FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA) Oleh : ALEX ABDI CHALIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA) Oleh : ALEX ABDI CHALIK"

Transkripsi

1 FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA) Oleh : ALEX ABDI CHALIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Bogor, Juni 2011 Alex Abdi Chalik P

3 ABSTRACT Alex Abdi Chalik Policy Formulation for Sustainable Urban Waste Treatment System (Case Study: DKI Jakarta). Under the guidance of Bibiana W. Lay as chairman and Akhmad Fauzi and Etty Riani as members. Solid waste is still considered as worthless goods, so that it is still causing many problems. The purpose of this study is to formulate a sustainable urban waste management policy. The study was conducted in DKI Jakarta. The research is devided into four stages of analyses which include the availability and needed of land for a solid waste treatment, waste treatment technology optimization analysis of environmentally friendly, multi-criteria evaluation and policy analysis. Indonesia has many waste management policy, but not synergize together and not yet operational. Solid Waste management in DKI Jakarta has led to efforts to minimize waste, and waste reduction programs integrated between recycling, composting, combustion (incineration) and waste disposal system with a system of sanitary landfills, and will be pursued to zero waste program. DKI Jakarta needs to improve management efficiency and improved quality of service to the community, one with separation of regulator and operator functions, but managed by one institution to improve its performance and to cover the financing gap, ideally to cooperate with the private sector. The result of regression analysis shows a significant effect of economic growth in waste generation and characteristics. Increased in prosperity will increase the amount of inorganic waste, and lower amount of organic waste. Increased inorganic waste will increase the calorie content which is more beneficial if done with incinerator waste to energy (WTE), while providing the understanding that the waste is a resource that can be utilized as an energy alternative to electricity. Production of electricity from WTE incinerator is influenced by the calorie content, and type of waste. WTE incinerators have the advantage in processing speed and the required land area, but WTE incinerator required high initial investment. The result of CBA analysis shows that WTE incinerator is more expensive, but it is the most cost effective in the long term (25 years). The variables have a very strong influence on the cost of processing waste is waste transportation costs. In the context of environmental, sanitary landfill waste treatment system, which is placed far away from services area, can lead to a much larger greenhouse gases and generate leachate. The existence of designated land use and changes that are uncontrolled by DKI Jakarta complicate the placement of garbage processing unit. WTE technology or HRC which indoor system is more acceptable to local communities, compared to the open SLF. Incinerator technology is more efficient for processing large scale with a capacity of more than 500 tons / day, with the optimal point on the capacity of 3000 tons / day, which is supported by segregation. Organic waste treatment system is most optimal at high-rate composting system (HRC). WTE processing unit and HRC, should be placed in administrative of DKI. The sensitivity analysis shows that if the government would buy in a good price the electricity production and energy from solid waste, will raise the level of feasibility WTE incinerator system. Implementation of WTE incinerator technology, need to involve the private sector. Keywords: Waste, urban, incinerators, energy, WTE, SLF, HRC

4 RINGKASAN Alex Abdi Chalik Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dibawah bimbingan Bibiana W. Lay sebagai ketua dan Akhmad Fauzi dan Etty Riani sebagai anggota. Sampah selama ini masih dianggap masalah yang trivial dan belum menjadi sentra kebijakan pemerintah yang mengikat. Padahal tanpa penanganan yang baik, sampah dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan, seperti berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan serta dapat menimbulkan konflik spasial seperti konflik lahan dan wilayah lainnya. Tujuan umum penelitian ini untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta; menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan; serta menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dari November 2005hingga akhir Penelitian dibagi menjadi empat tahapan yakni analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah, analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, multi kriteria evaluasi dan analisis kebijakan. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah system sanitary landfill (SLF), insinerator waste to energy (WTE) dan High rate composting (HRC). Perhitungan dilakukan dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan mempergunakan program exel. Analisis Ketersediaan lahan dilakukan dengan mempergunakan data perubahan pemanfaatan lahan di DKI Jakarta. Penelitian ini juga membandingkan opsi-opsi teknologi sistem pengolahan sampah secara parsial maupun terintegrasi dengan melakukan perhitungan cost benefit analysis (CBA). Optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, dilakukan melalui tahapan pendefinisian obyek penelitian, mengidentifikasi dampak, menentukan dampak yang relevan secara ekonomi, mengkuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai, melakukan valuasi moneter dari dampak yang relevan, melihat discounting dari aliran cost dan benefit, uji NPV dan uji sensitifitas. Selanjutnya dilakukan multi kriteria evaluasi dengan bantuan program TOPSIS, untuk memilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta yang paling optimal antara sistem HRC, WTE incinerator, dan SLF, baik secara individual maupun terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik. Di samping itu juga dilakukan analisis dengan sistem dinamik untuk melihat kecenderungan jangka panjang, dengan bantuan program Vensim. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Usaha ini diharapkan mampu mengurangi volume pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir di TPA yang dapat menurunkan biaya transportasi dan pengolahan sampah. Selain itu juga memperkenalkan program zero waste melalui sistem pengolahan sampah terpadu dengan mengaplikasikan pengolahan sampah daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insenerasi) dan sistem pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill. Hasil analisis

5 menunjukkan bahwa aplikasi teknologi yang dipergunakan tidak didasarkan pada kajian kelayakan baik aspek teknis, keuangan maupun lingkungan, sehingga sistem pengolahan yang dilakukan tidak dapat mencapai tingkat keberlanjutan. Penelitian memperlihatkan bahwa perlu meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dengan cara memisahkan fungsi regulator dan operator. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh satu institusi akan lebih baik dari pada dilakukan oleh beberapa institusi dalam satu wilayah yang sama, untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, terjadinya saling lempar tanggung jawab, dan lebih mudah mengukur kinerjanya. Pada pengelolaan sampah perlu melibatkan sektor swasta sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam pengelolaan sampah dan dapat menutupi kesenjangan pembiayaan Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator WTE. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bermanfaat, namun dapat menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik. Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, semakin tinggi kandungan kalori sampah semakin tinggi pula produksi listrik yang dihasilkan, dengan kandungan kalori sampah DKI yang tercampur sebesar kkal/kg untuk 500 ton/hari masukan sampah akan dihasilkan listrik sebesar 9,4 MW, dan jika ada pemilahan sampah di sumber timbulan sampah antara sampah organik dan anorganik, serta melakukan pengolahan sampah yang terintegrasi antara WTE dengan komposting, akan didapat peningkatan kandungan kalori sebesar kkal/kg sehingga produksi listrik untuk 500 ton/hari sebesar 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, perlu investasi awal (initial investment ) jauh lebih mahal, untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan investasi Rp milyar, sedangkan sanitary landfill Rp 983 Milyar, dan high rate composting Rp1.863 Milyar. Walau mahal, namun insinerator mempunyai keunggulan yakni pengolahannya cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, serta dapat mengolah sampah B3 yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri. Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp ,- /ton sedangkan SLF Rp ,- dan komposting Rp ,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi. Biaya pengolahan kombinasi dengan kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp ,- lebih cost efficient dibanding pengolahan sistem individual. Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah. Hasil perhitungan NPV jika terdapat biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, dan dalam jangka panjang (25 tahun), biaya pengolahan sistem sanitary landfill

6 menjadi lebih mahal dibanding sistem HRC maupun WTE yang ditempatkan di Wilayah DKI Jakarta. Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah), menimbulkan gas rumah kaca CO 2 dan CH 4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem pengolahan komposting bio fertilizer ataupun insinerator WTE Adanya penggunaan dan perubahan peruntukan lahan yang tidak terkendali, Di DKIJ menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km) biaya angkutan sampahnya mencapai Rp 6.000,-/ton/km, serta mencemari lingkungan mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas CO 2, sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi 2168 ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi ton/th untuk timbulan sampah 3000 ton/hari. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE ataupun HRC yang tertutup lebih dapat diterima oleh masyarakat yang berdekatan, dibandingkan teknologi SLF yang terbuka. Hal ini disebabkan frekwensi angkutan sampah yang melalui wilayah permukiman, gangguan timbulnya bau yang tidak dapat dihindarkan, serta kebisingan yang terjadi akibat operasi alat berat. Selain itu pengolahan sampah dengan sanitary landfill akan menghasilkan leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah yag sangat menghawatirkan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya, mengingat penduduk kota Jakarta hingga saat ini hanya 50% saja yang mendapatkan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan dari Perusahaan Air Minum Jaya yang dioperasikan oleh swasta (Aetra dan Palija). Pengolahan sampah dengan teknologi insinerator, akan lebih effisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas yang lebih besar dari 500 ton/hari. Titik optimal didapat untuk skala pengolahan dengan kapasitas 3000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, dan untuk sampah organik dilakukan pengolahan dengan sistem high rate composting (HRC). Dalam rangka menurunkan biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya unit pengolahan sampah ditempatkan di bagian-bagian wilayah DKI, sehingga dapat meminimalkan biaya angkut, baik sampah yang akan diolah maupun transportasi produk olahan seperti abu yang dihasilkan dari proses WTE. Selain itu hasil perhitungan juga memperlihatkan bahwa semakin besar skala pengolahan sanpah yang dilakukan, akan semakin murah biaya sistem pengolahan per tonnya. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah untuk membeli produksi listrik dengan energi yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi insinerator WTE, yang memungkinkan untuk sektor swasta berperan serta terhadap penyediaan unit pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE. Dalam rangka mendorong keterlibatan sektor swasta pada pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE, diperlukan dukungan pemerintah (government support) dengan menyediakan pendanaan investasi bagi swasta dengan

7 bunga rendah (BI rate), mengingat intial investment yang tinggi dari aplikasi teknologi WTE Insinerator.

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9 FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA) Oleh : ALEX ABDI CHALIK P Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

10 Judul Disertasi : Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta) Nama NIM : Alex Abdi Chalik : P Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Drh. Bibiana Widiati Lay, MSc. Ketua Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. Anggota Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr. Tanggal ujian: 1 Juli 2011 Tanggal lulus:

11 KATA PENGANTAR Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih sebagai obyek penelitian dalam disertasi ini adalah Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan dengan mengambil studi kasus di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah hingga saat ini masih menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai yang dihadapi oleh pemerintah, baik di kota sedang, kota besar maupun di Kota Metro, seperti DKI Jakarta. Telah banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun persoalan pengolahan sampah tidak pernah dapat diselesaikan. Data menunjukkan bahwa hampir semua pemerintah kota mengalami kegagalan dalam melakukan pengelolaan sampah, terutama pada sistem pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Kondisi ini juga dialami oleh pemerintah DKI Jakarta, sehingga beberapa kali DKI Jakarta menghadapi berbagai keluhan dan protes dari masyarakat agar DKI segera menutup tempat pengolahan sampahnya yang diletakkan di luar wilayahnya. Di samping persoalan tersebut, terdapat sebagian masyarakat yang memiliki cara pandang keliru, yakni memandang sampah sebagai benda yang tidak memiliki manfaat. Cara pandang yang demikian ini menjadi pemicu timbulnya penyakit NIMBY (not in my back yard syndrome), sehingga sampah kurang maksimal dimanfaatkan dan harus dibuang menjauh dari halaman rumahnya, dan tidak perduli dengan dampak yang akan ditimbulkan dari cara yang salah dalam pembuangan sampah. Penelitian ini memperlihatkan bahwa sampah memiliki peran dalam menghasilkan produksi energi yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Selain itu sampah juga menjadi alternatif sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi secara langsung ataupun tidak langsung bagi terselesaikannya disertasi ini. Penulis dibantu oleh berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini, namun demikian kesalahan yang mungkin terjadi menjadi tanggung jawab penulis. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah pegolahan sampah di perkotaan dan memberikan manfaat bagi banyak pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya penulis sampaikan kepada para pembimbing, Prof. Dr. Bibiana W. Lay, MSc, sebagai ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc. dan Dr. Ir. Etty Riani,

12 masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Tanpa arahan dan masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisan disertasi ini, sulit dibayangkan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan IPB, yaitu Rektor IPB, Dekan Pasca Sarjana, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sunber Daya Alam dan Lingkungan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti perkulihan di IPB. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan pada rekan-rekan satu angkatan PSL IPB atas dorongan dan kerjasamanya. Dengan dukungan dan dorongan rekan-rekan seangkatan, maka studi S-3 di PSL-IPB ini dapat penulis jalani dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam mendukung penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan untuk Almarhum Ir. Lukamanul Hakim, yang telah banyak memberikan data dan bantuan selama penulisan disertasi ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada isteri (Erina Prihati, BA) dan ketiga anak (dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi) atas kasih dan dukunganya selama penulis menjalani hari-hari yang mengurangi waktu untuk berbagi bersama keluarga. Tanpa pengertian dan dukungan isteri dan anak-anak tercinta, tidak mungkin disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik berkat dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya, apabila di dalam penulisan disertasi ini terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Semoga Allah,Swt, melimpahkan rahmatnya, bagi semua pihak yang telah membantu penulis. Bogor, Juni 2011 Alex Abdi Chalik

13 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Banyuwangi Jawa Timur tanggal 18 Agustus 1955 sebagai anak ke 3 dari 5 bersaudara, pasangan H. Hasan Soleh dan Hj. Alwijah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1989 pada Program Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung dan Program Studi Magister Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha di Jakarta pada tahun Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mulai bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1983, dari tahun menjadi Deputy Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Jawa Timur, Pada tahun menjadi Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Sulawesi Utara, Pada tahun menjadi Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Bali, Pada tahun menjadi Project Manager Perencanaan dan Pengendalian Program Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya di Jakarta, Pada tahun menjadi Analis Kebijakan Bidang Air Limbah pada Kementerian Negara Pekerjaan Umum, Pada tahun menjadi Project Manager Capacity Building in Urban Infrastructure Management, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pada tahun ditetapkan sebagai pejabat fungsional Teknik Penyehatan Lingkungan di Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Air Limbah, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun sebagai Kepala Sub Direktorat Investasi Air Minum, Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Pada tahun 2010 sekarang ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.

14 Pada tahun 1983 penulis menikah dengan Erina Prihati, BA dan telah dikaruniai dua orang putri dan satu orang putra yakni dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi. Bogor, Juni 2011 Alex Abdi Chalik

15 DAFTAR ISI Daftar Tabel Daftar Gambar. Daftar Lampiran... Halaman BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Manfaat Penelitian Novelty (kebaruan) BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelola Sampah Perkotaan Teknologi Pengolahan Sampah Multi Kriteria Evaluasi (multy criteria evaluation) Cost-Benefit Analysis (CBA) Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan Kebijakan BAB III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah Analisis Optimalisasi Teknologi Pengelolaan Sampah yang Ramah Lingkungan Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) Analisis System Dynamic (sistim dinamik) Analisis Kebijakan BAB IV. HASIL PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi Penelitian Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Komposisi Sampah Karakteristik Sampah Sampah B3 (Bahan berbahaya dan beracun) Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase dan Sungai Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan Kebutuhan Lahan Sebagai Tempat Pengolahan Sampah Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat Terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan sampah Skenario Optimasi Teknologi Sistem Pengolahan Sampah iii vi viii i

16 Analisi Dampak Lingkungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sistem Pengolahan Sampah SLF Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah WTE Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah HRC Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis) Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) Analisis sistem dinamik BAB V. ANALISIS KEBIJAKAN Implementasi Kebijakan Pengolahan Sampah DKI Jakarta Insinerator Skala Kecil Komposting dan Daur Ulang Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah Parisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah Institusi Pengelola Sampah Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah dengan Swasta BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 133 Kesimpulan 133 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 144 ii

17 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill Prakiraan kerusakan akibat emisi dari landfill Distribusi terbentuknya gas yang di amati selama 48 bulan setelah penutupan sel Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi Kadar biodegradable sampah organik Prakiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator GWP untuk beberapa GRK terhadap CO PDRB per kapita Kota DKI Jakarta Tipologi kota berdasarkan ekonomi-lingkungan Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survey tahun Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan tinggi Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan menengah Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan rendah Komposisi sampah dari pasar tradisional Komposisi sampah dari pasar (pertokoan) moderen Komposisi sampah dari perkantoran Komposisi sampah dari sekolah Komposisi sampah industri Komposisi sampah rata-rata di wilayah DKI Jakarta Timbulan sampah di DKI Jakarta, tahun 2005(dalam m3) Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKIJ Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta Karakteristik sampah rata-rata di DKIJ Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah Jumlah penduduk dki jakarta hasil susenas Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun Perubahan luas taman di DKI Jakarta Perubahan luas taman di DKI dari tahun Hubungan antara pertumbuhan penduduk, ekonomi dan sampah Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di DKI Jakarta Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah anorganik Analisis biaya dan manfaat teknologi pengolahan sampah iii

18 41. Emisi transportasi sampah ke unit SLF Emisi GRK pengolahan sampah di unit SLF Emisi trasnportasi sampah ke unit WTE Emisi GRK pengolahan sampah ke unit WTE Emisi transportasi sampah ke unit HRC Emisi pengelolaan sampah di unit HRC Produksi listrik pada unit WTE Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengelolaan sampah Analisis sensivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 500 ton/hari Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas ton/hari Kondisi insinerator skala kecil Unit-unit komposting di Kota Jakarta Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting Keuntungan dan kerugian dalam pola kerja sama antara pemerintah dengan swasta Pertumbuhan PDRB perkapita DKI Jakarta Gini rasio Provinsi DKI Jakarta iv

19 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Timbulan sampah DKI Jakarta Bagan alir kerangka pemikiran Bagan alir pola pikir penelitian Sistem pengelolaan sampah Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan Sistem pengolahan sampah terintegrasi Proses input dan output pada landfill Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill Tahapan perubahan gas pada landfill Grafik pembentukan gas selama lebih dari lima tahun untuk sampah organik 27 yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill Proses input dan output pada composting Proses input dan output pada incinerator Diagram Kuznet Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta Skematik diagram pengelolaan sampah DKI Jakarta Proyeksi jumlah penduduk DKI Jakarta Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta Perubahan penggunaan lahan DKI Jakarta Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah organik Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah anorganik Grafik hubungan antara PDRB terhadap total volume sampah per tahun Biaya pengolahan sampah Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi Analisis sensitivitas kenaikan tarif listrik Rp 700,-/kwh Analisis sensitivitas jarak SLF untuk sisa pengolahan WTE dan komposting berjarak 45 km Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 500 ton/hari Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi ton/hari Prediksi pertumbuhan penduduk DKI Jakarta Perkembangan PDRB per kapita dalam 50 tahun yang akan datang Prediksi timbulan sampah 50 tahun yang akan datang Perkembangan unit cost dalam pengolahan sampah Hasil perkembangan penduduk berdasarkan analisis sensitivitas monte carlo Hasil monte carlo timbulan sampah Hasil analisis monte carlo untuk pertumbuhan PDRB per kapita Hasil analisis monte carlo untuk unit cost pengolahan sampah v

20 40. Sistem pengolahan sampah di DKI saat ini Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah vi

21 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Analisis biaya investasi pengolahan sampah Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 500 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas ton/hari Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas 500 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas ton/hari Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dengan SLF residu sampah terpilah kapasitas 250 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu sampah terpilah kapasitas 500 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu 160 sampah terpilah kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu 161 sampah terpilah kapasitas ton/hari Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu- 162 sampah belum terpilah kapasitas 250 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu 163 sampah belum terpilah kapasitas 500 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu 164 sampah belum terpilah kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu 165 sampah belum terpilah kapasitas ton/hari... vii

22 6. Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke WTE kapasitas 250 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke 167 WTE kapasitas 500 ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke 168 WTE kapasitas ton/hari Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke 169 WTE kapasitas ton/hari Ringkasan Analisis NPV biaya sistem pengolahan samapah NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) 171 kapasitas 250 ton/hari Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) 172 kapasitas 500 ton/hari Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) 173 kapasitas ton/hari Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) 174 kapasitas ton/hari NPV Biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah belum 175 terpilah) kapasitas 375 ton/hari Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi pengolahan 176 sampah belum terpilah) kapasitas 750 ton/hari Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah 177 belum terpilah) kapasitas ton/hari Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi Sampah 178 belum terpilah) kapasitas ton/hari Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45 km Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45 km Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km viii

23 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini daerah perkotaan di Kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per tahun untuk pengelolaan ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah sampah sebesar 1,8 juta ton per hari (Horenwig dan Thomas, 1999). Perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada saat ini menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan pelayanan publik. Hal ini diakibatkan oleh tekanan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, baik pertumbuhan alamiah maupun akibat terjadinya arus urbanisasi. Selain itu juga akibat pertumbuhan industri, perumahan, fasilitas sosial, kurangnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, kurangnya kemampuan penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dan pengelolaan infrastruktur, serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Menurut laporan dari World Bank (2004) tentang kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia sangat tertinggal dengan negara-negara lain di kawasan Asia, sebagai contoh dalam hal pelayanan fasilitas air bersih, baru 34% dari total penduduk perkotaan yang terlayani. Pada sektor sanitasi, situasi yang dihadapi jauh lebih buruk lagi bahkan sangat sulit, sehingga hanya 1,3% dari total penduduk Indonesia yang mendapatkan pelayanan air limbah melalui sistem perpipaan (off site sanitation). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengolahan dan pemusnahan sampah, sehingga mencemari lingkungan. Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998) dampak sosial (social cost) akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau kurang lebih 2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp ,- per rumah tangga setiap bulan, untuk setiap rumah tangga di Indonesia. Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas para pekerja (ADB, 1998).

24 2 Pada umumnya pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia menghadapi permasalahan-permasalahan sejak dari penempatan, pengumpulan, pengangkutan, pembuangan dan pengolahannya. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (1988) terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan sampah perkotaan, antara lain: aspek teknis, operasional, partisipasi masyarakat, institusi, keuangan, dan aspek legal. Masalah pokok dalam aspek teknis operasional antara lain: (1) Peningkatan laju timbulan sampah yang kurang diantisipasi dengan peningkatan prasarana dan sarana persampahan; (2) Rendahnya tingkat pelayanan khususnya di pasar dan daerah kumuh menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kesehatan masyarakat; (3) Usaha pengurangan volume dan pemanfaatan sampah masih belum memadai; (4) Pembuangan dan pengolahan akhir sampah masih belum memadai khususnya karena terletak pada lokasi yang kurang memenuhi syarat dan secara operasional dilakukan secara open dumping. Kondisi ini mengakibatkan terjadi beberapa kasus pencemaran lingkungan, seperti yang disebabkan oleh rembesan air lindi (leacheate), lalat, kebakaran dan asap. Selain itu aktivitas pemulung menyulitkan operasi pemadatan dan penutupan sampah. Dalam hal kebijakan, pengelolaan sampah juga menghadapi berbagai masalah. Masalah pokok dalam aspek kebijakan (pengaturan) antara lain: (1) Belum lengkapnya peraturan yang mengatur masalah persampahan; (2) Belum lengkapnya peraturan daerah yang secara pokok mengatur institusi, ketentuan umum kebersihan serta retribusi sampah; (3) Lemahnya pelaksanaan peraturan daerah (perda) termasuk pelaksanaan sangsi terhadap pelanggaran-pelanggaran. Pengelolaan sampah juga menghadapi masalah dalam hal institusi. Masalah pokok dalam aspek institusi antara lain adalah institusi pengelola masih banyak yang berbentuk Dinas Kebersihan yang memiliki kelemahan dalam pengelolaan anggaran operasi dan pemeliharaan. Dinas kebersihan juga seringkali kurang dapat mengembangkan sumber daya manusianya untuk lebih professional. Hal yang tidak kalah pentingnya yang dihadapi adalah masalah pembiayaan dan peran serta masyarakat. Masalah pokok dalam aspek pembiayaan antara lain adalah keterbatasan dana untuk biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan, sehingga sulit meningkatan kualitas maupun kuantitas pelayanan. Masalah pokok dalam aspek peran serta masyarakat adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat serta adanya pandangan masyarakat bahwa sampah sebagai bahan yang tidak berguna (garbage is garbage).

25 3 Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menghadapi masalah yang sama di dalam melakukan pengelolaan sampahnya. Salah satu permasalahan yang sangat menonjol adalah pengelolaan pada tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah (TPA) yang menimbulkan banyak masalah, terutama dalam hal luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, dan masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) tentang kebutuhan TPA Sampah DKI sampai dengan tahun Apabila di DKI Jakarta tidak dilakukan perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 500 hektar. DKI Jakarta merupakan kota terbesar dan terluas di Indonesia, sebagai kota metropolitan, DKI Jakarta memiliki luas area sebesar hektar. Berdasarkan S.K. Gubernur DKI Jakarta No.1227 tahun 1989 luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berupa daratan seluas 661,52 km2 ( ha). Namun demikian kurang lebih 80% dari total wilayah Kota Jakarta sudah terbangun. DKI Jakarta juga memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada tahun 1999 penduduk DKI berjumlah jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2% per tahun; namun pada akhir tahun 2005 penduduk DKI mencapai jiwa, dan pada perioda tahun pertumbuhan penduduk DKI mengalami penurunan menjadi 1,06 % pertahun, hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh program keluarga berencana (BPS DKI 2010). Pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang harus dihadapi. Salah satu persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga menjadi sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable). Tempat membuang akhir sampah DKI Jakarta saat ini berada di luar wilayah DKI Jakarta. Kebijakan penempatan pengolahan sampah DKI Jakarta didasarkan kepada Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta tahun Rencana induk tersebut menetapkan kebijakan untuk membangun di dua lokasi tempat pengolahan sampah secara sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKI Jakarta yaitu TPA Bantar Gebang di wilayah Kota Bekasi yang dibangun pada tahun 1990, dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang dibangun pada tahun TPA Bantar Gebang akan melayani buangan

26 4 sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi, sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Kota Tangerang. Penetapan lokasi TPA ditentukan berdasarkan RTRW dan Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta serta Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Regional antara Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (JABOTABEK). Kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat tersebut diatur oleh Peraturan Bersama Nomor: 1/DP/004/PD/1976/3 tahun 1976, tanggal 8 Mei 1976 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: /SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 Januari 1986, Jo. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: /SK.116.P/AGR/DA/ , mengenai Pemberian Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah Seluas 108 Ha yang Terletak di Desa Ciketing Udik, Desa Sumur Batu, Desa Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang Kabupaten Bekasi untuk Keperluan Pembuangan Sampah dengan Sistem Sanitary Landfill kepada Pemerintah DKI Jakarta, yang terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi dan kirakira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor. Pada saat ini DKI hanya memiliki TPA sampah Bantar Gebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta. TPA Bantar Gebang yang direncanakan secara sanitary landfill ini, pada kenyataannya dioperasikan secara open dumping. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, sehingga Warga Bantar Gebang menuntut untuk menghentikan pengoperasian dan penutupan TPA ini. Pengelolaan TPA Bantar Gebang menimbulkan berbagai masalah dan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, baik berupa pencemaran air bawah tanah, pencemaran udara berupa asap yang ditimbulkan dari terbakarnya sampah, timbulnya bau busuk, timbulnya lalat, nyamuk dan tikus yang keseluruhannya memberikan dampak (externalitas negatif) pada masyarakat yang bertempat tinggal pada radius hingga 10 kilometer dari TPA Bantar Gebang (Chalik, 2000). Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi TPA ini akan segera dihentikan pengoperasiannya pada akhir tahun 2005, dan akan digantikan dengan sistem pengolahan sampah terpadu (TPST) di Bojong, Kabupaten Bogor. TPST Bojong yang hendak dioperasikan oleh pemerintah DKI Jakarta juga menghadapi masalah yang sama dengan TPA Bantar Gebang yaitu adanya penolakan warga. Alasan tidak menerimanya warga karena pengoperasian TPST tersebut akan lebih

27 5 banyak memberikan kerugian bagi masyarakat setempat seperti yang dialami oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA Bantar Gebang. Mengingat DKI Jakarta hingga saat ini masih belum mempunyai alternatif TPA, dan TPST Bojong juga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan DKI Jakarta, maka dilakukan berbagai negosiasi oleh Pemprov DKI Jakarta, sehingga TPA Bantar Gebang yang menurut perjanjian seharusnya sudah ditutup tahun 2005, hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh DKI Jakarta sebagai tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mengharuskan Pemerintah DKI Jakarta untuk memikirkan ulang kebijakan dalam menempatkan TPA Sampah di luar wilayahnya. Oleh karena itu pada tahun 1999 pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW 2005 yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta Pada kebijakan tersebut, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampah, seperti dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di tempat pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat. Pada pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing kotamadya, secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani. Pada kebijakan pengolahan sampah di DKI Jakarta, pemerintah DKI di masa yang akan datang cenderung untuk menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya.

28 6 Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, DKI Jakarta akan menggunakan berbagai teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Pada dasarnya DKI memiliki kemungkinan untuk mengolah sampahnya di dalam wilayahnya sendiri dengan menggunakan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan integrasi teknologi pengolahan sampah. Ada beberapa pilihan teknologi pengolahan sampah yang dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah perkotaan antara lain sanitary landfill, incinerator, pyrolisis dan composting, yang masing-masing memiliki kelemahan (cost) dan keunggulan (benefit). Pemakaian teknologi tersebut secara individual dapat lebih menguntungkan bagi suatu kota tertentu, namun kurang menguntungkan bagi kota lainnya. Hal ini bergantung pada kondisi sosio ekonomi, luas wilayah, ketersediaan sumber daya, serta besaran dan karakteristik timbulan sampahnya. Dalam hal ini semakin luas dan besar suatu kota, semangkin kompleks pula persoalan yang ditimbulkan dalam pengelolaan sampah. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian optimasi integrasi sistem pengolahan sampah yang paling menguntungkan bagi suatu kota, baik dari aspek lingkungan, aspek sosial maupun aspek ekonomi Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta 2. Menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan. 3. Menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta. Guna mencapai tujuan penelitan tersebut di atas diperlukan kajian antara lain: 1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah. 2. Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 3. Pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di DKI Jakarta.

29 Kerangka Pemikiran Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 10 juta jiwa, dan dengan laju pertumbuhan 0,17%, maka diperkirakan pada akhir tahun 2011 jumlah penduduknya akan mencapai 11 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya menghasikan sampah yang semakin meningkat selaras dengan pertambahan dan aktifitas penduduk. Sebagai contoh, pada tahun 1976 timbulan sampah DKI Jakarta sebesar M 3 /hari, pada tahun 1986 meningkat menjadi M 3 /hari dan tahun 1988 mencapai M 3 /hari, dan pada tahun 2010 jumlah timbunan sampah DKI Jakarta yang terdata mencapai ton per hari. Sampah-sampah ini berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman dan saluran-saluran. Timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 kurang lebih ton/hari dengan perincian seperti tercantum pada Gambar 1. Sedang pada tahun 2010 yang berdasarkan estimasi jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak jiwa, timbulan sampah DKI Jakarta mencapai ton/hari, dan komposisinya bahan organik kurang lebih 55 persen, jenis kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan bahan lain 11 persen. Timbulan Sampah di DKI Jakarta Tahun 2005 (Ton/Hari) 538 ton/hari 84 ton/hari ton/hari ton/hari 319 ton/hari 240 ton/hari Permukiman Pasar Sekolah Perkantoran Industri Lain-lain Gambar 1 Timbulan sampah DKI Jakarta Pada saat ini pembuangan dan pengolahan sampah DKI Jakarta dilakukan secara open dumping di TPA Bantar Gebang yang berada dalam wilayah kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat. TPA ini terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi, dan kirakira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor, dan berjarak 40 Km dari pusat Kota Jakarta.

30 8 Pengolahan sampah yang dilakukan pada saat ini disamping menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, yang merugikan bagi masyarakat di Kecamatan Bantar Gebang, juga memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang cukup besar, karena jarak angkut sampah dari pusat wilayah pelayanan di DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang jauh. Tingginya biaya operasional mengakibatkan DKI tidak mampu menyediakan biaya operasi yang diperlukan secara memadai untuk mengoperasikan TPA Bantar Gebang secara sanitary landfill. Akibat pengoperasian TPA secara open dumping ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada masyarakat (social cost). Kerugian tersebut antara lain adalah terjadinya gangguan kesehatan seperti terjadinya iritasi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit diarhe serta hilangnya kenyamanan lingkungan akibat bau busuk yang menyengat di sepanjang waktu, yang diterima oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA hingga radius 10 Km dari TPA Bantar Gebang. Masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan pengelolaan dan pengolahan sampah secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat pengolahan sampah dapat dilakukan dengan berbagai teknologi seperti sanitary landfill, composting, incineration (pembakaran dengan temperatur tinggi) ataupun pyrolisis. Namun demikian penggunaan dari masing-masing teknologi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial. Penggunaan satu teknologi yang dipilih mungkin saja menguntungkan bagi suatu kota, namun dapat pula kombinasi dari penggunaan ketiga teknologi tersebut lebih menguntungkan. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi dari masing-masing kota. Namun yang menjadi permasalahan seberapa besar volume sampah yang harus diolah oleh masing-masing teknologi tersebut secara berkelanjutan, masih harus dilakukan penelitian dengan menggunakan model optimasi teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan pada diagram pola pikir pada Gambar Perumusan Masalah Pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan pada saat ini, kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, dampak sosial dan masih menggunakan paradigma sampah adalah sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sistem pengolahan sampah di TPA dilakukan tanpa melalui pengolahan, atau dilakukan secara open dumping dengan tujuan untuk mendapatkan biaya pengolahan yang serendah-

31 9 PERTUMBUHAN EKONOMI AKTIVITAS PERKOTAAN PRASARANA & SARANA PERKOTAAN PERTUMBUHAN PENDUDUK SAMPAH GAP DAMPAK LINGKUNGAN EKONOMI SOSIAL Pencemaran Lingkungan Hilangnya Sumber Daya dan Menurunnya Produktivitas Masyarakat Menurunnya Kesehatan Masyarakat KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS MENURUNNYA PRODUKTIFITAS PENGURASAN SUMBER DAYA ALAM PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP Partisipasi Masyarakat 1. Pengurangan timbulan sampah 3. Pengolahan dan Pembuangan Akhir Sampah 2. Daur ulang sampah TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH SANITARY LANDFILL INCINERATION COMPOSTING TEKNOLOGI LAINNYA Optimalisasi Penggunaan Teknologi Pengolahan Sampah KEBIJAKAN PENGOLAHAN SAMPAH YG RAMAH LINGKUNGAN Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran rendahnya (ekonomis), tanpa memperhatikan dampak lingkungan, sehingga menimbulkan externalitas negatif (biaya sosial) yang sangat besar bagi masyarakat. Saat ini biaya pengolahan sampah cukup besar, hal ini terjadi karena tidak diberlakukannya pemilahan sampah, minimnya penerapan usaha-usaha 3R (reduce, reuse, recycling), serta minimnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab tingginya biaya operasi pengolahan sampah yang antara lain disebabkan oleh jumlah sampah yang begitu besar, jauhnya jarak tempuh ke tempat pengolahan sampah dari pusat kota, tipe teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, volume dan jenis sampah yang diolah.

