1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pada saat ini sedang menghadapi beberapa masalah dalam menjaga ketahanan pangan untuk masa yang akan datang. Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia sedang menghadapi perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global (global warming) yang tidak dapat dihindari dan akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan iklim berdampak terhadap kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu udara dan peningkatan permukaan air laut. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun, banjir dan kekeringan menyebabkan luas areal tanaman yang mengalami puso semakin luas dan peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas (Surmaini et al., 2011). Masalah lain adalah konversi lahan sawah ke peruntukan di luar bidang pertanian. Sebagai contoh, luas sawah di Indonesia cenderung berkurang akibat konversi, bahkan sekitar 3.1 juta hektar diantaranya terancam akan dialihfungsikan sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabaupaten/Kota seluruh Indonesia. Selain itu lahan sawah di pulau Jawa juga terancam dengan adanya rencana pembangunan jalan tol Trans Jawa yang secara langsung akan mengkonversikan lahan pertanian di sekitarnya seluas lebih dari 4 500 hektar (Winoto, 2005). Selain luas yang berkurang, terdapat kecenderungan bahwa tingkat produktivitas di lahan sawah sudah cukup jenuh atau mengalami pelandaian (leveling off) akibat ketidakseimbangan hara yang dipicu oleh pemupukan P dan K yang terus menerus (Sofyan et al., 2004). Kondisi ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap luas panen dan produksi pangan secara nasional. Dari sisi konsumsi, jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 diperkirakan penduduk Indonesia mencapai 237.641 juta jiwa, jumlah ini meningkat sekitar 1.5 % dari tahun 2000. Di lain pihak, jumlah konsumsi beras per kapita Indonesia turun dari 139.15 kg/kapita/tahun menjadi 113.48 kg/kapita/ tahun (BPS, 2010). Walaupun tingkat
2 konsumsi/kapita beras menurun, secara keseluruhan swasembada beras masih belum dapat dicapai, sehingga perlu usaha-usaha untuk meningkatkan produksi pangan. Untuk menyikapi perubahan iklim, kemungkinan terjadinya penurunan produksi pangan dan mengantisipasi kelangkaan bahan bakar minyak fosil maka strategi yang dilakukan pemerintah adalah : (1) menghindari kompetisi penyediaan pangan untuk ketahanan pangan dengan memprioritaskan penggunaan komoditas bioenergi non-pangan untuk bioenergi dan (2) menghindari kompetisi penggunaan lahan untuk kebutuhan pangan melalui pemanfaatan lahan sub optimal untuk pangan (Apriantono, 2009). Dengan tidak mengurangi peran usaha-usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi di lahan sawah, maka alternatif pemanfaatan lahan sub optimal (termasuk lahan kering) untuk meningkatkan luas areal panen dan produksi pangan merupakan pilihan yang bijaksana. Total luas lahan yang tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia mencapai 30.67 juta hektar. Sebagian besar lahan tersedia ini yaitu 20.4 juta hektar (66.4%) berada di kawasan budidaya hutan dan 10.3 juta hektar (33.6%) berada di kawasan budidaya pertanian. Jika ditinjau berdasarkan potensi dan kesesuaian biofisik, maka lahan yang tersedia untuk pertanian lahan kering tanaman semusim diperkirakan mencapai luas 7.08 juta hektar (Las dan Mulyani, 2008). Secara umum, lahan kering dan setengah kering daerah tropika basah didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol dan Oksisol. Oksisol dan Ultisol umumnya terdapat di daerah lembab yang mengalami tingkat pelapukan dan pencucian yang tinggi. Tanah ini didominasi oleh mineral liat kaolinit, oksida-oksida besi dan aluminium serta dicirikan oleh tingkat kemasaman yang tinggi, kandungan unsur-unsur Ca, K dan Mg rendah dan proporsi kompleks pertukaran dijenuhi oleh aluminium. Selain itu, P dan anion lain difiksasi dengan kuat, kadar air dan kapasitas simpan air tanah rendah dan rentan terhadap erosi. Sifat atau karakteristik seperti ini menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya rendah, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan
3 kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15-30%), Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan untuk tanaman pangan semusim (Minardi, 2009). Keterbatasan air pada lahan kering juga mengakibatkan usaha tani di lahan kering tidak memungkinkan dilakukan sepanjang tahun. Perubahan iklim menyebabkan distribusi curah hujan yang tidak merata selama musim tanam dan berkurangnya curah hujan efektif sehingga menimbulkan periode kekeringan yang cukup berat. Oleh karena itu pengendalian penggunaan air merupakan faktor utama yang perlu diperhatian dalam teknis budidaya padi di lahan kering. Sopandie et al., (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan marjinal pada prinsipnya harus menggunakan pendekatan teknik budidaya tanaman yang ramah lingkungan dengan menggunakan kombinasi pemanfaatan varietas yang adaptif dan optimalisasi teknik budidaya seperti pemanfaatan amelioran dan mikroba untuk meningkatkan kesuburan tanah; atau dengan pengaturan waktu tanam yang tepat dan pemanfaatan teknologi pengeloaan air (Surmaini et al., 2011). Usaha-usaha untuk mengembangkan genotipe padi gogo sudah pernah dilakukan (Kaher, 1993; Harahap et al., 1995;Chozin et al., 2000; Trikoesoemaningtyas, 2001; Sopandie et al., 2003). Penelitian yang dilakukan pada umumnya untuk mempelajari respon morfologi dan fisiologi tanaman padi gogo terhadap cekaman tertentu yang ada di lahan kering. Dari penelitianpenelitian tersebut sudah teridentifikasi beberapa genotipe padi gogo yang memiliki sifat toleran naungan, toleran tanah masam atau toleran kekeringan. Pada kondisi di lapangan, cekaman dapat dan sering terjadi secara bersamaan yaitu, kekeringan, ph rendah dengan Al tinggi, kahat hara, ketersediaan air yang terbatas serta penyakit blas/karat daun (Pyricularia oryzae Cav.). Bahkan pada lahan kering yang ditanami tanaman tahunan terdapat cekaman lain yaitu intensitas cahaya yang rendah. Dari semua kendala tersebut, intensitas cahaya yang rendah serta ketersediaan air akan merupakan faktor pembatas terpenting untuk produksi padi gogo sebagai tanaman sela tersebut, walaupun demikian perlu juga diperhatikan berbagai kendala lainnya.
