I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak penyandang cacat didefinisikan sebagai anak yang mempunyai kecacatan fisik/mental sehingga keberlangsungan hidupnya terganggu akibat kecacatan yang dimilikinya. Anak penyandang cacat dikelompokkan menjadi beberapa jenis antara lain; tunanetra, tunarungu/tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD), autisme, dan tunaganda (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Saat ini di Indonesia, gangguan pendengaran dan penglihatan masih menjadi permasalahan baik di bidang sosial maupun kesehatan. Menurut World Health Organization pada tahun 2000, diperkirakan terdapat 250 juta (4,3%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 140 juta orang di antaranya terdapat di Asia Tenggara (Mathers, dkk., 2000). World Health Organization pada tahun 2012 juga memperkirakan terdapat lebih dari 161 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan, 124 juta orang di antaranya termasuk low vision dan sisanya mengalami kebutaan. Lebih dari 90% orang yang mengalami gangguan penglihatan berasal dari negara berkembang (Azrina, dkk, 2007). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi gangguan pendengaran di Indonesia adalah sebesar 2,6%, sedangkan prevalensi gangguan penglihatan yang terdiri dari severe low vision dan kebutaan pada usia produktif (15 54 tahun) masingmasing sebesar 1,49% dan 0,5% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1
2 Menurut Efendi (2006), secara medis tunarungu merupakan istilah untuk menggambarkan seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada 20 75 db atau lebih karena adanya gangguan pada indera pendengarannya. Menurut Hallahan dan Kaufman (1986 sit. Efendi, 2006), anak tunanetra merupakan istilah untuk menggambarkan seseorang yang memiliki daya penglihatan lemah yaitu sama dengan atau kurang dari 6/60 dengan atau tanpa menggunakan alat bantu. Adanya keterbatasan tersebut membuat masing-masing kelompok penyandang cacat menjadi sangat bergantung pada orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-hari termasuk dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut (Effendi, 2006; Singh, dkk., 2014). Kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu permasalahan yang sering dijumpai pada penyandang cacat. Menurut Nowak (1976) sit. Jain, dkk. (2013), penyandang cacat memiliki tingkat kerusakan gigi yang tinggi serta kebersihan gigi dan mulut yang rendah dibanding dengan orang normal. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya keterbatasan fisik yang membuat para penyandang cacat mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan gigi dan mulut di sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sandra (2013) yang menyatakan bahwa rerata status kebersihan gigi dan mulut serta rerata status karies gigi pada anak berpenglihatan normal lebih baik dibanding dengan anak penyandang tunanetra total dan low vision. Hasil pengukuran dengan menggunakan OHI(S) pada anak berpenglihatan normal diperoleh rerata status kebersihan gigi dan mulut sebesar 0,97 ± 0,60, tunanetra low vision sebesar 1,68 ± 0,80 sedangkan tunanetra total sebesar 2,36 ± 0,95. Untuk pengukuran status karies dengan menggunakan
3 DMFT diperoleh rerata pada anak normal sebesar 2,17 ± 1,48, tunanetra low vision sebesar 2,50 ± 1,81, sedangkan pada tunanetra total sebesar 3,57 ± 2,16. Menurut Singh, dkk. (2014), pengukuran status karies gigi dan oral hygiene merupakan upaya untuk mengetahui status kesehatan gigi dan mulut seseorang. Dengan melihat perbandingan data status kesehatan gigi dan mulut beberapa kelompok penyandang cacat, dapat diketahui perawatan kesehatan gigi dan mulut apa saja yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup kelompok tersebut. Penyandang cacat juga memiliki hak yang sama dalam pemeliharaan kesehatan sepertihalnya orang normal. Hal tersebut sesuai dengan pasal 6 undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1997 yang menjelaskan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan serta pemeliharaan taraf hidup termasuk kesehatan. Hal tersebut didukung oleh undang-undang tentang kesehatan No. 36 tahun 2009 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan baik untuk mendapatkan akses dan pelayanan di bidang kesehatan, memperoleh lingkungan yang sehat maupun mendapatkan informasi/edukasi tentang kesehatan (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut anak tunarungu dan tunanetra adalah melalui kegiatan penyuluhan kesehatan gigi. Supaya materi penyuluhan tersebut dapat diterima dengan baik, seorang tenaga kesehatan perlu memperhatikan keterbatasan fisik yang dimiliki oleh anak tunarungu dan tunanetra. Tunarungu memiliki kelemahan dalam kecakapan berbahasa, misalnya dalam memahami suatu pengertian sehingga hal tersebut