32 10 Menurut kajian Direktorat Jenderal Cipta Karya (1996), sistem sanitary landfill sebagai single (tunggal) unit pengolahan dan pemusnahan sampah dapat lebih menguntungkan jika dibandingkan intermediate treatment yang menggunakan sistem incinerator. Untung tersebut akan dapat diperoleh apabila jarak tempuh pengangkutan sampahnya kurang dari 20 km. Namun demikian jika jarak TPA dengan sanitary landfill lebih dari 20 km, sistem ini menjadi tidak ekonomis, sehingga alternatif yang lebih baik untuk mengatasinya adalah menggunakan incinerator sebagai intermediate treatment yang dikombinasikan dengan sistem sanitary landfill. Penggunaan teknologi incinerator memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem sanitary landfill atau composting, namun sistem ini memiliki keuntungan dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Sistem pengomposan sesungguhnya bisa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kedua teknologi tersebut, namun sistem ini memiliki kendala dalam prosesnya, karena memerlukan waktu yang relatif lama (lebih kurang 41 hari). Selain itu masalah lainnya adalah sulitnya pemasaran kompos, sebagai akibat rendahnya demand pasar terhadap pupuk kompos. Hal tersebut akhirnya menurunkan minat dunia usaha untuk melakukan investasi skala besar, mengingat produksi kompos dipandang kurang menguntungkan dari skala ekonomi. Pada dasarnya ketiga sistem pengolahan tersebut tidak ada yang unggul secara mutlak, karena masing-masing memiliki keunggulan (benefit) dan kelemahan (cost). Kondisi ini memaksa kita untuk mencari pengolahan sampah skala kota misalnya dengan melakukan kombinasi (integrasi) dari berbagai teknologi. Dalam rangka menemukan kombinasi yang optimal untuk diaplikasikan dan menguntungkan baik dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial, maka perlu melakukan penelitian model optimasi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pada model optimasi ini dilakukan integrasi pengolahan sampah melalui berbagai teknologi pengolahan sampah, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pengolahan sampah di DKI. Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Identifikasi faktor-faktor utama yang menentukan dalam pengolahan sampah dengan berbagai kombinasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 2. Merumuskan sistem pengolahan sampah, dengan berbagai variabel yang terkait dan berbagai batasan yang harus dipenuhi, dalam konteks lingkungan, sosial dan ekonomi. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan sampah perkotaan.

33 11 Penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan : 1. Bagaimanakah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang paling menguntungkan untuk skala perkotaan? 2. Bagaimanakah sistem pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? 3. Bagaimanakah kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? Secara ringkas perumusan masalah ini dapat digambarkan dalam bagan alir pola pikir penelitian seperti yang terlihat pada Gambar Manfaat Penelitian Hasil penelitian perumusan model optimasi pengolahan sampah perkotaan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka melakukan pengolahan sampah perkotaan yang akan diterapkan untuk suatu kota, serta dapat memberikan sumbangan pada: 1. Ilmu pengetahuan Sebagai referensi dalam pengembangan manajemen pengelolaan sampah perkotaan. Sebagai referensi alternatif model pemanfaatan teknologi pengolahan sampah di perkotaan. 2. Pemerintah Sebagai acuan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menentukan pilihan teknologi pengolahan sampah yang paling tepat untuk dipergunakan di wilayahnya. Sebagai acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemilihan teknologi dalam pengolahan sampah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. 3. Pemangku kepentingan (stakeholders) Sebagai acuan yang dapat dipergunakan dalam menilai ketepatan kebijakan dalam penentuan sistem teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan di wilayah perkotaan. Pemahaman permasalahan dalam pengolahan sampah perkotaan. Membantu sektor swasta dalam memahami kelayakan investasi pengolahan sampah perkotaan.

34 12 Pertumbuhan penduduk Pertumbuhan Ekonomi Demand terhadap Barang dan Jasa Industri Perumahan Perkantoran Fasilitas Peningkatan Pemanfaatan Lahan Peningkatan Timbulan Sampah (Waste) Memerlukan Sistem Pengolahan Sampah yang Berkelanjutan Opsi Pengolahan Sampah Sanitary Landfill Composting Insinerator Pengolahan Lainnya Analisis OLS Pertumbuhan Ekonomi dan Sampah Analisis Sistem Dinamik Analisis Manfaat dan Biaya (CBA) Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Multy Criteria Evaluation Analisis Kebijakan Pengolahan Sampah Berkelanjutan Feed back Rekomendasi Kebijakan Gambar 3 Bagan alir pola pikir penelitian 1.6. Novelty (kebaruan) Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan berbagai dimensi pengolahan sampah, dengan memandang sampah adalah sumber daya, dalam satu sistem analisis yang komprehensif, yang dilakukan dalam satu wilayah kota secara utuh, sehingga dapat menjadi landasan dalam memformulasikan kebijakan sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable), melalui pemanfaatan berbagai teknologi secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan dan

35 13 sosial. Penelitian ini menghasilkan formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang lebih ekonomis, ramah lingkungan, serta sistem yang dapat membantu pemerintah untuk mengatasi kelangkaan energi dan lahan. Di samping itu dalam jangka panjang relatif tidak akan menimbulkan masalah sosial, estetika dan gangguan kesehatan. Formulasi kebijakan ini dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pengelolaan sampah yang berkelanjutan sekaligus untuk mengatasi krisis energi, khususnya untuk wilayah perkotaan dengan luas lahan yang terbatas.

36 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sampah Perkotaan Sampah merupakan sisa dari aktivitas manusia ataupun binatang, yang biasanya bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi pembangunan (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1995). Menurut American Public Works Association (1975), sampah (solid waste) diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hal yang tidak berguna, tidak diinginkan, atau barang-barang yang dibuang dari hasil kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) sampah (solid waste) adalah semua limbah yang timbul dari aktifitas manusia dan binatang yang biasanya berbentuk padat dan dibuang karena tidak berguna atau tidak diinginkan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan pesat, rata-rata pertumbuhan penduduk perkotaan berkisar antara 1,5 hingga 4% per tahun. Pertumbuhan penduduk di perkotaan Indonesia dapat terjadi secara alami maupun akibat terjadinya urbanisasi yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat memberikan tekanan yang begitu berat bagi keberadaan infrastruktur perkotaan. Pertumbuhan penduduk menghasilkan pertambahan timbulan sampah, yang berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman, dan saluransaluran. Pengelolaan sampah di daerah beriklim tropis yang mempunyai kelembaban yang tinggi dan jumlah sampah organik yang begitu besar, seringkali menimbulkan persoalan yang rumit, sehingga persoalan tersebut hanya dapat diselesaikan apabila dilakukan dengan cara pengelolaan yang tepat dan benar. Hampir semua kota di Indonesia mengalami kegagalan dalam pengelolaan sampah. Adapun persoalan yang umum dihadapi adalah timbulan sampah yang jumlahnya semakin hari semakin besar, sedangkan lahan yang layak untuk dipergunakan sebagai tempat pembuangan dan pengolahan sampah, terutama untuk kota metropolitan semakin terbatas. Kondisi tersebut mengakibatkan pengelolalan sampah di perkotaan menimbulkan permasalahan lingkungan, seperti tercemarnya air tanah, polusi udara dan

37 15 terjadinya penurunan kualitas lingkungan permukiman. Oleh karena itu maka pemerintah kota dan kabupaten saat ini menghadapi kesulitan yang sangat serius, terutama dalam menemukan cara pengolahan dan pembuangan sampah yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada prinsipnya sistem pengelolaan sampah (solid waste management) terdiri dari empat komponen, yaitu 1. penempatan dan pengumpulan sampah (waste collection), 2. transportasi sampah (waste transportation); 3. pengolahan sampah (waste treatment) dan 4. pembuangan akhir (final disposal), sebagaimana bagan alir pada Gambar 4. WASTE COLLECTION WASTE TRANSPORTATION WASTE TREATMENT FINAL DISPOSAL Gambar 4 Sistem pengelolaan sampah Pengelolaan sampah perkotaan mulai dari sumber timbulan sampah hingga pembuangan akhir (final disposal) dapat dibagi menjadi enam elemen fungsional antara lain: timbulan sampah, pemindahan, pewadahan (waste collection) serta pengelolaan sampah pada sumbernya (3R: reduce, reuse and recycling), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan (waste transportation), dan pembuangan akhir (final disposal). Elemen fungsional dan hubungan antar elemen dalam pengelolaan sampah secara terpadu dapat dilihat pada Gambar 5. Pengolahan sampah di TPA yang ada di kota-kota Indonesia terutama untuk kota metropolitan, hampir seluruhnya menghadapi permasalahan. Adapun permasalahan tersebut, yang paling utama terjadi pada aspek penyediaan dana yang memadai untuk mengoperasikan TPA secara sanitary landfill. Selain itu masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak dilakukannya pemilahan sampah dari sumbernya, sehingga menyulitkan dalam melakukan tindakan-tindakan yang tepat dalam mengelola sampah. Kondisi tersebut mengakibatkan, hampir semua TPA yang dimiliki oleh pemerintah kota mencemari lingkungan, sehingga pada akhirnya mengabaikan social cost yang ditanggung oleh masyarakat. Masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah kota adalah penyediaan lahan untuk menampung timbulan sampah yang semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pengelolaan sampah secara terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan integrasi sistem pengolahan sampah, merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah perkotaan, baik

38 16 saat ini maupun di masa yang akan datang. Adapun sistem yang akan memberikan penyelesaian secara optimal tersebut dapat terdiri dari kombinasi aplikasi beberapa teknologi, yakni incinerator, composting, recycling, dan sanitary landfill. Secara skematik sistem ini dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 5 Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan Gambar 6 Sistem pengolahan sampah terintegrasi

39 17 Menurut Kholil (2005), mengatakan bahwa : Penanganan sampah yang berorientasi pada TPA dengan sistem sanitary landfill atau controlled landfill, sudah tidak tepat lagi diterapkan untuk menangani sampah di kota-kota besar. Karena di samping keterbatasan lahan sistem tersebut memerlukan biaya operasional yang sangat mahal. Seiring dengan meningkatnya timbulan sampah dan semankin sulitnya mencari lahan sebagai tempat pembuangan akhir sampah (TPA), maka minimisasi sampah di sumbernya untuk mengurangi ketergantungan pada lahan menjadi prioritas utama kebijakan penanganan sampah kota. Sistem daur ulang sampah terpadu berbasis zero waste yang mengintegrasikan sistem 3R (reduce, reuse, recycle) dengan sistem insinerasi dapat menjadi pilihan yang tepat bagi penanganan sampah di kota-kota besar. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) pada integrated solid waste management (ISWM) terdapat empat tingkat hirarki yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan sampah perkotaan, yaitu: a. Pengurangan Sampah (Source Reduction) Pengurangan sampah pada sumbernya, merupakan hirarki tertinggi dalam tata urutan penanganan sampah perkotaan, karena hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi jumlah timbulan sampah, dan mengurangi biaya yang diperlukan dalam pengangkutan dan penanganan dampak lingkungan. Pengurangan sampah dapat terjadi melalui perencanaan, pembuatan dan pengemasan dari produk dengan kandungan bahan beracun yang minimal, minimalisasi jumlah atau penggunaan material yang memiliki waktu penggunaan yang panjang. b. Pendaurulangan (Recycling) Hirarki kedua dalam ISWM adalah pendaurulangan (recycling) yang melibatkan: 1) pemisahan dan pengumpulan bahan buangan; 2) penyiapan bahan material buangan untuk digunakan ulang, pengolahan ulang dan 3) penggunaan ulang, proses ulang dan pembuatan ulang dari material buangan ini. Pendaurulangan ini merupakan faktor penting dalam membantu mengurangi kebutuhan sumberdaya dan jumlah buangan sampah yang dibuang ke dalam landfill. c. Pengubahan Sampah (Waste Transformation) Hirarki ketiga dalam ISWM adalah pengubahan sampah (waste transformation). Pengubahan sampah melibatkan proses fisik, kimia dan biologi, Adapun bentuk pengubahan sampah yang dapat dilakukan adalah: 1) memperbaiki efisiensi pengolahan

40 18 sampah; 2) pemulihan material yang dapat dipakai kembali; 3) pemulihan produk konversi seperti kompos dan energi dalam bentuk panas serta biogas untuk pembakaran (combustible biogas). d. Landfilling Landfilling menempati urutan terakhir dalam hirarki ISWM, karena landfilling umumnya merupakan cara yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Landfilling pada umumnya dilakukan untuk: 1) sampah yang tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat dipakai lagi; 2) sisa sampah, setelah dilakukan pemilahan di unit pemilahan; 3) sisa sampah setelah pemilahan Teknologi Pengolahan Sampah Pada dasarnya cukup banyak pilihan teknologi dalam pengolahan sampah, antara lain sanitary landfill, incinerator dan composting. Masing-masing teknologi ini masingmasing memiliki keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) dalam penggunaanya, baik ditinjau dari aspek lingkungan, aspek ekonomi maupun dari aspek sosial. a. Sanitary Landfill Lahan urug terkendali (sanitary landfill) adalah lokasi tempat sampah diisolasi dari lingkungan, sehingga aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan masyarakat (Pelligrini dan Klein, 2000). Sanitary landfill merupakan metoda yang biasa dipergunakan dalam pembuangan sampah, dalam hal ini sampah yang sudah tidak terpakai lagi di hampar dan dipadatkan di atas tanah, untuk kemudian ditimbun dengan tanah penutup. Sanitary landfill dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pengolahan air lindi (leacheate), timbangan sampah, sumur pemantau kualitas air tanah, unit penangkap gas, dan beberapa fasilitas lainnya, seperti alat-alat berat dan fasilitas lainnya. Metode sanitary landfill tidak effektif untuk membuang dan mengolah sampah plastik, karena sampah plastik tidak mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme/bakteri decomposer. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah plastik yang dibuang di sanitary landfill akan menjadi lapisan yang menghalangi proses pengumpulan air lindi ke dalam pipa penangkap air lindi, yang dipasang di bawah unit sanitary landfill. Aktivitas biologis pada landfill biasanya mengikuti satu bentuk tertentu yaitu sampah mula-mula didekomposisi secara aerobik sampai kandungan oksigennya habis. Pada fase berikutnya mikroorganisme fakultatif dan anaerob mengambil peran, sehingga pada tahap ini

41 19 dekomposisi sampah akan menghasilkan gas metan yang tidak berbau dan tidak berwarna, dan pada saat tersebut terjadi kenaikan temperatur hingga 65,5 o C. Hal yang sangat sulit untuk dipertahankan pada sanitary landfill adalah mempertahankan kondisi landfill agar selalu tetap dalam keadaan aerobik, atau dengan kata lain pada sanitary landfill keadaan anaerobik merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pada proses anaerobik akan dihasilkan gas metan CH 4, karbon dioksida CO 2, ammonia NH 3, sejumlah kecil hidrogen sulfida H 2 S, dan merkoptan CH 5 SH. Pengoperasian sanitary landfill memerlukan input berupa sampah dan sumber daya, baik sumber daya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbarukan, seperti lahan, bahan bakar dan beberapa material lainnya, untuk mengolah air lindi. Selama pengoperasian landfill, diperlukan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan alat-alat berat di lapangan, dan penggunaan energi listrik untuk mengoperasikan timbangan. Ketika masa penggunaan landfill sudah habis dan ditutup, energi masih diperlukan selama aktifitas pemantauan berlangsung. Pada landfill yang moderen, energi yang ditimbulkan dari landfill, dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk mengolah air lindi. Output dari landfill berupa emisi gas ke udara dan air lindi yang dapat mencemari tanah dan air. Pada landfill yang dilengkapi dengan penangkap gas, biasanya gas dimanfaatkan untuk menghasilkan panas, dan listrik, sedangkan effluent dari pengolahan air lindi dibuang ke badan air. Proses input dan output dalam landfill dapat dilihat pada Gambar 7. Emisi gas ke udara INPUT OUTPUT SAMPAH SUMBER DAYA LOKASI LANDFILL Energi yang diperoleh dari landfill Emisi air lindi ke tanah dan air Emisi air pengolahan lindi ke air Gambar 7 Proses input dan output pada landfill Input sumber daya yang diperlukan dalam proses sanitary landfill antara lain adalah: 1. bahan bakar minyak (fosil fuel) untuk menggerakkan peralatan-peralatan mekanik seperti dozer dan compactor ; 2. energi listrik untuk menggerakkan timbangan dan aerator untuk pengolahan air lindi, penerangan lingkungan dan gedung operasi; 3.

42 20 lahan yang diperlukan dengan luasan yang bergantung pada jumlah sampah yang dibuang dan masa pelayanan landfill; 4. sumber daya manusia. Adapun output yang dihasilkan dalam sanitary landfill antara lain adalah emisi ke udara, air dan tanah, energi yg dihasilkan dari gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik. Landfill yang dilengkapi dengan pengolahan air lindi, mempunyai emisi ke air dan tanah yang lebih rendah (berkurang). Gas yang terbentuk pada landfill memiliki tekanan yang lebih besar dari tekanan udara bebas (atmosfir), oleh karenanya maka gas yang terbentuk dalam landfill akan bergerak ke luar melalui lapisan tanah yang porous. Faktor lain yang mempengaruhi pergerakan gas landfill adalah terserapnya gas ke dalam cairan atau komponen padatan dan juga pembentukan atau kosumsi komponen gas melalui reaksi kimia atau aktifitas biologis. Besaran gas yang keluar dari landfill dapat dijelaskan melalui satu dimensi vertikal kontrol volume, dengan formula sebagaimana persamaan berikut dan pada Gambar 8. C A t C A α (1+β) = - V Z + D Z + G Z 2 C A Keterangan: α : total porositas, cm 3 /cm 3 (ft 3 /ft 3 ) β : faktor retardasi dihitung untuk penyerapan dan perubahan. C A : konsentrasi dari campuran gas A; g/cm 3 (lb.mole/ft 3 ) V Z : Kecepatan perubahan dalam arah vertikal, cm/dt (ft/hari) D Z : koefisien efektif dari difusi, cm 2 /dt (ft 2 /hari) G : Parameter potongan yang digunakan menghitung seluruh produksi gas, g/cm 3.detik (lb.mole/ft 3 hari) Z : kedalaman, m (ft) Z 2 Media porous dengan porousitas α material yang terakumulasi di cairan dalam volume yang porous dan diatas permukaan media granuler Volume Porous Gambar 8 Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill

43 21 Emisi gas dari landfill bervariasi, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya sepanjang operasi dan pasca operasi landfill. Gas utama yang dihasilkan dalam landfill adalah carbon dioxide (CO 2 ) dan gas metan (CH 4 ) serta sedikit gas-gas lain seperti H 2 S, NO x dan SO x, bergantung pada komposisi sampah yang dibuang ke landfill. Persentase gas yang dihasilkan pada landfill menurut Tchobanoglous et al. (1993) pada umumnya mempunyai besaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill Komponen Persen (berdasarkan volume kering) Methan Karbon dioksida Nitrogen 2 5 Oksigen 0,1 1,0 Sulfida, disulfida, markaptan, dll. 0 1,0 Ammonia 0,1 1,0 Hidrogen 0 0,2 Karbon monoksida 0 0,2 konstituen kecil 0,01 0,6 Sumber : Tchobanoglous et al. (1993) Gas pada landfill akan lepas ke udara melalui permukaan atas maupun dari bagian samping landfill. Gas metan dan gas karbon dioksida yang dihasilkan berkontribusi terhadap perubahan temperatur bumi (global warming). Gas H 2 S yang dihasilkan, dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan terjadinya penyakit ISPA (iritasi saluran pernapasan atas), sedangkan VOC s bersifat karsinogenik. Emisi ke udara lainnya adalah debu yang akan keluar pada saat terjadi proses pengoperasian landfill. Adapun perkiraan kerusakan yang ditimbulkan dalam proses pada instalasi sanitary landfill menurut European Commission, D.G. Environment (2000) dapat dilihat pada Tabel 2. Emisi Tabel 2 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari landfill Kerusakan Medium Dampak kesehatan Produksi Kerusakan Dampak Ekosistem kematian penyakit Pertanian gedung pada cuaca CH 4 Udara v v CO 2 Udara v v VOCs Udara v Dioxins Udara v v Debu Udara v v Lindi Tanah dan v v Air Sumber : Europian Commission, D.G. Environment (2000).

44 22 Menurut Tchobanoglous et al. (1993) produksi gas yang dihasilkan dari landfill pada umumnya melewati 5 fase, yang terdiri dari : 1. Fase I (masa penyesuaian). Fase ini disebut masa penyesuaian awal, pada fase pertama ini komponen biodegradable diuraikan oleh mikroorganisme pada kondisi aerob, oleh karena terdapat sedikit oksigen yang terperangkap dalam landfill. 2. Fase II (masa transisi). Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam landfill dan kondisi anerob mulai terbentuk. Hal ini ditandai dengan terbentuknya gas nitrat dan sulfat, yang dapat menyediakan elektron akseptor pada reaksi konversi biologis, dan terjadi perubahan menjadi gas nitrogen dan hidrogen sulfide seperti yang terlihat pada reaksi di bawah ini. 2CH 3 CHOHCOOH + SO 2-4 2CH 3 COOH + S 2- + H 2 O + CO 2 4H 2 + SO 2-4 S H 2 O S H + H 2 S 3. Fase III (masa asam). Pada fase ini mikroba yang aktif pada fase II mempercepat terbentuknya asam organik dan sedikit gas hidrogen. Fase ini melibatkan enzim yang menjadi mediator transformasi (hidrolisis), ikatan molekul yang lebih tinggi (seperti lipid, polisakarida, protein, dan asam nukleat ) menjadi ikatan molekul yang sesuai untuk digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bahan pembentuk sel. Tahap berikutnya adalah proses asidogenesis yang melibatkan mikroorganisme yang mengkonversi ikatan molekul dari proses pertama menjadi masa molekul sedang yang lebih rendah dengan peranan asam asetat (CH 3 COOH) dan sejumlah kecil konsentrasi dari fulvic acid dan asam organik lain yang komplek. Pada phase III gas utama yg terbentuk adalah CO 2 dan sejumlah kecil gas hidrogen H 2. Mikroorganisme yang berperan dalam proses ini terdiri dari bakteri fakultatif dan bakteri anaerob obligat, yang umumnya dikenal sebagai acidogen atau pembentuk asam. Pada kondisi ini ph lindi (leachate) akan menurun sampai 5 bahkan bisa lebih rendah, sebagai akibat kehadiran asam organik dan peningkatan volume gas CO 2 di dalam landfill. Nilai biochemical oxygen demand (BOD5), chemical oxygen demand (COD) dan konduktifitas dari

45 23 leachate meningkat secara signifikan sebagai akibat melarutnya asam organik dalam leachate. Selain itu rendahnya ph juga mengakibatkan tingginya kelarutan zat anorganik, terutama logam-logam berat. 4. Fase IV (masa fermentasi methan). Pada fase ini, kedua kelompok mikroorganisme mengkonversi asam asetik dan gas hidrogen yang muncul sebagai akibat lebih dominannya pembentukan asam dalam phase asam ke CH 4 dan CO 2. Mikroorganisme yang berperan pada fase ini adalah mikroorganisme anaerob yang disebut methanogenic (pembentuk methan). Pada phase IV asam dan gas hidrogen yang dibentuk oleh pembentuk asam akan dikonversi menjadi CH 4 dan CO 2, sehingga ph dalam landfill meningkat menjadi 6,8 8, namun nilai BOD 5 dan COD serta konduktifitasnya malah menurun. Pada ph yang lebih tinggi, hanya beberapa bahan anorganik yang masih ada dalam larutan, sehingga kandungan logam berat dalam leachate akan menurun. 5. Fase V (masa maturasi). Fase V terjadi setelah seluruh zat organik dikonversi menjadi CH 4 dan CO 2 pada fase IV. Pada fase V kecepatan pembentukan gas mengalami penurunan secara signifikan. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar nutrien yang tersedia telah hilang dalam leachate pada fase sebelumnya, dan substrat yang tersisa pada landfill mengalami degradasi yang lambat. Gas utama yang terbentuk pada fase V adalah CH 4 dan CO 2 dan diduga akan terbentuk gas nitrogen dan oksigen. Lama setiap fase dalam menghasilkan gas bervariasi, tergantung pada distribusi dari komponen zat organik dalam landfill, keberadaan zat hara, kandungan air dalam sampah, aliran ke dalam landfill, dan derajat pemadatan yang dilakukan. Pemadatan sampah pada landfill mengakibatkan rasio antara karbon/nitrogen dan keseimbangan nutrien kurang menguntungkan bagi pembentukan gas. Pemadatan landfill akan menurunkan kadar air, sehingga menurunkan biokonfersi pembentukan gas, untuk lebih jelasnya tahapan perubahan gas pada landfill dapat dilihat pada Gambar 9.

46 Komposisi Gas, % dalam Volume 24 Komposisi dan Karakteristik, Generasi, Perpindahan dan Kontrol dari gas pada Landfill Fase waktu Gambar 9 Tahapan perubahan gas pada landfill (Tchobanoglous et al. 1993) Volume produksi gas secara umum dapat dijelaskan pada reaksi kimia untuk dekomposisi anaerob dari sampah, dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Adapun distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel pada landfill dapat dilihat pada Tabel 3. bakteri Zat Organik (sampah) + H 2 O Zat organik terbiodegradasi + CH 4 +CO 2 +Gas lain Volume gas yang terbentuk selama terjadi dekomposisi secara anaerob dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus umum, dengan memisalkan sampah organik sebagai C a H b O c N d. Adapun total volume gas yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : C a H b O c N d + 4a-b-2c-3d 4 H 2 O 4a-b-2c-3d 8 CH 4 + 4a-b+2c+3d CO 2 + dnh 3 8

47 25 Tabel 3 Distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel Interval waktu, sejak Rata-rata, % volume sel selesai (bulan) Nitrogen N 2 Karbon dioksida CO 2 Methan CH , , , , , , , , , Sumber : Tchobanoglous et al. (1993) Pada umumnya bahan organik yang ada dalam sampah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni: (1) Materi yang mudah untuk didekomposisi dengan cepat (tiga hingga lima tahun) dan (2) Materi yang lambat untuk didekomposisi (sampai dengan 50 tahun atau lebih). Adapun komponen zat organik yang cepat dan yang lambat dalam biodegradasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi Komponen zat organik Cepat dibiodegradasi Lambat dibiodegradasi Sampah makanan X Kertas koran X Kertas kantor X Kardus X Plastik X Kain (textil) X Karet X Kulit X Sampah halaman X X Kayu X Organik lainnya X Sumber : Tchobanoglous et al. (1993) Komponen zat organik yang mudah terurai dalam proses biodegradasi dapat diasumsikan sebagai C 75 H 122 O 55 N, sehingga apabila kondisi optimal, dengan menggunakan formula tersebut di atas, gas yang terbentuk jumlahnya 14 ft3/ lb atau 0,874 m3/kg sampah organik biodegradable yang terdekomposisi. Fraksi zat organik biodegradable tergantung pada besarnya kandungan lignin pada sampah. Adapun kandungan lignin dan fraksi biodegradable pada komponen sampah organik (Tchobanoglous et al. 1993) dapat dilihat pada Tabel 5.

48 26 Tabel 5 Kadar biodegradable sampah organik Komponen sampah organik Kandungan lignin dari % volatil padat Fraksi biodegradable % volatil padat Sampah makanan 0,4 0,82 Kertas koran 21,9 0,22 Kertas kantor 0,4 0,82 Kardus 12,9 0,47 Sampah taman 4,1 0,72 Sumber : Tchobanoglous et al. (1993) Adapun perhitungan fraksi biodegradable dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut (Tchobanoglous et al. 1993). Fraksi biodegradable = 0,83 - (0,028) x LC, dengan LC = % volatil padat Menurut Tchobanoglous et al. (1993) dalam kondisi normal, kecepatan dekomposisi dapat diukur dari produksi gas yang terbentuk. Selanjutnya dikatakan bahwa pembentukan gas maksimal akan terjadi pada tahun pertama dan kedua, namun kemudian akan melambat dan terjadi terus sampai 25 tahun atau lebih. Keragaman dari kecepatan produksi gas dari proses dekomposisi secara anaerob terjadi pada lima tahun atau kurang dari lima tahun. Namun demikian untuk jenis sampah yang sangat cepat didegradasi, akan terjadi dekomposisi dan pembentukan gas secara cepat. Pada jenis sampah yang sangat lambat didegradasi, baru akan dihasilkan setelah 5 sampai 50 tahun, sejak di buang ke tempat pembuangan akhir. Adapun pembentukan gas dari sampah organik yang mudah didegradasikan (biodegradable organic maximals) dapat dimodelkan seperti yang terlihat pada Gambar 10, sedangkan pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill dapat dilihat pada Gambar 11.

49 27 Total Produksi gas, ft3/th Gas yang diproduksi dari material yang cepat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun Gas yang diproduksi dari material yang lambat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun Tahun Gambar 10 Pembentukan gas selama lebih dari lima tahun pada sampah organik yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill (Chobanoglous et al. 1993) Jumlah produksi gas di tempat pembuangan akhir sampah dalam kurun waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Rotenberger dan Tabasaran (1987) dengan formula sebagai berikut:

50 Produksi gas, ft3/y 28 G t = G e x (1 e -kt ) Keterangan: G t : Jumlah gas yang dihasilkan dari semenjak sampah 1 ton dibuang sampai waktu t tahun (m 3 gas/ton sampah). G e : Jumlah gas metan yang dapat dihasilkan dari sampah 1 ton dalam kurun waktu lama (m 3 /det). k: Koefisien kecepatan urai yag diambil dari waktu paruh jumlah total karbon organik dalam limbah sampah (0,05 k 0,15), untuk landfill diambil 0,06 t: Lama waktu dalam tahun Ge = 1,868 x C o x (0,014 x T + 0,28) Keterangan: 1,868 : Potensi produksi gas untuk satuan unit organik karbon (m 3 /kg) Co : Jumlah total organik karbon di dalam sampah (kg/ton sampah), tipikal 200 Kg/ton T : Temperatur di lapisan dalam sampah di TPA (20 < C 40), tipikel kondisi di Indonesia 40 C Produksi gas dari landfill dengan kandungan air yang cukup untuk mendukung proses anaerobik dari fraksi zat organik dari sampah Produksi gas dari landfill yang sama, dengan kandungan air yang tidak cukup untuk mendukung proses anaerobik secara lengkap Tahun Gambar 11 Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill (Tchobanoglous et al. 1993) Sampah yang dibuang ke TPA pada awalnya akan mengalami proses oksidasi karena bersentuhan dengan oksigen di udara. Keberadaan oksigen ini mengakibatkan

51 29 terjadinya penguraian secara aerobik, dan karbon organik akan diuraikan hingga menjadi CO 2 yang terlepas ke udara bebas. Selain proses oksidasi, karbon organik juga mengalami proses anaerobik, sehingga dari proses tersebut akan dihasilkan gas metan, oleh karena itu maka pembentukan gas metan pada awalnya menggunakan koefisien 0,8 0,95. Mengingat tidak seluruh karbon organik dapat berubah menjadi gas metan, maka dipakai koefisien 0,06 atau dengan kata lain 35 40% elemen TOC akan melepaskan emisi ke udara sebagai gas metan. Proses pengangkutan sampah ke lokasi TPA dilakukan dengan mempergunakan alat angkut truk tertutup dengan kapasitas 8 ton, yang mempergunakan bahan bakar Solar. Aktivitas pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dengan kondisi arus lalu lintas di wilayah perkotaan memerlukan bahan bakar solar 2,5 liter per kilometer. Menurut penelitian Department of Environment, Food and Rural Affairs (2001), setiap liter solar akan menimbulkan emisi gas CO 2 sebesar 2,64 kg. Adapun reaksi kimia proses pembakaran hidrokarbon dapat dilihat pada persamaan berikut : 4C 12H O 2 48CO H 2O Berat emisi CO 2 yang dihasilkan dari 1 liter solar dapat dihitung dengan menggunakan prinsip stoikiometri, seperti perhitungan berikut ini. Berat jenis solar pada suhu 15 0 C (ρ) = 0,815 x 10 3 gr/l 1 mol C 12 H 23 = 167 gr 1 mol CO 2 = 12x44 =528 gr Sehingga volume solar = 0,205 L 1 mol CO 2 = 8x44 = 352 gr ρ = m/v Keterangan: ρ = massa jenis m = massa v = volume zat Jumlah CO 2 yang dihasilkan dalam 1 liter solar (C 12 H 23 ) adalah: = 528/0,205 = gr/l = 2,6 kg/l

52 30 b. Composting (Pengomposan) Kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik setelah mengalami pembusukan. Komposting merupakan proses biologis, namun proses dekomposisinya dapat berlangsung baik secara aerobik maupun anaerobik. Kompos bisa dikatakan sejenis pupuk organik, namun kandungan unsur N (nitrogen), P (pospor) dan K (kalium) dalam kompos tidak setinggi kandungan dalam pupuk buatan (anorganik, kimiawi). Kelebihan dari kompos antara lain adalah sangat kaya unsur-unsur hara mikro, seperti zat besi (Fe), boron (B), belerang/sulphur (S), kapur /kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan hara mikro lain yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Unsur-unsur hara mikro tersebut pada umumnya tidak terdapat dalam pupuk buatan. Kompos sangat baik dalam memperbaikai struktur tanah, mengingat kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation serta penyimpanan air. Komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimiawi tanah adalah kandungan humusnya, karena humus dalam kompos mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Humus yang menjadi asam humat atau jenis asam lainya dapat melarutkan zat besi (Fe) dan aluminium (Al), sehingga fosfat yang terikat pada besi dan aluminium akan lepas, sehingga dapat diserap oleh tanaman. Proses pengomposan tergantung pada berbagai kondisi habitat terutama suhu dan mikroorganisme. Jasad renik yang terdapat pada proses pengomposan terdiri dari dua golongan yaitu mesofili yang hidup dalam suhu C dan termofili yang hidup pada suhu C. Dalam proses degradasi zat organik oleh jasad renik, akan terjadi reaksi pembakaran unsur karbon (C) dan oksigen (O 2 ) menjadi panas (kalor) dan karbon dioksida (CO 2 ). Karbon dioksida ini kemudian dilepas sebagai gas, sedangkan unsur N yang terurai akan ditangkap oleh jasad renik, yang ketika jasad renik ini mati, unsur N-nya akan tetap tinggal dalam kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Proses penguraian zat organik bergantung pada berbagai faktor, antara lain : 1. Rasio antara karbon dengan nitrogen (rasio C/N) 2. Derajat keasaman (ph) Homogenitas campuran. 4. Ukuran bahan, proses pengomposan akan berjalan lebih cepat jika memiliki ukuran yang lebih kecil. 5. Kelembaban dan aerasi, keberadaan oksigen dan air sangat diperlukan untuk mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi dari zat organik.

53 31 6. Suhu pengomposan optimal yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik adalah o C 7. Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan, antara lain bakteri, dan jamur Actinonomyces yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Menurut Djuarnani et al. (2005), pengomposan merupakan penurunan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah yang berkisar antara Bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah, memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka komposting merupakan teknologi yang sangat baik untuk digunakan mengurangi sampah organik, namun metode ini tidak sesuai untuk mengurangi sampah plastik. Menurut Yoseph (2005), penggunaan oksigen pada kompos dibedakan menjadi dua yaitu: a. Kompos dengan proses aerob yang dicirikan dengan timbulnya temperatur yang tinggi, tidak adanya bau,dan cepatnya proses dekomposisi; dan b. Kompos dengan proses anaerob, yang dicirikan dengan temperatur yang rendah, timbulnya bau, lambatnya proses dekomposisi, dan memerlukan perhatian yang minimal. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan teknologinya, komposting dapat dilakukan dengan : a. Windrows, dengan kecepatan dekomposisi antara 2 6 bulan, proses aerasi dengan membalik-balikkan sampah, dan memerlukan peralatan khusus untuk memutar. b. Aerated static pile, dengan kecepatan dekomposisi antara 6 12 minggu, dengan menggunakan mekanikel aerasi. c. In-vessel, ( high rate composting) dengan kecepatan dekomposisi yang lebih cepat, yaitu kurang dari satu minggu. Proses pengolahan dilakukan dengan menempatkan sampah pada tabung (chamber/vessel) yang selanjutnya diaduk secara mekanis, dilakukan proses aerasi, serta kontrol terhadap kandungan air, sehingga dari sini akan diperoleh proses dekomposisi sampah organik secara cepat. Pada proses composting terdapat input dan output. Adapun input dan output dalam composting dapat dilihat pada Gambar 12.