4 Pengembangan padi gogo yang memiliki toleransi tinggi terhadap naungan dan faktor pembatas lainnya (multitoleran) pada sistem tanaman sela tersebut masih belum dilakukan karena belum tersedianya material genetik terpilih. Selain itu masih kurangnya informasi tentang karakter morfologi dan mekanisme daya adaptasi terhadap kondisi biofisik lahan kering dengan tingkat penetrasi pencahayaan rendah serta tingkat efisiensi penggunaan airnya. Rumusan Masalah Pemanfaatan lahan kering di bawah naungan merupakan salah satu pilihan untuk meningkatkan produksi padi melalui penambahan luas areal tanaman. Pada kondisi lahan tersebut terdapat berbagai kendala fisik yang akan menghambat pertumbuhan dan menurunkan tingkat produktivitas padi. Kendala-kendala tersebut antara lain reaksi tanah masam dengan kandungan Al tinggi, tingkat ketersediaan air yang rendah (kekeringan) dan kahat hara serta intensitas cahaya yang rendah. Oleh karena itu tanaman padi yang akan dibudidayakan pada kondisi lahan tersebut harus memiliki sifat toleran terhadap tanah masam, mampu memanfaatkan ketersediaan air yang terbatas dan intensitas cahaya rendah. Pada saat ini genotipe padi yang dihasilkan pada umumnya memiliki sifat toleran terhadap salah satu kendala yang ada pada lahan kering, seperti toleran tanah masam, toleran kekeringan dan toleran terhadap naungan atau kombinasi antara tanah masam dan kekeringan. Pada kenyataannya kondisi di lapangan cekaman yang terjadi berlangsung hampir bersamaan. Kondisi cekaman yang terjadi secara bersamaan ini kemungkinan akan direspon oleh genotipe tanaman padi gogo dengan cara yang berbeda jika dibandingkan dengan kondisi cekaman tunggal. Seperti diketahui karakteristik morfologi dan mekanisme adaptasi untuk suatu cekaman dengan cekaman yang lain dapat saling bertentangan, seperti daun tanaman yang toleran terhadap kekeringan cenderung lebih tebal sedangkan pada tanaman yang toleran naungan akan lebih tipis. Informasi yang berhubungan dengan respon tanaman padi gogo yang memiliki sifat toleransi pada berbagai cekaman ini masih belum tersedia, karena itu perlu dilakukan studi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut.
5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : a) Mengevaluasi adaptasi genotipe-genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda di lahan kering di bawah naungan. b) Memperoleh informasi karakter dan mekanisme toleransi ganda (multitoleran) genotipe terpilih terhadap berbagai cekaman di lahan kering di bawah naungan c) Mempelajari efisiensi penggunaan air antar genotipe padi. Kerangka Pemikiran Seperti diketahui pemanfaatan lahan kering di bawah naungan untuk dimanfaatkan sebagai lahan perluasan penanaman padi gogo akan menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemasaman serta kahat hara, kekeringan dan tingkat naungan yang cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan padi gogo tidak dapat berlangsung secara optimal. Pada saat ini untuk perluasan areal tanam dan peningkatan hasil padi gogo telah dilakukan dengan penyediaan teknologi yang meliputi : penyediaan varietas unggul, konservasi lahan, komponen teknologi budidaya, sistem usahatani dan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (Toha, 2008). Pada saat ini varietas yang dikembangkan umumnya memiliki daya adaptasi terhadap salah satu cekaman yang terjadi pada lahan kering (kekeringan, lahan masam atau naungan) atau kombinasi antar cekaman tersebut. Kondisi cekaman yang terjadi di lapangan sebenarnya berlangsung secara simultan yang menyebabkan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman padi gogo semakin berat. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan padi gogo dihadapkan pada berbagai kendala yang sangat kompleks, sehingga diperlukan perbaikan varietas yang berdaya hasil tinggi dengan sifat multitoleran terhadap faktor fisik di lahan kering. Pengembangan padi gogo yang memiliki sifat toleransi ganda masih belum dilakukan, hal ini disebabkan belum tersedianya materi genetik serta pemahaman mengenai mekanisme daya adaptasi pada cekaman ganda ini belum dilakukan secara terintegrasi.
