BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diberi wewenang yang luas untuk mengelola pemerintahannya dan pengembangan wilayahnya masing-masing. Berdasarkan Peraturan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 77 Ayat (2) tentang Bangunan disebutkan bahwa menara termasuk dalam kategori bangunan di mana bangunan dalam Pasal 77 Ayat (1) adalah objek PBB Pedesaan dan Perkotaan sehingga dalam keberadaannya setiap tower wajib untuk dikenakan PBB sebesar NJOP. Namun fakta di lapangan menunjukkan jika dasar pengenaan retribusi hanya didasarkan pada NJOP, maka masih terdapat selisih harga dengan kondisi pasar yang ada, sehingga hal ini menimbulkan potential loss bagi Pemerintah Kota Pekalongan. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Pekalongan melakukan upaya peningkatan pada hasil retribusi daerah. Retribusi menurut UU No. 28 tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Upaya tersebut diimplementasikan dalam Peraturan Daerah Kota Pekalongan No. 16 tahun 2011 tentang penyelenggaraan 1
dan retribusi pengendalian menara telekomunikasi di Kota Pekalongan. Di Kota Pekalongan sendiri terdapat beberapa pengelola menara telekomunikasi seperti: Telkomsel, Indosat, XL, Axis, Protel-HCPT, Protelindo, Prot-Knoptel, Flexi, HCPT, Smart Fren, TBG, STI, Bakrie Telkom dan Dama Sinta. Jumlah menara telekomunikasi yang tersebar di wilayah Kota Pekalongan sebanyak 53 unit. Dari ke 14 pengelola menara telekomunikasi tersebut Indosat memiliki menara terbanyak dengan 13 unit, uraian lebih jelas bisa dilihat pada Tabel 1.1. No Tabel 1.1 Menara Telekomunikasi di Kota Pekalongan, 2013 Pengelola Jumlah Unit % Dibangun (Tahun) Tinggi (Meter) 1 Telkomsel 7 13% 2002-2009 3-72 2 Indosat 13 25% 1997-2008 6-72 3 XL 7 13% 2002-2008 3-52 4 Axis 7 13% 2008 12-82 5 Protel-HCPT 6 11% 2002-2008 35-72 6 Protelindo 2 4% 2002 dan 2004 42-52 7 Prot-Knoptel 1 2% 2007 52 8 Fleksi 3 6% 2002-2008 6-52 9 HCPT 2 4% 2008 dan 2011 12 10 Smartfren 1 2% 2006 42 11 TBG 1 2% 2000 42 12 STI 1 2% 2008 70 13 BakrieTelkom 1 2% 2008 12 14 Dhama Sinta 1 2% 2006 70 Jumlah 53 100% Sumber: Dishubkominfo Kota Pekalongan, 2013 Penyebaran menara telekomunikasi di Kota Pekalongan relatif merata hampir di seluruh wilayah, secara administrasi Kota Pekalongan terdiri dari 4 kecamatan, yakni Pekalongan Barat, Pekalongan Utara, Pekalongan Timur dan 2
Pekalongan Selatan. Dari kecamatan yang ada hampir seleruhnya terdapat bangunan menara telekomunikasi, seperti terlihat pada Gambar 1.1. Sumber: Dishubkominfo Kota Pekalongan, 2013 Gambar 1.1 Sebaran Menara Telekomunikasi di Kota Pekalongan, 2013 Penelitian dilakukan pada menara yang dikelola oleh Telkomsel yang terletak di Jalan Kramatsari I Gang 5 RT. 03/RW. 01 Kelurahan Kramatsari, Kecamatan Pekalongan Barat, dikarenakan Telkomsel merupakan operator terbesar dengan jaringan terluas di Indonesia. Diharapkan dengan melakukan penelitian terhadap tower Telkomsel ini hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai gambaran oleh Pemkot Pekalongan terhadap menara yang dikelola oleh operator lainnya. Selain hal tersebut, peneliti berharap dengan penelitian menara Telkomsel hasil yang dibutuhkan dapat diperoleh secara maksimal. 3
Keberadaan menara telekomunikasi sebagai sarana pihak pengelola agar dapat melayani konsumen di wilayah jangkauan, di Kota Pekalongan jumlah pendukduk pada tahun 2013 berdasarkan data BPS Kota Pekalongan Tahun 2014 adalah sebanyak 290.870 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di 4 kecamatan dengan rincian; Kecamatan Pekalongan Barat 91.306 jiwa, Kecamatan Pekalongan Timur 63.915 jiwa, Kecamatan Pekalongan Selatan 57.858 jiwa dan Kecamatan Pekalongan Utara 77.791 jiwa. Sebaran penduduk Kota Pekalongan seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1.2 Kepadatan Penduduk Kota Pekalongan, 2013 Luas (Km2) Kepadatan Penduduk Kecamatan Penduduk (km2) (%) (jiwa) (%) (jiwa/km2) Pekalongan Barat 10.05 22% 91.306 31% 9.085 Pekalongan Timur 9.52 21% 63.915 22% 6.714 Pekalongan Selatan 10.8 24% 57.858 20% 5.357 Pekalongan Utara 14.88 33% 77.791 27% 5.228 Kota Pekalongan 45.25 100% 290.870 100% 6.428 Sumber : BPS Kota Pekalongan, 2014 Dari Tabel 1.2 dapat dilihat jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Pekalongan Barat, sedangkan dari peta sebaran menara telekomunikasi pada Gambar 1.1 menunjukkan sebaran terbanyak juga di wilayah Pekalongan Barat dengan 15 menara telekomunikasi. Jika dianalisis untuk rasio pelayanan menara terhadap jumlah penduduk nampak pada Tabel 1.3. 4