54 32 INPUT Emisi gas ke udara OUTPUT Sampah Sumber Daya KOMPOSTING Pupuk Kompos Sisa Sampah Emisi pengolahan lindi ke badan air INPUT Emisi air lindi ke tanah dan air Gambar 12 Proses input dan output pada komposting c. Waste to Energy (WTE) Incinerator Incinerator (insinerator) merupakan metoda yang sangat efektif untuk mengurangi volume sampah sampai dengan %, bergantung pada kandungan materi yang tidak dapat terbakar dalam sampah. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, dapat digunakan kembali untuk beberapa kepentingan seperti menghasilkan air panas atau generator listrik yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik dalam unit incinerator ini sendiri, maupun untuk penggunaan energi listrik oleh masyarakat luas. Menurut Brunner (1994) keuntungan penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah antara lain adalah: 1. Dapat menghilangkan komponen sampah yang berbahaya 2. Pengurangan volume dan berat dari sampah 3. Pengurangan sampah secara cepat, tanpa menunggu waktu yang lama seperti pada proses di sanitary landfill. 4. Proses insinerasi (pembakaran) dapat dilakukan di tempat (on site) tanpa mentransportasikan ke daerah yang jauh. 5. Emisi udara dapat dikontrol secara efektif sampai tingkat dampak minimum pada lingkungan atmosfir. 6. Limbah abu dapat dikelompokkan bukan sebagai limbah yang berbahaya.

55 33 7. Insinerasi memerlukan luas lahan yang relatif lebih kecil, sebagaimana yang diperlukan dalam sistem pengolahan lainnya. 8. Melalui pemulihan panas yang dihasilkan, maka biaya operasi dapat dikurangi atau bisa juga dilakukan penggunaan panas untuk energi listrik yang dapat dijual. Suatu sistem selain mempunyai keuntungan, juga mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan dari sistem ini yang perlu diperhatikan adalah: 1. Beberapa material seperti sampah yang sangat basah atau limbah tanah tidak dapat dibakar dalam incinerator. 2. Kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap unsur logam (inorganic material) dalam proses pembakaran seperti sampah yang mengandung logam berat (timah, kromium, merkuri, nikel, arsenik, dan lain-lain). 3. Incinerator memerlukan biaya investasi yang sangat mahal. 4. Memerlukan tenaga operator yang terdidik. 5. Memerlukan suplemen bahan bakar untuk pembakaran dan untuk menjaga temperatur pembakaran. Kelemahan lain pada sistem ini adalah pembakaran terhadap polyethylene, polyprophylane dan polystyrene akan menghasilkan gas karbondioksida. Pembakaran dari polyvinyl chloride akan menghasilkan gas yang beracun yakni hidrogen klorida (HCl). Gas hidrogen klorida ini selain dihasilkan dari pembakaran polyvinyl chloride, juga dapat dihasilkan dari pembakaran sampah domestik seperti kertas, kayu, rumput dan lain sebagainya. Daya racun gas hidrogen klorida dapat muncul jika gas tersebut tercampur dengan uap air, sehingga akan dihasilkan materi yang sangat korosif yaitu chloride acid. Efektifitas dari incinerator tergatung pada kontrol temperatur, waktu, gas oksigen, turbulensi pembakaran dan distribusi dari gas. Pada temperatur rendah, incinerator akan menghasilkan gas karbonmonoksida yang sangat berpotensi mencemari udara. Proses pembakaran senyawa yang mengandung unsur khlor dan karbon pada temperatur o C akan menghasilkan gas dioxin (Brunner, 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat beberapa jenis model insinerator yaitu: a. Tungku pembakar (stoker furnace) Tungku ini terdiri dari ruang pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat, jeruji pembakaran, corong pengisian sampah, pembawa pembuang abu, dan ketel uap pemulihan panas. Proses insinerasi sampah berlangsung secara terus menerus, dengan temperatur dalam tungku o C, dengan tingkat

56 34 kehilangan panas antara 5 7%. Pada tungku ini, sampah dibakar secara langsung dalam kobaran api di atas jeruji pembakaran. Sampah diuraikan dan gas-gas yang dapat terbakar timbul dalam proses reaksi termal, termasuk gas karbon monoksida (CO), yang secara kontinyu dilepaskan dari proses pembakaran yang terjadi di reaktor dan kemudian ditransfer ke dalam ruang pembakaran sekunder. Panas yang ditimbulkan dipulihkan sebagai uap dengan ketel uap, kemudian digunakan sebagai penggerak tenaga listrik. Emisi gas-gas yang dikeluarkan diolah untuk memenuhi standar emisi melalui sistem pengolahan asap gas. b. Pembakar dengan fluida (fluidaized bed furnace) Tungku ini dibuat dengan kabin pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat yang dilengkapi dengan suatu sistem pasokan bahan bakar, corong pengisian sampah, pembuangan abu, sistem distribusi pasir yang dipanaskan secara fluida (heated fluidized sands), dan ketel uap pemulihan panas. Tungku ini merupakan konstruksi vertikal berbentuk silinder dan menggunakan supplai pasir yang dipanaskan secara fluida serta sistem pemulihan panas yang terletak pada dasar ruang pembakaran. Sistem ini memiliki daerah permukaan insinerasi yang luas yang ditunjang dengan butiran pasir panas yang dapat membakar sampah dengan temperatur antara o C dan tingkat kehilangan panas antar 5 7%, sehingga dapat membakar sampah dalam waktu yang sangat cepat. Materi sampah dioksidasi akan terbakar dengan sendirinya oleh pasir panas yang mengalir secara fluida. Pasir yang dipanaskan secara fluida berpusar dan dihembuskan oleh udara yang dialirkan dengan pompa dari bawah tungku. Panas akan mengalir dari pasir ke sampah, yang kemudian terbakar dan menjadi abu. Pasir dapat didaur ulang setelah menghilangkan abu dan residu. Asap gas bertemperatur tinggi dikeluarkan ke dalam ketel uap pemulih panas untuk menjadi listrik, dan dilepas dari cerobong melalui sistem pengolahan asap gas untuk memenuhi standar emisi. c. Tungku pembakar berputar (rotary kiln type furnace) Tungku ini terdiri dari reaktor silinder baja kuat yang terletak horizontal dan dapat membakar sampah secara langsung pada waktu sampah berpindah dari atas ke dasar. Tungku ini dilengkapi dengan ruang sekunder dan sistem pengolahan asap gas. Tungku ini dapat diatur temperaturnya dengan cara memberikan bahan

57 35 bakar tambahan yang dicampur dengan udara. Pada proses pembakarannya, reaktor ini dipanaskan hingga temperaturnya mencapai o C, sehingga cukup panas untuk membakar sampah yang dimasukkan ke dalam tungku secara kontinyu. Asap dan gas selanjutnya diolah melalui sistem kontrol emisi yang ada pada tungku hingga dapat memenuhi standar emisi. Proses input dan output pada incenerator dapat dilihat pada Gambar 13. Adapun perkiraan kerusakan yang dapat ditimbulkan dalam proses pembakaran pada instalasi incinerator dapat dilihat pada Tabel 6. INPUT Emisi gas ke udara Melalui cerobong asap OUTPUT SAMPAH SUMBER DAYA INSTALASI INCINERATOR Energi Listrik Gambar 13 Proses input dan output pada incinerator Energi listrik yang dihasilkan dari WTE insinerator dapat diitung dengan formula sebagai berikut : E (kwh) = berat sampah masuk (kg/jam) x kandungan kalori sampah (kkal/kg)/ 860 kkal x effisiensi di ketel uap (18%) Emisi Sisa sampah yang tidak terbakar Tabel 6 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator Kerusakan Medium Dampak kesehatan Produksi Kematian Penyakit pertanian Abu sisa pembakaran Kerusakan Gedung Dampak Pada cuaca NOx Udara v v SOx Udara CO Udara VOCs Udara CO2 Udara v v HCl, HF Udara VOCs Udara v Dioxins Udara v v Logam Air v v berat Garam Air v v Dioxin Air Sisa Tanah Pengolahan di instalasi sanitary landfill sampah dan Air Sumber : Europian Commission, D.G. Environment (2000) Ekosistem

58 36 Menurut Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (Algas, 1997), gas yang dikategorikan ke dalam gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang berpengaruh, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap rumah kaca. Adapun gas tersebut adalah karbondioksida (CO 2 ), gas metan (CH 4 ), hydroflurocarbon (HFC), karbonmonoksida (CO), nitrogenoksida (NO x ) dan gas-gas organik non-metan yang bersifat volatile. Indeks potensi pemanasan global (global warming potential: GWP) menggunakan CO 2 sebagai tolok ukurnya, yaitu membandingkan efek radiasi GRK di atmosfir terhadap CO 2 dalam jumlah yang sama, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 GWP untuk beberapa GRK terhadap CO 2 Gas Global Warming Potential (GWP) CO 2 1,0 CO 3,0 CH 4 24,5 NO x 290,0 N 2 O 320,0 Sumber: Algas (1997) 2.3. Multi Kriteria Evalusi (Multy Criteria Evaluation) Metoda pengambilan keputusan secara praktis yang umumnya dilakukan di lingkungan pemerintahan, biasanya mempergunakan metoda analisis keefektifan biaya (cost effectiveness analysis). Pada metode ini beberapa alternatif pilihan diputuskan dengan membandingkan biaya yang dibutuhkan untuk masing-masing alternatif terhadap output yang dihasilkan untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya ketika terdapat perbedaan output diantara pilihan alternatif tersebut, maka pengambilan keputusan pada umumnya akan dilakukan secara subyektif, dengan melihat biaya yang termurah (leastcost) untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Metoda lain yang biasanya dipergunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa pilihan alternatif dengan memperhatikan biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang memiliki harga pasar ataupun yang tidak ada harga pasarnya, biasanya dilakukan dengan mempergunakan cost benefit analysis (CBA). Pada metode ini, pengambilan keputusan dari beberapa alternatif dilakukan dengan menggunakan teknik evaluasi multi kriteria, baik pada hal-hal yang dapat dinilai dengan uang ataupun variable yang tidak dapat dikuantifikasi dalam nilai uang. Multi kriteria evaluasi merupakan teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis pada non-parametrik. Teknik ini dalam pengambilan keputusannya melibatkan

59 37 multi kriteria, dengan menggunakan pembobotan. Pengambilan keputusan dengan mempergunakan multi kriteria evaluasi juga melibatkan alternatif/pilihan yang dapat diambil, oleh karenanya melalui teknik multi kriteria evaluasi ini akan dipilih alternatif terbaik dengan mempertimbangkan setiap kriteria dari alternatif tersebut. Pengambilan keputusan dengan mempergunakan teknik multi kriteria evaluasi secara matematis dapat dijelaskan sebagaimana metrik keputusan di bawah ini. Alternatif C 1 C 2 C 3 C 4.. C n A 1 W 1 W 2 W 3 W 4.. W n A 2 a 11 a 12 a 13 a 14.. a 1n A 3 a 21 a 22 a 23 a 24.. a 2n A 4 a 31 a 32 a 33 a 34.. a 3n A n a m 1 a m 2 a m 3 a m 4.. a m n Keterangan: A n = alternatif ke n, C n = kriteria ke n dan W n = bobot dari kriteria ke n Penentuan prioritas berdasarkan metrik keputusan di atas dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, beberapa diantaranya adalah analitical hyrarchy process (AHP), TOPSIS, ELECTRE dan Promethe (Salo dan Hamalainen, 1955). Pada dasarnya terdapat dua pendekatan yang sederhana yang umum digunakan, yakni pendekatan weighted sum methode (WSM) dan weighted product methode (WPM) (Jablansky 1998). Penentuan prioritas dengan pendekatan WSM tersebut, secara matematis dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan matematis sebagai berikut : Sedangkan penentuan prioritas dengan pendekatan WPM dapat dihitung dengan persamaan matematis sebagai berikut : Keterangan : P i adalah prioritas ke i a ij adalah skor dari alternatif ke-i dengan kriteria J W j adalah bobot dari kriteria j Ap, Aq adalah alternatif ke p, q dari sejumlah n alternatif

60 Cost-Benefit Analysis (CBA) Cost Benefit Analysis, dipergunakan untuk pengambilan keputusan dan menentukan kebijakan yang didasarkan pada informasi mengenai keuntungan dan kerugian terhadap pilihan beberapa keputusan. Analisis ekonomi dan CBA pada umumnya dapat memberikan pertimbangan bagi pengambil keputusan, untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sangat bernilai. Menurut Hanley dan Spash (1995) memasukkan nilai lingkungan dalam perhitungan bisnis dan politik sebagai masukan dalam pengambilan keputusan, merupakan tujuan utama dari CBA lingkungan. Dalam konteks penentuan optimasi pengolahan sampah, pada kenyataannya terdapat problematika untuk melakukan kuantifikasi dalam bentuk uang dari seluruh dampak yang ditimbulkan oleh masing-masing teknologi. Dalam beberapa hal, tidak seluruh dampak dapat dikuantifikasi, namun demikian seluruh dampak harus diinformasikan untuk pengambilan keputusan. Hal yang sangat penting dalam CBA adalah penilaian ekonomi sejauh mungkin dapat dilakukan untuk seluruh barang, pelayanan dan dampak lingkungan pada pilihan teknologi pengolahan sampah dalam pengambilan keputusan. Apabila pasar untuk barang dan jasa telah ada, maka nilainya dapat dikuantifikasi dengan harga pasar. Namun demikian masih cukup banyak barang lingkungan seperti udara yang bersih, tidak ada pasarnya dan tidak ada harga yang didapat dari hasil pengamatan, sehingga untuk menilainya harus menggunakan teknik lain. Penilaian terhadap barang lingkungan yang tidak ada harga dan pasarnya ini dapat dikatakan sangat rumit serta terkait dengan ketidakpastian yang sangat besar. Menurut Hanley dan Spash (1995), struktur metode CBA terdiri dari beberapa tahapan. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah pendefinisian proyek, identifikasi dampak yang sesuai dengan ekonomi, mengkuantifikasi dampak fisik, perhitungan valuasi keuangan, diskonto, pembobotan dan analisis sensitivitas Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan Menurut Bartz dan Kelly (2005), terdapat teori kurva lingkungan dari Kuznets yang menghubungkan antara degradasi (penurunan) kualitas lingkungan hidup dengan pertumbuhan ekonomi. Kurva Kuznet ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran lingkungan mengalami kenaikan dan kemudian mengalami penurunan atau titik balik, selaras dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Kurva Kuznet ini digambarkan dalam bentuk huruf U terbalik, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 14.

61 Degradasi Lingkungan 39 Titik balik Degradasi Lingkungan Income per Capita Lingkungan yg semakin memburuk Lingkungan yg semakin membaik Gambar 14 Diagram Kuznet (Bertz dan Kelly 2005) Gambaran dari kurva Kuznet, bahwa pada tahap awal industrialisasi, masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi makanan dari pada bernafas dengan udara yang bersih (lingkungan yang bersih). Hal ini dapat dimengerti, karena pada masyarakat yang tahap pendapatannya rendah, masyarakat terlalu miskin untuk mampu membayar penurunan pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut memaksa akan diabaikannya keberadaan peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup dan akan membuat peraturan perundangan lingkungan hidup menjadi terlalu lemah keberadaannya. Pada Kurva Kuznet juga terlihat bahwa pada saat pendapatan masyarakat mulai naik, industri akan menjadi lebih bersih dan marginal utilitas konsumsi (marginal utility of consumption) akan jatuh/menurun. Hal ini mengisyaratkan bahwa masyarakat mulai menghargai lebih besar kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, selain itu adanya peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup juga akan mulai lebih efektif. Dalam kurva ditunjukkan bahwa pada rentang pendapatan menengah polusi mulai berhenti meningkat dan selanjutnya pada titik balik (turning point) akan menurun selaras dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Fischer dan Dornbusch (1997), pendapatan nasional bruto (GNP) merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian pada suatu kurun waktu tertentu (kuartal ataupun tahunan). GNP adalah ukuran pokok dari kegiatan ekonomi. GNP tidak hanya digunakan sebagai ukuran berapa banyak barang dan jasa yang sedang diproduksi, tetapi juga sebagai ukuran kesejahteraan penduduk suatu negara.

62 40 Apabila terjadi kenaikan GNP biasanya diartikan sebagai adanya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya masih terdapat kekurangan dalam menilai GNP. Adapun kekurangan tersebut antara lain adalah ketiadaan pengurangan yang seharusnya dilakukan terhadap adanya output negatif dari GNP. Dalam konteks lingkungan seharusnya GNP harus dikoreksi dengan mengurangkan nilai dari polusi yang dihasilkan oleh pabrikpabrik dan kendaraan, yang kesemuanya merupakan output negatif. Namun demikian apabila terjadi perbaikan lingkungan, maka seharusnya terdapat tambahan dari output positif dari kondisi lingkungan yang lebih baik. Dalam konteks penelitian ini yang mengambil DKI sebagai daerah kajian tingkat kesejahteraan, perhitungan dilakukan berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB), yang merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi di dalam wilayah DKI. PDRB dapat memberikan gambaran tentang keadaan masa lalu, masa kini dan sasaran-sasaran yang akan dicapai di masa yang akan datang. Pada hakekatnya pembangunan ekonomi merupakan usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperbesar kesempatan kerja, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat, meningkatkan kegiatan ekonomi, dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. PDRB DKI Jakarta dihitung berdasarkan harga konstan tahun 1993, yang memberikan gambaran tingkat pertumbuhan riil perekonomian DKI baik secara agregat maupun sektoral. Pertumbuhan perekonomian pada suatu masa apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa tersebut, akan merupakan cerminan dari tingkat perkembangan pendapatan per kapita penduduk. Pertumbuhan perekonomian juga merupakan ukuran relatif tingkat kesejahteraan/kemakmuran material. PDRB dari suatu daerah yang disajikan secara berkala, wajar dan komprehensif akan dapat menggambarkan: a. indikator tingkat pertumbuhan perekonomian; b. indikator tingkat perkembangan pendapatan per kapita; c. indikator tingkat kemakmuran masyarakat; d. indikator tingkat inflasi; e. indikator dari struktur perekonomian suatu daerah. PDRB DKI dengan harga konstan tahun 1993 dapat dilihat pada Tabel 8.

63 41 Tahun Tabel 8 PDRB per kapita Kota DKI Jakarta Harga Berlaku Harga Konstan 1993 PDRB Laju PDRB Laju per kapita Pertumbuhan per Kapita Pertumbuhan (%) (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Sumber : Diolah dari BPS, Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta (2005 dan 2006) Menurut Barton et al. (1994) yang melakukan penelitian pada kota-kota di beberapa negara dengan tingkat pendapatan menengah dan rendah didapatkan hasil bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi ligkungan. Hasil penelitian pada beberapa negara dengan tingkat pendapatan rendah, atau pendapatan menengah ke bawah (lower-middle income), menegah ke atas (upper-middle income) dan pendapatan tinggi (high-income) dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut Cointreau et al. (1985), komposisi sampah berkaitan erat dengan tingkat ekonomi. Kondisi ini tergambar dengan jelas pada komposisi sampah yang bervariasi pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri, seperti yang dapat dilihat pada Tabel Kebijakan Laswell dan Kaplan (1971), memberikan pengertian mengenai kebijakan sebagai a program of goals, values and practices yaitu suatu program pencapaian tujuan, nilainilai dan praktek-praktek yang terarah. Menurut James Anderson (1979) kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

64 42 Tabel 9 Tipologi kota berdasarkan ekonomi - lingkungan Masalah Negara dengan tingkat Negara dengan tingkat Negara dengan tingkat Negara dengan tingkat lingkungan pendapatan pendapatan pendapatan pendapatan perkotaan <650 US$ per kapita <650-2,500 US$ per kapita <2,500-6,500 US$ per kapita >6,500 US$ per kapita Akses pada pelayanan : Air minum dan sanitasi Pelayanan rendah Pelayanan yang rendah Umumnya mendapatkan Bagus, perhatian pada substansi kualitas yang buruk untuk masyarakat miskin pelayanan air minum, sistem yang kecil khususnya untuk rakyat sewerage yang memadai miskin Drainase Pelayanan yang rendah Tidak memadai, kadang Masuk akal Bagus sering terjadi banjir terjadi banjir Pengumpulan Sampah Pelayanan yang rendah Kurang memadai Masuk akal Bagus khususnya untuk rakyat miskin Pencemaran: Pencemaran Air Kurang memadainya Masalah yanag berat Beberapa masalah buruknya Tingkat pengolahan yang tinggi. sanitasi dan air limbah dari tidak diolahnya air pengolahan air limbah dan Perhatian pada harga amenitas domestik limbah domestik yang pembuangan air limbah dan zat beracun dibuang industri Pencemaran Udara Beberapa masalah di Beberapa masalah di beberapa Beberapa masalah pada Masalah untuk beberapa kota kota yang menggunakan kota akibat pemakaian beberapa negara dan peng- dari emisi kendaraan bermotor batu bara, indoor batu bara dan kendaraan gunaan batu bara dan Prioritas kesehatan exposure pada rakyat bermotor kendaraan bermotor miskin Pembuangan Sampah Open dumping, limbah Sebagian besar landfill tidak Semi control landfill Control landfill, insinerator, tercampur trekontrol, limbah tercampur pemulihan sumber daya Pengolahan limbah B3 Tidak ada kapasitas Beberapa masalah Beberapa masalah Pergerakan dari remediasi ke kapasitas rendah Pertumbuhan kapasitas pencegahan Kehilangan sumber daya : Pengelolaan lahan Tidak terkontrolnya Tidak efektifnya kontrol peng- Beberapa Zoning dilakukan Zoning lingkungan pada lokasi penggunaan dan pe- gunaan lahan regional ngembangan lahan, tekanan dari hunian liar Bahaya lingkungan Bencana yang berulang Bencana yang berulang dengan Resiko yang tinggi dari bahaya Kapasitas yang baik untuk alamiah dan buatan dengan kerusakan yang kerusakan sedang dan industri emergensi manusia berat dan kematian kematian Sumber: Barton et al. World Development Report, 1992

65 43 Tabel 10 Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri Negara Penghasilan Rendah Negara Penghasilan Menengah Negara Industri Produksi sampah 0,4 0,6 0,5 0,9 0,7 1,8 (kg/cap/day) Kepadapatan sampah (wet weight basis-kg/m3) Kelembaban (% wet weight at point of generation) Komposisi (% berat basah) - Kertas Kaca Metal Plastik Bulu, Karet Kayu Kain Tumbuhan Lainnya Ukuran Partkel, % lebih besar dari 50 mm Sumber : Cointreau et al. (1985) Menurut Dunn (1981) sistem kebijakan merupakan hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu kebijakan publik (KP), pelaku kebijakan (PK) dan lingkungan kebijakan (LK). Menurut Mustopadidjaja (2008) kebijakan publik merupakan keputusan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Pada perumusan kebijakan publik, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali konsep sistem kebijakan (policy system). Menurut Mustopadidja, sistem kebijakan adalah tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan wahana dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses kebijakan (formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan) yang mengakomondasikan kegiatan tehnis (technical prosess) maupun sosiopolitis (sociopolitical process) serta saling hubungan atau interaksi antar empat faktor dinamik. Selanjutnya dikatakan bahwa keempat factor dinamik tersebut adalah lingkungan kebijakan; pembuat dan pelaksana kebijakan; kebijakan itu sendiri dan kelompok sasaran kebijakan.

66 44 Menurut Maani dan Cavana (2000), dinamika proses kebijakan publik dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik, akan dapat dipahami, melalui metoda berfikir berdasarkan teori gunung es (the iceberg fonomena) dan level of prespective serta memahami perubahan lingkungan strategis yang sedang terjadi. Kondisi tersebut terjadi karena pada kebijakan publik, terdapat masukan kebijakan (input policy) yang mengalir dari lingkungan kebijakan. Menurut teori gunung es, informasi yang berasal dari berbagai media merupakan suatu peristiwa (events), yang memberikan informasi mengenai bagaimana peristiwa terjadi, bilamana dan apa dampak yang ditimbulkan dan menimpa siapa kejadian tersebut serta informasi nilai kerugiannya. Teori ini secara keseluruhan hanya merupakan event namun belum merupakan akar masalah itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam rangka merumuskan tindakan yang akan diambil, selayaknya harus dilakukan penggalian informasi yang lebih dalam yaitu petern of behaviour (kecenderungan dari kejadian) serta pendalaman pemikiran untuk memahami bagaimana problem of event tersebut berhubungan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu maka dalam memahami struktur sistemnya (sistemic structure) yang merupakan permasalahan masyarakat yang mengemuka, maka systemic structure akan memberikan pengertian atau pemahaman mengenai mental model masalah sebagai akar masalah. Berdasarkan mental model tersebut akan dapat ditentukan kerangka intervensi strategis (desain kebijakan), yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang mengemuka di masyarakat tersebut.

67 45 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta (DKIJ). DKIJ merupakan kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 8,8 juta jiwa, dan luas wilayah hektar. DKIJ memiliki permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan sampah skala perkotaan,dimana pemerintah daerah DKIJ telah menetapkan kebijakan dalam pengolahan sampahnya dengan menggunakan kombinasi teknologi komposting, insinerator skala kecil serta sanitary landfill. Penelitian dilakukan sejak bulan November 2005 hingga akhir Rancangan Penelitian Penelitian Formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan ini meliputi beberapa tahapan kajian sebagai berikut: Kajian 1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah Kajian 2. Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan Kajian 3. Multi kriteria evaluasi (multy criteria evaluation) Kajian 4. Analisis Sistem Dinamik (system dynamic) Kajian 5. Analisis kebijakan Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah. Pada penelitian ini dilakukan analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan bagi penempatan masing-masing teknologi pengolahan sampah, yang dilakukan di masingmasing bagian wilayah DKI Jakarta. Pada kajian ini dianalisis ketersediaan lahan di masing-masing bagian wilayah DKI Jakarta, sebagai tempat pengolahan sampah dengan menggunakan teknologi high rate komposting (HRC), waste to energy (WTE) incinerator tipe fluidized bed furnace dan teknologi sanitary landfill (SLF), dengan menggunakan data-data pemanfaatan lahan di wilayah administratif DKI dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2006). Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan lahan dilakukan dengan melakukan perhitungan luasan kebutuhan lahan untuk masing-masing teknologi dalam jangka waktu 25 tahun. Indikasi kesesuaian lahan terhadap penggunaan

68 46 teknologi pengolahan sampah, dilakukan berdasarkan beberapa kriteria seperti luasan kebutuhan lahan yang diperlukan, tingkat kepadatan penduduk untuk melihat kelayakan sosial, serta kondisi air tanah dan pemanfaatan air tanah untuk air minum. Pada penelitian ini dilakukan berbagai hal, yakni: 1. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk kajian ini antara lain adalah data-data sekunder tentang pemanfaatan lahan, jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk. Data-data ini diperoleh dari dinas/instansi terkait, antara lain dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pekerjaan Umum. Basis jumlah penduduk yang diambil dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk pada tahun 2008, yang diproyeksikan dalam 25 tahun ke depan. 2. Analisis ketersediaan lahan Pada tahapan ini dilakukan analisis ketersediaan lahan dengan cara mengevaluasi kecenderungan pemanfaatan lahan di wilayah DKI Jakarta bagi kebutuhan perumahan, industri, perkantoran, gudang, dan taman (ruang terbuka hijau), serta pemanfaatan lainnya (jalan, sungai, saluran dan utilitas perkotaan). Hasil analisis pemanfaatan lahan ini akan mendapatkan besaran luasan lahan terbuka yang belum terbangun, dan memungkinkan sebagai tempat pengolahan sampah dalam kurun waktu 25 tahun ke depan. 3. Analisis kebutuhan lahan Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah SLF, insinerator WTE dan HRC, dihitung dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan mempergunakan program Exel. Perhitungan tersebut dilandasi kaidah-kaidah teknis dalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah. Perhitungan tersebut dilakukan terhadap timbulan sampah dengan varian besaran sampah masuk 500 ton/hari, ton/hari, ton/hari dan ton/hari. Kebutuhan lahan untuk SLF dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain : umur rencana operasional, yang dalam penelitian ditetapkan 25 tahun, total berat sampah selama masa operasi, berat jenis sampah setelah compaction (pemampatan) yang dalam penelitian ini diambil 0,6 ton/m 3, berat jenis sampah setelah decomposition diambil 1,05 ton/m 3, tinggi timbunan sampah untuk kapasitas sampah masuk masing-masing 500, 1.000, dan ton/ hari yaitu 30 m, 36 m, 45m dan 48 m, serta tinggi bukit akhir yanag merupakan rasio antara berat jenis sampah compaction (0,6 ton/m3) dengan berat

69 47 jenis sampah decomposition (1,05ton/m3) terhadap tinggi timbunan, untuk kapasitas sampah masuk sebesar 500, 1.000, dan ton/hari masing-masing 17,1 m, 20,6 m, 25,7 m, 27,4 m. Disamping itu kebutuhan lahan aktif SLF untuk kapasitas 500, 1.000, dan ton/hari diperlukan 43 ha, 71,7 ha, 114,7 ha dan 161,3 ha, serta fasilitas pendukungnya seperti jalan lingkungan (intenal road) dan drainase diasumsikan 6,5% dari lahan aktif, kebutuhan buffer zone diasumsikan 50% dari lahan aktif, secara keseluruhan rasio penggunaan lahan (gross) per ton kapasitas untuk sampah masuk 500, 1.000, dan ton/hari sebesar m 2 /ton, m 2 /ton, 880 m 2 /ton dan 806m 2 /ton. Sedangkan untuk WTE insinerator kebutuhan lahan diperlukan untuk fasilitasfasilaitas antara lain : reception area, burning area, power plant area, rejected material area, internal road dan drainase, parking area, buffer zone, yang secara keseluruhan untuk sampah yang belum terpilah memerlukan lahan untuk kapasitas masing-masing 500, 1.000, dan ton/hari memerlukan 47,9 m 2 /ton, 46,9 m2/ton, 37,3 m2/ton, dan 33,4 m 2 /ton. Teknologi HRC memerlukan lahan untuk fasilitas-fasilitas reception area, sorting area, shredding and cutting area, fertilizing area, dan rejected material area serta internal road dan parkir, buffer zone area, untuk masing-masing kapasitas 500, 1.000, 2.000, dan ton/hari memerlukan lahan sebesar 99,2 m 2 /ton, 98,2 m 2 /ton, 88,3 m 2 /ton dan 85,9 ton/m 2. Indikasi kesesuaian lahan untuk lokasi tempat pengolahan sampah, dilakukan dengan cara menilai beberapa parameter. Parameter dan kriteria pendukung yang dijadikan pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan sebagai tempat pengolahan sampah, dapat dilihat pada Tabel Kesesuain dengan Kebijakan Penataan Ruang Penempatan unit pengolahan sampah selain memperhatikan parameter dan kriteria sebagaimana diuraikan pada Tabel 11, juga harus mempertimbangkan kebijakan tata ruang, baik kebijakan tata ruang nasional, (undang-undang penataan ruang nomor 26 tahun 2007), provinsi maupun kebijakan tata ruang kabupaten/kota. 5. Rekomendasi ketersediaan dan kesesuaian lahan. Hasil analisis tersebut di atas, selanjutnya diramu menjadi rekomendasi kebutuhan dan ketersediaan serta idikasi kesesuaian lahan bagi tempat pengolahan dan pembuangan sampah, dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah HRC, WTE incinerator dan SLF.

70 48 Tabel 11 Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah Parameter Kondisi tanah (soil condition) Peyediaan air minum perpipaan Konservasi lingkungan Jarak pada sumber air Banjir Jarak dari jalan raya Lokasi Wisata Jarak dari pusat pelayanan Luas lahan yg diperlukan Kepadatan Penduduk Sumber : Diolah dari berbagai sumber. Kriteri Kesesuaian Tempat Pengolahan Sampah Ketinggian air tanah >1m dari permukaan tanah tidak pada lahan yang memiliki kandungan sumber daya alam yg dimanfaatkan. Cakupan pelayanan 100% Tidak dapat diletakkan pada wilayah yang dilindungi, hutan lindung, taman nasional, atau cagar alam. Lebih besar dari 500 m dari sumber air Tidak dalam wilayah banjir Maksimal 1 Km dari jalan raya Lebih besar 1 Km dari lokasi pariwisaata, cagar budaya Lebih besar dari 2 Km dari pusat permukiman terkecil Dapat untukmenampung sampah selama 25 tahun Untuk Samitary Landfill lebih kecil dari 50 jiwa/ha Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Pada tahap ini dilakukan perhitungan cost benefit analysis(cba), dengan tujuan untuk membandingkan opsi-opsi sistem pengolahan sampah secara parsial. Pada tahap ini dilihat hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah hingga biaya yang ditimbulkannya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 15.Pada dasarnya rangkaian dampak yang ditimbulkan pada pengolahan sampah, dimulai sejak masuknya sampah ke lokasi sanitary landfill, incinerator dan composting site. Pada pengolahan sampah akan dihasilkan emisi yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas dari udara, tanah, dan kualitas air dengan bertambahnya konsentrasi polutan ke dalam media tersebut. Emisi polutan dapat mengenai (exposure) manusia, gedung, binatang, tanaman, dsb.yang dalam kuantitas tertentu dan lamanya kontaminasi dosis dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan, dan pada aspek lainnya. Dampak negatif ini pada akhirnya menjadi beban yang harus ditanggung oleh masyarakat (social cost), secara skematis hal ini dapat dilihat pada Gambar 15. Dalam rangka mendapatkan optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Langkah pertama: Mendefinisikan obyek penelitian. Pada langkah pertama dilakukan beberapa hal yakni: (a) Relokasi dari sumber daya yang sedang diusulkan.dalam penelitian ini dipergunakan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah WTE incinerator, dan high rate composting (HRC), sebagai kelengkapan sistem pengolahan yang sebelumnya hanya dilakukan dengan sanitary landfill, maka terdapat

71 49 relokasi sumber daya untuk pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas WTE insinerator dan HRC; (b) Pertimbangan terhadap keuntungan dan kerugian. Pendefinisian ini dimaksudkan untuk memperjelas batasan dari obyek penelitian yang akan dilakukan penilaiannya dan untuk memberikan batasan dari obyek penelitian yang akan dinilai. Faktor emisi x Satuan biaya Sampah Emisi Biaya sosial Udara, Tanah, Kualitas Air Eksposur Dosis Dampak Gambar 15 Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan 2. Langkah kedua: Identifikasi dampak Pada langkah ke dua, setelah obyek penelitian yang akan dinilai, lingkup dan batasannya ditetapkan, maka langkahberikutnya adalah melakukan identifikasi seluruh dampak yang dihasilkan dari pelaksanaan/ pengoperasiannya, yang meliputi penggunaan sumberdaya, dampak tenaga kerja, dampak pergerakan lalulintas, dampak terhadap harga kepemilikan, dampak kualitas landscape, dan eksternalitas lainnya. 3. Langkah ketiga: Menentukan dampak yang relevan secara ekonomi. Pada dasarnya hampir setiap masyarakat tertarik untuk memaksimalkan kepuasannya (utilitasnya) terhadap kelompok yang lainnya. Kepuasan ini bergantung kepada beberapa variabel, yakni tingkat konsumsi dari barang yang ada pasarnya maupun barang yang tidak memilliki pasar. Dalam penelitian ini CBA digunakan untuk memilih pemanfaatan teknologi pengolahan sampah SLF, WTE insinerator, HRC, baik yang dioperasikan secara individual maupun terintegrasi dari ketiga teknologi tersebut, untuk menentukan pilihan yang terbaik (paling efisien) dari daftar alternatif sistem pengolahan sampah (portofolio).

