RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh I. PEMOHON 1. Hendra Fauzi (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Robby Syahputra (selanjutnya disebut sebagai Pemohon II); 3. Ferry Munandar (selanjutnya disebut sebagai Pemohon III). Secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon. Kuasa Hukum: Irfan Fahmi, SHI., SH., MH., Wendra Puji, SH., MH., dkk advokat pada IF & Rekan (IFR), berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 14 September 2017. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 557 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 557 ayat (2), serta Pasal 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 1
3. Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara. ; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki kepentingan sama, yaitu warga negara Indonesia yang tinggal di Provinsi Aceh dan merupakan asli putra daerah, sehingga memiliki kepentingan sama untuk turut berkontribusi dalam membangun dan 2
mengembangkan kondisi dan kehidupan demokratisasi Aceh menjadi lebih baik, beradab, serta berkualitas, dengan berdasarkan pada kekhususan/keistimewaan yang dimiliki dan diberikan oleh UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU 11/2006); 4. Bahwa Pemohon I dan II sedang diberikan kepercayaan sebagai anggota Komisi Pemilih Independen Provinsi Aceh (KIP Aceh), yang memiliki kewenangan sebagai pihak penyelenggara pemilihan umum di tingkat Provinsi Aceh. Karenanya Pemohon I dan II memiliki kesempatan untuk mendayagunakan statusnya sebagai anggota KIP Aceh untuk menyelenggarakan kegiatan pemilu di Aceh menjadi lebih baik sesuai amanat UU 11/2006, yang dapat menghasilkan kelembagaan pemerintahan daerah yang berkualitas; 5. Bahwa Pemohon III meski saat ini belum memiliki keterlibatan secara resmi pada kelembagaan penyelenggara pemilu, namun kegiatannya sebagai aktivis pemantau pemilu sangat berkepentingan untuk mendorong dan memajukan kondisi penyelenggaraan pemilu di Aceh agar sejalan dengan kekhususan/keistimewaan yang dimiliki oleh daerah Aceh sebagaimana diatur dalam UU 11/2006. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian materiil Perppu 7/2017 yaitu: 1. Pasal 557 ayat (1) huruf a dan b: Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri atas: a. Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan KPU; dan b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan Bawaslu. 3
2. Pasal 557 ayat (2): Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini. 3. Pasal 571 huruf d: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 18B ayat (1): Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa proses pembuatan UU 11/2006 lahir dari kondisi masyarakat Aceh yang telah lama hidup dalam situasi konflik yang berakibat jatuhnya korban kemanusiaan dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang cukup lama. Disertai pula dengan kondisi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Kondisi itu kemudian menemukan momentumnya setelah Aceh mengalami bencana tsunami dasyat pada akhir tahun 2004, yang kemudian mendorong semua pihak untuk duduk bersama dan kemudian bersepakat membuat perdamaian, yang dikenal dengan MoU Helsinky, yaitu perdamaian yang dibuat oleh pihak Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005, yang kemudian diterima secara luas oleh seluruh masyarakat Aceh; 2. Bahwa kekhususan/keistimewaan Aceh di dalam UU 11/2006 in casu di bidang penyelenggaraan pemilihan ternyata telah dikurangi dan direduksi oleh Pasal 571 huruf d UU 7/2017 yaitu dengan menghapuskan ketentuan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UU 11/2006; 4
3. Bahwa dengan pemberlakuan ketentuan Pasal 557 ayat (1) huruf a dan b dan ayat (2) UU 7/2017, maka sesungguhnya UU 7/2017 telah mengatur apa yang sudah diatur dalam UU 11/2006. Padahal pada pasal lain, yaitu Pasal 569 UU 7/2017, menyebutkan bahwa: Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Aceh, dinyatakan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini ; 4. Bahwa pasal tersebut menegaskan bahwa UU 7/2017 tidak akan mengatur apa yang sudah diatur di dalam UU 11/2006. Dalam hal ini, mengenai aturan partai politik lokal di dalam UU 11/2006, tidak akan diatur lagi dalam UU 7/2017; 5. Bahwa Pemohon mendalilkan, partai politik lokal merupakan satu dari banyak wujud dari kekhususan/keistimewaan Aceh yang diatur dalam UU 11/2006. Sementara itu, Penyelenggara Pemilihan juga sejatinya bagian dari yang bersifat khusus di dalam UU 11/2006, sehingga sepatutnya tidak perlu lagi UU 7/2017 mengatur apa yang sudah diatur dalam UU 11/2006. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan pasal 557 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan pasal 557 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Menyatakan pasal 571 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5
5. Menyatakan pasal 557 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak punya kekuatan hukum mengikat; 6. Menyatakan pasal 557 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak punya kekuatan hukum mengikat; 7. Menyatakan pasal 571 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak punya kekuatan hukum mengikat; 8. Memerintahkan pemuatan putusan dalam permohonan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 6