Tabel 1.3 Rasio Menara terhadap Jumlah Penduduk Kota Pekalongan, 2013 Kecamatan Menara Penduduk Rasio (Unit) (Jiwa) (Penduduk/ Menara) Pekalongan Barat 15 91.306 6.087 Pekalongan Timur 14 63.915 4.565 Pekalongan Selatan 11 57.858 5.260 Pekalongan Utara 13 77.791 5.984 Kota Pekalongan 53 290.870 5.488 Sumber: BPS 2014 diolah Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rasio pelayanan menara telekomunikasi di Kota Pekalongan yang memiliki rasio paling bagus berada di Kecamatan Pekalongan Timur, di mana setiap menara dapat melayani 4.565 jumlah penduduk yang ada. Dari data rasio tersebut menunjukkan bahwa masih memungkinkan bertambahnya menara telekomomunikasi, dan merupakan peluang bagi pemilik menara untuk mengembangkan usahanya, juga bermanfaat untuk Pemerintah Kota Pekalongan dalam bersaing menarik investor masuk di wilayahnya. Penilaian menara ini menggunakan pendekatan biaya dengan metode Biaya Pengganti Terdepresiasi atau Depreciated Replacement Cost (DRC), dikarenakan DRC merupakan metode yang paling memungkinkan digunakan mengingat tower merupakan properti khusus. Penilaian menggunakan pendekatan data pasar terkendala dengan sulitnya mencari data penjualan menara telekomunikasi, data penjualan seperti ini biasanya sulit dijumpai pada pasar terbuka. Pendekatan pendapatan juga sulit dilaksanakan mengingat setiap operator atau perusahaan telekomunikasi akan merahasiakan pendapatan yang diperoleh dari entitas bisnisnya. 5
Perkembangan sitem telekomunikasi di Indonesia berdasarkan PP No. 52 tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, sistem penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia meliputi penyelenggaraan jaringan, jasa dan telekomunikasi khusus. Dalam Pasal 9 peraturan pemerintah tersebut, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terbagi menjadi jaringan tetap (kabel dan nirkabel) dan jaringan bergerak (selular). Sepanjang sejarah perkembangan sektor telekomunikasi di Indonesia, telah terjadi pergeseran kebutuhan masyarakat Indonesia yang berujung pada perubahan tingkat pertumbuhan dari setiap segmen jaringan telekomunikasi tersebut. Hal ini terbukti melalui fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi yang berbasis pada kabel (fixed wireline). Mobilitas yang tinggi serta kebutuhan akan akses informasi yang cepat dan akurat dewasa ini telah menggeser preferensi masyarakat Indonesia dalam memilih moda telekomunikasi yang digunakan. Hal ini secara tidak langsung juga dipicu oleh perkembangan ICT di dunia yang mendorong pesatnya pertumbuhan teknologi telepon selular dan nirkabel di Indonesia. Sejak masuknya teknologi seluler (GSM) di penghujung tahun 1996, teknologi kartu prabayar di awal 1998 dan semakin maraknya penggunaan teknologi CDMA di penghujung tahun 2002, membuat sebagian besar masyarakat mulai beralih menggunakan telepon seluler dan nirkabel, karena dinilai lebih fleksibel dan dapat memenuhi kebutuhan akan mobilitas yang tinggi. Dominasi telepon tetap kabel dalam penyediaan sambungan baru pun lambat laun digeser oleh telepon nirkabel dan selular. Konsekuensinya, pertumbuhan teknologi 6
komunikasi konvensional yang sejak dulu digunakan di Indonesia, yakni telepon tetap berbasis kabel, kian melambat. Sejarah bisnis telekomunikasi di Indonesi dimulai sejak masa kolonial, telekomunikasi sudah ada di Indonesia ditandai dengan berdirinya badan usaha swasta penyedia layanan pos dan telegram pada tahun 1882. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengintegrasikan layanan komunikasi ke dalam jawatan Post Telegram Telefoon (PTT). Status jawatan diubah menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel) pada tahun 1961. Kemudian pada tahun 1965, PN Postel dipecah menjadi Perusahaan Negara Pos dan Giro (PN Pos & Giro) dan Perusahaan Negara Telekomunikasi (PN Telekomunikasi). PN Telekomunikasi diubah namanya menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) yang menyelenggarakan jasa telekomunikasi nasional maupun internasional pada tahun 1974. Tahun 1980, seluruh saham PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Indosat) diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi internasional, terpisah dari Perumtel. Kemudian pada tahun 1989, ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, yang juga mengatur peran swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Tahun 1991, Perumtel berubah bentuk menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Telekomunikasi Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1991. Kemudian tahun 1999, pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Penghapusan Monopoli Penyelenggaraan Telekomunikasi. 7