72 50 4. Langkah keempat: Kuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai. Pada tahap ini dilakukan penentuan besaran fisik dari biaya dan manfaat yang ada pada obyek penelitian, serta mengidentifikasi sesuatu yang akan terjadi pada saatnya nanti, seperti perubahan terhadap kondisi lingkungan yang dapat merugikan masyarakat tertentu di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida CO 2 dan gas metan CH 4 yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dari pemanfatan teknologi SLF, WTE insinerator, HRC, serta kombinasinya dengan sampah yang tidak terpilah, dan yang terpilah antara sampah organik dan anorganik. 5. Langkah kelima: Valuasi moneter dari dampak yang relevan Pada tahap ini dilakukan penakaran dampak dengan menggunakan ukuran yang biasa dipergunakan.pada penelitian ini simplifikasi dilakukan dengan hanya menghitung emisi gas yang ditimbulkan dari teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, dengan melakukan kuantifikasi timbulnya gas rumah kaca (GRK) dominan yaitu gas karbon dioksida CO 2 dan gas metan CH 4. Perhitungan keuntungan maupun kerugian riil di masa yang akan datang harus dihitung dengan memperhatikan faktor tingkat inflasi. 6. Langkah keenam: Discounting dari aliran cost dan benefit Pada tahap ini dilakukan perhitungan seluruh cost (kerugian) ataupun benefit (keuntungan), yang dihitung dengan menggunakan nilai uang. Nilai present value (PV) harus dikonversikan dalam nilai saat ini, adapun formula yang digunakan adalah sebagai berikut: PV (X t ) = X t (( 1 + i ) -t ) atau PV (X t ) = X t ( 1/( 1 + i ) t ) Keterangan : PV : harga pada saat ini (present value) X t : harga X pada tahun t i : interest (bunga bank yang berlaku), dalam perhitungan ini diambil 7% Nilai dalam kurung merupakan discount factor yang nilainya antara +1 dan Langkah ketujuh : Menggunakan uji net present value Tujuan utama dari CBA adalah membantu memilih proyek dan memilih kebijakan yang paling efisien dalam konteks penggunaan sumber daya. Kriteria yang dipergunakan adalah dengan melihat nilainet present value(npv), yaitu melihat nilai total dari PV

73 51 keuntungan (benefit) dibandingkan dengan nilai total dari PV kerugian (cost). Apabila nilai PV keuntungan lebih besar dari nilai PV kerugian maka kegiatan tersebut lebih effisien dalam menggunakan sumber daya. NPV dapat dihitung dengan menggunakan formula : NPV = B t (1 + I ) t - C t ( 1 + I ) t 7. Langkah kedelapan: Analisis sensitifitas Pada tahap ini dilakukan perhitungan analisis sensitifitas, dalam rangka melihat parameter yang paling sensitif terhadap NPV. Uji sensitifitas dilakukan karena terdapat ketidakpastian dalam melakukan prediksi kondisi fisik yang terjadi di masa yang akan datang. Parameter yang dipergunakan terhadap NPV dalam penelitian ini antara lain: 1. Discount rate, 2. Harga jual/ beli dari energi listrik yang dihasilkan, 3. Jarak angkut sisa pembakaran sampah Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) Pada tahap ini dilakukan analisis dengan metoda multi kriteria evaluasi untuk menentukan alternatif terbaik dalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah.pada tahapan penelitian ini dipilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKIJ.Sistem tersebut adalah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah High rate composting (HRC), WTE incinerator, dan system sanitary landfill (SLF), baik yang dilakukan secara individual maupun dengan teknologi terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik.adapun langkah yang dilakukan untuk tujuan tersebut adalah sebagai berikut: Langkah 1: penetapan alternatif teknologi pengolahan sampah, yang dioperasikan secara individual dan terintegrasi, sehingga didapat lima alternatif pilihan sistem pengolahan sampah. Langkah 2: menetapkan kriteria pemilihan teknologi pengolahan sampah dan penetapan bobot untuk masing-masing kriteria. Langkah 3: melakukan pemilihan alternatif sistem pengolahan sampah berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan bantuan program MCE TOPSIS.

74 52 Penentuan nilai akhir dari multi kriteria didasarkan pada pembentukan dan perhitungan matrik keputusan yang kemudian diolah dengan bantuan program TOPSIS (Technique Ordering Preference Similarity Ideal Situation). Tahap pertama dalam TOPSIS adalah penentuan matriks keputusan dalam bentuk Dimana D adalah decision matriks, X 11 atau X ij adalah alemen matriks yaitu nilai atau angka setiap pilihan dan kriteria, sedangkan Ʌ (lamda) adalah engine vector yakni vector baris atau kolom angka yang merupakan persamaan kuadrat yang akan mentransformasikan matrik biasa menjadi matrik yang ternormalisasi, dan M adalah matriks identitas yang merupakan matrik penolong untuk membantu mentransformasi matrik di atas. Matriks keputusan ini kemudian dilakukan normalisasi sehingga diperoleh normalize rating yakni : Dimana r ij adalah rating dari kolom baris ke i kolom ke j, x ij adalah komponen matrik baris ke i dan kolom ke j. Normalized rating ini kemudian di bobot menjadi: Dimana V ij adalah bobot yang ternormalisasi dengan W j adalah bobot. Langkah selanjutnya dalam penentua prioritas adalah penentuan solusi ideal dan solusi non ideal yang dihitung berdasarkan formula: Dimana A* adalah situasi ideal dan A - adalah situasi non-ideal dan J adalah manfaat yang diperoleh dari setiap alternatif.

75 53 Langkah berikutnya dari TOPSIS adalah penentuan jarak Euclidian dari situasi ideal dan non-ideal yang ditulis dalam persamaan: Dimana S* adalah jarak ideal dan adalah jarak non-ideal dan v ij bobot yang ternormalisasi. Langkah terakhir kemudian menentukan rankin yang didasarkan pada rasio jarak ideal dan non ideal yakni: Dimana 0<C*< Analisis System Dynamic (sistem dinamik) Analisis system dynamic digunakan untuk melihat interakasi antar berbagai komponen dalam pengelolaan sampah yakni variabel social (pertumbuhan penduduk), variabel ekonomi (PDRB), variabel lingkungan (sampah), dan teknologi (SLF, WTE, dan HRC). Hasil dari sistim dinamik dapat memprediksi volume sampah dan unit cost yang dibutuhkan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan volume sampah tersebut. Analisis system dynamic dilakukan melalui program Vensim dengan komponen sebagaimana pada diagram Gambar Analisis Kebijakan Pada tahap ini dilakukan formulasi kebijakan yang direkomendasikan dalam pengolahan sampah perkotaan dengan mengambil kasus DKIJ. Langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah: Langkah 1:melakukan evaluasi implementasi kebijakan pengolahan sampah di DKIJdalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan teknologi komposting dan insenirator skala kecil.

76 54 Langkah 2: melakukan formulasi kebijakan berdasarkan hasil kajian pada langkah sebelumnya, untuk memberikan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Gambar 16 Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta

77 55 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi Penelitian Kota Jakarta sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah, ditetapkan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dan merupakan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Disamping sebagai pusat pemerintahan Jakarta juga memiliki peran sebagai kota perniagaan, perdagangan dan budaya yang terletak antara 6 o 12 Lintang Selatan, 106 o 48 Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter di atas permukaan laut. Daerah perkotaan memiliki kemiringan dari bagian selatan ke bagian utara, ke arah laut dengan kemiringan kurang dari 1/1000. Di sebelah utara membentang pantai dari barat ke timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya sembilan buah sungai dan dua buah kanal, sungai terbesar yang melintasi kota Jakarta adalah Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. Kota Jakarta di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah propinsi Jawa Barat, di sebelah barat dengan Propinsi Banten, dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu udara maksimum pada siang hari kurang lebih 33,8 o C, dan pada malam hari kurang lebih 23,1 o C. Curah hujan DKI mencapai 2.105,5 mm dengan tingkat kelembaban udara mencapai 78,4% dan kecepatan angin rata-rata mencapai 3,4 m/dt. Daerah di sebelah selatan dan timur Jakarta terdapat rawa dan situ dengan total luas mencapai 100,52 Ha, sehingga cocok digunakan sebagai daerah resapan air. DKI Jakarta mempunyai iklim yang sejuk, sehingga wilayah ini lebih cocok dipergunakan sebagai wilayah permukiman. Wilayah administrasi propinsi DKI Jakarta di bagi menjadi lima bagian wilayah yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Kotamadya Jakarta Timur serta wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu. Penelitian ini hanya mengambil lokasi di wilayah kotamadya, sehingga di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yang terpisah dari ke lima bagian wilayah DKI Jakarta tidak dilakukan penelitian. 4.2 Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Secara umum pengelolaan sampah di DKI Jakarta dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Khusus untuk pengelolaan sampah yang berasal dari sungai

78 56 berada di bawah tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, dan sampah yang berasal dari taman-taman dikelola oleh Dinas Pertamanan. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan dan diangkut sampai ke tempat penampungan sementara (TPS), yang dikoordinasikan dengan Dinas Kebersihan untuk melaksanakan pembuangan hingga ke tempat pengolahan dan pembuangan akhir (TPA). Koordinasi dan pengelolaan sampahsampah tersebut diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No tahun 1988 tentang Pengelolaan Sampah DKI Jakarta. Adanya kebijakan tersebut, mengakibatkan pengelolaan sampah di DKI Jakarta mengalami berbagai masalah baik aspek teknis, sosial (peran serta masyarakat). Selain itu juga menghadapi masalah kurangnya alokasi dana untuk biaya operasi dan pemeliharaan. Secara skematik pengelolaan sampah sejak dari sumber hingga pengolahan dan pembuangan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dapat dilihat pada Gambar 17. SUMBER DAN VOLUME MANAJEMEN DAN PEMBUANGAN Sampah Rumah Tangga 52 % Komunitas Dan Pasar Lokal Organik Non-Organik Daur Ulang Sampah Skala Kecil Pemasaran Produk Pasar Tradisional 17 % Non-Organik & Pemulung Kertas Lapak Pengumpulan Industri Daur Ulang 25,578 m 3 /hari Pasar Komersil 15 % Manajemen Oleh DKI m 2 /hari Organik & Non-Organik Penampungan Sementara Atau Akhir Industri 15 % Jalan 1 % Sektor Swasta Di Jalan Protokol Pengangkutan Dari Sungai (DKI) 400 m 2 /hari m 3 /hari Buangan Sampah ke Sungai 1,000 m 3 /hari Teluk Jakarta Gambar 17 Skematik diagram pengelolaan sampah DKI jakarta berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta

79 57 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005), memperlihatkan bahwa timbulan sampah yang dihasilkan per kapita per hari adalah sebesar 2,97 liter/ kapita/hari, atau setara dengan 0,64 kg/kapita/hari, dengan berat jenis sampah 0,21 kg/liter. Secara terinci timbulan dan berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah dapat di lihat pada Tabel 12, Tabel 13 dan Tabel 14. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wahyono (2004) yang mengatakan bahwa pada tahun 1995, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata sebanyak 0,8 kg per kapita per hari, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2020, diperkirakan produk sampah mencapai 2,1 kg per kapita per hari. sampah telah menjadi masalah besar di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, maka jika tidak dilakukan pengelolaan terhadap sampah, maka pada tahun 2020, volume sampah perkotaan diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jumlah timbunan sampah semakin lama semakin meningkat jumlahnya, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu maka pengelolaan sampah perlu ditangani secara terpadu. Sumber Sampah Tabel 12 Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survey tahun 2005 Timbulan Sampah Di Sumber Satuan Jumlah Sumber Satuan Total Produksi Sampah ( m3/ hari) Pemukiman 1,36 liter/orang/hari jiwa Pasar 9,82 liter/pedagang/hari pedagang 750 Sekolah 0,40 liter/murid/hari murid 955 Perkantoran/ 3,36 liter/pekerja/hari pegawai Fasum Industri 2,76 liter/buruh/hari buruh Sumber : Dinas Kebersihan DKI (Januari 2005) TOTAL Tabel 13 Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 Timbulan Sampah liter/jiwa/hari Kg/Jiwa/Hari Pemukiman 1,36 0,339 Pasar 0,10 0,031 Sekolah 0,13 0,034 Perkantoran/ Fasum 1,14 0,175 Industri 0,25 0,057 Total Timbulan Sampah 2,97 0,64 Sumber : Dinas Kebersihan DKI (Januari 2005)

80 58 Tabel 14 Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah Sumber Sampah Berat jenis sampah ( Kg/liter) Pemukiman 0,25 Pasar 0,30 Sekolah 0,27 Perkantoran/ Fasum 0,15 Industri 0,23 Total Sampah 0,22 Sumber : Data Perhitungan Dinas Kebersihan DKI, Januari Komposisi Sampah a. Sampah Permukiman Sampah permukiman umumnya berupa sampah yang berasal dari halaman rumah, dari dapur baik berupa sisa-sisa pengolahan makanan, bekas pembungkus, sampah bekas alat rumah tangga, sampah daun tanaman, kulit buah, dan kaleng bekas kemasan bahan makanan. Jenis sampah permukiman sebagian besar (± 62,6%) merupakan sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik sekitar 37,4%. Hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) memperlihatkan bahwa 16,37% sampah rumah tangga didaur ulang, dan sisanya kurang lebih 83,63% dibuang ke TPS dan TPA. Komposisi timbulan sampah di wilayah permukiman bervariasi, tergantung pada tingkat pendapatan. Komposisi sampah di wilayah permukiman dengan tingkat pendapatan tinggi, menengah dan rendah masing-masing dapat dilihat pada Tabel 15, Tabel 16 dan Tabel 17. Tabel 15 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan tinggi No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 65,45 0,00 65,45 2 An organic 2.1 Kertas 13,00 9,17 3, Plastik 12,02 6,15 5, Kayu 0,02 0,02 0, Kain/tekstil 0,33 0,33 0, Karet/kulit tiruan 2.6 Logam/metal 1,00 1,00 0, Gelas/kaca 2,10 2,10 0, Sampah bongkahan 0,00 0,00 0, Sampah B3 1,28 0,00 1, Lain-lain (batu, pasir, dll). 4,52 0,00 4,52 Total ,77 81,23 Sumber : Hasil Survai DJCK, Januari 2005

81 59 Tabel 16 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan menengah No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 61,55 0,00 61,55 2 An organik 2.1 Kertas 11,04 4,55 6, Plastik 13, , Kayu 0,12 0,12 0, Kain/tekstil 0,24 0,24 0, Karet/kulit tiruan 0,10 0,10 0, Logam/metal 0,90 0,90 0, Gelas/kaca 0,83 0,83 0, Sampah bongkahan 3,00 3,00 0, Sampah B3 1,14 0,00 1, Lain-lain (batu, pasir, dll). 7,41 0,00 7,41 Total ,76 87,24 Sumber : Hasil Survai DJCK Januari 2005 Tabel 17 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan rendah No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 60,70 0,00 60,70 2 An organic 2.1 Kertas 15,00 5,52 9, Plastik 14,00 11,6 3,4 2.3 Kayu ,09 0, Kain/tekstil 1,56 1,56 0, Karet/kulit tiruan 0,33 0,33 0, Logam/metal 0,99 0,99 0, Gelas/kaca 1,15 1,15 0, Sampah bongkahan 0,60 0,60 0, Sampah B3 1,24 0,00 1, Lain-lain (batu, pasir, dll). 4,38 0,00 4,38 Total ,84 78,16 Sumber : Hasil Penelitian DJCK (Januari 2005) b. Sampah Pasar Tradisional dan Pertokoan Moderen. Sampah pasar tradisional didominasi oleh sampah organik. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta, (2005) yang memperlihatkan bahwa jumlah sampah organik mencapai 83,69% dan sampah anorganik 26,31%, termasuk di dalamnya sampah B3 sebesar 0,12%. Komposisi sampah yang berasal dari pasar moderen memiliki komposisi yang berbeda dengan pasar tradisional. Sampah yang berasal dari pasar (pertokoan modern), memiliki kandungan sampah anorganik yang lebih besar dari sampah yang dihasilkan dari sampah pasar tradisional yaitu 54,52%, sedangkan sampah organiknya 45,48%. Komposisi sampah yang berasal dari pasar tradisional dan pasar modern dapat dilihat pada Table 18 dan Tabel 19.

82 60 Tabel 18 Komposisi sampah dari pasar tradisional No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 83, ,69 2 An organik 2.1 Kertas 5,15 3,06 5, Plastik 9,66 5,06 4, Kayu 0, Kain/tekstil Karet/kulit tiruan 0, Logam/metal 0, Gelas/kaca 2.8 Sampah bongkahan 2.9 Sampah B3 0,12 0 0, Lain-lain (batu, pasir, dll). 0,82 0 0,82 Total 100 8, Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) Tabel 19 Komposisi sampah dari pasar (pertokoan) modern No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 45, ,68 2 An organik 2.1 Kertas 26,06 16,72 9, Plastik 12,10 8,74 3, Kayu 4,03 4, Kain/tekstil 1,49 1, Karet/Kulit Tiruan 2.6 Logam/metal 0,82 0, Gelas/kaca 7,24 7, Sampah Bongkahan 2.9 Sampah B3 0,15 0 0, Lain-lain (batu, pasir, dll). 2,61 0 2,61 Total ,28 53,72 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005. c. Sampah Perkantoran dan Sekolah Sampah yang ditimbulkan dari aktivitas perkantoran dan sekolah memiliki komposisi dan karakteristik yang berbeda dengan sampah yang berasal dari daerah perumahan dan pasar. Hasil survey dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) menunjukkan bahwa sampah perkantoran didominasi oleh sampah anorganik yaitu sebesar 90,16%, sedangkan sisanya 9,84% berupa sampah organik. Sampah dari sekolah terdiri dari 28,17% sampah organik dan 71,83% sampah anorganik. Komposisi sampah yang berasal dari perkantoran dan sekolah dapat dilihat pada Tabel 20 dan Tabel 21.

83 61 Tabel 20 Komposisi sampah dari perkantoran No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 9,84 0 9,84 2 An organik 2.1 Kertas 58,42 20,03 38, Plastik 14,69 6,88 7, Kayu 2.4 Kain/tekstil 2.5 Karet/kulit tiruan 0,28 0, Logam/metal 2,02 2, Gelas/kaca 5,68 5, Sampah bongkahan 0,63 0, Sampah B3 3,65 0 3, Lain-lain (batu, pasir, dll). 4,79 0 4,79 Total ,52 64,48 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) Tabel 21 Komposisi sampah dari sekolah No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 28, ,17 2 An organik 2.1 Kertas 34,93 11,83 23, Plastik 26,21 17,2 9, Kayu 1,69 1, Kain/tekstil 2.5 Karet/kulit tiruan 0, Logam/metal : 1,05 1, Gelas/kaca : 2,82 2, Sampah bongkahan 2.9 Sampah B Lain-lain (batu, pasir, dll). 3,94 0 3,94 Total ,87 65,13 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005. d. Sampah Industri Sampah industri merupakan sampah yang dihasilkan dari aktivitas proses industri. Jenis sampah industri tergantung pada bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi, serta kebutuhan bagi para pekerja dalam industri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005), pada salah satu industri kain di Daerah Cempaka Putih, dapat dilihat pada Tabel 22. Secara umum komposisi sampah industri memiliki kandungan sampah organik yang kecil yaitu 1,77% yang umumnya berasal dari aktivitas karyawan yang bekerja pada industri tersebut, sedangkan sampah anorganiknya mencapai 98,23%, termasuk di dalamnya sampah B3 sebesar 0,18%.

84 62 Tabel 22 Komposisi sampah industri No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 1,77 0 1,77 2 An Organik 2.1 Kertas 20,68 14,18 6, Plastik 16,93 13,53 3, Kayu 4,01 4, Kain/tekstil 42,46 42, Karet/Kulit Tiruan 6,49 6, Logam/metal 2,48 2, Gelas/kaca Sampah Bongkahan 2.9 Sampah B3 0,18 0 0, Lain-lain (batu, pasir, dll) Total ,15 15,85 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) Tingginya sampah anorganik pada sampah industri merupakan hal yang sangat perlu diwaspadai, mengingat sampah anorganik yang berasal dari kegiatan industri pada umumnya sulit terurai, bahkan di dalamnya terdapat limbah yang masuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (Abou et al dan Napitupulu, 2009). Kondisi ini sesuai dengan hasil kajian dari Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta (2005) yang mengatakan bahwa pada sampah industri terdapat sampah B3 dan logam (Tabel 22). Di lain pihak bahan berbahaya dan beracun merupakan bahan-bahan yang umumnya bersifat karsinogenik, teratogenik, mutagenic dan bersifat merusak jaringan dan sel-sel tubuh mahluk hidup (Klaassen, Doul and Amdur 1986), Hal ini sesuai dengan pendapat Ahalya, Ramachandra dan Kanamadi (2004) bahwa sampah industri yang mengandung logam akan dapat membahayakan organisme yang terpapar oleh sampah tersebut, sehingga keberadaan sampah B3 dan logam harus sangat diperhatikan. e. Komposisi Sampah Rata-rata Hasil survey Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) tentang komposisi rata-rata timbulan sampah di wilayah Propinsi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa komposisi timbulan sampah rata-rata didominasi sampah organik (kurang lebih 55,37%). Sampah lainnya yakni sebanyak 44,63% adalah sampah anorganik, termasuk di dalamnya sampah B3 sebesar 1,52%. Adanyanya sampah B3 harus diperhatikan dengan seksama mengingat sampah B3 akan sangat membahayakan kehidupan dan dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan dan sakitnya manusia yang terpapar oleh limbah B3 tersebut (Klaassen et al dan Manahan 2005). Komposisi sampah rata-rata DKI dapat dilihat

85 63 pada Tabel 23, sedangkan peningkatan timbulan sampah dari masing-masing wilayah DKI pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 23 Komposisi sampah rata-rata di Wilayah DKI Jakarta No Komponen % total % di daur ulang % dibuang 1 Organik (sisa makanan, daun, dll). 55, ,37 2 An organik 2.1 Kertas 20,57 7,32 13, Plastik 13,25 6,85 6, Kayu 0,07 0, Kain/tekstil 0,61 0, Karet/kulit tiruan 0,19 0, Logam/metal 1,06 1, Gelas/kaca 1,91 1, Sampah bongkahan 0,81 0, Sampah B3 1,52 0 1, Lain-lain (batu, pasir, dll). 4,65 0 4,65 Total ,95 80,05 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005 Tabel 24 Timbulan sampah di DKI Jakarta, tahun 2005(dalam m 3 ) Kotamadya Timbulan per hari Terangkut per hari Sisa Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Jumlah Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2005) Komponen sampah organik yang berasal permukiman strata pendapatan tinggi mencapai 65,45% (Tabel 15), pada strata pendapatan menengah 61,55% (Tabel 16), pada strata pendapatan rendah 60,70% (Tabel 17), dari pasar tradisional 83,69% (Tabel 18), pertokoan modern 45,48% (Tabel 19). Pada dasarnya sampah organik merupakan bahan yang baik untuk pembuatan kompos. Mengingat kompos merupakan bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja di dalamnya (Murbandono 2005). Menurut Djuarnani et al. (2005), kompos dihasilkan dari proses fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organik. Namun bahan organik yang cukup tinggi yang

86 64 berasal dari kegiatan permukiman dan pasar tersebut belum didaur ulang (dibuat kompos) seperti yang terlihat pada Tabel serta dari kegiatan lain (Tabel 20 24). Adanya pengolahan sampah organik menjadi kompos, pada dasarnya bukan hanya sekedar menghilangkan masalah sampah, namun juga membantu kesuburan tanah yang saat ini menjadi masalah, mengingat kompos merupakan partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah (Delgado & Follent 2002). Selain itu komos sangat baik untuk tanaman, karena selain hal tersebut di atas, kompos juga mengandung unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, kalsium, belerang dan magnesium (Harada et al. 1993). Hal ini sesuai dengan pendapat Tuomela et al. (2000) yang mengatakan bahwa tujuan dari pengomposan adalah merubah bahan organik menjadi produk yang mudah dan aman untuk ditangani, disimpan, dan diaplikasikan ke lahan pertanian tanpa menimbulkan efek negatif pada lingkungan. Dengan demikian maka pengomposan bahan organik yang berasal dari berbagai kegiatan akan sangat membantu dalam menghadapi masalah sampah, sekaligus membantu menyuburkan tanah, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan nilai ekonomi sampah, sekaligus memperbaiki lingkungan Karakteristik Sampah Karakteristik sampah memegang peranan penting dalam proses pengolahan dan aplikasi teknologi pengolahan sampah, baik pengolahan sampah dengan insinerator, komposting, phyrolisis ataupun sanitary landfill. Adapun yang dimaksud dengan komposting pada penelitian ini adalah proses pembusukan atau fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organic; dengan prinsip menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah, sehingga (10-12), sehingga memungkinkan diserap oleh tanaman (Talashilkar et al. 1999). Adapun phyrolisis adalah proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang, untuk dapat menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (asap cair) (Paris et al. 2005). Proses phyrolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300 o C dalam waktu 4-7 jam (Demirbas, 2005), namun sangat tergantung pada bahan baku dan cara pembuatannya (Qadeer & Akhtar 2005; Machida et al. 2005). Phyrolisis sampah menjadi arang cukup menguntungkan, karena arang yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi/bahan bakar (Matsuzawa et al 2007), selain itu juga

87 65 dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah (Gusmailina & Pari 2002). Apabila arang tersebut ditingkatkan mutunya dengan diaktivasi menjadi arang aktif, dapat berperan sebagai adsorben dan katalis, bahkan dapat dikembangkan sebagai soil conditioner pada budidaya tanaman holtikultura (Gusmailina et al. 2001; Smith et al. 2004). Pengolahan sampah dengan sanitary landfill merupakan teknologi yang berusaha mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Namun demikian tidak dapat dibiarkan terus menerus karena dalam waktu yang lama menurut Tchobanoglous et al. (1993) di lokasi pengolahan sampah akan terjadi pencemaran. Terjadinya pencemaran ini akan mengganggu lingkungan dan kesehatan, karena di sekitar sanitary landfill bukan saja akan didapatkan gas metan, namun juga bahan pencemar lain baik dalam bentuk bahan pencemar organic, maupun bahan pencemar anorganik, termasuk di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan beracun. Sampah organik yang dibiarkan cukup lama pada suatu lokasi dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam bibit penyakit (Setiawan 2001). Selain sampah organik, sampah anorganik yang umumnya mengandung bahan berbahaya dan beracun juga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan (Abou et al. 2002) dan terjadinya gangguan kesehatan (Klaassen and Amdur 1986 serta Ahalya et al. 2004). Pengolahan sampah dengan menggunakan insinerator (pembakaran), biayanya berbeda-beda tergantung pada jenis sampahnya. Sampah yang kandungan kalorinya rendah, memerlukan biaya operasi yang lebih mahal dibanding sampah yang kandungan kalorinya lebih tinggi. Kondisi kebalikannya terjadi pada sampah yang terlalu kering. Sampah yang terlalu kering jika diolah dengan proses komposting memerlukan penanganan khusus. Karakteristik sampah yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan teknologi pengolahan sampah adalah : a. Nilai kalori yang dinyatakan dalam kkal/kg sampah yang merupakan kandungan nilai panas dari sampah itu sendiri. b. Kadar air yang terkandung dalam sampah yang dinyatakan dalam % (persen) beratnya. c. Kadar abu yang merupakan sisa dari proses pembakaran yang dinyatakan dalam % (persen) Hasil penelitian Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) tentang nilai kalor, kadar air dan kadar abu dari berbagai sampel jenis sampah di Wilayah DKI Jakarta, dapat dilihat pada Tabel 25. Nilai kalor, kadar air dan kadar abu berdasarkan nilai pendekatan perhitungan BPPT dapat dilihat pada Tabel 25. Perkiraan karakateristik rata-rata sampah

88 66 di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 26, dan karakateristik sampah rata-rata di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 25 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKI Sumber Sampah Hasil Analisis Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Nilai Kalor (Kkal/kg) Pasar Modern 18 8, Pemukiman 36,27 4, Perkantoran 19 7, Industri 3 5, Pasar Tradisional , Sekolahan , Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) Di dalam penelitian ini sampah yang diteliti masih tercampur atau dengan kata lain belum dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, dengan nilai kalori kkal/kg sampah. Perhitungan kadar abu sisa pembakaran dengan mempergunakan insinerator WTE adalah 8,44 %. Ada indikasi terdapat kecenderungan terjadinya perubahan komposisi sampah di masa mendatang selaras dengan kenaikan tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin dari peningkatan PDRB per tahun di wilayah DKI Jakarta, akan mengakibatkan terjadinya kenaikan komposisi sampah anorganik. Dengan pemanfaatan teknologi WTE incinerator, sampah akan dibakar dan selanjutnya panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan listrik melalui ketel uap yang menggerakkan turbin pembangkit listrik. Apabila diasumsikan ada pemilahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah, maka nilai kalori yang dipergunakan dalam menghitung produksi listrik yang dihasilkan dalam proses pengolahan sampah insinerator WTE adalah sebesar kkal/kg. Hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 25 memperlihatkan bahwa nilai kalor sampah Jakarta dari berbagai sumber timbulan sampah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pengolahan dengan proses pembakaran (insinerator). Berdasarkan data karakteristrik sampah dari berbagai sumber timbulan sampah, maka komposisi sampah yang paling baik untuk dilakukan proses pembakaran adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial seperti perkantoran, sekolah, pasar modern, serta sampah yang berasal dari industri terutama dari industri dengan input material yang memiliki kandungan kalori tinggi seperti industri kain (konveksi).

89 67 Tabel 26 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT Perhitungan Karakteristik Sumber Sampah Nilai Kalor (Kkal/Kg) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Industri Pasar modern Perkantoran Pasar Sekolah Pemukiman Pendapatan Tinggi Pemukiman Pendapatan Menengah Pemukiman Pendapatan Rendah Rata Rata Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005 Tabel 27 Prakiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta Karakteristik Sampah Industri Pasar Modern Perkantoran Pasar Nilai Kalor Kadar Air 27,13 39,91 27,85 59,88 Kadar Abu 5,03% 7,22% 5,53% 9,27% Kemungkinan Insinerasi Sangat baik baik Sangat baik kurang baik Karakteristik Sampah Sekolah Permukiman dengan Pendapatan Tinggi Sedang Rendah Nilai Kalor Kadar Air 39,72 49,55 51,71 48,61 Kadar Abu 6,38% 8,55% 8,49% 8,35% Kemungkinan Insinerasi Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Tabel 28 Karakteristik sampah rata-rata di DKI Karakteristik Sampah Rata-rata Komposisi Nilai Kalor Kadar Air 40,69 Kadar Abu 8,44% Kemungkinan Insinerasi Sangat baik Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) Sampah dari pasar tradisional merupakan sampah yang kurang baik untuk direduksi dengan teknologi pembakaran, karena jika dibandingkan dengan sumber timbulan sampah lainnya, sampah tersebut mempunyai kandungan kadar air yang tinggi dan nilai kalor yang relatif rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Djuarnani et al. (2005) yang mengatakan bahwa sampah pasar mengandung air dalam kisaran 30-60%,

90 68 namun pada umumnya rata-rata kadar air sampah organik pasar mencapai 58,20%. Oleh karena itu maka pengolahan yang paling baik untuk sampah pasar adalah komposting. Komposting sampah pasar di DKI Jakarta hendaknya dapat dilaksanakan, mengingat setiap hari pasar tradisional akan menghasilkan sampah, dan hingga saat ini hanya sebagian kecil sampah yang terangkut, karena menurut Haug (1980), sampah yang tidak terangkutnya terangkut akan diuraikan secara anaerobik, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan bau busuk sebagai akibat terbentuknya gas NH, H S, dan sulfur organik. 3 2 Bau busuk ini tidak saja mengganggu estetika namun juga dapat berdampak negative terhadap kesehatan manusia yang berada di sekitar sampah yang terurai secara anaerobic tersebut. Komposisi dan karakteristik timbulan sampah rumah tangga, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakternya pada 20 tahun yang lalu. Apabila dilihat dari prasyarat penerapan teknologi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran, maka perubahan karakteristik sampah DKI memiliki kecenderungan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan kandungan nilai kalor dan penurunan kadar air yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan komponen sampah organik dan terjadinya kenaikan pada komponen sampah anorganik seperti kertas dan plastik. Berdasarkan hal itu, maka saat ini karaketristik sampah rumah tangga dapat dikategorikan dalam sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan proses insinerasi/pembakaran. Hasil kajian Direktorat Pengkajian Sistem Industri Jasa BPPT (1994), memperlihatkan bahwa persyaratan karakteristik sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan sistem pembakaran (insenirator), seperti yang dilakukan di Singapura serta negara lain yang telah menerapkan sistem insinerasi adalah: Nilai kalor : 955 s/d kkal/kg; Kadar air : 35 s/d 55 %; Kadar abu : 10 s/d 30 %. Perubahan komposisi timbulan sampah di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 24. Penerapan instalasi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran sampah skala besar yang disertai dengan pemanfaatan panas yang dihasilkannya untuk pembangkit energi listrik (waste to energy, WTE) merupakan salah satu pilihan dalam pengolahan intermediate. Namun demikian diperlukan pertimbangan lebih lanjut mengenai biaya investasi awal yang mahal (capital expenditure/ CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan

91 69 (operation expenditure/ OPEX), serta dampak yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dengan sistem insinerator tersebut. No. Tabel 29 Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta Komponen ( %) Tahun I Organik II Anorganik Plastik Kertas Styrofoam Karet Kayu Bulu N.A N.A N.A N.A 0.8 Kain Kaca Logam Lain-lain Total Sumber : BPPT (1981), Dinas kebersihan DKI (1986,1997), Hasil Penelitian JICA (1987,2001) Pada konteks pengolahan sampah dengan reduksi jumlah/volume/berat sampah, maka proses insinerator menjadi pilihan yang paling effektif, mengingat pengurangan volume/berat sampah dengan insinerator mencapai 90 %. Data tersebut memperlihatkan bahwa insinerator WTE merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan untuk mereduksi jumlah sampah dalam waktu yang singkat. Selain itu berdasarkan komposisi dari bahan yang tidak dapat terbakar dalam komposisi timbulan sampah di Jakarta, maka laju pengurangan sampah dengan menggunakan sistem ini dapat mencapai 91, 56 % dalam waktu yang relatif singkat. Insinerator WTE ini merupakan pilihan yang lebih ramah lingkungan, mengingat suhu pembakarannya lebih dari 800 C. Dalam hal ini pada insinerator kecil yang suhu pembakarannya kurang dari 800 C (umumnya C), berpotensi menghasilkan senyawa dioksin dan furan (Bramono 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Widyatmoko (1999) yang mengatakan bahwa emisi dioksin dan furan juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA serta Connell dan Miller (1995) yang mengatakan bahwa dioksin dan furan tidak diproduksi secara sengaja, tapi dihasilkan sebagai produk samping pada proses pembakaran dan beberapa proses industri kimia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan Smit (2004) yang menyatakan bahwa senyawa dioksin dan furan akan terbentuk bila terdapat kondisi suhu pembakaran antara o C, namun suhu pembakaran paling ideal untuk menghasilkan dioksin dan

