RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XI/2013 Tentang Sosialisasi UUD 1945 Oleh Pimpinan MPR I. PEMOHON Widodo Putu Prawiro dan Suhartono II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. 3. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan para Pemohon. IV. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon tidak menyebutkan kedudukan hukum dalam permohonannya
V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI A. NORMA MATERIIL Pasal 15 ayat (1) huruf e UU 27/2009 Pimpinan MPR bertugas: (e) mengkoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 B. NORMA UUD 1945 Norma yang dijadikan sebagai penguji, yaitu : Pemohon tidak menyebutkan dalam permohonannya VI. Alasan-alasan Pemohon Undang-Undang a quo Bertentangan Dengan UUD 1945: 1. Pemohon merasakan adanya ketimpangan dalam berbangsa dan bernegara dimana dalam Pembukaan UUD 1945 secara tersirat dinyatakan Proklamasi 17 Agustus 1945 Sebagai Proclamation Of Independence sementara Pancasila Sebagai Dasar Indonesia Merdeka, padahal seharusnya hal tersebut tidak dapat dipisahkan; 2. Bahwa amanat yang diberikan dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak jelas karena sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara; 3. Sosialisasi atas 4 pilar berbangsa dan bernegara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidaklah efektif dan keliru. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimana Pasal 15 ayat (1) huruf e menetapkan bahwa salah satu tugas Pimpinan MPR adalah mengordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD 1945. Yang dimaksud dengan mengkoordinasikan adalah mempersiapkan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD 1945 pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya pada lembaga masingmasing. Setidaknya oleh Wakil Ketua MPR Sdr. Basarah, amanat dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf e ters ebut kemudian dikemas menjad empat pilar sosialisasi MPR, yakni Pancasila sebagai dasar, ideologi, dan fundamen berdirinya negara Indonesia merdeka; UUD 1945 sebagai konstitusi negara; NKRI sebagai bentuk negara yang final; Bhineka Tunggal Ika sebagai sistem sosial budaya bangsa Indonesia, yang menurut Pemohon bertentangan dengan Preambule UUD 1945 Alinea keempat, karena telah menimbulkan multi tafsir adanya. 3. Disamping itu juga pelaksanaan Pasal 15 ayat (1) huruf e dengan mengemasnya menjadi 4 (empat) pil ar bangsa itu adalah Pancasila sebagai dasar, ideologi dan fundamen berdirinya negara Indonesia merdeka; UUD 1945 sebagai konstitusi negara; NKRI sebagai bentuk negara yang final dan Bhineka Tunggal Ika sebagai sistem sosial budaya bangsa Indonesia adalah bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang hanya mengatur masalah UUD 1945 saja tanpa embelembel lainnya seperti Bhineka Tunggal Ika, dll. MPR justru seharusnya mengoptimalkan, memfasilitasi, mengawasi dalam pembinaan kepribadian bangsa dan utamanya ditujukan pada semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta agar Pancasila dan Keempat Pilar, itu menjadi mata pelajaran atau mata kuliah wajib setelah diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Nasional Pancasila pada 1965 kemudian Pancasila pada 1967 dan berubah menjadi PSPB (Pendidikan Sejarah Perkembangan Bangsa) pada 1983, yang kemudian ada penggabungan antara PSPB dengan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) pada 1994 yang pada 2001 menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang kemudian Pancasila seolah hilang dari dunia pendidikan. Kekeliruan dunia pendidikan cq Kementerian Pendidikan Nasional, hanya berkeinginan mencetak manusia-manusia cerdas bukan mencetak manusia-manusia berkepribadian yang berkarakter dan atau bermartabat sebagaimana amanat Nation and Character Building, yang oleh negara-negara lain menjadi pondasi dengan mewujudkan adanya sistem wajib militer itu. Kurikulum baru yang mau diterapkannya pada Maret 2013 nanti justru konon akan mengebiri adanya muatan lokal yang pernah diputuskan sebagai kurikulum nasional itu. Bila hal ini secara spiritual dan direnungkan secara dalam bisa jadi bangsa ini telah melanggar dan tidak mengindahkan firman Tuhan sebagaimana QS:Al-Anfal (7) ayat 27 yang menyatakan bahwa : Janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada mu.
4. Kedudukan MPR sekalipun tidak lagi sebagai satu-satunya Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan wadah penyaluran pemilik sah kedaulatan rakyat namun tetap berwenang menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD yang merupakan pengejawantahan Filosofi Trias Politika bidang legislatif yang sebagian besar wewenangnya diberikan kepada DPR dan tidak lagi bersama-sama harus membuat GBHN sehingga tak ada lagi istilah mandataris yang merupakan eksekutif/pelaksana. Maka Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah bertentangan dengan konvensi nasional selama ini dimana amanat Pasal 15 ayat (1) huruf e tentang sosialisasi UUD 1945 (perubahan) yang memberinya mandat kepada MPR guna melakukan sosialisasi atas UUD 1945. Yang lebih tepatnya dan afdolnya seharusnya dilakukan oleh eksekutif atau pemerintah 5. Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang -Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menetapkan bahwa salah satu tugas Pimpinan MPR adalah mengkoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD 1945. Yang dimaksud dengan mengordinasikan adalah mempersiapkan anggita MPR untuk memasyarakatkan UUD 1945 pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya pada lembaga masing-masing. Pelaksanaannya adalah sebuah keputusan yang menyesatkan dan melukai rasa dalam dan rasa sejati (rasa batin dan sekaligus rasa yang mempu memisahkan antara yang hak dan yang batil) masyarakat karena tidak konsisten. UUD 1945 itu sendiri terdiri dari dua landasarn konstitusi yakni UUD 1945 pra-amandemen dan UUD 1945 hasil 4 (empat) kali amandemen. Yang eloknya menjalankan dan menghayatinyapun belum bisa namun justru jumawa menggantinya dengan yang baru (newest one) ironisnya tanpa mandat rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan itu. Sehingga agar tidak terjadi salah tafsir dan demi menghilangkan adanya ambiguitas, bias, kemangrowan, kemenduaan dan salah paham ada baiknya dibatalkan dan kelaknya MPR berkenan menambahkan kata amandemen dibelakang UUD 1945 sehingga jelas adanya.
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana diatur sesuai Undang-Undang ATAU Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon kiranya putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) yang senantiasa tercerahi oleh Kemaha Hadiran Tuhan YME sebagaimana Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, sebagai pegangan teologik karena Tuhan YME yaitu ALLAH, mengambil inisiatif menyatakan Diri-Nya yang disebut Firman ( encoder), yang telah menganugerahi manusia dengan alat ( decoder) yang disebut iman (percaya, belief, faith) itu. Maka amanat Bung Karno nampaknya masih berlaku yang menyatakan agar wise in judgement, original tought, resolute in action atau bijaksana dalam menimbang, orisinil dalam pikiran, tegas dan tangkas dalam tindakan.