6 Kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung kepada kemampuannya untuk melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orchutt (1987) berpendapat bahwa adaptasi terhadap naungan dapat melalui 2 cara: (a) meningkatkan luas daun untuk meningkatkan intersepsi cahaya dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Mohr dan Schoopfer, 1995). Selain itu tanaman juga meningkatkan tingkat kehijauan daun dengan mengubah orientasi kloroplas tanaman yang akan mengumpul pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Pada padi gogo yang toleran naungan juga terjadi penurunan kandungan klorofil a dan nisbah klorofil a/b. Pada cekaman cahaya rendah akan menyebabkan peningkatan tinggi tanaman dan gabah hampa serta akan menurunkan jumlah gabah per malai dan indeks panen (Sing, 2005). Pada kondisi kekeringan, tanaman toleran memiliki kemampuan pengambilan air secara maksimal dengan perluasan dan kedalaman sistem perakaran dan kemampuan tanaman mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik (Tardieu, 1997). Kondisi di atas dapat dicapai dengan sistem perakaran yang efisien, peningkatan laju dan jumlah pengangkutan air ke tajuk dan mengurangi kehilangan air melalui epidermis serta mengurangi jerapan panas melalui penggulungan atau pelipatan daun. Dengan karakter-karakter tersebut diharapkan pada kondisi air yang terbatas efisiensi penggunaan air oleh tanaman padi masih dapat berlangsung dengan baik. Pada lahan masam selalu berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Mekanisme toleransi terhadap lahan masam ini dikelompokan menjadi : mekanisme eksternal melalui immobilisai Al pada dinding sel, selektivitas membran plasma terhadap Al, induksi ph di rhizosfir dan sekresi asam organik pengkelat Al; mekanisme internal melalui pengkelatan Al di sitoplasma oleh asam organik, kompartementasi Al di vakuola dan sintesis protein pengikat Al (Taylor, 1991). Salah satu bentuk adaptasi terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah adalah efisiensi hara. Efisiensi hara dapat dilihat
7 sebagai kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomasa kering yang lebih besar dan menunjukkan lebih sedikit gejala kahat hara ketika ditumbuhkan pada kondisi tercekam kahat hara (Clark, 1990). Hal ini dapat tercapai jika tanaman mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap hara; mentranspor dan mendistribusikan hara ke jaringan-jaringan yang aktif bermetabolisme; serta mempertahankan laju metabolisme yang tetap tinggi dalam cekaman kahat hara (Marschner, 1995). Karakter morfologi, anatomi dan mekanisme toleransi yang telah diuraikan di atas dihasilkan oleh masing-masing genotipe yang memiliki sifat toleransi pada satu cekaman saja. Interaksi karakter-karekter ini pada kondisi cekaman ganda masih belum banyak diketahui. Penelitian ini akan mencari informasi yang berhubungan dengan genotipe yang memiliki sifat toleran ganda, karakter dan mekanisme toleransi pada cekaman ganda. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. Potensi Lahan Kering di Indoensia Kendala Pemanfaatan Lahan Kering Potensi Genotipe Toleran Cekaman Ganda Genotipe Toleran Ganda Gambar 1 Bagan alur kerangka pemikiran penelitian.
8 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan tingkat toleransi terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan 2. Terdapat karakter yang mencirikan adaptasi padi gogo terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan 3. Terdapat perbedaan tingkat efisiensi penggunaan air diantara genotipegenotipe padi yang diuji Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibagi ke dalam tiga bagian penelitian yaitu : (1) Evaluasi adaptasi genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan, (2) Studi mekanisme toleransi genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan dan (3) Efisiensi penggunaan air genotipe padi gogo. Pada percobaan pertama dilakukan kajian adaptasi genotipe-genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda. Kajian lebih didasarkan pada karakter agronomi baik pertumbuhan maupun hasil dan komponen hasil. Hasil percobaan ini berupa genotipe-genotipe terpilih yang toleran terhadap cekaman ganda. Pada percobaan kedua dipelajari aspek agronomi dan kandungan klorofil dari genotipe-genotipe terpilih pada kondisi cekaman ganda. Diharapkan dari kajian percobaan kedua ini diperoleh karakter morfologi yang berperan dalam toleransi terhadap cekaman ganda. Pada percobaan ketiga dipelajari keragaman efisiensi penggunaan air pada genotipe padi. Kajian pada percobaan ketiga ini diarahkan untuk mendapatkan informasi mengenai efisiensi penggunaan air dari genotipe yang diuji. Diharapkan dari rangkaian percobaan ini akan diperoleh karakter genotipe padi gogo yang toleran terhadap cekaman ganda.