4 menyebabkan penyandang tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Lain halnya dengan penyandang tunanetra, adanya keterbatasan pada indera penglihatan membuat penyandang tunanetra mengalami kesulitan untuk mengenali suatu objek secara visual serta memiliki koordinasi gerak yang kurang baik (Effendi, 2006; Singh, dkk., 2014). Baik penyandang tunarungu maupun tunanetra akan memiliki daya tangkap yang berbeda dalam menerima penyuluhan kesehatan gigi sehingga hal tersebut dapat berdampak pada status kesehatan gigi dan mulutnya secara tidak langsung (Singh, dkk., 2014). Berdasarkan penelitian Reddy, dkk. (2013) yang membandingkan status oral hygiene dan karies gigi kelompok tunarungu dan tunanetra, diperoleh rerata skor OHI(S) pada kelompok tunarungu sebesar 1,15 ± 0,72, sedangkan pada kelompok tunanetra sebesar 1,51 ± 0,93. Rerata skor DMFT pada kelompok tunarungu sebesar 1,4 ± 1,95 sedangkan pada kelompok tunanetra sebesar 0,94 ± 1,45. Data tersebut menunjukkan hasil yang signifikan bahwa status kebersihan gigi dan mulut yang diukur dengan OHI(S) pada kelompok tunarungu lebih baik dibanding dengan kelompok tunanetra. Menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Jain, dkk. (2013) pada anak tunanetra dan tunarungu usia 4 23 tahun, diperoleh hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Reddy, dkk. (2013). Jain, dkk. (2013) memperoleh rerata skor DMFT pada kelompok tunarungu sebesar 1,97 ± 1,93, sedangkan pada kelompok tunanetra sebesar 1,48 ± 1,29. Pada pengukuran kesehatan jaringan periodontal dengan Community Periodontal Index (CPI) ditemukan sebanyak 43% tunanetra memiliki skor CPI = 0 sedangkan pada kelompok tunarungu hanya sebanyak 24% dengan skor yang sama. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
5 kelompok tunanetra memiliki status kesehatan gigi dan mulut yang lebih baik dibanding dengan kelompok tunarungu. Anak usia 11 18 tahun mulai memasuki periode masa remaja (adolescence) yang merupakan peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Monks, dkk., 1996 sit. Marliyah, dkk., 2004). Menurut American Academy of Pediatric Dentistry (2006), usia remaja mempunyai potensi karies yang tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya konsumsi remaja terhadap makanan yang tinggi karbohidrat dan minuman yang bersifat asam. Selain potensi karies yang tinggi, remaja juga memiliki risiko besar terkena penyakit periodontal. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh peningkatan produksi hormon seks dalam tubuh seorang remaja sehingga lebih rentan terkena penyakit periodontal. Pemilihan rentang usia 11 18 tahun juga didasarkan pada perkembangan periode gigi permanen. Menurut American Dental Association (2006), sebagian besar anak-anak usia 13 tahun telah memiliki gigi permanen sejumlah 28 buah di dalam rongga mulutnya yang terdiri dari 4 gigi incisivus sentralis, 4 gigi incisivus lateralis, 4 gigi caninus 8 gigi premolar, dan 8 gigi molar. Selain beberapa pertimbangan tersebut, usia 11 18 tahun dipilih juga berdasarkan penyesuaian usia remaja yang sedang menempuh jenjang pendidikan di beberapa sekolah luar biasa di Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan permasalahan; bagaimana perbandingan status kesehatan gigi dan mulut antara anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun?
6 C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai perbandingan status kesehatan gigi dan mulut antara anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun sejauh yang saya ketahui belum pernah dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada. Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dan dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Sandra (2013) dengan judul penelitian Status Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Tunanetra di Yayasan Yaketunis Yogyakarta.Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah tunanetra total, low vision dan penglihatan normal. Variabel terpengaruh penelitian ini adalah status karies gigi (menggunakan alat ukur DMFT), status kebersihan gigi dan mulut (menggunakan alat ukur OHI-S) serta status gingivitis (menggunakan alat ukur Index Gingiva). Variabel terkendalinya adalah 12 22 tahun, sedangkan variabel tidak terkendalinya adalah jenis kelamin, status sosial ekonomi orangtua (tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua), serta frekuensi menyikat gigi. Pada penelitian ini diperoleh hasil yang signifikan pada status kebersihan gigi dan mulut antara kelompok tunanetra total dan low vision, tunanetra total dan penglihatan normal, serta low vision dan penglihatan normal. Hasil yang signifikan juga terjadi pada status karies antara kelompok tunanetra total dan penglihatan normal, serta tunanetra total dan low vision. 2. Fitrianingrum (2011) dengan judul penelitian Perbandingan Status Karies Gigi dengan Oral Hygiene Antara Anak Tunarungu Wicara dengan Anak Normal. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah status pendengaran.
