BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

l. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun

1. BAB I PENDAHULUAN. diikuti kegiatan kota yang makin berkembang menimbulkan dampak adanya. Hasilnya kota menjadi tempat yang tidak nyaman.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERAN GENDER DALAM MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH. Oleh : Tri Harningsih, M.Si

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN MESIN PELEBUR SAMPAH (INCINERATOR) PROPOSAL. Mudah dalam pengoperasian. Tidak perlu lahan besar. Hemat energy.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA) Oleh : ALEX ABDI CHALIK

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB I PENDAHULUAN. pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB IV INVENTARISASI STUDI PERSAMPAHAN MENGENAI BIAYA SPESIFIK INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Pada satu sisi pertambahan jumlah kota-kota modern menengah dan

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman *

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk dan laju ekonomi yang semakin meningkat serta

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

DESKRIPSI PROGRAM UTAMA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang banyak dan terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN WAKATOBI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAMPIRAN II HASIL ANALISIS SWOT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI POLEWALI MANDAR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

Elsa Martini Jurusan PWK Universitas Esa Unggul, Jakarta Jl. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk Jakarta

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang

BAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak

Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengelolaan Sampah Berkelanjutan untuk Kota Depok. Alin Halimatussadiah Universitas Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr)

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

BAB I PENDAHULUAN. dan mutlak. Peran penting pemerintah ada pada tiga fungsi utama, yaitu fungsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang

KONSEP PENANGANAN SANITASI DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang sedang berupaya

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *)

ADITYA PERDANA Tugas Akhir Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN

Memorandum Program Sanitasi (MPS) Kabupaten Balangan BAB 1 PENDAHULUAN

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini daerah perkotaan di Kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per tahun untuk pengelolaan 760.000 ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah sampah sebesar 1,8 juta ton per hari (Horenwig dan Thomas, 1999). Perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada saat ini menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan pelayanan publik. Hal ini diakibatkan oleh tekanan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, baik pertumbuhan alamiah maupun akibat terjadinya arus urbanisasi. Selain itu juga akibat pertumbuhan industri, perumahan, fasilitas sosial, kurangnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, kurangnya kemampuan penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dan pengelolaan infrastruktur, serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Menurut laporan dari World Bank (2004) tentang kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia sangat tertinggal dengan negara-negara lain di kawasan Asia, sebagai contoh dalam hal pelayanan fasilitas air bersih, baru 34% dari total penduduk perkotaan yang terlayani. Pada sektor sanitasi, situasi yang dihadapi jauh lebih buruk lagi bahkan sangat sulit, sehingga hanya 1,3% dari total penduduk Indonesia yang mendapatkan pelayanan air limbah melalui sistem perpipaan (off site sanitation). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengolahan dan pemusnahan sampah, sehingga mencemari lingkungan. Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998) dampak sosial (social cost) akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau kurang lebih 2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp.100.000,- per rumah tangga setiap bulan, untuk setiap rumah tangga di Indonesia. Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas para pekerja (ADB, 1998).

2 Pada umumnya pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia menghadapi permasalahan-permasalahan sejak dari penempatan, pengumpulan, pengangkutan, pembuangan dan pengolahannya. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (1988) terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan sampah perkotaan, antara lain: aspek teknis, operasional, partisipasi masyarakat, institusi, keuangan, dan aspek legal. Masalah pokok dalam aspek teknis operasional antara lain: (1) Peningkatan laju timbulan sampah yang kurang diantisipasi dengan peningkatan prasarana dan sarana persampahan; (2) Rendahnya tingkat pelayanan khususnya di pasar dan daerah kumuh menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kesehatan masyarakat; (3) Usaha pengurangan volume dan pemanfaatan sampah masih belum memadai; (4) Pembuangan dan pengolahan akhir sampah masih belum memadai khususnya karena terletak pada lokasi yang kurang memenuhi syarat dan secara operasional dilakukan secara open dumping. Kondisi ini mengakibatkan terjadi beberapa kasus pencemaran lingkungan, seperti yang disebabkan oleh rembesan air lindi (leacheate), lalat, kebakaran dan asap. Selain itu aktivitas pemulung menyulitkan operasi pemadatan dan penutupan sampah. Dalam hal kebijakan, pengelolaan sampah juga menghadapi berbagai masalah. Masalah pokok dalam aspek kebijakan (pengaturan) antara lain: (1) Belum lengkapnya peraturan yang mengatur masalah persampahan; (2) Belum lengkapnya peraturan daerah yang secara pokok mengatur institusi, ketentuan umum kebersihan serta retribusi sampah; (3) Lemahnya pelaksanaan peraturan daerah (perda) termasuk pelaksanaan sangsi terhadap pelanggaran-pelanggaran. Pengelolaan sampah juga menghadapi masalah dalam hal institusi. Masalah pokok dalam aspek institusi antara lain adalah institusi pengelola masih banyak yang berbentuk Dinas Kebersihan yang memiliki kelemahan dalam pengelolaan anggaran operasi dan pemeliharaan. Dinas kebersihan juga seringkali kurang dapat mengembangkan sumber daya manusianya untuk lebih professional. Hal yang tidak kalah pentingnya yang dihadapi adalah masalah pembiayaan dan peran serta masyarakat. Masalah pokok dalam aspek pembiayaan antara lain adalah keterbatasan dana untuk biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan, sehingga sulit meningkatan kualitas maupun kuantitas pelayanan. Masalah pokok dalam aspek peran serta masyarakat adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat serta adanya pandangan masyarakat bahwa sampah sebagai bahan yang tidak berguna (garbage is garbage).