92 70 furan adalah o C. Adapun yang dimaksud dengan senyawa dioksin dan furan adalah senyawa organoklor yang terdiri atas klor dan fenil (gugus cincin benzena). Senyawa ini mempunyai daya urai baik di tanah, udara, dan air yang sangat lambat (Gorman dan Tynan 2003). Namun pada insinerator WTE yang pembakarannya sangat tinggi pembentukan senyawa dioksin dan furan akan relatif sangat berkurang, oleh karena itu maka pemanfaatan insinerator WTE relatif lebih ramah lingkungan Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) Sampah B3 pada umumnya berasal dari berbagai sumber seperti industri, rumah sakit, pertambangan, transportasi, petanian dan perkebunan serta rumah tangga. dari hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan bahwa industri merupakan sumber terbesar penghasil limbah B3. Hal ini sesuai dengan pendapat Abou et al. (2002) yang mengatakan bahwa pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah umumnya lebih tinggi disbanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan lebih mudah penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999). Saat ini masih banyak industri yang lokasinya tersebar, sehingga agak sulit untuk dilakukan pengawasan. Jumlah industri yang berada di wilayah DKI Jakarta ditunjukkan pada Tabel 30. Sampah B3 yang berasal dari aktivitas rumah sakit dapat berupa sampah medis dan sampah non medis. Sampah medis ditimbulkan dari kegiatan medis yang tergolong sebagai limbah B3, yang berpotensi membahayakan baik bagi komunitas rumah sakit ataupun masyarakat jika penanganan dari limbah ini tidak memenuhi persyaratan. Hal ini sesuai dengan pendapat Abou et al. (2002) yang mengatakan bahwa pada limbah rumah sakit terdapat limbah B3 yang berasal dari obat-obatan dan bahkan terdapat limbah radioaktif, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus. Khusus untuk limbah radioaktif harus ditangani lebih serius karena bahan radioaktif dapat melepaskan sinarnya ke lingkungan secara rutin sehingga dapat membahayakan kehidupan (Simmonds, Lawson, dan Mayall, 1995). Limbah non-medis adalah limbah domestik yang ditimbulkan dari aktivitas pelayanan administrasi di rumah sakit. Limbah non-medis dari rumah sakit, dapat dibuang dan diolah bersama-sama

93 71 dengan limbah domestik dari sumber lainnya. Secara umum limbah yang dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 30 Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta Klasifikasi Industri Jumlah Perusahaan % pertumbuhan Jumlah Perusahaan % pertumbuhan Jumlah Perusahaan % pertumbuhan Makanan dan Minuman 205 6, , ,73 Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit , , ,93 Kayu, Bambu, Rotan, Furnitur , , ,07 Kertas, Percetakan, Penerbit, Reproduksi Media Rekaman 220 5, , ,36 Kimia dan Barang-barang dari bahan kimia 353 9, , ,27 Barang Galian bukan Logam, Daur Ulang Barang 41 7, , ,03 Bukan Logam Logam Dasar 38 0, , ,24 Barang dari Logam, Mesin dan Peralatannya, Daur 322-1, , ,31 Ulang Barang Logam Industri Pengolahan Lainnya 45-13, , ,44 Jumlah , , ,56 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2002) Tabel 31 Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah No Unit/kegiatan Jenis Sampah 1 Kantor /administrasi Kertas 2 Unit obstetric dan ruang perawatan obstetric Pakaian, sponge, placenta, ampul, termasuk kapsul perak nitrat, Jarum syringe, masker sekali pakai, popok sekali pakai, sanitary napkin, blood lancet disposeble diaper dan underpard, sarung 3 Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan. 4 Unit laboratorium, ruang mayat, pathologi dan autopsi tangan sekali pakai. Dressing,sponge jaringan tubuh,termasuk amputasi, ampul bekas,masker sekali pakai, jarum dan syringe drapes cabs. Dispossable blood lancet, kantong emisis sekali pakai, levin tubes catheter, drainase set, kantong colosiomy, underpads, sarung. Gelas terkontaminasi termasuk pipet petri dish, wadah specimen, slide specimen, jaringan tubuh, organ, tulang. 5 Unit isolasi Bahan-bahan kertas yang mengandung buangan nasal dan sputum, dressing, dan bandages, masker sekali pakai, sisa makanan perlengkapan makan. 6 Unit perawatan Ampul, jarum sekali pakai, dan syringe kertas dan lain-lain. 7 Unit pelayanan Karton kertas bungkus, kaleng, botol, sampah dari ruang umum dan pasien, sisa makanan, buangan. 8 Unit gizi/dapur Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makan, sayur dan lain-lain. 9 Halaman Sisa pembungkus daun ranting, debu. Sumber: Oviatt V.R. disposal of solid waste, hospital (1968) Berdasarkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari limbah rumah sakit oleh Departemen Kesehatan RI, limbah medis dikelompokkan dalam :

94 72 a. Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas dan pisau bedah; b. Limbah infeksius, yaitu limbah yang berkaitan dengan pasien penyakit menular yang memerlukan isolasi dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular; c. Limbah jaringan tubuh, yang meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh. Limbah tersebut biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau autopsi; d. Limbah sitotoksik, yaitu bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik; e. Limbah farmasi, yang terdiri dari obat-obatan kadaluwarsa, obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang tidak diperlukan lagi atau limbah dari proses produksi obat; f. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinary, laboratorium, proses sterilisasi atau riset. Limbah kimia dibedakan dengan buangan kimia yang termasuk dalam limbah farmasi dan sitotoksik; g. Limbah radioaktif, yaitu bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionuklida Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase serta Sungai Wilayah DKI Jakarta yang memiliki garis pantai sepanjang ±30 km, mengalami persoalan dengan timbulan sampah di sepanjang pantai. Terjadinya timbulan sampah, baik yang terbawa arus aliran air sungai maupun arus laut, menimbulkan pencemaran yang cukup serius di Teluk Jakarta. Jumlah timbulan sampah di Teluk Jakarta ini bervariasi, dan belum ada penelitian atau survey yang mendalam mengenai timbulan sampah di Teluk Jakarta. Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara, telah menangani sampah pantai dengan menggunakan perahu fiber kecil dan satu buah tongkang dengan kapasitas 40 ton. Perahu-perahu kecil tersebut mengangkat sampah dari pantai dan mengumpulkannya dalam tongkang. Sampah yang telah terkumpul dalam tongkang, diangkut ke Pelabuhan Muara Angke, kemudian dipindahkan ke truk, untuk selanjutnya dibuang ke TPA Bantargebang. Sampah di wilayah DKI Jakarta juga ditimbulkan dari sistem jaringan drainase dan sungai yang mengalir di wilayah Jakarta, yaitu sampah yang bersumber dari : a). Sungai atau kali dan saluran makro drainase; b). Saluran sub makro dan mikro drainase,

95 73 dan c). Sampah yang mengalir dari sungai yang membawa sampah yang berasal dari luar wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah/ volume sampah yang dihasilkan dari sistem drainase dan sungai rata-rata 921 m 3 /hari. 4.3 Analisis Kebutuhann dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah. Kebutuhan dan ketersediaan lahan sebagai tempat pengolahan dan pembuangan sampah di DKI Jakarta, bergantung kepada pertumbuhan dan tingkat kepadatan penduduk serta pemanfaatan lahan, dan ruang terbuka yang belum terbangun. Analisis dilakukan dengan melakukan perhitungan pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan (land use ) yang dikaitkan dengan kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta, serta pertimbangan kesesuaian tempat pengolahan sampah dengan standar teknis pemilihan lokasi pengolahan sampah. Dalam aspek ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk lokasi pengolahan dan pembuangan sampah, hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah dibutuhkannya ruang yang disediakan bukan hanya semata untuk TPA-nya, namun juga harus menyediakan lahan sesuai dengan zonasi dari kawasan TPA itu sendiri sebagaimana diatur Ditjen Penataan Ruang (2008) dalam Pedoman Pemanfaatan kawasan sekitar TPA sampah. Dalam hal ini selain wilayahnya tersedia dan sesuai, TPA sampah juga harus mempunyai zona penyangga dan zona budidaya terbatas. Zona penyangga yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari TPA terhadap masyarakat sehingga akan menjaga keselamatan, kesehatan dan kenyamanan masyarakat, mengingat di TPA sampah dapat terjadi resapan air lindi, ledakan gas metan dan bahaya penyebaran vektor penyakit Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan Pertumbuhan penduduk di wilayah DKI Jakarta pada perioda tahun mengalami laju pertumbuhan yang sangat cepat, namun setelah tahun 1990 laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan, pada perioda tahun laju pertumbuhan penduduk DKI sebesar 1,13% per tahun, dan dalam perioda tahun laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta hanya 1,06% per tahun (BPS DKI, 2010). Penurunan laju pertumbuhan penduduk DKI jakarta ini diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan program keluarga berencana (BPS DKI, 2010), namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Jepan International Corporation Asistence (JICA, 2008)

96 74 menyampaikan bahwa penurunan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta dipengaruhi oleh cepatnya pembangunan permukiman dan industri skala besar yang dibarengi dengan pembangunan prasarana jalan toll, yang menghubungkan wilayah DKI Jakarta dengan wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK). Berdasarkan data dari BPS Propinsi DKI Jakarta, penduduk DKI Jakarta pada tahun 1980 berjumlah jiwa, sedangkan pada tahun 2008 telah berkembang menjadi jiwa. Pertumbuhan penduduk dan aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya peningkatan timbulan sampah dari tahun ke tahun, selaras dengan jumlah dan aktifitas penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Jumlah penduduk DKI Jakarta hasil Susenas 2008 Kotamadya Penduduk (jiwa) Kepadatan (Km2) Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Total Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2009 Proyeksi pertumbuhan penduduk yang dihitung dengan mempergunakan metoda geometrik : P n = P o (1 + r) n dengan P n = jumlah penduduk pada tahun ke n, dan Po = jumlah penduduk pada saat tahun awal proyeksi, yaitu jumlah penduduk tahun 2008 = jiwa, dan r = rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk = 1,06%/tahun. Dengan mempergunakan formula tersebut diperoleh bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2033 akan berjumlah jiwa. Adapun jumlah timbulan sampahnya akan mencapai ton/hari. Proyeksi jumlah penduduk dan timbulan sampah DKI dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19.

97 75 jiwa 12,500,000 12,000,000 11,500,000 11,000,000 jumlah penduduk (jiwa) 10,500,000 10,000,000 9,500,000 9,000,000 8,500,000 8,000, tahun Gambar 18 Proyeksi jumlah penduduk DKI ton/tahun jumlah sampah ton/hari tahun Gambar 19 Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta

98 76 Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat mengakibatkan meningkatnya kebutuhan perumahan, fasilitas komersial, serta fasilitas sosial lainnya, yang pada gilirannya akan merubah fungsi lahan dari ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun, termasuk di dalamnya pembangunan permukiman baik yang dikembangkan oleh pengembang maupun masyarakat. Perubahan fungsi lahan yang begitu cepat di Wilayah DKI disamping diakibatkan oleh pembangunan perumahan dan fasilitas lainnya juga didorong oleh lemahnya pengendalian pemanfaatan lahan oleh pemerintah daerah DKI. Hal ini terlihat dari alokasi ruang terbuka hijau (RTH) yang ditetapkan dalam RTRW DKI tahun 1987 yang menetapkan bahwa RTH sebesar 14%. Kondisi RTH ini tidak sesuai dengan kebijakan yang ada, dalam hal ini pada tahun 2006 RTH di DKI hanya tersisa 1,52% dari luas wilayah DKI, atau sebesar 1.007,49 Ha, atau 10,07 km2, dari keseluruhan luas wilayah DKI Jakarta. Karakteristik penggunaan lahan di masing-masing wilayah kotamadya dapat dilihat pada Tabel 33. Adapun perubahan penggunaan lahan di DKI Jakarta dari tahun 1972 sampai dengan tahun 2002 dapat dilihat pada Gambar 20, dan proyeksi timbulan sampah DKI hingga tahun 2033 dapat dilihat pada Gambar 19. Tabel 33 Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006 Sumber : Jakarta Dalam Angka (2007) dan RTRW DKI Jakarta (2010)

99 77 Gambar 20 Perubahan Pemggunaan Lahan di DKI Tahun Kebutuhan Lahan sebagai Tempat Pengolahan Sampah Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah bergantung pada jumlah timbulan sampah dan teknologi yang dipergunakan dalam pengolahan sampah. Kebutuhan lahan tempat pengolahan sampah di perkotaan seperti DKI Jakarta, pada umumnya menjadi masalah tersendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Satori (2002) yang mengatakan bahwa persoalan sampah di perkotaan tidak hanya sekedar masalah pencemaran lingkungan saja, sebagai akibat tidak terangkutnya sampah ke TPA, namun juga karena sulitnya mencari lahan yang dapat digunakan untuk membangun TPA. Selanjutnya dikatakan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh harga tanah yang cenderung sangat mahal, dan selalu berhadapan dengan reaksi masyarakat yang cenderung negatif. Hasil perhitungan keperluas luas lahan untuk teknologi pengolahan sampah dengan sistem SLF, dengan timbulan sampah ton/hari adalah 241 Ha. Hasil proyeksi timbulan sampah ke depan, memperlihatkan bahwa pada tahun 2033 dengan jumlah sampah sebesar ton/hari, diperlukan luas lahan untuk sistem SLF sebesar 610 ha. Luasan ini dapat dibagi menjadi dua lokasi, dengan masing-masing unit SLF memerlukan luas lahan 305 ha. Pada sistem pengolahan insinerator WTE, diperlukan lahan 25,3 ha, yang dapat ditempatkan di masing-masing bagian wilayah DKI, dengan

100 78 masing-masing luas 6,33 ha. Sistem HRC memerlukan luas lahan 52 ha, yang dapat ditempatkan dalam masing-masing wilayah kotamadya DKI dengan luas masing-masing 13 ha. Pada sistem pengolahan integrasi teknologi HRC, insinerator WTE, dan SLF, dengan sampah yang telah terpisahkan antara sampah organik dan anorganik, sampai dengan tahun 2033 dengan timbulan sampah sebesar ton/hari, DKI hanya memerlukan luas lahan sebesar 4 x 8 ha = 32 ha, yang dapat didistribusikan pada empat bagian wilayah DKI dengan masing-masing luas lahan 8 ha. Kebutuhan luas lahan (berdasarkan perhitungan) untuk pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE yang memerlukan 25,3 ha, atau 6,33 ha untuk masingmasing bagian wilayah DKI, masih memungkinkan untuk dipenuhi. Kondisi yang sama juga terjadi pada sistem HRC adalah 52 ha, atau 13 ha untuk masing masing bagian wilayah DKI, masih memungkinkan untuk dilakukan. Kombinasi teknologi antara sistem HRC dan insinerator WTE, yang memerlukan luas lahan 10 ha di masing-masing wilayah DKI juga masih memungkinkan. Kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan dan pembuangan sampah di DKI berkaitan erat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI serta pemenuhan terhadap kriteria teknis penempatan masing-masing teknologi pengolahan sampah. Sebenarnya Pemda DKI Jakarta telah merencanakan sejak awal untuk meletakkan lokasi pengolahan sampah dengan sistem SLF di luar wilayah DKI. Namun pengolahan antara dengan mempergunakan teknologi komposting dan insinerator direncanakan untuk ditempatkan di dalam Wilayah DKI, tepatnya di masing-masing bagian wilayahnya. Di samping luas lahan yang dibutuhkan dan ketersediaan lahan, hal yang harus dipertimbangkan untuk membangun tempat pengolahan dan pembuangan sampah adalah pemenuhan terhadap ketentuan dalam Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 29 ayat(1) dijelaskan bahwa : Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa : Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (duapuluh) persen dari luas wilayah kota. Berdasarkan data pemanfaatan lahan di DKI Jakarta hingga akhir tahun 2006, maka ruang terbuka hijau (taman) di wilayah DKI Jakarta hanya tersisa 1,52% dari luas wilayah DKI Jakarta, sedangkan selebihnya merupakan lahan yang telah dimanfaatkan

101 79 untuk fasilitas perumahan 64,2%, industri 5,4%, perkantoran dan gudang 11,3%, serta lainnya yang berupa jalan, sungai, saluran dan lain-lain 17,6%. Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2007) mengenai luas tanah dan penggunaanya di masing-masing wilayah DKI Jakarta, kecenderungan alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau (taman) dari tahun 1999 hingga akhir tahun 2004mengalami peningkatan, penurunan besaran luas ruang terbuka hijau di DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel 34. Tabel 34 Perubahan luas taman di DKI Jakarta Tahun Luas Taman (ha) Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2005,2007) Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2003, terjadi alih fungsi lahan (taman) rata-rata sebesar 0,2%/tahun, namun demikian dalam tahun ruang terbuka hijau (taman) mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0,08%/tahun. Perubahan luas ruang terbuka hijau (taman) di wilayah DKI Jakarta dari tahun 2004 hingga tahun 2006 di masing-masing bagian wilayah DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel 35. % terhadap luas wilayah DKI Jakarta ,50 2, ,00 2, ,23 1, ,11 1, ,56 1, ,91 1, ,69 1, ,49 1,52 Tabel 35 Perubahan luas taman di DKI dari tahun Kotamadya/kabupaten Taman (ha) tahun Perubahan luas ha Jakarta Selatan 190,91 190,91 0 Jakarta Timur 217,77 262,14 44,37 Jakarta Pusat 170,04 248,6 78,56 Jakarta Barat 209,41 189,23-20,18 Jakarta Utara 126,56 116,61-9,95 Kep. Seribu Perubahan total 2918, ,49 92,8 Sumber : Diolah dari BPS DKI Jakarta, 2005, Dengan luasan lahan ruang terbuka hijau yang dimiliki pada saat ini, dan kecenderungan naiknya jumlah timbulan sampah maka dapat disimpulkan bahwa DKI mengalami kesulitan untuk meletakkan pengolahan dan pembuangan sampah dengan teknologi SLF di dalam wilayahnya, oleh karenanya teknologi pengolahan sampah yang selayaknya dipergunakan adalah teknologi yang dapat dengan cepat mereduksi volume

102 80 sampah seperti teknologi WTE Insinerator atau HRC atau integrasi dari kedua teknologi tersebut Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah Pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta memberikan dampak kepada pertumbuhan sektor ekonomi, yang ditunjukkan dengan kenaikan PDRB yang berkorelasi dengan kenaikan timbulan sampah. Hubungan antara kenaikan jumlah penduduk dengan kenaikan tingkat kesejahteraan dan volume sampah ditunjukkan pada Tabel 36. Data tersebut memperlihatkan bahwa kenaikan jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan masyarakat sangat mempengaruhi penambahan jumlah timbulan sampah. Pada penelitian ini untuk melihat pengaruh jumlah penduduk dan PDRB (variabel bebas) terhadap volume timbulan sampah (variabel terikat) di DKI Jakarta, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS), dan dengan bantuan program Eviews 4.1. Adapun hasil dari analisis pengaruh jumlah penduduk dan PDRB terhadap volume timbulan sampah dapat dilihat pada Tabel 37. Hasil perhitungan seperti yang tertera pada persamaan di bawah, didapat nilai R- squared (R 2 ) sebesar 0,7245. Hal ini mengandung arti bahwa hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel independen (jumlah penduduk dan PDRB) mampu menjelaskan variasi timbulan volume sampah sebesar 72,45%. Adapun sisanya sebesar 27,55% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi ini. LOG(VTS) = 5, ,6014 LOG(JP) + 0,0540 LOG(PDRB) Std. Error (0,3385) (0,0255) t-stat (1,777)* (2,117)** R 2 = 0,7245 R 2 Adjt = 0,6983 F- stat = 27,6177 Keterangan : ** signifikan pada α =5% * signifikan pada α = 10% Sumber : Data diolah

103 81 Tabel 36 Hubungan antara pertumbuhan penduduk, ekonomi dan sampah Tahun Jumlah Penduduk PDRB/kapita berlaku (juta rupiah) Volume Sampah m3/th , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sumber : BPS, Dinas Kebersihan DKI Tabel 37. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di DKI Jakarta Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C LOG(JP) LOG(PDRB) R-squared Mean dependent var Adjusted R-squared S.D. dependent var S.E. of regression Akaike info criterion Sum squared resid Schwarz criterion Log likelihood F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) Sumber : Hasil perhitungan Tabel 37 memperlihatkan bahwa nilai F-statistik yang diperoleh besarnya 27,6177, lebih besar dari F 0,01 (2,21) = 5,78. Hal ini mengandung arti bahwa jumlah penduduk dan PDRB secara bersama-sama (serentak) mempengaruhi volume timbulan sampah di DKI Jakarta dengan tingkat keyakinan 99%. Tabel 37 juga memperlihatkan bahwa variabel jumlah penduduk memberikan pengaruh yang lebih dominan jika dibandingkan dengan

104 82 PDRB dalam meningkatkan volume sampah di DKI Jakarta, dengan nilai 0,6014 dibandingkan nilai 0,0540. Hasil uji t-statistik (uji secara parsial), terlihat bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume timbulan sampah adalah jumlah penduduk, pada tingkat = 10%, sedangkan variabel PDRB signifikan pada tingkat = 5%. Pada jumlah sampel (n) = 24, variabel bebas (k) = 2, maka derajat bebas untuk nilai t-statistik (n-k-1) atau sama dengan 21. Pada variabel jumlah penduduk mempunyai t-hitung sebesar 1,777 lebih besar dari t-tabel α = 0,10 sebesar 1,721. Hal ini mempunyai makna bahwa variabel jumlah penduduk berpengaruh signifikan (pada α = 0,10) terhadap volume timbunan sampah di DKI Jakarta. Hasil t-hitung variabel PDRB sebesar 2,177, lebih besar dibanding nilai t-tabel pada α = 0,05 sebesar 2,080. Hal tersebut mempunyai arti bahwa variabel PDRB berpengaruh signifikan terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta. Hasil estimasi pada Tabel 36, menunjukkan bahwa koefisien jumlah penduduk menunjukkan elastisitas dari jumlah penduduk terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta, dengan nilai elastisitas sebesar 0,6014. Hal ini mengandung makna bahwa apabila jumlah penduduk meningkat sebesar 1%, maka volume timbulan sampah meningkat sebesar 0,6014%. Koefisien PDRB menunjukkan elastisitas PDRB terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta, dengan elastisitas sebesar 0,054. Hal ini mengandung arti bahwa apabila PDRB meningkat sebesar 1%, maka volume timbulan sampah meningkat sebesar 0,054%. Analisis mengenai hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan hubungan antara PDRB dengan timbulan sampah organik, ditunjukkan pada Tabel 38, sedangkan hubungan antara PDRB dengan timbulan sampah anorganik dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 38 Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C PDRB R-squared Mean dependent var Adjusted R-squared S.D. dependent var S.E. of regression Akaike info criterion Sum squared resid 8.16E+12 Schwarz criterion Log likelihood F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) Sumber : Hasil perhitungan

105 83 Tabel 39 Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah anorganik Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C PDRB R-squared Mean dependent var Adjusted R-squared S.D. dependent var S.E. of regression Akaike info criterion Sum squared resid 5.51E+12 Schwarz criterion Log likelihood F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) Sumber : Hasil perhitungan Secara grafis hubungan antara PDRB dengan volume sampah organik dapat dilihat pada Gambar 21. Pada Gambar 20 terlihat bahwa kenaikan kesejahteraan penduduk akan menurunkan volume sampah organik. Kondisi sebaliknya terjadi apabila terjadi kenaikan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan kenaikan PDRB, dalam hal ini terjadinya kenaikan PDRB akan meningkatkan volume sampah anorganik, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 22. Rp. % Gambar 21 Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah organik tahun Tabel 38 memperlihatkan hubungan atau asosiasi antara PDRB terhadap sampah organik, yang berhubungan terbalik. Hal ini ditandai dengan tanda negatif (-) pada kolom koefisien pada PDRB. Tanda negatif (-) tersebut memberikan makna bahwa apabila PDRB meningkat maka sampah organik akan mengalami penurunan seperti ditunjukkan pada Gambar 21.

106 84 Rp. % tahun Gambar 22 Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah anorganik Hasil perhitungan mendapatkan angka koefisien PDRB sebesar Hal ini mengandung arti apabila (PDRB) atau pendapatannya meningkat Rp ,- maka volume sampah organik akan turun menjadi m3. Kondisi ini akan sangat membahayakan mengingat sampah anorganik seperti plastik jika dibiarkan (tidak diolah) akan sangat menurunkan kesuburan tanah, mengingat sampah plastik akan menghalangi difusi udara, sehingga tidak memungkinkan tumbuh dan berkembangnya jasad renik yang membantu menguraikan bahan organik menjadi bahan anorganik. Selain itu plastik sangat tahan urai, sehingga kondisi tidak subur tersebut akan berlangsung terus menerus. Selain itu, apabila plastik tersebut dibakar disekitar rumah juga akan menghasilkan dioksin dan furan, seperti dinyatakan oleh Lemieux dalam Sumaiku (2004) bahwa pembakaran sampah plastik di pekarangan dengan suhu rendah akan dihasilkan dioksin dan furan. Bahkan menurut Suminar (2003) tingginya sampah anorganik di Indonesia, mengakibatkan tingginya pencemaran udara oleh dioksin dan furan. Selanjutnya dikatakan bahwa hasil estimasi total emisi dioksin/furan pada tahun 2000 saja diperkirakan sudah mencapai g TEQ (toxic equivalent). Hal ini mengandung arti bahwa apabila sampah tersebut tidak diolah dengan baik maka selain mengurangi estetika, adanya rembesan air lindi dan adanya vector, juga akan sangat membahayakan kesehatan, mengingat akan dihasilkan senyawa dioksin dan furan yang bersifat karsinogenik.

107 85 Tabel 39 memperlihatkan hubungan/asosiasi antara PDRB terhadap sampah anorganik yang berhubungan searah. Hubungan antara ke duanya ditandai dengan tanda positif (+) pada kolom koefisien PDRB. Tanda positif (+) tersebut memberikan arti bahwa apabila PDRB meningkat, maka sampah anorganik akan meningkat, seperti yang terlihat pada Gambar 22. Angka pada koefisien PDRB sebesar Hal ini mengandung arti, bahwa apabila PDRB atau pendapatannya meningkat Rp ,- maka volume sampah anorganiknya akan meningkat menjadi m 3. m 3 /th PDRB Rp/kapita Gambar 23 Grafik hubungan antara PDRB terhadap total volume sampah per tahun Gambar 23 menunjukkan bahwa secara umum hubungan antara PDRB (Rp/kapita) terhadap volume sampah di DKI Jakarta adalah searah. Hal ini mengandung arti bahwa secara keseluruhan, apabila terjadi peningkatan PDRB, maka volume sampah di DKI Jakarta juga akan meningkat, sehingga ancaman terjadinya pencemaran lingkungan juga semakin meningkat. Dalam konteks pemanfaatan teknologi pengolahan sampah, kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat mempunyai hubungan yang positif dengan teknologi pengolahan sampah. Dalam hal ini adanya kenaikan kesejahteraan masyarakat yang

108 86 mengarah pada naiknya jumlah sampah anorganik, dapat memberikan keuntungan bagi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan menggunakan WTE insinerator, mengingat kandungan kalori dari sampah anorganik lebih tinggi dibanding sampah organik Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan Sampah Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah diperlukan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan penentuan aplikasi teknologi yang sesuai, paling effisien dan effektif. Selain itu hasil analisis optimasi juga dapat memilih teknologi pengolahan yang memberikan dampak lingkungan minimal, untuk dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah di wilayah DKI. Jumlah timbulan sampah dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan, dan timbulan sampah saat ini mencapai ton/hari, sehingga jika tidak dilakukan upaya-upaya pengurangan sampah di sumber timbulan sampah dalam jangka waktu 25 tahun ke depan, maka timbulan sampah DKI akan menjadi ton/hari. Timbulan sampah tersebut terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik, serta sampah B3 yang dihasilkan dari berbagai sumber. Pada penelitian ini analisis optimasi pengolahan sampah dilakukan dengan mempergunakan skenario sistem pengolahan dengan mempergunakan teknologi pengolahan secara individual dan terintegrasi dari teknologi high rate komposting (HRC), waste to energy incinerator (WTE) dengan tipe fluidized bed furnace (pembakaran dengan fluida), dan sanitary landfill (SLF) Skenario Optimasi Teknologi Sistem Pengolahan Sampah Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dilakukan dengan skenario sbb : 1. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi teknologi pengolahan sampah secara individual untuk teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF. 2. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik. 3. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah telah dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik.

109 87 4. Masing-masing teknologi dihitung keuntungan dan kerugiannya untuk kapasitas pengolahan sampah 500 ton/ hari, 1000 ton/ hari, ton/ hari, dan ton/ hari, untuk melihat tingkat efisiensi dari masing-masing teknologi terhadap perubahan kapasitas pengolahan, baik dari sisi keuangan, lingkungan maupun sosial. 5. Perhitungan CBA dilakukan dengan menggunakan acuan kondisi sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta, yang memiliki luas wilayah 660 km2, dengan timbulan sampah sebesar ton per hari, dan komposisi sampah yang terdiri dari 50% sampah organik dan 50% anorganik. DKI Jakarta mengoperasikan sistem pengolahan sampah sanitary landfill yang terletak di Bantargebang yang berada di wilayah administratif kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat yang terletak ± 40 km dari pusat Kota Jakarta. Jarak yang dipergunakan dalam perhitungan adalah 45 km yaitu jumlah jarak dari tempat penampungan sementara, ditambah dengan jarak akses jalan masuk serta jalan lingkungan hingga ke sel penimbunan. Sistem pengolahan sampah WTE insinerator menggunakan tipe pembakar dengan fluida (fluidized bed furnish), sedangkan teknologi komposting dipergunakan teknologi high rate composting (HRC) yang terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah ini dilakukan dengan asumsi bahwa sistem pengolahan sampah secara individual dengan kapasitas 500 ton/hari, 1000 ton/hari, 2000 ton/hari dan 3000 ton per hari. Fariasi kapasitas pengolahan untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi pengolahan terhadap perubahan kapasitas pengolahan sampah, dengan demikian dapatlah dibandingkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing teknologi pengolahan sampah yang digunakan di perkotaan. Selain itu juga untuk memahami karakter perubahan pengolahan sampah dari masing-masing teknologi pengolahan sampah. 6. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah didasarkan pada karakteristik dari masing-masing teknologi sistem pengolahan sampah dan timbulan sampah sesuai dengan kota kajian yaitu dalam kota besar/metro, dengan rincian sebagai berikut : a. Sistem sanitary landfill, menggunakan lahan di luar wilayah administratif DKI yang memiliki jarak angkut (haulage) dari tempat penampungan

110 88 sementara (TPS) sampah, hingga ke titik sel SLF 45 km. Selain itu umur rencana operasi SLF 25 tahun, berat jenis sampah setelah penempatan (compaction) 0,6 ton/m 3, berat jenis sampah setelah dekomposisi 1,05 ton/m 3, rasio tanah penutup 15% dari volume sampah. Tinggi timbunan sampah bergantung pada volume, luas lahan dan daya dukung tanah. Tinggi timbunan untuk kapasitas 500 ton/hari umumnya 30 meter, untuk kapasitas ton/hari 36 meter, untuk kapasitas ton/hari 45 meter, dan untuk kapasitas ton/hari 48 meter. Hasil perhitungan kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 ton/hari diperlukan luas lahan 64,5 ha, dan untuk kapasitas ton/hari diperlukan 107,5 ha, untuk kapasitas ton/hari perlu 172 ha dan untuk kapasitas ton/hari perlu 241,9 ha. Kebutuhan lahan tersebut termasuk untuk kebutuhan lahan aktif SLF, untuk kebutuhan jalan internal, untuk drainase serta untuk zona penyangga. Biaya pengangkutan sampah sesuai dengan data kontrak antar Dinas Kebersihan DKI dengan swasta tahun 2010, dengan truk tertutup sebesar Rp 6.000,-/ton/km. b. Sistem insinerator WTE, terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sampah sementara (TPS). Jarak angkut ke unit pengolahan sampah insinerator WTE adalah 10 km. Lokasi fasilitas TPA untuk abu sisa hasil pembakaran (insinerator) dan pemanfaatan energi (ketel uap) berjarak 25 km dari lokasi unit pengolahan sampah insinerator WTE. Keberadaan unit pengolahan sampah insinerator WTE masih memungkinkan diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, mengingat kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 ton/hari seluas 2,1 ha, kapasitas 1000 ton/hari seluas 4,1 ha, kapasitas 1000 ton/hari seluas 4,1 ha, kapasitas 2000 ton/hari seluas 6,5 ha dan kapasitas 3000 ton/hari memerlukan luas lahan 8,6 ha. Nilai kalori dari sampah yang tidak dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, memiliki kandungan kalori rata-rata kkal kg sampah. Pada sampah yang dipisahkan dan dilakukan pengomposan, terjadi peningkatan kandungan kalori rata-rata kkal/kg, dengan effisiensi pembangkit listrik 18 %, temperatur pada ketel uap antara o C dengan tingkat pegurangan sampah 95% dan sisa pembakaran berupa abu sebesar 8,44%. Energi listrik (hasil perhitungan) yang dihasilkan melalui sistem pengolahan

111 89 sampah WTE, untuk kapasitas 500 ton sampah adalah 7 Mw (mega watt), dan 13Mw untuk kapasitas ton/hari, 26 Mw untuk kapasitas ton/hari, dan 39 Mw untuk kapasitas 3000 ton/hari. Produksi listrik dapat dijual ke PLN dengan tarif Rp 300,-/kwh, sebagai pendapatan extra dari sistem insinerator WTE. Biaya pengangkutan sampah Rp 6.000,-/ton/km dengan biaya angkut sisa pembakaran untuk dibuang ke TPA sebesar Rp 3.600,-/ton/km. c. Sistem pengolahan sampah dengan high rate composting (HRC) diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, yang diletakkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau TPS. Selain itu berjarak rata-rata 10 km dari sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sementara (TPS). Sisa sampah yang tidak dapat diproses, pada sampah yang belum dipisahkan antara sampah organik dan anorganik mencapai 50%. Sisa sampah ini selanjutnya dibuang ke TPA dengan jarak 25 km dari unit komposting. Adapun biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan HRC sebesar Rp 6.000,-/ton/km dan Rp 5.400,-/ton/km untuk sisa sampah yang tidak terolah. Harga kompos rata-rata untuk saat ini adalah Rp 400,-/kg. d. Benefit and cost analysis dilakukan dengan menghitung biaya investasi (capital expenditure/ CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan (operational expenditure/opex) selama periode design yang dihitung selama 25 tahun operasi. Disamping itu juga dihitung dampak lingkungan yang ditimbulkan dari setiap opsi pengelohan sampah yang ditekankan pada timbulan gas rumah kaca ( global warming gases), untuk gas karbon dioksida (CO 2 ) dan gas metana CH 4 yang dikonversikan dalam global warming potencial dalam CO 2. Dampak lain yang dihitung adalah dampak sosial dari setiap opsi pengolahan sampah. Perhitungan tersebut dilakukan dengan beberapa varian kapasitas, mulai dari 500 ton/hari sampai dengan ton/hari beban sampah yang diolah, dengan sistem pemilahan sampah dan tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah. Perhitungan BCA dilakukan untuk membandingkan sistem pengolahan sampah secara terintegrasi yaitu sistem komposting bio fertilizer, incenirator waste to energy (WTE) dan sanitary landfill, untuk melihat keuntungan dan kerugian dari kedua sistem tersebut.

112 90 e. Komponen investasi pengolahan sampah, meliputi biaya pengadaan lahan dan biaya konstruksi (civil works). Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah terdiri dari lahan untuk keperluan jalan akses menuju lokasi instalasi pengolahan sampah (sanitary landfill, waste to energy, ataupun composting)., meliputi : Kebutuhan lahan akses jalan masuk. Kebutuhan lahan untuk akses jalan masuk bergantung pada volume atau kapasitas pengolahan sampah. Makin besar kapasitas olahan sampah yang diproses, makin tinggi frekwensi angkutan yang masuk ke instalasi, dan makin lebar jalan yang dibutuhkan termasuk sistem drainase. Kebutuhan lahan dan biaya konstruksi untuk sistem sanitary landfill Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill tergantung pada kapasitas sampah masuk; masa perencanaan; umur rencana opersional (diambil 25 tahun); tinggi timbunan sampah; akses internal dan sistem drainase; zona penyangga (buffer zone) 50% lahan aktif; fasilitas penunjang (unit penimbang sampah, kantor operasional, workshop alat berat, gudang dsb. Biaya untuk membangun konstruksi sistem sanitary landfill terdiri dari biaya untuk konstruksi lahan aktif baik pekerjaan sipil (civil works); instalasi mekanikal dan elektrikal (mechanical and electrical); konstruksi jalan internal dan drainase (operational roads); konstruksi zona penyangga (buffer zone); konstruksi jalan masuk (acces road); fasilitas penunjang (kantor opersional, unit penimbang, pagar pengaman, gudang, bengkel, dll) Kebutuhan lahan untuk sistem insinirator (waste to energy incinerator) Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah waste to energy, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah. Adapun kelengkapan komponen yang diperlukan untuk sistem ini antara lain adalah lahan penerimaan, sampah tak terbakar (reject waste) dan abu hasil pembakaran. Selain itu juga diperlukan unit pembakaran sampah; unit pembangkit listrik; dan zona penyangga (buffer zone) yang diambil 100% dari area effektif; fasilitas penunjang (kantor, timbangan sampah, workshop, gudang parkir, dll).

