1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih kurang 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa. Posisi geografis yang terletak di antara dua benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai megadiversity (jenis hayati) dan merupakan megacenter keanekaragaman hayati dunia (Supriatna, 2008). Indonesia juga mempunyai kedudukan yang istimewa. Indonesia menduduki peringkat pertama dengan negara yang memiliki jumlah jenis mamalia tertinggi di dunia yaitu 515. Dari jenis mamalia besar yang ada di Indonesia, 36% di antaranya merupakan jenis yang endemik. Selain itu, dari 35 jenis primata 25% di antaranya adalah hewan endemik (Supriatna, 2008). Salah satu primata endemik Indonesia adalah tarsius. Tarsius merupakan salah satu primata yang memiliki arti penting dalam kehidupan alam, terutama dalam regenerasi hutan tropik. Menurut Kleiman dkk. (2004), tarsius dapat dijadikan pengontrol hama karena salah satu makanan tarsius adalah belalang, ulat dan ngengat. Selain itu primata ini juga dapat dijadikan maskot dalam perkembangan ekoturisme dan dapat mempunyai nilai tinggi apabila
2 dikelola secara benar (Supriatna dan Wahyono, 2000). Gron (2010) mengelompokkan tarsius dalam sembilan spesies, yakni T. bancanus, T. dentatus (T.dianae), T. lariang, T. pelengensis, T. pumilus, T. sangirensis, T. syrichta, T. tarsier (T.spectrum), dan T.wallacei. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) beberapa spesies Tarsius masuk ke dalam daftar Vulnerable (VU), yaitu T. bancanus, T. dianae, dan T. spectrum. Menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), Tarsius masuk ke dalam hewan-hewan golongan Appendix II yaitu hewan-hewan yang berpotensi terancam punah tetapi dapat dicegah apabila perdagangannya diawasi ketat (Mardiastuti, 2011). Banyak faktor yang mengakibatkan hewan endemik Indonesia terancam punah. Di antaranya kebakaran hutan telah menjadi fenomena rutin yang terjadi di Indonesia. Luas hutan di Indonesia lebih kurang 119,7 juta hektar atau sekitar 65% dari total daratan (Supriatna dan Wahyono, 2000). Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1982 yang menghancurkan 3,6 juta hektar hutan, serta pada tahun 1997 kebakaran hutan yang lebih besar terjadi di luar pulau Jawa. Kebakaran hutan merupakan salah satu ancaman bagi produktivitas masa depan dan kualitas lingkungan hutan (Sulthoni, 2000). Selain itu kesulitan ekonomi merupakan salah satu faktor yang memaksa masyarakat melakukan perburuan satwa, perdagangan ilegal dan penebangan hutan (Supriatna dan Wahyono, 2000; Mursidin, 2008). Kebijakan pembangunan hutan tanaman industri juga mendorong kerusakan
3 hutan alam (Kartodihardjo dan Supriono, 2000). Tarsius terutama Tarsius bancanus telah kehilangan 56% habitat awalnya, yang semula seluas 450.730 km 2 menjadi hanya 198.250 km 2 (Supriatna dan Wahyono, 2000). Padahal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 sudah ditetapkan tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan tetap menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem. Hewan endemik Indonesia banyak yang terancam punah, sehingga pemerintah menegakkan usaha konservasi untuk menyelamatkan spesies yang terancam punah tersebut. Usaha konservasi yang telah dilakukan yaitu dengan mencocokkan morfologi serta genetiknya. Para ilmuan telah mendefinisikan hubungan antara genetik dengan karakteristik fenotip yang muncul, secara evolusioner lebih mengacu pada keturunan genetik yang spesifik atau kombinasi genetik yang dikonservasi karena memberikan keuntungan fenotip (McCarrey, 1994). Tarsius bancanus dan Tarsius sp. yang berasal dari Sulawesi secara morfologi sulit dibedakan, sehingga perlu upaya pengkajian dari segi genetik untuk membedakan masing-masing spesies Tarsius (Widayanti dan Solihin, 2007). Sudah dilakukan penelitian pada gen penyandi 12SrRNA Tarsius yang telah dilakukan oleh Shekelle (2003) dan daerah D-loop parsial (Widayanti dan Solihin, 2007; Widayanti, 2008). Oleh karena persamaan nukleotida antar spesies pada kedua sekuen fragmen DNA mitokondria tersebut tinggi maka fragmen tersebut tidak dapat digunakan sebagai penanda genetik. Pengkajian pada gen Cyt b (Widayanti dkk., 2006) dapat
4 digunakan sebagai penanda genetik walaupun hanya pada tingkat nukleotida saja (pada tingkat asam amino kurang mendukung). Pengkajian pada gen ATP8 (Widayanti, 2010) dapat digunakan untuk membedakan antara Tarsius asal Lampung, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Pada penelitian gen ND3 (Widayanti dkk, 2011) tidak dapat digunakan untuk membedakan antara T.bancanus, T.dianae, dan T.spectrum, tetapi hanya dapat digunakan untuk membedakan ketiga spesies tersebut dengan T.bancanus (GenBank), Gen COX2 (Widayanti dkk, 2010) dapat digunakan untuk membedakan antara Tarsius asal Lampung, Sumatera dengan asal Sulawesi, akan tetapi tidak dapat membedakan antar spesies Tarsius asal Sulawesi. Oleh karena itu masih diperlukan penelitian lanjutan pada gen-gen lainnya untuk identifikasi spesies-spesies Tarsius. Penelitian dilakukan pada daerah gen penyandi NADH Dehydrogenase 1 (ND1), seperti penelitian yang dilakukan oleh Bowles dan Mcmanus (1993) yaitu membedakan spesies dan strain dari Echinococus dengan NADH Dehydrogenase 1, serta penelitian untuk membedakan spesies dalam genus Taenia (Gasser dkk, 1999). Menurut Tagliaro dkk (2005), ND1 dapat digunakan sebagai penanda genetik untuk genus Saguinus (Platyrini, Primata). Penelitian ini diharapkan ditemukan adanya keragaman genetik pada daerah gen ND1 pada Tarsius bancanus borneanus, Tarsius bancanus bancanus dan Tarsius dianae, yang dapat digunakan sebagai penanda genetik pada tiap spesies dengan habitat tiga pulau yang berbeda.
5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik gen penyandi NADH Dehydrogenase 1 (ND1) pada Tarsius bancanus borneanus, Tarsius bancanus bancanus dan Tarsius dianae, serta untuk mengetahui klasifikasi Tarsius sp. berdasarkan gen ND1. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam klasifikasi untuk tujuan konservasi. Dengan adanya pengklasifikasian genetik, pengembalian Tarsius sitaan dan hasil konservasi ex-situ diharapkan dapat dilakukan dengan tepat sesuai dengan habitat masing-masing spesies Tarsius.