7 Variabel terpengaruh penelitian ini adalah status karies gigi dan status oral hygiene. Variabel terkendalinya adalah usia anak umur 7 12 tahun, jenis kelamin, dan susunan gigi-geligi, sedangkan variabel tidak terkendalinya adalah tingkat sosial ekonomi, pola makan sehari-hari, dan perilaku menjaga kebersihan mulut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada rerata DMFT dan OHI(S) antara anak tunarungu wicara dan anak normal. 3. Jain, dkk. (2013) dengan judul penelitan Oral Health Status and Treatment Need Among Institutionalised Hearing-Impaired and Blind Children and Young Adults in Udaipur, India. A Comparative Study. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah status pendengaran dan status penglihatan, sedangkan variabel terpengaruh penelitiannya adalah status kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari status karies gigi dan status oral hygiene. Terdapat perbedaan dengan penelitian ini yaitu subjek penelitian terdahulu merupakan anak tunanetra dan tunarungu usia 4 23 tahun, sedangkan sekarang anak tunarungu dan tunanetra usia 11 18 tahun. Metode yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah dengan menggunakan alat ukur DMFT dan Community Periodontal Index (CPI), sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan alat ukur DMFT dan PHP-M (Personal Hygiene Performance- Modified). 4. Reddy, dkk. (2013) dengan judul penelitan A Comparison of Oral Hygiene Status and Dental Caries Experience Among Institutionalized Visually Impaired and Hearing Impaired Children of Age Between 7 and 17 Years in Central India. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah status
8 pendengaran dan status penglihatan sedangkan variabel terpengaruhnya adalah status kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari status karies gigi dan status oral hygiene. Terdapat perbedaan dengan penelitian ini subjek penelitian terdahulu merupakan anak tunanetra dan tunarungu usia 7 17 tahun, sedangkan sekarang anak tunarungu dan tunanetra usia 11 18 tahun. Metode yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah dengan menggunakan alat ukur DMFT dan OHI-S, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan alat ukur DMFT dan PHP-M (Personal Hygiene Performance-Modified). 5. Rao, dkk. (2005) dengan judul penelitan Oral Hygiene Status of Disabled Children and Adolescents Attending Special Schools of South Canara, India. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah status disabilitas sedangkan variabel terpengaruhnya adalah status oral hygiene. Terdapat perbedaan dengan penelitian ini yaitu subjek penelitian terdahulu merupakan semua anak penyandang disabilitas usia 3 20 tahun, sedangkan sekarang anak tunarungu dan tunanetra usia 11 18 tahun. Metode yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah dengan menggunakan alat ukur OHI-S, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan alat ukur DMFT dan PHP-M (Personal Hygiene Performance-Modified). 6. Singh, dkk. (2012) dengan judul penelitan Oral Health Status of 6 to 15-year old Deaf and Blind Children of Sriganganagar. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah status pendengaran dan status penglihatan sedangkan variabel terpengaruhnya adalah status kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari status karies gigi dan status oral hygiene. Terdapat perbedaan dengan penelitian ini yaitu subjek penelitian terdahulu merupakan anak tunanetra dan
9 tunarungu usia 6 15 tahun, sedangkan sekarang anak tunarungu dan tunanetra usia 11 18 tahun. Metode yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah dengan menggunakan alat ukur DMFT dan OHI-S, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan alat ukur DMFT dan PHP- M (Personal Hygiene Performance-Modified). 7. Singh, dkk. (2014) dengan judul penelitan Comparative Study of Oral Hygiene Status in Blind and Deaf Children of Rajasthan. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah status pendengaran dan status penglihatan sedangkan variabel terpengaruhnya adalah status kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari status karies gigi dan status oral hygiene. Terdapat perbedaan dengan penelitian ini yaitu subjek penelitian terdahulu merupakan anak tunanetra dan tunarungu usia 5 16 tahun, sedangkan sekarang anak tunarungu dan tunanetra usia 11 18 tahun. Metode yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah dengan menggunakan alat ukur DMFT dan OHI-S, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan alat ukur DMFT dan PHP- M (Personal Hygiene Performance-Modified).
10 D. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengukur status kesehatan gigi dan mulut pada anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun. 2. Untuk membandingkan status kesehatan gigi dan mulut antara anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun. E. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah dan kalangan akademis Dapat dimanfaatkan sebagai referensi dan dasar pelaksanaan penelitian lebih lanjut mengenai status kesehatan gigi dan mulut anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun. 2. Bagi tenaga kesehatan Dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi status kesehatan gigi dan mulut serta untuk mengetahui perawatan kesehatan gigi dan mulut yang sesuai dengan kebutuhan anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun. 3. Bagi masyarakat umum Untuk menambah pengetahuan terkait status kesehatan gigi dan mulut anak tunarungu dan anak tunanetra usia 11 18 tahun.