113 91 Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem waste to energy terdiri dari biaya pembangunan gedung pengolahan; biaya instalasi mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan internal dan drainase; lahan parkir; biaya zona penyangga dan biaya pembangunan jalan akses masuk menuju WTE. Kebutuhan lahan untuk sistem high rate composting (HRC) Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah HRC, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah (input produksi). Adapun lahan yang diperlukan untuk sistem ini adalah lahan penerima; lahan pemilah; lahan pencacah/penyaringan; lahan sampah tidak terpakai; lahan proses komposting; lahan untuk fasilitas penunjang parkir internal, gudang, dll. Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem HRC, terdiri dari komponen-komponen biaya gedung; biaya mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan operasional dan fasilitas parkir; biaya zona penyangga; biaya konstruksi jalan akses menunju instalasi HRC. Biaya operasi dan pemeliharaan (OP) sistem pengolahan sampah Biaya OP dipergunakan untuk membiayai perawatan peralatan dan biaya pengoperasian terdiri dari biaya pegawai; biaya kantor dan administrasi; biaya listrik; biaya bahan kimia/biologis; biaya peralatan; biaya pemeliharaan infrastruktur dan unit- unit instalasi. Produksi listrik unit pengolahan sampah insinerator WTE, dijual kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pendapatan dari unit Insinerator WTE. Analisis biaya untuk unit pengolahan per ton kapasitas selama 25 tahun, yang diproyeksikan dari tahun 2008 hingga tahun 2033, tidak termasuk biaya-biaya untuk transportasi pengangkutan sampah menuju unit pengolahan dan pengangkutan residu dari hasil proses pengolahan, untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah yang dioperasikan secara individual dengan dan tanpa pemilahan sampah di sumbernya; dihitung berdasarkan biaya sekarang (present value) dari biaya investasi ( capital expenditure CAPEX ) dan nilai sekarang biaya operasi/ pemeliharaan, ( operation and maintenance expenditure OPEX ). Perhitungan didasarkan pada tingkat bunga sebesar 7%, menunjukkan bahwa: biaya pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE merupakan biaya pengolahan sampah termahal. Hal sebaliknya terjadi pada pengolahan sampah dengan teknologi HRC yang biaya pengolahannya termurah, dalam hal ini, untuk

114 92 kapasitas pengolahan 500 ton/hari memerlukan biaya sebesar Rp ,-/ton. Biaya untuk kapasitas ton/hari adalah Rp ,-/ton. Biaya untuk kapasitas ton/hari Rp ,-/ton, dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya Rp ,-/ton. Pada teknologi WTE insinerator memerlukan biaya pengolahan sebesarrp ,-/ton, untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,- /ton, untuk kapasitas 2000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp ,-/ton jika dibandingkan dengan unit pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill dengan kapasitas 500 ton/hari memerlukan biaya Rp 183,370,-/ton, untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton, untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton dan untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp ,-/ton. Secara individu biaya sistem pengolahan termurah adalah pengolahan dengan HRC yakni untuk kapasitas 500 ton/hari diperlukan biaya Rp ,-/ton, untuk kapasitas ton/hari diperlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton, untuk kapasitas 2000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton dan untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp ,-/ton. Hasil perhitunghan tersebut memperlihatkan bahwa WTE secara sistem untuk kapasitas di atas ton/hari, memiliki biaya yang semakin murah (cost efficient). Hal ini diakibatkan karena rendahnya biaya transportasi untuk residu yang ditimbulkan dari sistem insenirator, dan pendapatan dari energi listrik yang dihasilkan. Pada dasarnya adanya transportasi dari wilayah DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang tidak hanya menimbulkan kerugian dari aspek biaya transportasi, namun ada kerugian lain yang dapat ditimbulkan akibat adanya transportasi tersebut. Dalam hal ini pada kegiatan transportasi akan dilakukan pembakaran BBM. Pada proses pembakaran ini akan dihasilkan CO 2 yang pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Di lain pihak adanya pembakaran BBM pun juga akan menghasilkan dioksin dan furan (Suminar, 2003). Selain dioksin dan furan dari pembakaran BBM fosil seperti bensin dan solar juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Terdapatnya dioksin, furan dan logam berat Pb di atmosfir ini dapat berdampak negative pada manusia. Oleh karenanya maka sangat wajar jika adanya pencemaran juga akan berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan sebagai akibat adanya masalah

115 Unit Cost pengolahan sampah (Rp/ton) 93 kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk menanggulanginya (Syahril et al. 2002). Dengan demikian maka dengan menurunnya transportasi bukan saja akan mengurangi biaya transportasi, namun juga akan memberikan dampak yang lebih baik bagi kesehatan masyarakat. Pengolahan sampah yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 23, dengan timbulan sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, di sumber timbulan sampah memerlukan biaya yang lebih murah. Hasil perhitungan biaya pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi untuk kapasitas 500 ton/hari memerlukan biaya sebesar Rp ,-/ton, kapasitas ton/hari memerlukan Rp ,-/ton, kapasitas ton/hari memerlukan Rp ,-/ton, dan untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya Rp ,-/ton. Pengolahan sampah menjadi lebih murah ketika dilakukan proses pemilahan sampah di sumber timbulan sampah, dan dilakukan pengolahan sampah dengan mengkombinasikan pengolahan sampah sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah dengan pengolahan high rate composting (HRC) dan pengolahan insinerator WTE yang menunjukkan nilai uang sekarang (present value), untuk kapasitas 500 ton/ton memerlukan biaya Rp ,-/ton, untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton, untuk kapasitas ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp ,-/ton dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp ,-/ton. Komparasi unit pengolahan sampah secara individual tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah dan kombinasi pengolahan sampah antara pengolahan HRC dengan insinerator WTE dapat dilihat pada Table 40 dan secara grafis dapat dilihat pada Gambar 24, sedangkan perhitungan CBA secara terinci dapat dilihat pada Lampiran (1 11). Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp0 500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day KAPASITAS PENGOLAHAN (Ton /Day) SLF WTE HRC Komb Tek 1 Komb Tek 2 Gambar 24 Biaya pengolahan sampah

116 Unit Cost sistem persampahan (Rp/Ton) 94 Tabel 40 Analisis biaya dan manfaat teknologi pengolahan sampah SLF TEKNOLOGI INDIVIDUAL TANPA PEMILAHAN DI SUMBER WTE INSINERATOR HRC Data sampah : Sampah masuk Plant : Ton/Day Kondisi sampah: Tidak terpilah Tidak terpilah Tidak terpilah (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) INITIAL INVESTMENT FOR PLANT: PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7% (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU : TOTAL SYSTEM: PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% : (Rpx 000/ton) (Rpx 000/ton) (Rpx 000/ton) o PENGOLAHAN : 183,37 158,78 140,63 136,78 284,00 245,49 226,28 213,20 133,88 127,87 121,19 120,53 o TRANSPORTASI : 235,83 235,83 235,83 235,83 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 o RESIDU : 0,00 0,00 0,00 0,00 10,21 10,21 10,21 10,21 124,37 124,37 124,37 124,37 TOTAL SYSTEM : 419,20 394,61 376,46 372,61 346,61 308,11 288,89 275,81 310,66 304,65 297,97 297,31 KOMBINASI TEKNOLOGI COMB.2 HRC & WTE COMB.1 HRC & WTE Data sampah : Sampah masuk Plant : Ton/Day Kondisi sampah: Sampah Sudah terpilah Sampah Belum terpilah (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) INITIAL INVESTMENT FOR PLANT: PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7% (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU : TOTAL SYSTEM: PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% : (Rpx 000/ton) (Rpx 000/ton) o PENGOLAHAN : 206,57 190,09 164,08 152,52 203,30 185,95 163,89 153,38 o TRANSPORTASI : 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 o RESIDU : 5,50 5,50 5,50 5,50 7,07 7,07 7,07 7,07 TOTAL SYSTEM : 251,86 236,61 212,07 201,35 262,77 245,43 223,37 212,85 Sumber : Hasil perhitungan Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day KAPASITASPENGOLAHAN ( Ton/ Day) WTE SLF HRC Komb Tek 1 Komb Tek 2 Gambar 25 Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah

117 95 Dari kurva pada Gambar 25 terlihat bahwa secara individual biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, menunjukkan bahwa : 1. Unit pengolahan insinerator WTE menempati posisi termahal jika dibandingkan dengan unit pengolahan dengan sanitary landfill ataupun HRC. 2. Biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, mengalami penurunan atau semakin efisien dengan kenaikan kapasitas pengolahan ton/hari. 3. Penurunan biaya unit pengolahan per ton kapasitas selama operasi 25 tahun untuk insinerator WTE mengalami penurunan yang tajam dengan kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 ton/hari ke kapasitas ton/hari, sebesar 16%. Penurunan biayanya dari ton/hari ke ton/hari sebesar 7,3%, dan penurunan 7% dari kenaikan kapasitas ton/hari menjadi 3000 ton/hari. Pada teknologi SLF penurunan biaya cukup tajam untuk kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 ton/hari ke 1000 ton/hari, yakni sebesar 13,3% dan 12% dari kapasitas ton ke ton/hari. 4. Secara keseluruhan tingkat effisiensi unit pengolahan terjadi pada kapasitas pengolahan lebih besar dari 500 ton/hari Analisis Dampak Lingkungan Analisis dampak lingkungan dilakukan untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah, baik secara individual maupun terintegrasi baik untuk input sampah yang sudah terpilah antara sampah organik dan anorganik, maupun yang masih belum dilakukan pemilahan. Analisis ini dilakukan hanya untuk komponen pencemaran gas rumah kaca yaitu gas CO 2 dan gas metan CH Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sistem Pengolahan Sampah Sanitary Landfill Pemanfaatan teknologi SLF memberikan dampak lingkungan, salah satunya adalah emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah. Analisis dilakukan dengan pembatasan perghitungan emisi gas CO 2 dan gas metan CH 4 yang dikonversikan dalam CO 2, dengan mempergunakan indeks global worming potential (GWP) yang dirumuskan oleh Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS, 1997). Estimasi pembentukan gas sebagai fungsi dari waktu dapat dihitung

118 96 dengan mempergunakan model matematis sebagaimana dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran (1987) sebagai berikut: G t = 1,868 Co (0,014 T + 0,28) (1 10 kt ) dalam m 3 gas/ton sampah, Keterangan: G t : volume gas yang terbentuk semenjak sampah 1 (satu) ton dibuang sampai waktu t tahun dalam m 3 gas/ton sampah, C o : jumlah total karbon organik dalam sampah ( kg/ton sampah), ( nilai tipikel C o = 200 kg/ton). T : temperatur di lapisan dalam sampah di SLF dalam o C ( nilai tipikal untuk kondisi SLF di Indonesia = 40 o C) k : konstanta degradasi ( tipikal untuk landfill antara 0,05 0,15), t : waktu dalam tahun. Volume gas CO 2 dan gas CH 4 yang terbentuk, selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan berat ton/tahun dengan menggunakan faktor konversi berat spesfiknya, yakni untuk CO 2 sebesar 0,1235 lb/ft 3 atau 1,97835 kg/m 3 dan CH 4 sebesar 0,0448 lb/ft 3 atau 0,7177 kg/m 3. Menurut Chobanoglous et al. (1993) komposisi pembentukan gas landfill rata-rata adalah 46,1 % CO 2 dan 48,4 % CH 4, sedangkan gas-gas lain jumlahnya 5,5 %. Apabila pada perhitungan ini dipergunakan komposisi volume gas yang dihasilkan dari penelitian yang dikemukakan oleh Chobanoglous et al. (1993), maka dapat dihitung terbentuknya volume dan berat gas CO 2 dan CH 4 dalam proses pengolahan sampah dengan teknologi sanitary landfill. Pada proses dekomposisi zat organic, disamping timbulnya gas CO 2 dan gas metan CH 4, juga akan dilepaskan emisi gas rumah kaca yang berasal dari pemakaian bahan bakar solar untuk transportasi sampah dari tempat penampungan sampah sementara hingga ke unit pengolahan sampah SLF yang berjarak 45 km, sesuai dengan reaksi sbb: Bahan Bakar + Udara Panas + Karbon Dioksida + Nitrogen Perhitungan jumlah gas CO 2 yang ditimbulkan akibat dari penggunaan bahan bakar solar, sebagaimana dikemukakan oleh DEFRA (2001) (Nurroh, 2010) mengenai analisis pengaruh hutan tropis dalam menurunkan emisi CO 2 disebutkan bahwa setiap liter pemakaian solar sebagai bahan bakar sistem transportasi akan menimbulkan 2,6 kg CO 2. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk satu liter bahan bakar bensin menimbulkan 2,33 kg CO 2. Atas dasar penelitian tersebut, maka dapat dihitung jumlah emisi gas CO 2 yang dikeluarkan akibat pengangkutan sampah ke lokasi pengolahan sampah sanitary landfill. Jumlah emisi gas CO 2 dan CH 4 yang dikonversikan ke dalam satuan gas CO 2, baik dari angkutan sampah dan proses pengolahan di sanitary landfill merupakan jumlah

119 97 emisi GRK yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, dapat dilihat pada Tabel 41 dan Tabel 42. Tabel 41 Emisi transportasi sampah ke unit SLF Satuan Kapasitas Angkut Ton/Hr Jarak sumber ke lokasi SLF km Kapasitas Angkut Ton Jumlah Trip Trip/Hr Penggunaan solar lt/trip Penggunaan solar lt/th Emisi Solar CO2 Kg/lt 2,64 2,64 2,64 2,64 TOTAL EMISI CO2 Ton/Th Sumber : Hasil Perhitungan Tabel 42 Emisi GRK pengolahan sampah di unit SLF Satuan Kapasitas SLF kapasitas Ton/Hr Jumlah sampah selama operasi SLF ton/tahun 182, , ,000 1,095,000 Tipikal Karbon Organik Co kg/ton Temperatur (T ) o C Vol Gas Organik Ge=1,868 Co(0,014 T + 0,28) m Vol Gas Total Gt =Ge(1-10 -kt ) m3/ton Vol Gas Total m3/th 55,461, ,923, ,847, ,770,515 Vol Gas CO2 46,1% m3/th 25,567,868 51,135, ,271, ,407,207 Berat Gas CO2 ton/th 50, , , , Vol Gas CH4 48,4% m3/th 26,843, ,686, ,373, ,060, Berat Gas CH4 ton/th 19, , , , Ekuvalent CO2 ton CO2 473, ,038 1,894,077 2,841,115 Emisi GRK per Tahun ton/tahun CO2 524,144 1,048,287 2,096,574 3,144,861 Sumber: Hasil perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah Waste to Energy Incinerator Proses pengolahan sampah di insinerator WTE menimbulkan gas CO 2 akibat dari proses pembakaran zat organik, sebagaimana reaksi berikut: Zat organik + O 2 CO 2 + H 2 O Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jhonke (2004), setiap pembakaran satu ton sampah perkotaan akan menghasilkan 0,7 1,2 ton CO 2. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dihitung emisi gas CO 2 yang ditimbulkan dalam pemanfaatan teknologi Insinerator, sebagaimana tercantum pada Tabel 43 dan Tabel 44.

120 98 Tabel 43 Emisi transportasi sampah ke unit WTE. Satuan KAPASITAS TRANSPORTASI KAPASITAS TRANSPORTASI RESIDU kapasitas Ton/Hr Jarak sumber ke lokasi WTE km Kapasitas Angkut Ton Jumlah Trip Trip/Hr Penggunaan solar lt/trip Penggunaan solar lt/th Emisi Solar CO2 Kg/lt 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 EMISI Transp CO2 ke unit WTE Ton/Th Jumlah emisi CO2 dari Tranportasi Ton/Th Sumber : Perhitungan Sumber : Perhitungan Tabel 44 Emisi GRK pengolahan sampah di unit WTE Satuan Sampah belum terpilah Kapasitas ton/hari Emisi CO2 proses pembakaran ton/ton sampah 1,2 1,2 1,2 1,2 Emisi CO2 ton/hari Emisi CO2 WTE Insinerator ton/tahun Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah High Rate Composting (HRC) Proses pengolahan sampah dengan teknologi high rate composting juga menimbulkan Gas CO 2 yang berasal dari proses degradasi zat organik secara aerobik. Proses yang terjadi dalam HRC dapat dikatakan identik dengan proses pada SLF, hanya saja proses dekomposisi zat organik dalam proses HRC berlangsung dalam kondisi aerobik yang tekontrol dan dalam waktu yang relatif singkat yakni ± 2 minggu. Oleh karenanya perhitungan timbulan gas CO 2 dapat dihitung dengan mempergunakan pendekatan formula sebagaimana yang dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran (2000) yaitu: Ge = 1,868 Co (0,014 T + 0,28), Keterangan: Ge: volume gas yang terbentuk (m 3 ), Co: karbon organik ( kg/ton) sampah, ( tipikel 200 kg/ton) T : temperatur dalam o C,( tipikel 50 o C untuk kondisi HRC). Hasil perhitungan emisi gas CO 2 pada proses HRC dapat dilihat pada Tabel 45 dan 46.

121 99 Tabel 45 Emisi transportasi sampah ke unit HRC Emisi Gas CO2 akibat Transportasi sampah ke Unit HRC. Satuan KAPASITAS TRANSPORTASI kapasitas Ton/Hr Jarak sumber ke lokasi Bio Fert km Kapasitas Angkut Ton Jumlah Trip Trip/Hr Penggunaan solar lt/trip Penggunaan solar lt/th Emisi Solar CO2 Kg/lt 2,64 2,64 2,64 2,64 TOTAL EMISI CO2 Ton/Th Jumlah emisi CO2 dari Transportasi Ton/Th Sumber : Perhitungan Tabel 46 Emisi pengolahan sampah di unit HRC Emisi Gas CO2 pada proses HRC Satuan Kapasitas HRC kapasitas Ton/Hr Jumlah sampah selama operasi HRC ton/tahun Tipikal Karbon Organik Co kg/ton Temperatur (T ) o C Vol Gas Organik Ge=1,868 Co(0,014 T + 0,28) m3/ton Berat Spesifik Gas CO2 kg/m3 1, , , , Total Berat Emisi Gas CO2 pada HRK ton/th Sumber : Perhitungan Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi Pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi secara terintegrasi antara HRC, insinerator WTE dan SLF sebagaimana terlihat pada Gambar 24, memberikan keuntungan baik dalam aspek keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada aspek lingkungan, emisi yang ditimbulkan dari pemanfaatan integrasi teknologi akan memberikan dampak yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah secara parsial, baik sampah dengan kondisi yang terpisahkan ataupun yang tidak terpisahkan antara sampah organik dan anorganik. Pemisahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah memberikan dampak yang jauh lebih baik dalam berbagai aspek. Pemilahan sampah di sumbernya akan meningkatkan effisiensi pada pengolahan sampah, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain : a. Naiknya produksi kompos hingga 80%, dan menurunnya biaya transport reject material hingga 80 %. b. Naiknya kandungan kalori dari kka/kg menjadi kkal/kg, yang dapat menaikkan produksi listrik di unit incinerator WTE rata-rata sebesar 42%, dan menaikkan pendapatan dari penjualan listrik yang dihasilkan WTE

122 Emisi (Ton/th) 100 hingga 42%, sebagaimana pada ditampilkan pada Tabel 47 dan dapat menurunkan emisi GRK, hingga 50%, sebagaimana terlihat pada Tabel 48 dan kurva Gambar 26. Tabel 47 Produksi listrik pada unit WTE Kapasitas WTE Produksi Listrik Mw dg kondisi sampah insinerator Tercampur Terpilah ton/hari kkal/kg kkal/kg kenaikan % 500 9,4 13, , , ,6 42 Jumlah 167 Rata-rata 42 Sumber: Hasil Perhitungan Tabel 48 Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengolahan sampah Emisi Ton/th Kapasitas ton/tahun 500 1,000 2,000 3,000 HRC 125, , , ,945 WTE 216, , ,120 1,299,180 SLF 526,312 1,052,623 2,105,246 3,157,870 Integrasi Teknologi Sampah tercampur 159, , , ,851 Integrasi Teknologi Sampah terpilah 134, , , ,434 Sumber : Hasil perhitungan 10,000,000 1,000, ,000 10,000 1, ,000 2,000 3,000 Kapasitas Pengolahan (Ton/hari) HRC WTE SLF Integrasi Teknologi Sampah tercampur Integrasi Teknologi Sampah terpilah Gambar 26 Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi 4.6. Analisis Sensitifitas (Sensitivity Analysis) Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat parameter yang paling sensitif terhadap nilai net present value (NPV). Salah satu alasan dilakukannya uji sensitivitas ini adalah karena terdapat ketidakpastian dalam melakukan prediksi kondisi fisik yang terjadi di masa yang akan datang. Analisis sensitivitas dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pengolahan sampah, seperti adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga beli listrik dari energi terbarukan, termasuk di dalamnya WTE. Pada pehitungan ini dilakukan

123 Unit Cost sistem persampahan (Rp/Ton) Unit Cost pengolahan sampah (Rp/ton) 101 perhitungan harga listrik yang dinaikkan menjadi Rp 700,-/kwh, dan lokasi SLF untuk sisa pembakaran insinerator jaraknya 45 km, serta terjadinya Kenaikan tingkat suku bunga dari 7% menjadi 12%/tahun. Hasil yang didapat terhadap perubahan harga listrik dari Rp 300,-/kwh menjadi Rp 700,-/kwh dapat dilihat pada kurva Gambar 27. Kurva tersebut menunjukkan bahwa secara individual teknologi insinerator WTE menjadi pilihan termurah dalam pengolahan sampah. Selain itu juga memperlihatkan bahwa semakin besar kapasitas pengolahan sampah, akan semakin efisien, karena produksi listrik yang dihasilkan semakin besar. Analisis sensitivitas terhadap perubahan jarak pembuangan sisa pembakaran ke SLF dengan jarak 45 km dapat dilihat pada Gambar 28. Pada gambar tersebut terlihat bahwa dengan harga listrik Rp 300,-/kwh dan dengan kenaikan ongkos transportasi sisa pembakaran, secara individu WTE masih merupakan pilihan teknologi yang cost efficient dibandingkan dengan SLF dan HRC. Kondisi ini diuntungkan karena sisa pembakaran hanya sebesar 5% dari jumlah sampah yang masuk ke unit WTE, sedangkan pada teknologi HRC menyisakan 10% reject material untuk sampah yang telah dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, dan SLF merupakan teknologi termahal dengan jarak angkut sampah mencapai 45 km, dari sumber timbulan sampah. Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp0 500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day KAPASITAS PENGOLAHAN (Ton /Day) SLF WTE BIO FERT COMB 1 COMB 2 Gambar 27 Analisis sensitivitas kenaikan tarif listrik Rp 700,-/kwh Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day KAPASITAS PENGOLAHAN ( Ton/ Day) WTE SLF BIO FERT COMB 1 COMB 2 Gambar 28 Analisis sensitivitas Jarak SLF untuk sisa pengolahan WTE dan komposting berjarak 45 km

124 biaya (Rpx1.000/ton) 102 Analisis sensitivitas terhadap kenaikan tingkat suku bunga dari 7% menjadi 12%/tahun, dapat dilihat pada Tabel 49. Tabel 49 Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% Sumber : Hasil perhitungan Secara grafis analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga dapat dilihat pada Gambar 29. Rp300,00 Rp250,00 Rp200,00 Rp150,00 Rp100,00 Rp50,00 Rp0, ton/hari 1000 ton/hari 2000 ton/hari 3000 ton/hari kapasitas pengolahan (ton /hari) SLF HRC WTE Insi Kombi 1 Kombi 2 Gambar 29 Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% Dengan kenaikan tingkat suku bunga dari 7% menjadi 12%/tahun mernunjukkan bahwa teknologi HRC secara individual menjadi pilihan teknologi dengan harga termurah, sedangkan WTE Insinerator masih menunjukkan alternatif teknologi yang masih lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan teknologi SLF, khususnya untuk kapasitas pengolahan ton/hari Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evluation) Komparasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah secara parsial dan terintegrasi dilakukan dengan menggunakan multi kriteria evaluasi dengan mempergunakan output analisis yang telah dilakukan dalam cost benefit analysis dan

125 103 output dari dampak lingkungan serta kondisi sosial. Selain itu juga memanfaatkan persepsi masyarakat terhadap pilihan alternatif teknologi pengolahan sampah, dengan kriteria sebagai berikut : 1. Minimalisasi biaya pengolahan sampah (minimaizing tretment cost) Kriteria ini diukur dengan seberapa besar biaya yang diperlukan untuk mengolah sampah per ton per satuan waktu. Semakin rendah biaya yang diperlukan untuk mengolah sampah, semakin baik atau semakin optimal sistem pengolahan yang dilakukan. Adanya pertimbangan bahwa biaya pengolahan sampah saat ini menjadi permasalahan bagi pemerintah DKI, dan penyediaan dana harus memadai bagi operasi dan pemeliharaan, maka kriteria ini menempati prioritas tertinggi dengan bobot 35% 2. Luas lahan yang diperlukan Kriteria ini dipergunakan mengingat DKI menghadapi persoalan dalam penyediaan dan kesesuaian lahan sebagai tempat pengolahan sampah. Semakin effisien, atau semakin kecil luas lahan yang diperlukan dalam aplikasi teknologi pengolaahan sampah, semakin baik dan mudah bagi DKI untuk merealisasikannya. Kondisi kebalikannya, semakin luas lahan yang diperlukan dalam aplikasi teknologi pengolahan sampah semakin sulit untuk direalisasikan, mengingat tingginya biaya yang diperlukan untuk melakukan pembebasan lahan. Ketersediaan dan kesesuaian lahan tempat pengolahan sampah juga menjadi persoalan bagi DKI, mengingat sulitnya menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayah DKI, dan mahalnya harga lahan, menjadi pertimbangan dengan prioritas tinggi, dan kriteria ini diberi bobot 25%. 3. Minimalisasi polusi (minimaizing pollution) Kriteria ini dimaksudkan untuk mengukur penurunan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari teknologi yang dipergunakan dalam pengolahan sampah. Pada umumnya, makin besar penurunan pencemaran yang diakibatkan oleh aplikasi teknologi, makin optimal teknologi pengolahan sampah yang diaplikasikan. Pengukuran terhadap dampak polusi ini diukur dari potensi timbulan gas rumah kaca (green house gases), yaitu karbon dioksida CO 2 dan gas metan CH 4 yang keduanya dikonversi terhadap gas CO 2. Kriteria ini memiliki bobot yang sama dengan persepsi masyarakat terhadap penerimaan masyarakat atas fasilitas

126 104 pengolahan sampah, oleh karena itu maka kriteria ini diberi bobot sama dengan dampak sosial yaitu 20%. 4. Dampak Sosial Sistem insinerator merupakan sistem yang tertutup, sehingga memberikan dampak yang kecil pada penolakan masyarakat terhadap keberadaan sistem pengolahan sampah dengan sistem insinerator. Pada insinerator dengan proses pembakaran yang cepat, sistem ini dapat melakukan kontrol yang baik terhadap dampak lingkungan, termasuk penanganan abu dan asap yang ditimbulkan dari proses pembakaran yang terjadi. Sistem sanitary landfill merupakan sistem yang terbuka, walaupun telah dilengkapi dengan buffer zone, namun sistem ini masih menimbulkan dampak lingkungan yang dapat mengganggu masyarakat yang sulit untuk dihindari. Adapun dampak lingkungan yang ditimbulkan antara lain adalah timbulnya bau yang tidak sedap, baik yang ditimbulkan akibat terjadinya proses anaerob terhadap sampah yang telah tertanam ataupun yang masih belum tertanam, maupun bau yang ditimbulkan dari air lindi (leacheate) yang diolah di dalam treatment plant. Bau yang ditimbulkan yang terbawa angin ke arah permukiman, mengakibatkan timbulnya protes dan bahkan penolakan terhadap keberadaan lokasi sanitary landfill. Di samping hal tersebut, sistem sanitary landfill dalam pengoperasiannya mempergunakan peralatan berat yang menimbulkan suara yang dapat mengganggu masyarakat. Sistem komposting memerlukan waktu yang panjang, yakni minimal dua minggu untuk melakukan proses dekomposisi zat organik secara aerob. Namun demikian proses ini juga terkadang menimbulkan bau akibat stok sampah yang telah mengalami proses dekomposisi secara anaerob. Hasil pengolahan mempergunakan kriteria dan bobot dari masing-masing variabel tersebut, dengan bantuan program software TOPSIS, memperlihatkan hasil bahwa untuk pengolahan sampah dengan kapasitas 500 ton/hari dan 3000 ton/hari, diperoleh urutan prioritas sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 50 dan Tabel 51, serta Gambar 30 dan Gambar 31.

127 105 Tabel 50 Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi untuk pengolahan sampah kapasitas 500 ton/hari

128 106 Gambar 30 Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 500 ton/hari Tabel 51 Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi untuk pengolahan sampah kapasitas ton/hari

129 Gambar 31 Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi ton/hari 107

130 juta Analisis sistem dinamik Hasil dari analisis sistem dinamik menghasilkan beberapa prediksi antara lain pertumbuhan penduduk, timbulan sampah dan berbagai komponen lainnya. Analisis sistem dinamik dilakukan untuk periode waktu 50 tahun. Analisis pertumbuhan penduduk DKI untuk kurun waktu 50 tahun mendatang dapat di lihat pada Gambar Penduduk Time (Year) Penduduk : baseline Gambar 32 Prediksi pertumbuhan penduduk DKI Jakarta Gambar 32 memperkirakan perkembangan penduduk DKI Jakarta dalam kurun waktu 50 tahun mendatang yang dimungkinkan mencapai anagka lebih dari 18 juta jiwa, dari sekitar 9 juta jiwa yang ada saat ini. Sementara Gambar 33 menunjukkan perkembangan PDRB per kapita dan laju perubahan PDRB per kapita. PDRB per kapita diperkirakan akan bergerak dari sekitar US$ 7,000 per kapita saat ini menjadi sekitar US$ 13,000 per kapita pada kurun waktu 50 tahun mendatang. Penambahan ini ditunjang oleh prediksi perubahan laju PDRB yang bergerak dari sekitar US$ 80 per kapita per tahun sampai sekitar US$ 150 per kapita per tahun. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya perkembangan peduduk dan faktor ekonomi akan meningkatkan volume sampah. Gambar 34, adalah hasil interkasi sistim dinamik antara variabel ekonomi dan penduduk yang memperkirakan timbulan sampah 50 tahun yang akan datang yang diprediksi mencapai ton per hari.

131 ribu ton ,000 PDRB 200 DPDRB 16, , , ,000 PDRB : baseline Time (Year) Time (Year) DPDRB : sensitivity Gambar 33 Perkembangan PDRB dan laju (deferensial) DPDRB per kapita dalam 50 tahun yang akan datang 10 Sampah Time (Year) Sampah : baseline Gambar 34 Prediksi timbulan sampah 50 tahun yang akan datang

132 110 unit cst unit cst : baserun Time (Year) unit cst : sensitivity Gambar 35 Perkembangan unit cost dalam pengolahan sampah Salah satu analisis hasil sistem dinamik adalah prediksi unit cost pengolahan sampah yakni biaya pengolahan per ton sampah yang akan dihadapi Jakarta. Sebagaimana terlihat dari hasil analisis sistim dinamik unit cost pengolahan sampah ke depan akan menurun seiring dengan perubahan sistem pengolahan sampah dan perkembangan teknologi yang digunakan. Hal ini karena adanya perubahan sampah yang diolah dari teknologi SLF ke teknologi HRC dan WTE Insinerator. Secara terbobot unit cost akan mengalami penurunan dari sekitar Rp 1,7 juta per ton sampai sekitar Rp 600 ribu per ton. Analisis sistem dinamik memungkinkan dilakukannya analisis sensitivitas untuk mengetahui perkembangan perubahan parameter secara random terhadap variabelvariable sosio ekonomi dan lingkungan yakni penduduk, PDRB dan sampah. Analisis sensitivas dilakukan dengan melakukan simulasi Monte Carlo dimana sistem dinamik melakukan iterasi ketidakpastian sebanyak 200 kali dengan perubahan parameter laju

133 111 pertumbuhan penduduk dan laju perubahan ekonomi (laju PDRB). Hasil analisis Monte Carlo tersebut dapat dilihat pada beberapa Gambar sensitivity 50% 75% 95% 100% Penduduk Time (Year) Gambar 36 Hasil perkembangan penduduk berdasarkan analisis sensitivas monte carlo Sebagaimana terlihat pada Gambar 36 bahwa berdasarkan hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa pada akhir periode simulasi, batas tertinggi ketidakpastian (100%) perubahan laju penduduk secara random akan menghasilkan perkembangan penduduk DKI sekitar 27 juta jiwa, semantara batas bawah (lower bound) ketidakpastian yakni 50% akan menghasilkan jumlah penduduk maksimum sekitar 19 juta jiwa. Hasil ini akan berkorelasi pula dengan perkembangan volume timbulan sampah. Hasil analisis Monte carlo menunjukkan perubahan seperti terlihat pada Gambar 37.

134 112 sensitivity 50% 75% 95% 100% Sampah Time (Year) Gambar 37 Hasil monte carlo timbulan sampah Dari Gambar 37 terlihat bahwa batas maksimum ketidak pastian (100%) akan menghasilkan timbunan sampah sekitar13 ribu ton per hari sementara batas bawah (50%) akan menghasilkan 11 ribu ton per hari. Perkembangan PDRB akibat adanya ketidakpastian (shock terhadap sistem ekonomi) juga akan menghasilkan beberapa perubahan. Hasil analisis Monte Carlo menghasilkan perubahan PDRB sebagai berikut. Dari Gambar 38 terlihat bahwa spread yang lebar terjadi pada skenario ketidak pastian minimum (perubahan 50%) yang ditunjukan oleh area warna kuning dengan kisaran minimum PDRB per kapita US$ 9,000 dan maksimum sekitar US$18,000. Pada

135 113 aspek ketidak pastian 100% (random total), PDRB per kaita maksimum akan dicapai sekitar US$ per kapita per tahun. sensitivity 50% 75% 95% 100% PDRB 40,000 30,000 20,000 10, Time (Year) Gambar 38 Hasil analisis Monte Carlo untuk pertumbuhan PDRB per kapita Konsekuensi perubahan terhadap parameter yang ditunjukkan oleh analisis monte carlo juga mengakibatkan perubahan terhadap unit cost pengolahan sampah secara terbobot. Hasil analisis selama periode 50 tahun menunjukkan bahwa spread (rentang) ketidak pastian 50% akan menghasilkan penurunan unit cost antara Rp ,- per ton sampai sekitar Rp ,- per ton sementara spread terkecil diperoleh pada aspek ketidak pastian 100% yakni antara Rp ,- per ton sampai Rp ,- per ton.