3 Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menghadapi masalah yang sama di dalam melakukan pengelolaan sampahnya. Salah satu permasalahan yang sangat menonjol adalah pengelolaan pada tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah (TPA) yang menimbulkan banyak masalah, terutama dalam hal luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, dan masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) tentang kebutuhan TPA Sampah DKI sampai dengan tahun 2005. Apabila di DKI Jakarta tidak dilakukan perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 500 hektar. DKI Jakarta merupakan kota terbesar dan terluas di Indonesia, sebagai kota metropolitan, DKI Jakarta memiliki luas area sebesar 66.000 hektar. Berdasarkan S.K. Gubernur DKI Jakarta No.1227 tahun 1989 luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berupa daratan seluas 661,52 km2 (66.152 ha). Namun demikian kurang lebih 80% dari total wilayah Kota Jakarta sudah terbangun. DKI Jakarta juga memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada tahun 1999 penduduk DKI berjumlah 7.831.520 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2% per tahun; namun pada akhir tahun 2005 penduduk DKI mencapai 9.041.605 jiwa, dan pada perioda tahun 2005 2008 pertumbuhan penduduk DKI mengalami penurunan menjadi 1,06 % pertahun, hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh program keluarga berencana (BPS DKI 2010). Pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang harus dihadapi. Salah satu persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga menjadi sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable). Tempat membuang akhir sampah DKI Jakarta saat ini berada di luar wilayah DKI Jakarta. Kebijakan penempatan pengolahan sampah DKI Jakarta didasarkan kepada Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta tahun 1996. Rencana induk tersebut menetapkan kebijakan untuk membangun di dua lokasi tempat pengolahan sampah secara sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKI Jakarta yaitu TPA Bantar Gebang di wilayah Kota Bekasi yang dibangun pada tahun 1990, dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang dibangun pada tahun 1993. TPA Bantar Gebang akan melayani buangan

4 sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi, sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Kota Tangerang. Penetapan lokasi TPA ditentukan berdasarkan RTRW dan Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta serta Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Regional antara Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (JABOTABEK). Kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat tersebut diatur oleh Peraturan Bersama Nomor: 1/DP/004/PD/1976/3 tahun 1976, tanggal 8 Mei 1976 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 Januari 1986, Jo. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.116.P/AGR/DA/26-1987, mengenai Pemberian Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah Seluas 108 Ha yang Terletak di Desa Ciketing Udik, Desa Sumur Batu, Desa Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang Kabupaten Bekasi untuk Keperluan Pembuangan Sampah dengan Sistem Sanitary Landfill kepada Pemerintah DKI Jakarta, yang terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi dan kirakira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor. Pada saat ini DKI hanya memiliki TPA sampah Bantar Gebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta. TPA Bantar Gebang yang direncanakan secara sanitary landfill ini, pada kenyataannya dioperasikan secara open dumping. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, sehingga Warga Bantar Gebang menuntut untuk menghentikan pengoperasian dan penutupan TPA ini. Pengelolaan TPA Bantar Gebang menimbulkan berbagai masalah dan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, baik berupa pencemaran air bawah tanah, pencemaran udara berupa asap yang ditimbulkan dari terbakarnya sampah, timbulnya bau busuk, timbulnya lalat, nyamuk dan tikus yang keseluruhannya memberikan dampak (externalitas negatif) pada masyarakat yang bertempat tinggal pada radius hingga 10 kilometer dari TPA Bantar Gebang (Chalik, 2000). Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi TPA ini akan segera dihentikan pengoperasiannya pada akhir tahun 2005, dan akan digantikan dengan sistem pengolahan sampah terpadu (TPST) di Bojong, Kabupaten Bogor. TPST Bojong yang hendak dioperasikan oleh pemerintah DKI Jakarta juga menghadapi masalah yang sama dengan TPA Bantar Gebang yaitu adanya penolakan warga. Alasan tidak menerimanya warga karena pengoperasian TPST tersebut akan lebih

5 banyak memberikan kerugian bagi masyarakat setempat seperti yang dialami oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA Bantar Gebang. Mengingat DKI Jakarta hingga saat ini masih belum mempunyai alternatif TPA, dan TPST Bojong juga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan DKI Jakarta, maka dilakukan berbagai negosiasi oleh Pemprov DKI Jakarta, sehingga TPA Bantar Gebang yang menurut perjanjian seharusnya sudah ditutup tahun 2005, hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh DKI Jakarta sebagai tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mengharuskan Pemerintah DKI Jakarta untuk memikirkan ulang kebijakan dalam menempatkan TPA Sampah di luar wilayahnya. Oleh karena itu pada tahun 1999 pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW 2005 yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Pada kebijakan tersebut, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampah, seperti dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di tempat pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat. Pada pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing kotamadya, secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani. Pada kebijakan pengolahan sampah di DKI Jakarta, pemerintah DKI di masa yang akan datang cenderung untuk menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya.

6 Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, DKI Jakarta akan menggunakan berbagai teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Pada dasarnya DKI memiliki kemungkinan untuk mengolah sampahnya di dalam wilayahnya sendiri dengan menggunakan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan integrasi teknologi pengolahan sampah. Ada beberapa pilihan teknologi pengolahan sampah yang dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah perkotaan antara lain sanitary landfill, incinerator, pyrolisis dan composting, yang masing-masing memiliki kelemahan (cost) dan keunggulan (benefit). Pemakaian teknologi tersebut secara individual dapat lebih menguntungkan bagi suatu kota tertentu, namun kurang menguntungkan bagi kota lainnya. Hal ini bergantung pada kondisi sosio ekonomi, luas wilayah, ketersediaan sumber daya, serta besaran dan karakteristik timbulan sampahnya. Dalam hal ini semakin luas dan besar suatu kota, semangkin kompleks pula persoalan yang ditimbulkan dalam pengelolaan sampah. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian optimasi integrasi sistem pengolahan sampah yang paling menguntungkan bagi suatu kota, baik dari aspek lingkungan, aspek sosial maupun aspek ekonomi. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta 2. Menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan. 3. Menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta. Guna mencapai tujuan penelitan tersebut di atas diperlukan kajian antara lain: 1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah. 2. Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 3. Pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di DKI Jakarta.

7 1.3. Kerangka Pemikiran Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 10 juta jiwa, dan dengan laju pertumbuhan 0,17%, maka diperkirakan pada akhir tahun 2011 jumlah penduduknya akan mencapai 11 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya menghasikan sampah yang semakin meningkat selaras dengan pertambahan dan aktifitas penduduk. Sebagai contoh, pada tahun 1976 timbulan sampah DKI Jakarta sebesar 13.000 M 3 /hari, pada tahun 1986 meningkat menjadi 18.500 M 3 /hari dan tahun 1988 mencapai 26.320 M 3 /hari, dan pada tahun 2010 jumlah timbunan sampah DKI Jakarta yang terdata mencapai 6.700 ton per hari. Sampah-sampah ini berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman dan saluran-saluran. Timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 kurang lebih 6.000 ton/hari dengan perincian seperti tercantum pada Gambar 1. Sedang pada tahun 2010 yang berdasarkan estimasi jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 11.241.111 jiwa, timbulan sampah DKI Jakarta mencapai 6.700 ton/hari, dan komposisinya bahan organik kurang lebih 55 persen, jenis kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan bahan lain 11 persen. Timbulan Sampah di DKI Jakarta Tahun 2005 (Ton/Hari) 538 ton/hari 84 ton/hari 1.641 ton/hari 3.178 ton/hari 319 ton/hari 240 ton/hari Permukiman Pasar Sekolah Perkantoran Industri Lain-lain Gambar 1 Timbulan sampah DKI Jakarta Pada saat ini pembuangan dan pengolahan sampah DKI Jakarta dilakukan secara open dumping di TPA Bantar Gebang yang berada dalam wilayah kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat. TPA ini terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi, dan kirakira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor, dan berjarak 40 Km dari pusat Kota Jakarta.

