari dini. Berbanding dengan hal tersebut, pemerintah juga menetapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung untuk pemerolehan pendidikan bagi warganya baik dari segi sarana, prasarana, maupun mutu pendidikannya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, berarti setiap warga tanpa kecuali berhak mendapat pendidikan maupun pengajaran termasuk dengan anak berkebutuhan khusus. Pada era sekarang, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidaklah sesusah dahulu yang mana setiap daerah sudah terdapat sekolah maupun layanan yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus. Ditambah lagi sekarang sedang marak mengenai sekolah inklusi sehingga semakin mempermudah anak berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan tanpa adanya diskriminasi. Selanjutnya pada pasal 32 menyatakan bahwa, Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial. Anak berkebutuhan khusus itu sendiri merupakan anak yang memerlukan pelayanan khusus dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah yang berbeda dengan anak normal pada umumnya karena kelainan yang dimiliki. Ada beberapa klasifikasi kelainan pada anak berkebutuhan khusus yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan autis. Salah satu diantara klasifikasi anak berkebutuhan khusus adalah tunagrahita. Wantah (2007: 10) menyatakan bahwa, Anak yang termasuk dalam kategori tunagrahita adalah memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dan memiliki ciri-ciri tertentu sehingga tidak dapat memikirkan
hal-hal yang abstrak, dan berbelit-belit serta tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya jika dibandingkan dengan anak normal pada usia yang sama. Anak tunagrahita itu sendiri diklasifikasikan lagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat yang berdasarkan tingkat intelegensinya. Anak tunagrahita ringan memiliki intelegensi sekitar 55-70 sehingga mengalami hambatan dalam hal kognitif, interaksi sosial dan perilaku adaptif. Selain itu anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, daya ingatnya yang rendah, sukar berpikir abstrak, dan daya fantasinya rendah, sehingga mereka sering mengalami kesulitan belajar, termasuk dalam bidang penguasaan kosakata (Hallahan & Kauffman dalam Amin: 1995). Lebih lanjut Smith dalam Bandi (2006: 66) menjelaskan bahwa, Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam beberapa aspek salah satunya adalah berbahasa yang mana baik dalam mengekspresikan maupun memahami ucapan sederhana, bagi beberapa siswa terdapat kemunduran atau gangguan berbahasa seperti terbatasnya pengucapan kosakata, hilangnya beberapa kata, penyimpangan bunyi, dan bicara yang menggagap. Salah satu permasalahan anak tunagrahita ringan yaitu mengalami kesulitan dalam penguasaan kosakata. Apalagi bagi seorang siswa penguasaan kosakata merupakan alat utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Dengan penguasaan kosakata yang cukup, maka akan memperlancar pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan guru. Lebih lanjut Nurgiyantoro (2001: 166) menyebutkan bahwa, Kosakata merupakan alat utama yang harus dimiliki seseorang yang akan belajar bahasa sebab kosakata berfungsi untuk membentuk kalimat serta mengutarakan isi pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan kosakata erat kaitannya dengan bahasa dan bahasa erat kaitannya dengan komunikasi yang mana merupakan bagian terpenting yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari guna menyampaikan atau mengungkapkan apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan dalam benaknya mengenai sesuatu. Agar dapat berkomunikasi dengan baik, perlu menguasai berbagai kosakata. Semakin banyak kosakata yang dikuasai maka akan semakin luas wawasannya. Seperti yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro (2001: 2
3 154), Untuk dapat melakukan kegiatan komunikasi dengan bahasa diperlukan penguasaan kosakata dalam jumlah yang cukup atau memadai. Kemampuan anak tunagrahita ringan tidak akan dapat menyamai anak normal yang seusia dengannya, namun mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Anak tunagrahita ringan lebih banyak belajar dengan cara membeo bukan dengan pengertian. Lebih serius lagi, anak tungarahita ringan mengalami gangguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosakata serta kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan (Rochyadi, 2005: 23). Anak tunagrahita ringan, untuk dapat memahami kosakata baru memerlukan waktu yang cukup lama karena daya ingat dan daya abstraksinya rendah serta mengalami hambatan dalam hal interaksi sosial sehingga membuat dirinya jarang melakukan komunikasi dengan orang lain yang mengakibatkan penguasaan kosakatanya menjadi rendah. Perlakuan orang sekitar terutama orang tua yang kurang melakukan komunikasi dengan anak tunagrahita ringan akan semakin memperburuk penguasaan kosakatanya. Ditambah lagi terkadang tanpa sengaja karena refleks kebiasaan sehari-hari, guru juga sering menggunakan kosakata yang sulit dimengerti anak tunagrahita ringan dalam menyampaikan materi pelajaran dan juga metode penyampaian materi yang digunakan guru pada dasarnya monoton hanya ceramah sehingga membuat siswa kurang tertarik dan kurang aktif. Hendaknya guru menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan serta perlu melibatkan anak untuk berpartisipsi aktif dalam pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama PPL di SLB C Setya Darma Surakarta, peneliti menemukan permasalahan pada siswa tunagrahita ringan kelas III yang mengalami masalah bahasa namun berbeda jenisnya. Siswa pertama dengan inisial TVC mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar dan juga penguasaan kosakata bahasa Indonesia lebih sedikit dibanding kosakata bahasa Jawa mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa kedua bagi TVC. Siswa kedua berinisial RAP, lebih parah dibandingkan dengan siswa pertama dalam hal penguasaan bahasanya yang mana RAP jarang sekali berbicara