136 114 sensitivity 50% 75% 95% 100% unit cst Time (Year) Gambar 39 Hasil analisis Monte Carlo untuk unit costs pengolahan sampah

137 115 BAB V ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Implementasi Kebijakam Pengolahan Sampah DKI Jakarta Kebijakan Pengolahan sampah DKI diawali dengan terjadinya perubahan sistem pemerintahan daerah, yakni sejak era reformasi pada tahun 1999, dengan diberlakukannya Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka pada tahun 1999 Pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW- DKI 2005, yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta Dalam RTRW 2010, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampahnya, yang dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di tempat pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat. Pada pasal 71 tentang pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani. Pada kebijakan yang dirumuskan mengenai pengolahan sampah di DKI Jakarta, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah DKI di masa yang akan datang akan menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya dengan menggunakan berbagai

138 116 teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dalam pengolahan sampahnya, maka DKI mengaplikasikan beberapa teknologi, antara lain pengolahan sampah dengan pembakaran yaitu dengan membangun unit-unit insinerator skala kecil di berbagai wilayahnya, dan mendorong beberapa produksi kompos di berbagai wilayah Insinerator Skala Kecil Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan pengolahan sampah dengan mempergunakan insinerator, maka DKI Jakarta telah membangun 21 insinerator skala kecil yang diletakkan di masing-masing bagian wilayah DKI. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (2005) terhadap operasi dan pemeliharaan insinerator skala kecil ini, menunjukkan bahwa dari keseluruhan unit insinerator skala kecil tersebut, terdapat enam unit insinerator yang beroperasi sedangkan lainnya sudah tidak berfungsi. Kapasitas dan jam operasi dari insinerator skala kecil ini bervariasi dari 200 kg/jam sampai 500 kg/jam dengan lama operasi antara 3-14 jam. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan survey JCI, pada tahun 2000 memperlihatkan bahwa total kapasitas pengolahan sampah dari insinerator skala kecil diperkirakan mencapai 21,9 ton/hari. Insinerator skala kecil ini dilengkapi dengan sistem perlindungan pencemaran lingkungan berupa cyclone, yang dimaksudkan untuk mereduksi partikulat, namun demikian sistem ini tidak akan mampu menanggulangi timbulnya gas NO x, SO x, CO, HC dan dioxin. Adanya gas NO x, SO x, CO, HC dan dioxin yang dapat dihasilkan dari incinerator skala kecil perlu sangat diwaspadai (Talashilkar et al., 1999), karena merupakan gas rumah kaca yang akan menyumbang terjadinya pemanasan global. Hal ini sesuai dengan pendapat Panjiwibowo et al. (2003) yang mengatakan bahwa pada efek rumah kaca (ERK) gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Dan tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan kembali ke angkasa luar, namun sebagian gelombang akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Hal ini mengakibatkan suhu bumi menjadi lebih hangat. Apabila efek rumah kaca tersebut berlebihan, maka pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.

139 117 Khusus tentang dioksin yang dihasilkan dari incinerator kecil (UNEP 2003), juga harus sangat diwaspadai, karena dioksin bersifat karsinogenik (Klaassen et al., 1986). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matsushita (2003); NIEHS (2001) yang mendapatkan hasil bahwa dioksin dan furan berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, karena dapat memicu kanker, alergi, dan merusak susunan saraf. Selanjutnya dikatakan bahwa dioksin dan furan juga dapat mengganggu sistem endokrin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan mahluk hidup serta pada janin, sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada bayi yang dilahirkan. Lokasi, kapasitas dan kondisi operasional dari insinerator-insinerator kecil dapat dilihat pada Tabel 52. Dari hasil evaluasi DJCK dikemukakan bahwa kebanyakan dari unit-unit insinerator skala kecil tersebut beroperasi dengan tidak layak atau sudah tidak berfungsi lagi, yang disebabkan oleh: a. Beberapa unit insinerator dibangun untuk mengolah sampah-sampah yang tidak cocok, termasuk sampah basah dari pasar dan zat pencemar tahan api. Kondisi ini menyebabkan tingginya konsumsi bahan bakar, yang menurut hasil evaluasi dari Dinas kebersihan DKI Jakarta (2005), disebutkan bahwa diperlukan bahan bakar kerosen antara liter per hari dengan lama operasi antara 6-14 jam per hari. Rata-rata kebutuhan bahan bakar berkisar liter per kg sampah. b. Banyak unit insinerator yang dioperasikan secara manual seperti pemasukan sampah ke insinerator dan penanganan abu. Kondisi ini dinilai tidak nyaman dan sulit untuk dioperasikan oleh para operator. c. Pengoperasian unit insinerator ini mahal dan secara ekonomi tidak efisien, sehingga sulit untuk mempertahankan fasilitas ini. d. Asap yang dikeluarkan dari insinerator mengganggu masyarakat, yang disebabkan oleh kurang tingginya cerobong asap. Hasil evaluasi oleh Direktorat jenderal Cipta Karya (2005) menunjukkan bahwa pengoperasian insinerator skala kecil memerlukan 15 liter kerosen per kg sampah. Hal ini mengandung arti bahwa untuk mengolah sampah dengan kapasitas ton/hari jika dilakukan dengan insenerator skala kecil, akan diperlukan liter kerosen per hari, yang setara dengan Rp 135 milyar,- /hari dengan harga kerosen Rp 3000,-/liter. Besaran biaya ini sangat tidak efisien jika dibandingkan dengan pengolahan sampah

140 118 dengan mempergunakan sistem insinerator skala besar dengan kapasitas 3000 ton/hari, mengingat biaya tersebut setara besarnya dengan biaya opersi WTE selama satu tahun untuk kapsitas 3000 ton/hari Komposting dan Daur Ulang Pengomposan sampah di DKI telah dimulai sejak tahun Pada tahun 2000 kapasitas pengomposan di wilayah DKI telah mencapai kapasitas 24,2 ton/hari yang berasal dari 14 fasilitas pengomposan di Kota Jakarta. Pada dasarnya pengomposan dan daur ulang merupakan pengelolaan sampah yang cukup baik dan sudah dilakukan di DKI, namun pengelolaan sampah dengan cara tersebut di DKI Jakarta relatif belum efektif. Menurut Satori (2002) belum efektifnya proses pendaurulangan sampah seperti sampah pasar tradisional, baik sampah organik maupun anorganik, antara lain disebabkan belum adanya rancangan usaha (business plan) sistem daur ulang sebagai sebuah industri dengan memperhitungkan berbagai aspek keindustrian; belum adanya sistem jaringan pemasaran produk-produk daur ulang sehingga tidak adanya koneksitas (linkage) antara produsenkonsumen, produsen-produsen, dan antara konsumen-konsumen; kegiatan daur ulang masih dianggap sebagai usaha sampingan dan alternatif usaha terakhir, karena tidak ada peluang lain. Penyebab lainnya adalah masih terbatasnya anggaran yang disediakan, terutama oleh pemerintah untuk menerapkan berbagai pemikiran yang mengarah pada kegiatan daur ulang sampah; kurangnya sosialisasi sehingga pemahaman masyarakat tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari segi lingkungan maupun ekonomi yang sangat minim; serta karena kegiatan tersebut belum sinergi dan belum terintegrasi dalam sistem manajemen sampah. Adapun lokasi dan kondisi dari tempat-tempat komposting dapat dilihat pada Tabel 53. Metode komposting yang dipakai di DKI adalah sistem windrow yang dimodifikasi. Persoalan yang dihadapi dalam pengomposan sampah di DKI diakibatkan karena tidak tercapainya keseimbangan antara supply dan demand kompos. Kurangnya volume penjualan kompos di pasar, mengakibatkan menurunnya jumlah produksi kompos. Masalah-masalah yang timbul pada unit komposting antara lain: a. Mahalnya biaya operasional sehubungan dengan pengadaan bak terbuka untuk membantu proses pembusukan. b. Membutuhkan luas tanah yang cukup besar.

141 119 c. Perlunya status hukum atas tanah yang dipergunakan usaha pengomposan merupakan masalah yang sensitif dan sulit. d. Tidak adanya panduan lingkungan untuk komposting, mengakibatkan tempattempat pengolahan kompos berjalan tanpa memperhatikan aspek perlindungan lingkungan. e. Mempersiapkan sampah yang sesuai untuk dikomposting sangat sulit, karena bahan-bahan yang tidak dapat dikomposting seperti metal, plastik dan kaca belum terpisahkan dengan baik. f. Rendahnya permintaan pasar untuk kompos organik. g. Proses komposting yang tidak terkontrol dengan kualitas rendah dan kadangkadang dengan kandungan metal yang tinggi. h. Komposting yang tidak terkontrol sering kali menyebabkan masalah-masalah lingkungan seperti bau yang menyengat dan terjadinya perkembang biakan hama, organisme patogen yang terkandung dalam sampah organik. i. Program usaha daur ulang dan produksi kompos (UDPK) untuk mempromosikan unit komposting, kurang mendapatkan respon dari masyarakat dan dunia usaha. Kurangnya partisipasi masyarakat dan kemampuan manajerial dari pemerintah kotamadya menyebabkan gagalnya program UDPK. Karakteristik sampah terutama nilai kalor dan kadar air, merupakan parameter utama yang paling penting dalam menentukan apakah insinerator WTE dapat diterapkan atau tidak. Komponen-komponen yang dapat terbakar dalam sampah kota terdiri dari komponen organik, kertas, plastik, kain, tekstil, dan kayu. Berdasarkan keenam komponen tersebut, komponen organik yang terdiri dari sisa makanan, sayur-sayuran, daun, rumput, dan lain-lain merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor terendah, sedangkan plastik merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor tertinggi. Proses daur ulang sampah non organik akan mengurangi komponen sampah yang mempunyai nilai kalor tinggi, sehingga sisa dari proses tersebut akan mempunyai nilai kalor per kilogram lebih rendah. Kondisi sebaliknya juga terjadi jika sampah organik dipisahkan dan dikomposkan, mengingat sisa proses tersebut akan cenderung mempunyai nilai kalor yang tinggi. Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah dilakukan proses daur ulang dapat dilihat pada Tabel 54.

142 120 Tabel 52 Kondisi insinerator skala kecil Kota Lokasi Kapasitas Kap.Produksi Kondisi ton/ Hari Jakarta Pusat 1. Rawasari Selatan Kec. Cempaka Putih 250 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Juli Dipo Gunung Sahari Utara Kec. Sawah Besar 200 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Dipo Tanjung Selor Kec. Gambir - - Sudah tidak beroperasi sejak Jl. Galur Selatan 1) 200 kg/jam 0,6 Beroperasi 18:00-21:00 6 hari seminggu 5. Jl. Jati Petamburan I RW 04 Petamburan I 250 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Juni 2001 Jakarta Barat 6. Jl. Jati Pinggir, Petamburan I 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 7. Ps. Nangka RW. 10 Utan Panjang 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 8. Dipo Siaga, Kec. Ps. Minggu 250 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Desember Asrama DK, Lentang Agung 2) 250 kg/jam 2,0 Beroperasi 8:00-16:00 6 hari seminggu 10. Jl. Taman Tebet Barat Raya Tebet Barat 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 11. Metropolitan Kencana RW. 10 Pondok Pinang 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 12. Asrama DK, Tegal Alur 3) 250 kg/jam 3,25 Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu 13. Asrama DK, Pegadungan, 500 kg/jam - Dalam Tahap Cengkareng Barat Pembangunan 14. Perum Citra, Pegadungan 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan Jakarta Utara Jakarta Timur 15. Asrama DK, Sunter Jl. Gabus, Sunter Jaya 4) 500 kg/jam 6,5 Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu 16. Asrama DK, Semper Jl. Semper Barat 5) 500 kg/jam 7,0 Beroperasi 6:00-20:00 6 hari seminggu 17. Jl. BGR, Kepala Gading Barat 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 18. Jl. Pademangan III Pademangan Timur 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 19. Asrama DK, Pondok Bambu 6) 250 kg/jam 2,5 Beroperasi 7:00-15:00 6 hari seminggu 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 20. Jl. Pendidikan RW.04, Cijantung 21. Jl. H. Naman RT.2/2 Pd. Kelapa 500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan Total 21,85 Sumber: Dinas Kebersihan DKI,2005

143 121 Tabel 54 menunjukkan bahwa jika hanya dilakukan daur ulang terhadap sampah dengan kandungan organik yang tinggi, maka nilai kalor sampah sisa akan lebih rendah dari nilai kalor sampah awal. Hal ini disebabkan sebagian komponen yang mengandung nilai kalor tinggi hilang. Apabila pengurangan sampah dilakukan dengan proses daur ulang dan komposting, maupun komposting saja, maka nilai kalor sampah akan naik hampir dua kali lipat. Berdasarkan hal tersebut, maka jika daur ulang komponen non organik akan dilakukan sebesar-besarnya, maka sisa sampah terbesar adalah komponen organik saja, sehingga nilai kalor sampah sisa akan menjadi sangat rendah, yakni kurang lebih 900 kkal/kg. Mengingat kandungan kalorinya rendah, maka pengolahan dengan menggunakan insinerator tidak layak untuk digunakan. No. Tabel 53 Unit-unit komposting di Kota Jakarta Lokasi Unit-Unit Komposting Sistem Komposting 1. Pondok Indah Golf, Jakarta Selatan Pengomposan dengan menggunakan cacing 2. Jagakarsa, Jakarta Selatan Kompos sampah kota + bioaktivator (mikro-biologi) 3. Cakung, Rumah Jagal, Campuran kompos dari Jakarta Timur sampah rumah jagal, serbuk gergaji, tanah dan lain-lain. 4. Universitas Trisakti, Jakarta Kotoran ayam, kotoran kambing, rumput, kotoran manusia dan bio-aktivor 5. Cakung, Jakarta Timur Campuran kompos dari sampah rumah jagal, rumput, 6. Jl. Swadharma Raya, Jakarta Selatan 7. Pasar Tradisional Pluit, Jakarta Utara kotoran sapi dan lain-lain. Campuran kompos dari sampah rumah tangga, kotoran kuda, serbuk gergaji, sampah kayu. Sampah tanaman dan buahbuahan dari pasar tradisional Pluit 8. Pondok Kopi, Jakarta Timur Kompos dari rumah jagal, sampah permen, serbuk gergaji dan lain-lain. Harga Jual (Rp./kg) Kapasitas Produksi (ton/day) , , , , , , , , Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan Pengomposan dengan menggunakan cacing , Hanya total kapasitas dari 5 unit komposting yang tersedia 4,803 Jumlah total produksi kompos 24,200 Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005 Tabel 54 Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting Karakteristik Sampah Awal Daur Ulang Saja Kompos dan daur ulang Kompos Saja Nilai Kalor (Kcal/kg) Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005

144 122 Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (2003) memperlihatkan bahwa walaupun composting merupakan sasaran utama sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2010 dalam jangka pendek. Namun hingga saat ini diindikasikan bahwa tidak mungkin melakukan perubahan budaya yang diperlukan untuk mendukung hal itu dalam skala besar dan dalam waktu yang singkat (jangka pendek). Pada dasarnya komposting merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam rangka mengimplementasikan program 3R (reduce, reuse, dan recycle) atau lebih dikenal dengan program 3R, yang orientasinya agar tercapai program zero waste. Hal ini sesuai dengan pendapat Bebassari (2000) yang mengatakan bahwa zero waste merupakan konsep pengelolaan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R yaitu reduse, reuse, recycle dengan pengelolaan sedekat mungkin dengan sumbernya. Pengembangan teknologi pengelolaan sampah ini selain lebih bersahabat dengan lingkungan, juga akan memberi nilai tambah secara ekonomi (Wibowo dan Djajawinata 2003). Namun demikian sampai saat ini, kelayakan metode reduce and reuse di Jakarta belum terbukti dapat diaplikasikan dalam skala yang berarti. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng pun juga relative kurang memuaskan, karena baru menunjukkan adanya potensi penggunaan kompos. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng menunjukkan bahwa Jakarta tidak dapat menganggap bahwa composting dengan skala kecil dapat diandalkan sebagai solusi utama dalam reduksi sampah, untuk jangka waktu minimal lima tahun ke depan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya sampah domestik. Selain itu juga diperlukan perubahan mindset dari masyarakat luas untuk memandang kompos sebagai produk yang bermanfaat, baik bagi ekonomi maupun lingkungan Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah Hasil analisis CBA mendapatkan hasil bahwa sistem pengolahan sampah yang selayaknya dikembangkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, dalam rangka mengatasi persoalan pengolahan sampah yang terkait dengan keterbatasan lahan serta untuk mendapatkan sisitem pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan dapat diterima oleh masyarakat adalah pengolahan sampah dengan mengaplikasikan integrasi teknologi insinerator WTE dan HRC yang ditempatkan di dalam wilayah DKI, sedekat mungkin

145 123 dengan sumber timbulan sampah. Adapun pertimbangan dari pemilihan teknologi tersebut adalah sebagai berikut : a. Teknologi insinerator skala kecil mengeluarkan biaya yang sangat mahal, sehingga memberikan beban yang berat bagi keuangan Pemda DKI, dalam menyediakan biaya operasi dan pemeliharaan. Selain itu juga menimbulkan dampak lingkungan dan berpotensi untuk menurunkan kesehatan masyarakat, sehingga diduga akan menghadapi penolakan masyarakat. Teknologi yang harus dioperasikan oleh Pemda DKI adalah insinerator WTE, dengan kapasitas ton/hari, mengingat sistem ini yang paling cost efficient dan relative ramah lingkungan. Pemanfaatan teknologi ini dimungkinkan dengan terjadinya perubahan komposisi sampah seiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan tingkat kesejahteraan ini akan merubah komposisi sampah dengan kandungan sampah anorganik yang semakin meningkat. Peningkatan kandungan sampah anorganik juga akan meningkatkan kandungan kalori sampah, yang memberikan keuntungan bagi DKI dalam mengaplikasikan teknologi insinerator WTE dalam pengolahan sampahnya. b. Berdasarkan besarnya volume timbulan sampah dalam 25 tahun ke depan, maka kebijakan pemeintah DKI Jakarta harus diarahkan pada pemanfaatan teknologi yang dapat mengatasi permasalahan kelangkaan lahan sebagai tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Selain itu juga harus mampu melakukan reduksi volume sampah secara cepat, dalam skala besar untuk menurunkan biaya pengangkutan sampah ke lokasi TPA. Di samping itu hasil analisis juga menunjukkan bahwa aplikasi teknologi insinerator WTE skala besar, akan lebih menguntungkan jika diintegrasikan dengan teknologi high rate composting (HRC). Hal ini disebabkan residu yang dihasilkan dari proses HRC menjadi input WTE dengan kandungan kalori yang tinggi, sehingga kandungan kalori sampah sebagai input pada proses WTE semakin tinggi, yang pada gilirannya akan menghasilkan produksi listrik yang lebih besar. Pada sistem ini sanitary landfill (SLF) hanya difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir hasil pengolahan sampah dari sistem WTE insinerator yang berupa abu yang telah stabil dan aman bagi lingkungan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat di sekitar lokasi landfill, karena tidak menimbulkan bau yang mengganggu. Kenaikan produksi listrik akibat naiknya kandungan kalori sampah, akan memberikan pendapatan ekstra yang lebih tinggi yang memberikan keuntungan untuk menutupi ongkos operasi dan pemeliharaan insinerator WTE.

146 ton/hari 124 c. Adanya aplikasinya teknologi terintegrasi HRC dan insinerator WTE, maka sanitary landfill (SLF) pada masa yang akan datang hanya akan menerima residu dari hasil pembakaran berupa abu, yang lebih ramah lingkungan dan lebih dapat diterima oleh masyarakat sekitar SLF. Pada sisem ini juga tidak akan menimbulkan bau yang tidak sedap yang selama ini dirasakan oleh masyarakat yang bermukim disekitar SLF. Sistem ini juga akan menghilangkan acaman pencemaran air tanah akibat dari produksi lindi yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah oganik. d. Dengan pertimbangan tersebut, maka kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah DKI dalam pengolahan sampah adalah penerapan aplikasi teknologi pengolahan sampah terintegrsai antara teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF, yang akan mampu mengolah seluruh timbulan sampah DKI Jakarta hingga 25 tahun ke depan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 40. Pemanfaatan teknologi pengolahan sampah insinerator WTE selaras dengan Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, yang pada pasal 4 disebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya ,2 21, Composting 3R Incinerator SLF Organik Anorganik Gambar 40 Sistem pengolahan sampah di DKI saat ini

147 125 Gambar 41 Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi Gambar 42 Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang

148 Partisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara berwawasan lingkungan, dan tata cara pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah. Keberhasilan pengolahan sampah sangat ditentukan oleh adanya partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha. Implementasi teknologi pengolahan sampah akan lebih berhasilguna dan lebih tepatguna jika masyarakat melakukan pemilahan sampah, serta melaksanakan program pengurangan (reduce), reuse (penggunaan kembali), dan recycling (pemanfaatan kembali) sedekat mungkin dari sumber timbulan sampah. Pemilahan sampah pada sumbernya akan memberikan dampak positif terutama dalam pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi HRC dan insinerator WTE. Sampah organik yang terpilah dari sampah anorganik akan memberikan kualitas yang baik pada produksi kompos yang terbebaskan dari kandungan logam berat dan bahan berbahaya lainnya. Selain itu pemilahan sampah anorganik akan memberikan kemudahan proses penggunaan kembali ataupun pemanfaatan kembali sampah anorganik. Pemerintah DKI harus mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan pengurangan (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan pengolahan kembali (recycling), sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pada dasarnya Pemerintah DKI Jakarta telah lama mencanangkan kebijakan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No : 1281 tahun 1988 tentang Pola Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Dalam lampiran keputusan tersebut ditekankan bahwa pada pengumpulan sampah di lokasi sumber sampah dilakukan pemisahan menurut jenisnya yaitu yang dapat didaur ulang (sampah anorganik) dan yang tidak dapat didaur ulang ( sampah organik). Selain itu juga dinyatakan bahwa petugas pengumpul sampah mengambil sampah sesuai dengan jenis dan jadwal yang telah ditentukan. Namun demikian kebijakan ini pada kenyataanya tidak dapat direalisasikan, mengingat tidak adanya mekanisme insentif (reward) dan disinsentif ( punishment), sebagaimana diamanatkan dalam pasal 21 UU No 18 tahun 2008, sehingga tidak memberikan perbedaan perlakuan antara masyarakat/ kelompok masyarakat yang melakukan pemilahan sampah sesuai dengan kebijakan tersebut dengan masyarakat/kelompok masyarakat yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Selain hal tersebut, keberhasilan

149 127 pengelolaan sampah juga sangat bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana persampahan, baik dalam skala kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya, yang berdasarkan UU No.18 tahun 2008 pasal 13 wajib disediakan oleh pengelola. Peran pemangku kepentingan dalam sistem pengolahan sampah tersebut ditunjukkan pada bagan Gambar 43. Pemilihan Sampah Pengumpulan Transportasi Pengolahan Pengolahan Skala Lingkungan Pengolahan Skala Kota Akhir (SLF) Skala Kawasan Skala Regional Organik ton/hari HRC ton/hari Reject 300 ton/hari Listrik 55 Mw sampah 6000 ton/hari Kompos 900 ton/hari Input WTE 2400 ton/hari (3.044 kkal/kg) WTE ton/hari Anorganik ton/hari Peran serta masyarakat 3R : 900 ton/hari Reject tonn/hari Peran Dunia Usaha Abu 8,44% ton/hari SLF 202,56 ton/hari Peran Pemerintah sebagai regulator Gambar 43 Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah Implementasi integrasi pemanfaatan teknologi HRC, WTE, dan SLF dalam sistem pengolahan sampah memerlukan keterlibatan sektor swasta. Dalam hal ini private sector didorong untuk melakukan investasi maupun pengoperasian unit pengolahan sampah dengan teknologi tinggi, sehingga memerlukan perawatan dan pengoperasian dengan sumber daya manusia yang handal. Selain itu juga dituntut untuk dapat meningkatkan effisiensi dalam pembiayaan serta pemenuhan kinerja secara effektif. Keterlibatan sektor swasta dapat dilakukan melalui pola kerjasama antar pemerintah dengan swasta (public private partnership- PPP), dalam bentuk build operate and transfer (BOT), concession (konsesi) ataupun dalam bentuk business to bussiness ( B to B). Kerjasama antara pemerintah dengan swasta mendorong terjadinya keterbukan, effisiensi, effektifitas dan keberlanjutan sistem pengolahan sampah. Kajian studi kelayakan yang lebih mendalam diperlukan guna menentukan pola kerjasama yang tepat antara pemerintah dengan swasta (KPS), untuk mengetahui resiko

150 128 (risk analysis) yang kemungkinan terjadi selama kerjasama berlangsung. Selain itu juga untuk menentukan seberapa besar dukungan dan jaminan pemerintah yang diperlukan guna menciptakan kondisi yang menarik bagi keterlibatan sektor swasta. Indikasi keuntungan dan kerugian bentuk KPS dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta ini, dari sisi pemerintah dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55 Keuntungan dan kerugian dalam pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta No Bentuk Kerjasama Keuntungan Kerugian 1 Build Operate and Transfer (BOT) pada Unit Pengolahan Sampah Pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Badan layanan Umum (BLU) masih memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan dibagian yg tidak masuk dalam kerjasama dg swasta, umumnya dibagian yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Model ini lebih menarik bagi swasta. 2 BOT Konsesi Pemerintah tidak mengeluarkan biaya dalam pembangunan sarana dan prasarana persampahan, seluruh biaya dibebankan pada swasta 3 B to B Kerjasama dapat dilakukan dengan waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan BOT atau Konsesi. Model ini lebih disukai oleh swasta, terutama swasta yang memiliki insiatif untuk melakukan kerjasama di bagian tertentu dari sistem pengelolaan sampah. Sumber : Analisis penulis Pemerintah harus menyediakan pembiayaan dibagian yang menjadi tanggung jawabnya Pemerintah tidak memiliki kewenangan di Seluruh bagian wilayah yang dikonsesikan. Model ini kurang diminati oleh swasta Investasi swasta lebih besar membuat kurang layaknya proyek KPS Cenderung kurangnya competitiveness dalam memilih badan usaha kerjasama Kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah diatur di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah

151 129 dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Di dalam pasal 4 ayat (1) butir e. dijelaskan bahwa jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha mencakup : infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah Keberlanjutan sistem pengolahan sampah dengan pemanfaatan teknologi non konvensional yaitu pemanfaatan teknologi HRC dan incinerator WTE skala besar dan SLF, bergantung kepada tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil analisis sebagaimana dijelaskan oleh Bertz dan Kelly (2005) mengenai kurva lingkungan dari Kuznet, menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sangat berpengaruh terhadap terjadinya tingkat degradasi lingkungan. Kurva ini juga menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat akan semakin menurun tingkat degradasi lingkungan atau dengan kata lain dengan tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi permintaan/ tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik akan semakin meningkat, dan masyarakat memiliki kemauan yang lebih tinggi untuk membayar. Dalam konteks pengolahan sampah, pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang lebih baik memerlukan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar biaya operasi dan pemeliharaan pemanfaatan teknologi tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barton et al. (1994) pada kota-kota di beberapa negara menunjukkan bahwa jika tingkat pendapatan masyarakat rata-rata per jiwa telah mencapai US $ 6,500 maka sangat memungkinkan untuk pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan sistem insinertor dan sanitary landfill. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Contreau et al. (1985), memperlihatkan bahwa dengan tingkat pendapatan masyarakat sebesar itu, maka komposisi timbulan sampah perkotaan, sampah anorganiknya akan lebih besar atau sama dengan 50% dari total timbulan sampah perkotaan. Hal ini mengandung arti bahwa sampah memiliki kandungan kalori yang tinggi serta kadar air yang rendah. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik sampahnya, maka teknologi yang memungkinkan untuk diaplikasikan adalah teknologi insinerator WTE. Selain itu adanya listrik yang akan dihasilkan pada teknologi insinerator WTE, menjadi harapan masa depan mengingat energi alternatif merupakan sasaran energi masa depan yang sangat dibutuhkan dunia (Simmons 2001).

152 130 Tingkat kesejahteraan masyarakat di DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata PDRB/kapita pada tahun 2007 telah mencapai Rp ,-/kapita, setara dengan US $ 6,900/kapita (dengan nilai Rp 9.000,-/US $). Trend tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dari tahun ke tahun menunjukkan tingkat kenaikan yang positif yaitu rata-rata sebesar 12,7%/ tahun, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 56. Data terakhir yang dikemukakan oleh BPS DKI Jakarta memperlihatkan bahwa nilai PDRB/kapita DKI pada tahun 2009 telah mencapai Rp ,- dan pada tahun 2010 sebesar Rp ,-/ kapita. Hal ini mengandung arti bahwa dengan tingkat kesejahteraan sebesar itu dan dengan kecenderungan yang semakin meningkat, maka dapat diindikasikan bahwa DKI Jakarta layak untuk mengaplikasikan teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF secara terintegrasi. Tabel 56 Pertumbuhan PDRB per kapita DKI Jakarta Pertumbuhan PDRB/kapita DKI Jakarta Tahun PDRB/kapita Rp US $ % pertumbuhan , , , ,6 rata-rata 12,7 Sumber : Hasil Perhitungan Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1995), dan data BPS DKI Jakarta (2010), koefisien Gini (Gini ratio) untuk DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 57. Tabel 57 Gini rasio Provinsi DKI Jakarta Gini Rasio Provinsi DKI Jakarta ,3532 0,354 0,294 0,94 0,305 0,34 0,33 0,36 Sumber : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, BPS Gini rasio menunjukkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, yakni semakin merata suatu distribusi pendapatan, maka nilai koefisien gininya mendekati nol. Namun makin tidak meratanya suatu distribusi pendapatan, maka besaran koefisien akan mendekati satu. Berdasarkan patokan yang umum digunakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki tingkat ketimpangan rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien gini lebih kecil dari 0,4, kecuali pada tahun 1987 yang memiliki nilai rasio 0,94 karena

153 131 terjadinya devaluasi nilai rupiah terhadap US$. Dengan demikian maka DKI Jakarta telah memenuhi syarat untuk mengaplikasikan teknologi HRC, insinerator WTE, dan SLF Institusi Pengelola Sampah Pengelolaan sampah di DKI Jakarta diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan, namun sampah taman menjadi tanggung jawab dari Dinas Pertamanan, dan sampah dari sungai menjadi tanggung jawab dari Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu Pemda DKI juga bekerjasama dengan swasta dalam melaksanakan kebersihan di wilayah tertentu dan melakukan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA Bantargebang. Koordinasi dari ketiga penyelenggara pengelola sampah tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1281 tahun 1988 tentang Pengelolaan Sampah DKI Jakarta, namun implementasinya masih menyisakan permasalahan dalam hal batas kewenangan dan tanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah. Pada dasarnya keberadaan beberapa institusi yang berperan dalam bidang dan ruang yang sama seringkali menimbulkan konflik kepentingan dan tanggung jawab. Hal ini juga terindikasi terjadi pada ketiga institusi pengelola sampah. Adapun permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya konflik adalah akibat pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan dan ke TPA Bantargebang yang tidak mencapai 100%. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya sampah yang masuk ke Teluk Jakarta yang volume rata-rata mencapai m3/hari. Dalam rangka menghindari terjadinya saling melempar tanggung jawab, atau yang dikenal dengan not in my term of office (NIMTO) syndrome, dan untuk mengukur kinerja institusi pelaksana, maka institusi pengelola sampah di DKI Jakarta diserahkan pada satu institusi khusus sebagai penyelenggara, baik dalam bentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) atau badan layanan umum daerah (BLUD). Kedua institusi ini diberi kewenangan untuk mengelola persampahan, atau melibatkan pihak swasta dengan sistem kontrak kinerja yang disepakati, baik untuk pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir, sedangkan Dinas Kebersihan berperan sebagai regulator (pembuat kebijakan). Pengaturan tersebut akan memungkinkan terjadinya pemisahan antara fungsi regulator dan operator, sehingga penilaian kinerja kebersihan dapat dilakukan secara terbuka oleh masing-masing pihak. Selain itu masyarakat luaspun dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja baik operator maupun regulator, dan juga memberikan masukan bagi terselenggaranya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

154 Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama antar Pemerintah dengan Swasta Pengelolaan sampah di DKI Jakarta memerlukan keterlibatan sektor swasta, baik dalam pengumpulan, pengangkutan, pengolahan serta operasi dan pemeliharaan. Adanya keterlibatan swasta dalam sistem pengelolaan sampah ini diperlukan kebijakan yang tepat, sehingga kerjasama tersebut dapat lebih menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, agar swasta tertarik berperan serta. Prinsip-prinsip good governance harus ditegakkan, terutama dalam aspek keterbukaan ( transparansi), efisien, efektif, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perencanaan yang partisipatif. Selain hal tersebut, adanya dukungan pemerintah untuk dapat memberikan akses pendanaan dengan bunga murah (BI rate) serta jaminan pemerintah (government support) atas keamanan investasi yang ditanamkan oleh swasta juga akan sangat menentukan masuknya sektor swasta ke dalam pengolahan sampah. Kebijakan pemerintah diarahkan untuk memberikan insentif bagi sektor swasta dalam memanfaatkan sampah sebagai sumber energi listrik (energi yang terbarukan) melalui aplikasi teknologi insinerator WTE. Keberadaan jaminan pemerintah (commitment) akan pasokan sampah dengan volume yang disepakati, penetapan harga beli enegi listrik yang menarik yang dihasilkan dari sistem insinerator WTE, serta adanya keringanan pajak atas import peralatan dan penjualan energi terbarukan merupakan faktor-faktor yang menentukan bagi masuknya sektor swasta untuk turut berperanserta dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta.

155 133 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kebijakan nasional yang terkait dengan sampah yang ada saat ini yakni Undangundang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolan Persampahan, dan Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diperbaharui dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masih terjadi fragmentasi dalam implementasisnya tertutama menyangkut tata kelola dan sistem pengelolaan sampah, meskipun secara konseptual kebijakan perundangundangan tersebut sangat baik namun dalam tataran opersional masih menemui banyak kendala. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Program reduksi sampah yang diperkenalkan saat ini adalah sistem terpadu antara daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insinerasi) dan sistem pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill, bahkan di masa yang akan datang dapat menerapkan program zero waste. Namun untuk mengaplikasikan teknologi tersebut belum didasarkan pada kajian kelayakan teknis, keuangan maupun lingkungan, sehingga sistem pengolahannya belum berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, perlu pemisahan fungsi regulator dan operator. Dan untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, saling lempar tanggung jawab, dan untuk lebih memudahkan dalam mengukur kinerjanya, maka pengelolaan sampah, idealnya dilakukan hanya oleh satu institusi. Dalam rangka lebih meningkatkan kinerjanya dan menutupi kesenjangan pembiayaan, pada pengelolaan sampah dapat melibatkan swasta. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator waste to energy (WTE), sekaligus memberikan pemahaman bahwa sampah merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik.