8 Pengolahan sampah yang dilakukan pada saat ini disamping menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, yang merugikan bagi masyarakat di Kecamatan Bantar Gebang, juga memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang cukup besar, karena jarak angkut sampah dari pusat wilayah pelayanan di DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang jauh. Tingginya biaya operasional mengakibatkan DKI tidak mampu menyediakan biaya operasi yang diperlukan secara memadai untuk mengoperasikan TPA Bantar Gebang secara sanitary landfill. Akibat pengoperasian TPA secara open dumping ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada masyarakat (social cost). Kerugian tersebut antara lain adalah terjadinya gangguan kesehatan seperti terjadinya iritasi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit diarhe serta hilangnya kenyamanan lingkungan akibat bau busuk yang menyengat di sepanjang waktu, yang diterima oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA hingga radius 10 Km dari TPA Bantar Gebang. Masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan pengelolaan dan pengolahan sampah secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat pengolahan sampah dapat dilakukan dengan berbagai teknologi seperti sanitary landfill, composting, incineration (pembakaran dengan temperatur tinggi) ataupun pyrolisis. Namun demikian penggunaan dari masing-masing teknologi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial. Penggunaan satu teknologi yang dipilih mungkin saja menguntungkan bagi suatu kota, namun dapat pula kombinasi dari penggunaan ketiga teknologi tersebut lebih menguntungkan. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi dari masing-masing kota. Namun yang menjadi permasalahan seberapa besar volume sampah yang harus diolah oleh masing-masing teknologi tersebut secara berkelanjutan, masih harus dilakukan penelitian dengan menggunakan model optimasi teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan pada diagram pola pikir pada Gambar 2. 1.4. Perumusan Masalah Pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan pada saat ini, kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, dampak sosial dan masih menggunakan paradigma sampah adalah sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sistem pengolahan sampah di TPA dilakukan tanpa melalui pengolahan, atau dilakukan secara open dumping dengan tujuan untuk mendapatkan biaya pengolahan yang serendah-

9 PERTUMBUHAN EKONOMI AKTIVITAS PERKOTAAN PRASARANA & SARANA PERKOTAAN PERTUMBUHAN PENDUDUK SAMPAH GAP DAMPAK LINGKUNGAN EKONOMI SOSIAL Pencemaran Lingkungan Hilangnya Sumber Daya dan Menurunnya Produktivitas Masyarakat Menurunnya Kesehatan Masyarakat KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS MENURUNNYA PRODUKTIFITAS PENGURASAN SUMBER DAYA ALAM PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP Partisipasi Masyarakat 1. Pengurangan timbulan sampah 3. Pengolahan dan Pembuangan Akhir Sampah 2. Daur ulang sampah TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH SANITARY LANDFILL INCINERATION COMPOSTING TEKNOLOGI LAINNYA Optimalisasi Penggunaan Teknologi Pengolahan Sampah KEBIJAKAN PENGOLAHAN SAMPAH YG RAMAH LINGKUNGAN Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran rendahnya (ekonomis), tanpa memperhatikan dampak lingkungan, sehingga menimbulkan externalitas negatif (biaya sosial) yang sangat besar bagi masyarakat. Saat ini biaya pengolahan sampah cukup besar, hal ini terjadi karena tidak diberlakukannya pemilahan sampah, minimnya penerapan usaha-usaha 3R (reduce, reuse, recycling), serta minimnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab tingginya biaya operasi pengolahan sampah yang antara lain disebabkan oleh jumlah sampah yang begitu besar, jauhnya jarak tempuh ke tempat pengolahan sampah dari pusat kota, tipe teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, volume dan jenis sampah yang diolah.

10 Menurut kajian Direktorat Jenderal Cipta Karya (1996), sistem sanitary landfill sebagai single (tunggal) unit pengolahan dan pemusnahan sampah dapat lebih menguntungkan jika dibandingkan intermediate treatment yang menggunakan sistem incinerator. Untung tersebut akan dapat diperoleh apabila jarak tempuh pengangkutan sampahnya kurang dari 20 km. Namun demikian jika jarak TPA dengan sanitary landfill lebih dari 20 km, sistem ini menjadi tidak ekonomis, sehingga alternatif yang lebih baik untuk mengatasinya adalah menggunakan incinerator sebagai intermediate treatment yang dikombinasikan dengan sistem sanitary landfill. Penggunaan teknologi incinerator memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem sanitary landfill atau composting, namun sistem ini memiliki keuntungan dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Sistem pengomposan sesungguhnya bisa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kedua teknologi tersebut, namun sistem ini memiliki kendala dalam prosesnya, karena memerlukan waktu yang relatif lama (lebih kurang 41 hari). Selain itu masalah lainnya adalah sulitnya pemasaran kompos, sebagai akibat rendahnya demand pasar terhadap pupuk kompos. Hal tersebut akhirnya menurunkan minat dunia usaha untuk melakukan investasi skala besar, mengingat produksi kompos dipandang kurang menguntungkan dari skala ekonomi. Pada dasarnya ketiga sistem pengolahan tersebut tidak ada yang unggul secara mutlak, karena masing-masing memiliki keunggulan (benefit) dan kelemahan (cost). Kondisi ini memaksa kita untuk mencari pengolahan sampah skala kota misalnya dengan melakukan kombinasi (integrasi) dari berbagai teknologi. Dalam rangka menemukan kombinasi yang optimal untuk diaplikasikan dan menguntungkan baik dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial, maka perlu melakukan penelitian model optimasi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pada model optimasi ini dilakukan integrasi pengolahan sampah melalui berbagai teknologi pengolahan sampah, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pengolahan sampah di DKI. Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Identifikasi faktor-faktor utama yang menentukan dalam pengolahan sampah dengan berbagai kombinasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 2. Merumuskan sistem pengolahan sampah, dengan berbagai variabel yang terkait dan berbagai batasan yang harus dipenuhi, dalam konteks lingkungan, sosial dan ekonomi. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan sampah perkotaan.

11 Penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan : 1. Bagaimanakah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang paling menguntungkan untuk skala perkotaan? 2. Bagaimanakah sistem pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? 3. Bagaimanakah kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? Secara ringkas perumusan masalah ini dapat digambarkan dalam bagan alir pola pikir penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 3. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian perumusan model optimasi pengolahan sampah perkotaan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka melakukan pengolahan sampah perkotaan yang akan diterapkan untuk suatu kota, serta dapat memberikan sumbangan pada: 1. Ilmu pengetahuan Sebagai referensi dalam pengembangan manajemen pengelolaan sampah perkotaan. Sebagai referensi alternatif model pemanfaatan teknologi pengolahan sampah di perkotaan. 2. Pemerintah Sebagai acuan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menentukan pilihan teknologi pengolahan sampah yang paling tepat untuk dipergunakan di wilayahnya. Sebagai acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemilihan teknologi dalam pengolahan sampah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. 3. Pemangku kepentingan (stakeholders) Sebagai acuan yang dapat dipergunakan dalam menilai ketepatan kebijakan dalam penentuan sistem teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan di wilayah perkotaan. Pemahaman permasalahan dalam pengolahan sampah perkotaan. Membantu sektor swasta dalam memahami kelayakan investasi pengolahan sampah perkotaan.

12 Pertumbuhan penduduk Pertumbuhan Ekonomi Demand terhadap Barang dan Jasa Industri Perumahan Perkantoran Fasilitas Peningkatan Pemanfaatan Lahan Peningkatan Timbulan Sampah (Waste) Memerlukan Sistem Pengolahan Sampah yang Berkelanjutan Opsi Pengolahan Sampah Sanitary Landfill Composting Insinerator Pengolahan Lainnya Analisis OLS Pertumbuhan Ekonomi dan Sampah Analisis Sistem Dinamik Analisis Manfaat dan Biaya (CBA) Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Multy Criteria Evaluation Analisis Kebijakan Pengolahan Sampah Berkelanjutan Feed back Rekomendasi Kebijakan Gambar 3 Bagan alir pola pikir penelitian 1.6. Novelty (kebaruan) Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan berbagai dimensi pengolahan sampah, dengan memandang sampah adalah sumber daya, dalam satu sistem analisis yang komprehensif, yang dilakukan dalam satu wilayah kota secara utuh, sehingga dapat menjadi landasan dalam memformulasikan kebijakan sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable), melalui pemanfaatan berbagai teknologi secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan dan

13 sosial. Penelitian ini menghasilkan formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang lebih ekonomis, ramah lingkungan, serta sistem yang dapat membantu pemerintah untuk mengatasi kelangkaan energi dan lahan. Di samping itu dalam jangka panjang relatif tidak akan menimbulkan masalah sosial, estetika dan gangguan kesehatan. Formulasi kebijakan ini dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pengelolaan sampah yang berkelanjutan sekaligus untuk mengatasi krisis energi, khususnya untuk wilayah perkotaan dengan luas lahan yang terbatas.