Pemerintah Indonesia melakukan deregulasi di sektor telekomunikasi dengan membuka kompetisi pasar bebas. Dengan demikian, Telkom tidak lagi memonopoli telekomunikasi Indonesia. Telkom membeli 35 persen saham Telkomsel dari PT Indosat sebagai bagian dari implementasi restrukturisasi industri jasa telekomunikasi di Indonesia yang ditandai dengan penghapusan kepemilikan bersama dan kepemilikan silang antara Telkom dan Indosat pada tahun 2001. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian atau kajian yang membahas mengenai penilaian properti dan kajian mengenai menara telekomunikasi beberapakali telah dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Beberapa kajian yang pernah dilakukan tentang analisis penilaian properti dan mengenai menara telekomunikasi adalah sebagai berikut. 1. Dethan (2009), melakukan penelitian untuk mengestimasi nilai properti pada ruas Jalan Thamrin-Pemuda Kota Kupang, dengan menggunakan metoda Depreciated Replacement Cost (DRC) dan Teknik Sistim Informasi Geografis (SIG) dari penelitian ini diperoleh nilai untuk ruas jalan Thamrin sebesar Rp1.538.000.000,00 dan untuk ruas Jalan Pemuda sebesar Rp661.900.000,00, Nilai ini digunakan untuk keperluan penyusunan neraca daerah. 2. Handi (2009), melakukan penelitian untuk mengestimasi kelayakan proyek menara telekomunikasi bersama di Kota Tangerang, dikarenakan pembatasan pembangunan menara telekomunikasi. Alat analisis yang digunakan adalah NPV, IRR, MIRR, PP dan analisis sensitivitas, dari analisis tersebut diketahui 8
proyek pembangunan menara bersama layak secara finansial untuk dapat dilaksanakan. 3. Erlangga (2010), melakukan penelitian untuk mengestimasi nilai aset jalan pada ruas Jalan T.M Hasan di Kota Banda Aceh, metode yang digunakan adalah dengan Depreciated Replacement Cost (DRC). Nilai tanah menggunakan data pasar dan nilai bangunan diperoleh dari Replacement Cost New (RCN) dikurangi penyusutan sehingga didapat nilai pasar dalam penggunaan, nilai ini digunakan untuk penyusunan neraca daerah. 4. Derban (2011), melakukan penelitian untuk mengestimasi penggunaan menara telekomunikasi secara bersama di Ghana, dengan mengestimasi capital expenditure (CAPEX) dan operasional expenditure (OPEX). Hasil analisis didapat dengan menggunakan infrastuktur menara telekomunikasi secara bersama akan dapat menghemat CAPEX sebesar sampai dengan 50 persen dan menghemat OPEX sampai dengan sebesar 10 persen. 5. Astari (2012), meneliti tentang perlakuan akuntansi Menara Telekomunikasi pada industri Base Transceiver Station (BTS), pencatatan menara sebagai aset tetap atau properti investasi pada perusahaan yang menyewakan menara telekomunikasi. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa menara telekomunikasi digolongkan sebagai properti investasi, hal ini dikarenakan kenaikan nilai wajar dipengaruhi oleh perolehan sewa yang tergambar dari tenancy ratio. 9
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah, bahwa penelitian ini untuk penilaian properti menara telekomunikasi milik Telkomsel di Kota Pekalongan. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang permasalahan retribusi terhadap menara telekomunikasi, tujuan utama pada penilaian ini adalah untuk mendapatkan Nilai Dalam Penggunaan (value in use) tower sebagai dasar pelaksanaan Perda Kota Pekalongan No. 16 Tahun 2011, tentang penyelenggaraan dan retribusi pengendalian menara telekomunikasi di Kota Pekalongan. Pendekatan penilaian yang digunakan adalah pendekatan biaya, dengan metode Depreciated Replacement Cost (DRC). 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Kota Pekalongan untuk menentukan nilai wajar dari menara telekomunikasi sebagai dasar perhitungan retribusi. 2. Bagi penulis dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan serta menjadi referensi penelitian selanjutnya. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi 4 Bab. Bab I yang berisi Pengantar yang meliputi latar belakang, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II merupakan Tinjauan Pustaka, landasan teoritis, dan alat analisis yang digunakan. Bab III 10
adalah Analisis Data dan Pembahasan, berisi cara penelitian dan hasil analisis serta pembahasan. Bab IV adalah Kesimpulan dan Saran. 11