4 dengan orang lain bahkan peneliti sempat datang kerumahnya untuk menemani rekan melakukan home visit, sama seperti di sekolah RAP juga jarang berbicara meskipun dengan orangtuanya dan hanya menjawab ketika diberi pertanyaan itupun hanya satu kata yang terucap sehingga dapat dipastikan penguasaan kosakatanya sangat rendah. Masa anak-anak pada dasarnya adalah masanya bermain bahkan dapat dikatakan bermain merupakan kebutuhan bagi anak-anak sama halnya dengan makan dan minum, maka dari itu cara pembelajaran yang tepat bagi anak-anak yaitu dengan bermain sambil belajar. Ditambah lagi anak tunagrahita ringan memiliki hambatan dalam hal kognitifnya tentu perlu pembelajaran yang menyenangkan layaknya sebuah permainan agar tujuan pembelajaran dapat terwujud. Untuk dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Indonesia pada anak tunagrahita ringan sebaiknya menggunakan media permainan yang mana siswa akan merasa senang dan tertarik dalam belajar sehingga sambil bermain juga meningkatkan kosakata bahasa Indonesia pada siswa. Ada banyak jenis permainan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kosakata pada siswa salah satunya adalah permainan teka-teki silang bergambar. Seperti yang diungkapkan Tarigan (2011: 229) bahwa teka-teki silang merupakan permainan kata yang dapat memperkaya kosakata para siswa dan mengasyikkkan sehingga bermain sambil memperkaya kosakata. Permainan teka-teki silang bergambar sama seperti tekateki silang pada umumnya namun didalamnya yang semula hanya berupa tulisan, kali ini terdapat gambar-gambar yang berwarna untuk mewakili tulisan tersebut. Diharapkan anak tunagrahita ringan akan lebih mudah menguasai kosakata dengan adanya permainan teka-teki silang bergambar yang mana didalamnya terdapat gambar berwarna dan dengan metode pengajaran sambil bermain yang menyenangkan serta siswa aktif terlibat secara langsung. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul PENGARUH MEDIA PERMAINAN TEKA-TEKI SILANG BERGAMBAR TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS III DI SLB C SETYA DARMA SURAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016.
5 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka masalahmasalah yang terkait dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Anak tunagrahita ringan memiliki keterbatasan dalam hal kognitif, interaksi sosial dan perilaku adaptif. 2. Anak tunagrahita ringan juga memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, daya ingat yang rendah, sulit berpikir abstrak, dan daya fantasi yang rendah. 3. Anak tunagrahita ringan sering mengalami kesulitan belajar. 4. Anak tunagrahita ringan lebih banyak belajar dengan cara membeo bukan dengan pengertian. 5. Anak tunagrahita ringan mengalami gangguan bahasa. 6. Kemampuan komunikasi anak tunagrahita ringan rendah. 7. Anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosakata. 8. Anak tunagrahita ringan kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan. 9. Penguasaan kosakata anak tunagrahita ringan rendah. 10. Kurangnya komunikasi yang dilakukan orang sekitar terhadap anak tunagrahita ringan. 11. Metode pengajaran yang dilakukan guru monoton. C. Pembatasan Masalah Agar masalah tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah pada: 1. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III SLB-C Setya Darma Surakarta yang berjumlah dua orang, yaitu TVC dan RAP (inisial). 2. Media pembelajaran yang digunakan adalah permainan teka-teki silang bergambar. 3. Materi ajar bahasa Indonesia tentang kegiatan anggota keluarga.
6 D. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah media permainan teka-teki silang bergambar berpengaruh terhadap peningkatkan penguasaan kosakata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan kelas III di SLB C Setya Darma Surakarta tahun ajaran 2015/2016? E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh media permainan teka-teki silang bergambar terhadap peningkatan penguasaan kosakata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan kelas III di SLB C Setya Darma Surakarta tahun ajaran 2015/2016. F. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilaksanakan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan yang bersifat teoritis maupun praktis. Adapun manfaat-manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Menambah pengetahuan berupa pengertian dan langkah-langkah penggunaan media permainan teka-teki silang bergambar dalam materi kegiatan anggota keluarga pada anak tunagrahita ringan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Menambah pengalaman siswa yang terkait dengan penguasaan kosakata bahasa Indonesia melalui penggunaan media permainan teka-teki silang bergambar. b. Bagi Guru Menambah variasi media pembelajaran saat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam mata pelajaran bahasa Indonesia materi kegiatan anggota keluarga pada anak tunagrahita ringan.
7 c. Bagi Peneliti Menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan tentang penggunaan media permainan teka-teki silang bergambar terkait dengan peningkatan penguasaan kosakata bahasa Indonesia terhadap anak tunagrahita ringan.