156 134 Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, makin tinggi kandungan kalori makin tinggi produksi listriknya. Kandungan kalori sampah DKI yang tercampur adalah kkal/kg, sehingga dari 500 ton/hari sampah akan dihasilkan listrik 9,4 Mw. Apabila sampah dipilah antara sampah organik dan anorganik, dan dilakukan pengolahan yang terintegrasi WTE dan komposting, maka kandungan kalori meningkat menjadi kkal/kg, sehingga produksi listrik dari 500 ton/hari menjadi 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, investasi awalnya (intial investment) jauh lebih mahal, untuk kapasitas ton/hari perlu investasi Rp milyar, berbeda dengan sanitary landfill yang hanya memerlukan Rp 983 Milyar, dan high rate composting Rp1.863 Milyar. Keunggulan insinerator terletak pada pengolahan yang cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, dapat mengolah sampah B3 dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri. Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp ,- /ton sedangkan SLF Rp ,- dan komposting Rp ,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi. Biaya pengolahan kombinasi dengan kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp ,- lebih cost efficient dibanding pengolahan sistem individual. Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah. Hasil perhitungan NPV jika terdapat biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, dan dalam jangka panjang (25 tahun), biaya pengolahan sistem sanitary landfill menjadi lebih mahal dibanding sistem WTE yang ditempatkan di Wilayah DKI. Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah), menimbulkan gas rumah kaca CO 2 dan CH 4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem pengolahan High Rate Composting ataupun insinerator WTE

157 135 Adanya penggunaan dan perubahan peruntukkan lahan yang tidak terkendali, Di DKI Jakarta menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km), disamping memerlukan biaya yang mahal untuk biaya angkutan sampah (Rp 6.000,-/ton/km), juga mencemari lingkungan, mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas CO 2 sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi ton/tahun untuk timbulan sampah ton/hari. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE atau HRC yang tertutup (in door) lebih dapat diterima masyarakat sekitar, dibandingkan teknologi SLF yang terbuka. Pengolahan dengan sanitary landfill menghasilkan Leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah, padahal saat ini hanya 50% penduduk DKI yang mendapat pelayanan air minum dari sisitim perpipaan PDAM. Teknologi insinerator lebih efisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas lebih dari 500 ton/hari, namun titik optimalnya terjadi pada kapasitas ton/hari, yang didukung dengan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, dan pengolahan sampah organik paling optimal jika diolah dengan sistem high rate composting (HRC). Unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya ditempatkan di wilayah DKI, sehingga biaya angkut menjadi minimal. Makin besar skala pengolahan, akan makin murah biaya sistem pengolahan per tonnya. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jika pemerintah membeli produksi listrik yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang lebih tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah sistem insinerator WTE, sehingga memungkinkan swasta berperan dalam penyediaan pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE. Keterlibatan sektor swasta dalam pengolahan sampah dengan teknologi WTE insinerator, perlu didukung pemerintah (government support) dengan menyediakan pendanaan investasi bagi swasta dengan bunga rendah (BI rate), mengingat aplikasi teknologi insinerator WTE memerlukan intial investment yang tinggi.

158 136 Saran 1. Adanya kecenderungan volume sampah yang terus meningkat, maka perlu didorong kebijakan waste reduction policy yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat (industri, rumah tangga dan pemerintah). 2. Insinerator WTE dapat menjadi alternatif teknologi yang sesuai untuk mengatasi masalah kekurangan lahan dan keuangan Kota Jakarta, mengingat volume sampah dapat dikurangi hingga ± 95%, dan secara finansial dalam jangka panjang WTE merupakan teknologi yang paling cost efficient. 3. Kebijakan yang mendorong 3R (reduce, reuse, recycle) harus terus didorong melalui penggunaan economic incentives sebagaimana diamanatkan dalam UU 18 tahun Kebijakan dalam pengolahan sampah melalui pilihan teknologi harus dilihat secara komprehensif dan tidak hanya melihat dari sisi initital investment semata. 5. Perlu dilakukan penelitian pengendalian lingkungan yang saat ini sulit diukur dalam CBA seperti emisi gas CO 2, methan CH 4 dan gas lainnya. 6. Pemilahan sampah sejak dari sumber timbulan sampah merupakan faktor penentu dalam pengolahan sampah, sehingga harus segera diberlakukan di wilayah perkotaan. 7. Rencana detail tata ruang perkotaan harus memasukkan alokasi ruang untuk unit pengolahan sampah, dengan memperhatikan luasan kebutuhan lahan, yang memenuhi kelayakan lingkungan, teknis, dan sosial. 8. Pengelolaan sampah secara regional harus didorong untuk mengatasi kelangkaan ketersediaan lahan bagi tempat pemerosesan akhir sampah, untuk itu perlu kerjasama regional antar pemerintah kota kabupaten ataupun antar provinsi, seperti : kerjasama DKI Jakarta dengan kota-kota sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur/ JABODETABEKCUR; Kota Surabaya dengan kota/kabupaten sekitarnya seperti Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Lamongan (GERBANGKERTOSUSILA), Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung, Sumedang, Cimahi, dan lain lain. 9. Perlu dilakukan analisis yang komprehensif untuk memilih teknologi pengolahan sampah yang cost efficient.

159 137 DAFTAR PUSTAKA Abou N M, El-Fadel M, Ayoub G, El-Taha M and Al-Awar F An optimisation model for regional integrated solid waste management I. Model formulation. Waste Management & Research, 20(1): [ADB] Asian Development Bank To Wards a national environmental sanitation program for Indonesia, Volume 1, Main Taxt, Jakarta. Ahalya N, Ramachandra TV, Kanamadi RD Biosorption of heavy metals. Bangalore: Indian Institute of Science. [ALGAS] Asian Least Cost Greenhouse Gas Abetment Strategy, [PPLH IPB] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB, [PPE ITB] Pusat Penelitian Energi ITB, Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia, Pelangi Indonesia Mengurangi emisi gas rumah kaca. Allenby BR Industrial ecology. Policy framework and implementation. Prentice- Hall Inc. New Jersey. USA. Anderson J Public policy making. New York. Holt Rinehart and Winston. [APWA] American Public Works Association Solid waste collection practice. Institute for Solid Waste of the American Public Works Association. Chicago, Illinois. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta Barton C, Janis B, Josef L, Jochen E Toward environmental strategies for cities, The World Bank, Washington DC.

160 138 Bartz S, Kelly D L Kuznet diagram environmental analysis. Economic growth and the environment: Teory and facts. Resource and energy economics, Vol. 30, No. 2 : Bebasari S Pengaruh sistem pengumpulan sampah terhadap partisipasi masyarakat. Tesis magister. Universitas Indonesia, Jakarta. Bingemer H G, Crutzen P J The Production of methane from solid wastes. Max Plank Institute for Chemistry, Mainz, Federal Republic of Germany. Journal of Geophysical Research, vol. 92: Bramono SE Sampah sebagai sumber energi: Tantangan bagi dunia persampahan Indonesia. Pokja AMPL. Percik: 5: Brunner R Calvin Hazardous waste incineration, McGraw-Hill International Edition, New York [CPIS] Center for Policy and Implementation Studies Buku Panduan teknik pembuatan kompos dari sampah, teori dan aplikasi, Jakarta. Chalik A Alex Evaluasi kebijakan pengolahan sampah DKI Jakarta pada TPA sampah Bantar Gebang. Tesis Magister. Institut Teknologi Bandung. ITB Bandung. Cointreau S Johnson Financial arrengement for viable solid waste management system in developing countries. World Bank, Washington DC. Cointreau S Johnson Integrated resource recovery, recycling from municipal refuse : a state of the art review and annotated bibliography. UNDP and World Bank. Washington DC. Delgado JA, Follent RF Carbon and nutrient cycles. Journal of Soil and Water Conservation 57: Demirbas A, Pehlivan E, and Altun T Potential evolution of Turkish agricultural residues as bio-gas, bio-char and bio-oil sources. International Journal of Hidrogen Energy 31: Demirbas A Pyrolysis of ground beech wood in irregular heating rate conditions. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 73: [DEFRA] Department of Environment Food and Rural Affair Report on emission of carbondioxide from fuel consumption. Dinas Kebersihan DKI Jakarta Informasi pengelolaan kebersihan Tahun 1998/1999. Jakarta.

161 139 Dinas Kebersihan DKI Jakarta Laporan tahunan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. [DJCK] Direktorat Jenderal Cipta Karya Evaluasi pengelolaan sampah perkotaan. Jakarta. [DJCK] Direktorat Jenderal Cipta Karya Jakarta solid waste management. Jakarta. [DJCK] Direktorat Jendral Cipta Karya Laporan tahunan bidang Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. [DJCK] Direktorat Jendral Cipta Karya Laporan tahunan bidang Cipta Karya, Deapartemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Direktorat Pengkajian Sistem Industri Jasa BPPT Pengolahan sampah dengan insinerator. Jakarta. Djuarnani N, Kristian, Setiawan BS Cara cepat membuat kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta. [DKP] Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta Western Java environmental management project, Solid waste management for Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Dunn N William Pengantar analisi kebijakan publik. Gajah Mada University Press.Yogyakarta. [EC] European Commission, DG Environment A Study on the economic valuation of environmental externalities from landfill disposal and incineration of waste, final main report Field CB, Field KM Environmental economics, an Introduction, Mc Graw-Hill, Irwin. Fischer S, Dornbusch R Macro economic for open economies.the Driden Press, London. Gomes, Nascimento, Rodrigues Development of local carbon dioxide emission inventory based on energy demand and waste production, technical paper. Air and Waste Management Association. Gujarati, Damodar Basic Econometrics, McGraw-Hill,Inc, New York. Gorman S, Tynan E Environment strategy notes: Persistent organics pollutants- a legacy of environmental harm and threats to health. No. 6 May Dikunjungi 28/5/2011.

162 140 Gusmailina G, Pari, dan Komarayati S The Utilization technology on charcoal as a soil conditioning [Project Report]. Forest Products Research Centre. Bogor. Hanley N, Spash CL Cost benefit analysis and the environment. Department of Economics University of Stirling, Scotland. Hara T, Shima H, Yoshida Y, and Matsuhashi R Model analysis of an interindustrial and inter-regional waste recycling system in Japan, Journal of Energy. Harada Y, Haga K, Tosada and Koshino M Quality of compost produced from animal waste. Japan Agriculture Research Quarterly. 26: Haug RT Compost engineering principles and practices. Ann Arbor Science. Michigan. Horenwig D, Thomas L What a waste, Solid waste management in Asia, The World Bank, Washington DC, USA. [IBRD] International Bank for Reconstruction and Development, Bank Dunia, Kondisi infrastruktur di Indonesia, Majalah Insinyur Indonesia, edisi Juni 2004, Jakarta. Jablansky J Mathematical programming modelling and optimization system. CEJORE No 6. Pp : Joksha Estimation of landfill gas emission from landfill of The Central Asia. Saint- Petersburg State Polytechnic University, Russian Federation. [JICA] Japan International Corporation Agency Study on solid waste management system improvement project in the city of Jakarta in Indonesia. Jakarta. Johnke B Emissions from Waste Incineration, IPCC/OECD/IEA. Joseph B Environmental Studies, The McGraw-Hill, New Delhi Junaidi Panduan pembuatan pupuk organik. Jakarta : PT. Agro Media Pustaka. Kholil Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan sampah terpadu berbasis nirlimbah (zero waste), Studi kasus di Jakarta Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. Klaassen CD, Doul J and Amdur MO Toxicology. The Basic science of poisons. Third edition. Macmillan Publishing Company. New York. 974 hlm.

163 141 Laswell, Harold D, Kaplan A A Preview of policy scinces. The American Elsevier Pub. Co Publishing [LPEM] Lembaga Penyelidikan Ekonomi Dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Indikator-indikator Makroekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Maani, Cavana System Thinking and Modelling : Understanding change and complexity. Printice Hall. New York. Machida M, Aikawa M, and Tatsumoto H Prediction of simultaneous adsorption of Cu(II) and Pb(II) onto activated carbon by conventional Langmuir type aquations. Journal of Hazardous Materials 120: Manahan S E Environmental chemistry. Eigth Edition. New York: Taylor & Francis. CRC Press, Boca Raton. Matsuzawa Y, Mae K, Hasegawa I, Suzuki K, Fujiyoshi H, Ito M, and Ayabe M Characterization of carbonized municipal waste as substitute for coal fuel. Fuel 86: Murbandono L Membuat kompos. Edisi Revisi. Jakarta : Penebar Swadaya. Mustopadidjaja Manajemen proses kebijakan publik, formulasi, implementasi dan evaluasi kinerja. Lembaga Administrasi Negara. Napitupulu A Pengembangan model kebijakan pengelolaan lingkungan berkelanjutan pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Nurroh S Isu pemanasan global untuk memperkuat posisi tawar, Analisis pengaruh hutan tropis dalam menurunkan emisi CO 2. Kementerian Lingkungan Hidup RI. Oviatt V R Environmental health and safety in health care facilities. Cambridge University Press, London. Paris O, Zollfrank C, and Zickler GA Decomposition and carbonization of wood biopolymer microstructural study of softwood pyrolisis. Carbon 43: Pelligrini, Klein Solid waste landfills, decission maker s guide to solid waste landfills, summary. The World Bank. Washington D C. USA. [PEMDA DKIJ] Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Rencana umum tata ruang daerah DKI Jakarta tahun [PEMDA DKIJ] Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Rencana tata ruang wilayah, Daerah DKI Jakarta tahun-2015.

164 142 Petrick PK Managing solid waste in developing countries, Metropolitan waste management planning in developing countries. John Wiley and Sons Ltd, Chichester. Qadeer R, Akhtar S Kinetics study of lead ion adsorption on activated carbon. Turk Journal Chemistry 29: Ritzkowski M, Stegmann R Controlling greenhouse gas emissions through landfill in situ aeration.institute of Waste Resources Management, Hamburg University of Technology, Hamburg, Germany. Rottenberger G, Tabasaran O Grudlage zur planung von entgazungsanlagen mullhandbuch. Erich Schmidt Verlag, Berlin. Salo AA, Hamalainen RP Preference programming through approximate ratio comparisons. Theory and methodology. European journal of operational research. 82: Satori M. 24 Januari Daur ulang, solusi atasi sampah kota. Harian Pikiran Rakyat: 5 (kolom 2-4). Simmons Creating an all energi future. Aberdeen Renewable Technology Conference. Simmons and Company International. Simmonds JR, Lawson G, Mayall A Radiation protection: Methodology for assessing the radiological consequences of routine release of radionuclides to the environment, European Commission. Smith RSJ, Hodges CS, Cordell CE Charcoal root rot and black root rot. [23 Juni 2005]. Smit R Dioxin emission from motor vehichels in Australia Technical Report No. 2. Australian Government Departement of the Environment and Heritage. 2/dioxinemissionfromroadtraffic.html Dikunjungi 28 Mei 2011 Sumaiku Y Apa akibatnya dari pembakaran sampah di pekarangan rumah tangga dan pembakaran/kebakaran hutan terhadap kesehatan. Dikunjungi 28 Mei Syahril S, Resosudarmo BP, Tomo HS Study on air quality in Jakarta, Indonesia: Future trends, Health impacts, Economic value and Policy options. ADB. Suprihatin, Indrasti, Romli Working Paper No. 03, Potensi penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengomposan sampah di wilayah Jabodetabek, PPLH-IPB.

165 143 Suminar SA Estimasi emisi dioksin dan furan. Hasil penelitian disampaikan pada Enabling activities to facilitate early action on the implementation of the stockholm convention on persistent organic pollutants (POPs) in Indonesia. Workshop hasil inventarisasi POPs. UNIDO. KLH. Jakarta. Talashilkar SC, Bhangarath PP, and Metha VB Changes in chemical properties during composting of organic residues as influenced by earthworm activity. Journal of the Indian Society of Soil Science 47: Tchobanoglous G, Theisen H, Vigil AS Integrated solid waste management, Mcgraw Hill International Editions. New York. Tuomela M, Vikman M, Hatakka A, Itavaara M Biodegradation of lignin in a compost environment: a review. Bioresource technology 72: Volesky B Biosorption of heavy metals. Volesky (editor). CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida Wahyono S. 12 Januari Teknologi pengomposan untuk atasi sampah. Kompas:11 (kolom 6-8). Wibowo A, Djajawinata D Penanganan sampah perkotaan terpadu. kkppi.go.id/papbook/pananganan%20sampah%20perkotaan%20terpadu.pdf. [10 Mei 2005]. Dikunjungi 28 Mei Widyatmoko H Masalah pencemaran dioksin. 1.html [2/9/2004]. Dikunjungi 28 MEI 2011.

166 144

167 145

168 Lampiran 1. Lanjutan Analisis Biaya Investasi Pengolahan Sampah 3. KEB. LAHAN HRC o Rasio Keb. Lahan KOMPOSTING Kebutuhan lahan (Sanpah Blm. Terpilah) ` Kebutuhan lahan (Sampah Terpilah) Kebutuhan lahan (Sanpah Belum Terpilah) satuan Input 500 T/hr Input 1000 T/hr Input 2000 T/hr Input 3000 T/hr Input 250 T/hr Input 500 T/hr Input 1000 T/hr Input 1500 T/hr Input 250 T/hr Input 500 T/hr Input 1000 T/hr Input 1500 T/hr Cap :250 T/hr Cap : 500 T/hr Cap : 1000 T/hr Cap : 1500 T/hr Input 225 T/hr Cap : 450 T/hr Cap : 900 T/hr Cap : 1350 T/hr Cap : 125 T/hr Cap : 250 T/hr Cap : 500 T/hr Cap : 750 T/hr Reception Area m2/ton cap Sorting Area m2/ton cap Shredding/Crushing Area m2/ton cap Fertilizing area m2/ton cap Rejected mat.area m2/ton cap. 5,1 5,1 5,1 5,1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 Total area efective m2/ton cap. 60,1 60,1 58,1 57,1 44,9 44,9 44,9 44,9 57,9 55,9 53,9 51,9 Internal road/parking m2/ton cap. 9,0 8,0 7,0 6,0 9,0 8,0 7,0 6,0 9,0 8,0 7,0 6,0 Rasio Buffer zone : lahan net 50% 50% 40% 40% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% Area Buffer zone : m2/ton cap. 30,1 30,1 23,2 22,8 22,5 22,5 22,5 22,5 29,0 28,0 27,0 26,0 Total area Req. m2/ton cap. 99,2 98,2 88,3 85,9 76,4 75,4 74,4 73,4 95,9 91,9 87,9 83,9 KEB LAHAN HRC(Sampah Blm. Terpilah) KEB LAHAN HRC (Sampah Terpilah) KEB LAHAN WTE (Sampah Belum Terpilah) satuan o Kebutuhan Lahan HRC Reception Area m Sorting Area m Shredding/Crushing Area m Fertilizing area m Rejected mat.area m Total area efective (net) m Internal road/parking m Area Buffer zone : m Total area Req.(gross) m B. BIAYA INVESTASI LAHAN (CAPEX) B1. KONDISI TATA RUANG KOTA KATAGORI KOTA KOTA METROPOLITAN JUMLAH PENDUDUK DI WIL ADM > JIWA PRODUKSI Ton/hari LUAS DAERAH URBAN DI WIL ADM 650 KM2 KONDISI DILUAR WIL ADM PERKOTAAN DAERAH URBAN DI DLM + LUAR WIL ADM KM2 B2. INVESTASI LAHAN (CAPEX) 1. INVESTASI LAHAN SLF o Lahan Jalan Akses Satuan Cap 500 Cap 1000 Cap 2000 Cap 3000 Keb.Jalan akses ke lokasi SLF M Keb. ROW Jalan akses ke lokasi SLF M Keb. Pembebasan lahan Jalan Akses m Perkiraan harga tanah Jalan akses Rp/m Investasi Lahan Jalan Akses Rp(x000) o Lahan SLF Jarak sumber ke lokasi SLF km Keb. Pembebasan lahan SLF m Perkiraan harga tanah di lokasi SLF Rp/m Investasi Lahan SLF Rp(x000) INVESTASI LAHAN WTE INSINERATOR o Lahan Jalan Akses Satuan Cap 500 Cap 1000 Cap 2000 Cap 3000 Cap 250 Cap 500 Cap 1000 Cap 1500 Cap 375 Cap 750 Cap 1500 Cap 2250 Keb.Jalan akses ke lokasi WTE M Keb. ROW Jalan akses ke lokasi WTE M Keb. Pembebasan lahan Jalan Akses m Perkiraan harga tanah Jalan akses Rp/m Investasi Lahan Jalan Akses Rp(x000) o Lahan WTE PLANT Jarak sumber ke lokasi WTE Plant km Keb. Pembebasan lahan WTE m Perkiraan harga tanah di lokasi WTE Rp/m Investasi Lahan WTE Rp(x000) o Jarak WTE ke SLF (regional) km INVESTASI LAHAN HRC Sanpah Belum Terpilah Pemilahan di Sumber Sampah Belum terpilah Sampah Belum terpilah Pemilahan di Sumber Sampah Belum terpilah o Lahan Jalan Akses Satuan Cap 500 Cap 1000 Cap 2000 Cap 3000 Cap 225 Cap 450 Cap 900 Cap 1350 Cap 375 Cap 750 Cap 1500 Cap 2250 Keb.Jalan akses ke PLANT M Keb. ROW Jalan akses ke lokasi WTE M Keb. Pembebasan lahan Jalan Akses m Perkiraan harga tanah Jalan akses Rp/m Investasi Lahan Jalan Akses Rp(x000) o Lahan KOMPOSTER Jarak sumber ke lokasi KOMPOSTER km Keb. Pembebasan lahan KOMPOSTER m Perkiraan harga tanah di lokasi KOMPOS Rp/m Investasi Lahan KOMPOSTING Rp(x000) o Jarak KOMPOSTER ke SLF (regional) km o Jarak KOMPOSTER ke WTE Plant km

169 Lampiran 1. Lanjutan Analisis Biaya Investasi Pengolahan Sampah C. BIAYA KONSTRUKSI (CAPEX ) 1. KONSTRUKSI SLF Asumsi Biaya konstruksi satuan o Konst SLF. Cap 500 Cap 1000 Cap 2000 Cap 3000 Konst.Lahan aktif SLF (CW & M/E) Rp(x000) Konst. int.road & drainage Rp(x000) Konst. Buffer zone Rp(x000) Total Biaya Konstruksi Rp(x000) o Konst Jalan Akses SLF Konst. Road & drainage Rp (x 000) KONSTRUKSI WTE. Biaya konstruksi (Sampah Blm.Terpilah) Biaya konstruksi (Sampah Terpilah) Biaya konstruksi (Sampah Belum Terpilah) satuan Input 500 Input 1000 Input 2000 Input 3000 Input 250 Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr Input 250 Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr o Konst Plant WTE. Cap 500 Cap 1000 Cap 2000 Cap 3000 Cap 250 Cap 500 Cap 1000 Cap 1500 Cap 375 Cap 750 Cap 1500 Cap 2250 Biaya Building Rp(x000) Biaya M&E Rp(x000) Biaya konst. int.road & parking Rp(x000) Biaya Buffer zone Rp(x000) Total Biaya Konstruksi Rp(x000) o Konst Jalan Akses WTE Konst. Road & drainage Rp (x 000) KONST HRC Biaya konstruksi (Tdk Terpilah) Biaya konstruksi (Terpilah) Biaya konstruksi (Belum Terpilah) satuan Input 500 Input 1000 Input 2000 Input 3000 Input 250 Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr Input 250 Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr o Konst Plant HRC Cap 250 Cap 500 Cap 1000 Cap 1500 Cap 225 Cap 450 Cap 900 Cap 1350 Cap 125 Cap 250 Cap 500 Cap 750 Biaya Building Rp(x000) Biaya M&E Rp(x000) Biaya konst. int.road & parking Rp(x000) Biaya Buffer zone Rp(x000) Total Biaya Konstruksi Rp(x000) o Konst Jalan Akses WTE Konst. Road & drainage Rp (x 000)

170 148

171 149

172 150

ABSTRACT. Keywords: Waste, urban, incinerators, energy, WTE, SLF, HRC

ABSTRACT. Keywords: Waste, urban, incinerators, energy, WTE, SLF, HRC ABSTRACT Alex Abdi Chalik. 2011. Policy Formulation for Sustainable Urban Waste Treatment System (Case Study: DKI Jakarta). Under the guidance of Bibiana W. Lay as chairman and Akhmad Fauzi and Etty Riani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 45 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta (DKIJ). DKIJ merupakan kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan saat ini, mengingat perannya dalam menentukan perekonomian lokal maupun nasional. Hal

Lebih terperinci

Pengelolaan Sampah Berkelanjutan untuk Kota Depok. Alin Halimatussadiah Universitas Indonesia

Pengelolaan Sampah Berkelanjutan untuk Kota Depok. Alin Halimatussadiah Universitas Indonesia Pengelolaan Sampah Berkelanjutan untuk Kota Depok Alin Halimatussadiah Universitas Indonesia Status & Perkembangan Pengelolaan Sampah di Depok 1 TPA Cipayung, overloaded, didirikan 1987 Rencana pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN SAMPAH DI TPA PUTRI CEMPO MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR

PENGOLAHAN SAMPAH DI TPA PUTRI CEMPO MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR PENGOLAHAN SAMPAH DI TPA PUTRI CEMPO MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya (A.Md.) pada Program Studi DIII Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV INVENTARISASI STUDI PERSAMPAHAN MENGENAI BIAYA SPESIFIK INVESTASI

BAB IV INVENTARISASI STUDI PERSAMPAHAN MENGENAI BIAYA SPESIFIK INVESTASI BAB IV INVENTARISASI STUDI PERSAMPAHAN MENGENAI BIAYA SPESIFIK INVESTASI 4.1 Umum Pada bab ini berisi uraian studi yang dilakukan Departemen Pekerjaan Umum (tahun 2006) mengenai penyusunan perhitungan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat di kota seringkali menimbulkan permasalahan baru dalam menata perkotaan yang berkaitan dengan penyediaan prasarana dan sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Manusia membutuhkan kondisi lingkungan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari keterkaitannya terhadap lingkungan. Lingkungan memberikan berbagai sumberdaya kepada manusia dalam

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN MESIN PELEBUR SAMPAH (INCINERATOR) PROPOSAL. Mudah dalam pengoperasian. Tidak perlu lahan besar. Hemat energy.

PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN MESIN PELEBUR SAMPAH (INCINERATOR) PROPOSAL. Mudah dalam pengoperasian. Tidak perlu lahan besar. Hemat energy. PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN MESIN PELEBUR SAMPAH (INCINERATOR) PROPOSAL Tidak perlu lahan besar Mudah dalam pengoperasian Hemat energy Tidak bising Daftar Isi Pendahuluan 2 Penanganan Sampah Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar ±110 pulau di wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta dipadati oleh 8.962.000 jiwa (Jakarta

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Sebagai sebuah kota besar yang juga berfungsi sebagai Ibukota Negara dan berbagai pusat kegiatan lainnya Jakarta sudah seharusnya menyediakan segala sarana dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan kota. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang semakin meningkat secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk Jakarta cenderung meningkat setiap tahun. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai perubahan pola konsumsi dan gaya hidup turut meningkatkan jumlah

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus: Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sekarang ini sudah menjadi penarik tersendiri bagi penduduk luar Kota Yogyakarta dengan adanya segala perkembangan di dalamnya. Keadaan tersebut memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kondisi eksisting sanitasi di perkotaan masih sangat memprihatinkan karena secara pembangunan sanitasi tak mampu mengejar pertambahan jumlah penduduk yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang mempunyai areal seluas 108 ha. Luas areal kerja efektif kurang lebih 69 ha yang dibagi dalam lima zona, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian TPA Sumur Batu, Bantar Gebang, Kota Bekasi adalah TPA milik Kota Bekasi yang terletak di sebelah tenggara Kota Bekasi dan berdekatan dengan TPA Bantar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Adapun bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian mengenai Kajian Pengelolaan Sampah yang Terintegrasi untuk Mendukung Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan.

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL & PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL & PEMBAHASAN 34 BAB 4 HASIL & PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Wilayah Area TPST Bantar Gebang terletak diatas lahan seluas 110,216 Ha dibawah penguasaan Pemerintah provinsi DKI Jakarta dan mencakup 3 kelurahan, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama tumbuhnya kotakota di Indonesia. Salah satu kota yang memiliki populasi penduduk terbesar di dunia adalah Jakarta. Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGELOLAAN SAMPAH PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR TATI MURNIWATI

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGELOLAAN SAMPAH PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR TATI MURNIWATI ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGELOLAAN SAMPAH PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR TATI MURNIWATI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRACT TATI MURNIWATI. Willingness to Pay Analysis

Lebih terperinci

DEVELOPMENT OF A WASTE TO ENERGY PILOT : PERSPECTIVE FROM JAMBI CITY

DEVELOPMENT OF A WASTE TO ENERGY PILOT : PERSPECTIVE FROM JAMBI CITY DEVELOPMENT OF A WASTE TO ENERGY PILOT : PERSPECTIVE FROM JAMBI CITY H. SY. Fasha, ME National Workshop on Pro-Poor and Sustainable Solid Waste Management in Secondary Cities and Small Towns: Prospects

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DESAIN DAN PEMBANGUNAN RUMAH KOMPOS KANTOR BPPT JAKARTA

DESAIN DAN PEMBANGUNAN RUMAH KOMPOS KANTOR BPPT JAKARTA JRL Vol.7 No.3 Hal. 287-293 Jakarta, November 2011 ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011 DESAIN DAN PEMBANGUNAN RUMAH KOMPOS KANTOR BPPT JAKARTA Hendra Tjahjono dan Rosita Shochib Pusat Teknologi Lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Lampiran E: Deskripsi Program / Kegiatan A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Nama Maksud Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang dibangun di atas lahan seluas 27 Ha di Dusun Betiting, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang TUGAS AKHIR 108 Periode Agustus Desember 2009 Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Oleh : PINGKAN DIAS L L2B00519O Dosen Pembimbing : Ir. Abdul Malik, MSA Jurusan Arsitektur Fakultas

Lebih terperinci

PROPOSAL. PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw. Waste to Energy Commercial Aplications

PROPOSAL. PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw. Waste to Energy Commercial Aplications PROPOSAL PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw Waste to Energy Commercial Aplications PT. ARTECH Jalan Raya Narogong KM 9.3 Bekasi HP.0811815750 FAX.8250028 www.artech.co.id Pendahuluan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP No.933, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya pastilah tidak terlepas dengan adanya sampah, karena sampah merupakan hasil efek samping dari adanya aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan permasalahan cukup pelik yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Begitu pula dengan di Indonesia terutama di kota besar dan metropolitan, masalah

Lebih terperinci

l. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau

l. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau l. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktivitas kehidupan manusia baik individu maupun kelompok maupun proses-proses alam yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa dengan adanya pertambahan penduduk dan pola konsumsi

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL

EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL Oleh : ROFIHENDRA NRP. 3308 202 014 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. YULINAH TRIHADININGRUM,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup, menuntut berbagai pengembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak ada

Lebih terperinci

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman *

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman * 1 POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 25 November 2015; disetujui: 11 Desember 2015 Polemik Pengelolaan Sampah Masalah pengelolaan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DAN ANORGANIK DENGAN PEMODELAN BLACK BOX DIAGRAM

IDENTIFIKASI SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DAN ANORGANIK DENGAN PEMODELAN BLACK BOX DIAGRAM IDENTIFIKASI SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DAN ANORGANIK DENGAN PEMODELAN BLACK BOX DIAGRAM Studi Kasus Lingkungan Kampus SKRIPSI EFERIYUS GEA DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

VI. PERUMUSAN STRATEGI

VI. PERUMUSAN STRATEGI VI. PERUMUSAN STRATEGI 6.1. Analisis Lingkungan Dalam menentukan alternatif tindakan atau kebijakan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, dibutuhkan suatu kerangka kerja yang logis. Analisis

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANTUL

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT)

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) JRL Vol.7 No.2 Hal. 153-160 Jakarta, Juli 2011 ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011 PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) Rosita Shochib Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potensi biomassa yang sangat besar. Estimasi potensi biomassa Indonesia sekitar 46,7 juta ton per tahun (Kamaruddin,

Lebih terperinci

5 ASPEK PENGELOLAAN SAMPAH

5 ASPEK PENGELOLAAN SAMPAH PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH DI INDONESIA 5 ASPEK PENGELOLAAN SAMPAH Ir. Sri Bebassari, M.Si. Indonesia Solid Waste Association (InSWA) PUSAT PENGEMBANGAN RISET SAMPAH INDONESIA ( PERISAI) 1 2 5 ASPEK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 54 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DAN ZAT KIMIA PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA DAN BANDAR UDARA DENGAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN E-3-1 OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN Achmad Safei, Joni Hermana, Idaa Warmadewanthi Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo ABSTRAK Penyebab utama permasalahan sampah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pasal 1 (1.1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa Industri Minyak Sawit berpotensi menghasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan dan pertumbuhan perekonomian Kota Yogyakarta yang semakin baik menjadikan Kota Yogyakarta sebagai kota yang memiliki daya tarik bagi para pencari kerja.

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

Area : Luas wilayah 400,61 km² Administrative : Divided into 16 Distric and 103 sub distric Population : Total ± ,1 person (Source: Data

Area : Luas wilayah 400,61 km² Administrative : Divided into 16 Distric and 103 sub distric Population : Total ± ,1 person (Source: Data PALEMBANG eco CITY Area : Luas wilayah 400,61 km² Administrative : Divided into 16 Distric and 103 sub distric Population : Total ± 1.665.681,1 person (Source: Data Dinas Capil 2009) Population Growth

Lebih terperinci

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *)

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *) 1 KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *) Oleh: Tarsoen Waryono **) Abstrak Meningkatnya beban sampah (limbah domestik) di wilayah perkotaan, secara berangsur-angsur memberikan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang PERANSERTA MASYARAKAT DALAM USAHA MEMPERPANJANG MASA PAKAI TPA KEBON KONGOK KOTA MATARAM Imam Azhary, Ellina S. Pandebesie Program Pascasarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Email: imam_dpu@yahoo.com

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK TUGAS SANITASI MASYARAKAT TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK Disusun Oleh : KELOMPOK Andre Barudi Hasbi Pradana Sahid Akbar Adi Gadang Giolding Hotma L L2J008005 L2J008014 L2J008053 L2J008078

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT Oleh : Setiyono dan Sri Wahyono *) Abstract Recently, problems of municipal solid waste have appeared in the indonesian metropolitan city,

Lebih terperinci

ADITYA PERDANA Tugas Akhir Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN

ADITYA PERDANA Tugas Akhir Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan fenomena yang sering terjadi di suatu negara yang tingkat pembangunannya tidak merata. Fenomena urbanisasi menyebabkan timbulnya pemukimanpemukiman

Lebih terperinci

STRATEGI SANITASI KOTA PAREPARE. Lampiran 5. Deskripsi Program/Kegiatan

STRATEGI SANITASI KOTA PAREPARE. Lampiran 5. Deskripsi Program/Kegiatan STRATEGI SANITASI KOTA PAREPARE Lampiran 5. Deskripsi Program/Kegiatan KELOMPOK KERJA SANITASI TAHUN 2015 DESKRIPSI PROGRAM DAN KEGIATAN LATAR BELAKANG Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN MURUNG RAYA.

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN MURUNG RAYA. PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN MURUNG RAYA. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MURUNG RAYA, Menimbang

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di perkotaan, menimbulkan bertambahnya

Lebih terperinci

RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG

RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG 1 RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volume timbulan

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

Lay out TPST. ke TPA. Pipa Lindi

Lay out TPST. ke TPA. Pipa Lindi Lay out TPST A A B ke TPA 1 2 3 B 14 10 11 12 13 4 Pipa Lindi 18 15 9 8 18 7 5 19 16 17 18 1) Area penerima 2) Area pemilahan 3) Area pemilahan plastik 4) Area pencacah s.basah 5) Area pengomposan 6) Area

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

INDIKATOR DAN SKALA NILAI NON FISIK PROGRAM ADIPURA

INDIKATOR DAN SKALA NILAI NON FISIK PROGRAM ADIPURA LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM ADIPURA I. INSTITUSI INDIKATOR DAN SKALA NON FISIK PROGRAM ADIPURA A. KELEMBAGAAN

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI Pada bab ini akan dibahas mengenai strategi pengembangan sanitasi di Kota Bandung, didasarkan pada analisis Strength Weakness Opportunity Threat (SWOT) yang telah dilakukan.

Lebih terperinci

DESKRIPSI PROGRAM DAN KEGIATAN

DESKRIPSI PROGRAM DAN KEGIATAN DESKRIPSI PROGRAM DAN KEGIATAN LATAR BELAKANG Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berkaitan dengan kesehatan,

Lebih terperinci

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya

Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya Sampah Kota atau Municipal Solid Waste (MSW) dan Penyelesaian Masalahnya Di Indonesia saat ini sampah kota yang disebut sebagai municipal solid waste atau MSW masih belum diolah secara Terpadu. Standar

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci