3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang pada Tabel 1.: Tabel 1 Klasifikasi Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus (Napier et al. 1985) Klasifikasi Ungko Siamang Kingdom Animalia Animalia Filum Chordata Chordata Kelas Mammalia Mammalia Ordo Primates Primates Famili Hylobatidae Hylobatidae Genus Hylobates Symphalangus Spesies Hylobates agilis F. Cuvier 1821 Nama lokal Ungko Siamang Symphalangus syndactylus Gloger 1841 Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna et al. 2000). 2.2 Morfologi Hylobates memiliki ciri-ciri umum yaitu kera kecil tak berekor dengan kepala bulat kecil, hidung tidak menonjol serta rambut tebal dan halus (Chivers 1977 dalam Sultan 2009). Tubuh ungko ditutupi rambut dengan warna yang bervariasi dari terang (coklat keemasan) hingga gelap. Ungko jantan dewasa memiliki rambut berwarna putih di bagian alis dan pipi yang, berbeda dengan betina dewasa yang memiliki rambut putih hanya di bagian alis. Ungko memiliki warna kulit pada pergelangan tangan dan kaki berwarna gelap (hitam), lebih gelap daripada bagian tubuh yang lainnya. Siamang sendiri hanya memiliki satu warna rambut yaitu hitam dan sedikit warna abu-abu gelap di bagian antara dagu dan mulutnya, tidak seperti ungko yang memiliki beberapa variasi warna rambut. Ungko dewasa memiliki bobot badan 5-7 kg dengan panjang/tinggi tubuh 45-50 cm (Supriatna et al. 2000). Hylobatidae memiliki tangan yang lebih
4 panjang dibandingkan kakinya dan satwa ini tidak dapat berenang (Bismark 1984). Struktur tangan, kaki dan jari-jarinya panjang sehingga memungkinkannya untuk menjangkau dahan-dahan di sekitarnya sehingga efektif untuk melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Napier dan Napier 1967). Siamang memiliki ukuran tubuh paling berbeda dengan Hylobatidae lainnya. Siamang jauh lebih besar dan memiliki berat tubuh mencapai 10-15 kg (Palombit 1997). Siamang memiliki ciri khas yaitu kantung suara (gular sacs) serta memiliki selaput diantara jari-jari tangan dan kakinya. 2.3 Habitat dan Penyebaran Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar populasi, yaitu tempat berlindung, pakan dan air (Alikodra 2002). Ungko dapat hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder dan hutan rawa (Supriatna et al. 2000). Menurut Curtin et al. (1979 dalam Bangun 2007), satwa ini dapat beradaptasi terhadap beberapa perubahan lingkungan habitat. Hutan primer memiliki peranan penting sebagai habitat jenis Hylobatidae karena kondisinya lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ungko dan siamang jarang sekali turun ke lantai hutan dan pergerakannya berayun dari pohon ke pohon lain (brakhiasi), sehingga habitat dengan vegetasi yang memiliki tajuk kontinyu antar pohon memiliki peranan penting (Sultan 2009). Makanan ungko dan siamang relatif sama dengan pakan satwa primata lainnya. Pakan ungko yaitu buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Keduanya merupakan satwa yang cenderung frugivorous, namun dilaporkan siamang lebih folivorous dibandingkan ungko di Semenanjung Malaysia (Chivers 1974; Palombit 1997). Kebutuhan air ungko dan siamang dipenuhi dari buah-buahan yang dimakan, dari sisa-sisa air hujan yang ada di daun dan kulit pohon serta terkadang meminum langsung dari mata air (Napier et al. 1976). Keduanya memanfaatkan tajuk pohon untuk istirahat dan tempat tidur. Geissmann (2006) melaporkan ada tiga subspesies H. agilis yang memiliki distribusi masing-masing, yaitu: a. H. a. agilis, tersebar di bagian barat, khususnya di bagian pegunungan;
5 b. H. a. ungko, tersebar di bagian timur, khususnya di daerah dataran rendah. Subspesies ini pun tersebar di Semenanjung Malaysia c. H. a. albibarbis, tersebar di bagian barat Kalimantan dan Kalimantan Tengah, di bagian utara dibatasi oleh Sungai Kapuas sementara ke arah timur dibatasi oleh Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito; Hylobatidae dapat ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara (Gambar 1). Ada lima jenis Hylobates yang tersebar di Indonesia yaitu H. agilis, H. lar, H. klosii, H. moloch dan H. muelleri. Ungko memiliki sebaran di Indonesia (), Semenanjung Malaysia dan Thailand. Ada 2 spesies Hylobates yang hidup simpatrik dengan siamang yaitu H. agilis dan H. lar. H. agilis simpatrik di Pulau dari Danau Toba ke selatan hingga Lampung dan di Semenanjung Malaysia di utara Sungai Muda. H. lar simpatrik dengan siamang di Pulau bagian utara tepatnya di utara Danau Toba dan di Malaysia tepatnya di selatan Sungai Muda. Daerah jelajah primata merupakan area habitat yang digunakan untuk melakukan aktivitas hidup suatu kelompok satwa primata. Ungko memiliki luas daerah jelajah 29 ha atau lebih sempit dibandingkan siamang yaitu 31 ha (Chiever 2001). Daerah jelajah dapat berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada ketersediaan sumber pakan, air, perubahan iklim, persaingan antar kelompok dan beberapa masalah perubahan habitat (Rowe 1996 dalam Duma 2007). Berdasarkan penelitian Iskandar (2007) luas daerah jelajah owa jawa memiliki perbedaan anatara habitat hutan primer dan hutan sekunder. Selain itu, juga terjadi perbedaan luas pada saat musim hujan dan musim kemarau. Iskandar (2007) menyebutkan luas daerah jelajah pada musim hujan lebih sempit daripada saat musim kemarau. Pada hutan primer, luas daerah owa jawa saat musim hujan 16,58 ha, sementara pada musim kemarau 18,91 ha. Berbeda dengan klawet, hasil penelitian Duma (2007) menunjukan luas daerah jelajah klawet sebesar 29,5 ha dengan teritori diperkirakan seluas 23,6-26,6 ha.
6 Gambar 1 Peta sebaran Hylobatidae di Asia Tenggara (Geissmann 1995). 2.4 Populasi Populasi adalah kelompok organisme terdiri dari individu-individu sejenis yang berinteraksi dan mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya pada tempat dan waktu tertentu. Sifat-sifat khas pada suatu populasi antara lain kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, sebaran, stuktur umur, nisbah kelamin, sifat genetik dan perilaku (Alikodra 2002). Populasi suatu jenis dapat berubah karena beberapa faktor, yaitu keadaan lingkungan hidup satwa, keadaan sifat hidup satwa (natalitas, mortalitas, survival) dan pergerakan satwa itu sendiri (Wiersum 1973 dalam Alikodra 2002).
7 Tabel 2 Kepadatan Ungko dan Siamang di Indonesia dan Malaysia (ind/km 2 ) No Lokasi Ungko Siamang Sumber 1 TN Bukit Barisan Selatan, 1,4 2,8 4.2 10,3 O'Brien et al. (2004) 2 TN Way Kambas, 1,9 2,8 Yanuar & Sugardjito (1993) 3 TN Kerinci Seblat, 0 11,4 7,2 24,6 Yanuar (2001) 4 TN Batang Gadis, 8,82 - Bangun 2007 5 TN Batang Gadis, 12,9 - Sultan 2009 6 Riau, 17,45±5,61 - Apriadi 2001 7 Ketambe, - 5 7 MacKinnon & MacKinnon (1980); West (1981) 8 8,6 9 Wilson & Wilson (1977) 9 TN Bukit Barisan Selatan, 1,7 4,3 2,1 5,7 Yanuar (2009) 10 LAHG, Kalimantan 3.5 13.9 - Buckley et al. (2006); Hamard et al. (2010) 11 Gunung Palung, 13,5 15,6 - Mitani (1990) Kalimantan 12 TN Tanjung Puting, 8,7 - Mather (1992) Kalimantan 13 Sabangau, Kalimantan 10,38 - Cheyne et al. (2008) 14 Stasiun Riset Barito Ulu, Kalimantan 8,2 18 - Mather (1992); McConkey et al. (2002) 15 Sebangau, Kalimantan 10,75±2,99 - Duma (2007) 16 Sungai Dal, Malaysia 18,92 2,4 Gittins & Raemaekers, 1980 17 Ulu Sempan, Malaysia - 6 Chivers (1974) 18 Kulala Lompot, Malaysia - 5 Chivers (1974) 19 Ulu Gombak, Malaysia - 2,4 Chivers (1974) 20 Malaysia 6,12 - Chivers (1974) Kepadatan populasi merupakan ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomasa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Harianto (1988) menyebutkan, kepadatan populasi primata tergantung kepada tipe habitat, bentuk sosial kelompok, daerah jelajah dan teritorialnya. Iskandar (2007) menjelaskan, penyebaran Hylobates tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, maka jarak antar kelompok semakin berdekatan dan angka kepadatannya juga semakin tinggi.
8 Kepadatan populasi ungko cenderung meningkat dari selatan ke garis lintang utara di, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Sedangkan kepadatan siamang cenderung menurun dari selatan ke utara sementara variabilitas dalam ukuran kelompok tidak menunjukkan tren (O Brien et al. 2004). 2.5 Distribusi Distribusi ungko merupakan lokasi-lokasi yang ditinggali ungko. Sultan (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa ciri kawasan yang menjadi sebaran ungko, yaitu memiliki kerapatan tajuk yang baik sehingga memungkinkan ungko dapat bergerak secara brakhiasi karena umumnya pohon tergolong stratum B, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar (rerata 180 pohon/ha) dan kawasan yang minim interaksi atara ungko dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (>4 km dari batas desa). Ungko tersebar di wilayah yang memiliki ketinggian hingga 1500 m dpl. Ketinggian diatas 1500 m dpl bukan habitat yang baik bagi Hylobates karena memiliki jenis tumbuhan yang sedikit dan jenis tumbuhannya cenderung tidak sesuai untuk melakukan brakhiasi (Rowe 1996 dalam Sultan 2009). Iskandar (2007) juga menyebutkan, semakin tinggi kawasan, maka semakin sedikit kepadatan populasinya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu potensi sumber pakan yang semakin sulit dan kepadatan tajuk yang menyulitkan pergerakannya (brakhiasi). Sebaran ungko di TN Kerinci Sbelat berada pada habitat berbukit dengan ketinggian 500-800 m dpl. Habitat ungko di TN Batang Gadis meliputi hutan primer dan hutan sekunder pada ketinggian antara 637-967 m dpl. Sultan (2009) dalam penelitiannya mendapatkan persentase sebaran populasi ungko per ketinggian yaitu dari selang 600-1000 m dpl. Hasilnya menunjukan lebih dari separuh sebaran populasi (57,1%) berada pada ketinggian 701-800 m dpl. Sultan (2009) menjelaskan, home range Hylobatidae dapat berubah dengan adanya gangguan yang memaksanya berpindah/merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan fragmentasi habitat. Selain itu, juga dipengaruhi kondisi hutan/kerusakan hutan. Kasus di Selatan menunjukan bahwa hutan yang terpisah (patches) akibat adanya penanaman karet
9 secara monokultur menyebabkan populasi Hylobates agilis dan Sympalangus syndactylus semakin berkurang meskipun masih menyisakan pohon aslinya (Geissmann et al. 2006). 2.6 Komposisi kelompok Keluarga Hylobatide hidup berkelompok dalam kelompok sosial monogami. Satu kelompok Hylobatide berisi sepasang jantan-betina dewasa dengan anaknya. Satu kelompok ini dapat terdiri dari 3-5 individu. Pasangan Hylobates secara umum melahirkan anak dengan selang waktu 2-3 tahun sekali. Tingkat kelas umur dapat dibagi berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, yaitu sebagai berikut (Gittins et al. 1980): a) bayi (infant): dari lahir hingga umur dua tahun, ukuran tubuh kecil, pada tahun pertama dibawa atau digendong oleh induk betina selama pergerakannya; b) anak-1 (juvenil-1): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil dan berjalan sendiri didekat induknya; c) anak-2 (juvenil-2): berumur 4-6 tahun, ukuran tubuh sedang, cenderung melakukan aktivitas makan dan berjalan sendiri; d) muda (sub-adult): berumur > 6 tahun, ukuran tubuh hampir sama dengan dewasa (induk) tetapi belum matang seksual, tetap dalam kelompok tetapi cenderung memisahkan diri; dan e) dewasa (adult): memiliki ukuran tubuh maksimal dan hidup berpasangan. Jantan dan betina hampir dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup sendiri dengan pasangannya sebagai keluarga baru (Kirkwood et al. 1992 dalam Duma 2007). Hylobatidae memiliki ukuran kelompok antara 2-5 individu/kelompok. Ukuran kelompok dengan jumlah lebih dari 4 jarang ditemukan. Adanya kelompok berjumlah 5 individu biasanya disebabkan anak umur dewasa belum keluar dari kelompok induknya untuk membentuk kelompok baru (Sultan 2009). Berdasarkan penelitian Sultan (2009), sebagian besar pasangan ungko di TN Batang Gadis memiliki anak (76,3%) dengan persentase kelompok dengan satu anak 42% dan lebih dari satu anak 34,4%. Struktur umur populasi ungko
10 menunjukan dari urutan paling banyak adalah dewasa, anak dan remaja. Hasil penelitian lain menunjukan, komposisi kelompok populasi jantan dan betina dewasa masing-masing 29,27%, pra-dewasa 4,88%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%. Struktur umur populasi pada penelitian dapat diketahui, yaitu dewasa 31,7% pra-dewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5% (Bangun 2007). 2.7 Perilaku Aktivitas harian pada salwaliar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan sekitarnya. Hylobates umumnya melakukan aktivitas harian di tajuktajuk pohon (arboreal) yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon tidur selanjutnya. Chivers (1980) dalam Duma (2001) menyebutkan, Hylobates mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam, dari pukul 06.19 hingga 15.43. Aktivitas yang dilakukan antara lain bersuara, berpindah, makan, bermain dan istirahat. Aktivitas harian kelompok Hylobates diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates 1970). Gittins et al. (1980) menyebutkan aktivitas bersuara ungko dilakukan selama ± 15 menit yang terdengar hingga 1 km. Pada ungko jantan hampir dewasa kegiatan bersuara juga dilakukan untuk menarik lawan jenis. Aktivitas bersuara biasanya dilakukan di pohon sumberpakan atau yang berdekatan. Makan merupakan aktivitas yang dilakukan setelah bersuara. Hylobates dapat melakukan kegiatan makan pada satu pohon yang sama selama 2-3 hari berturut-turut. Pada saat itu, satwa jenis ini melakukan perpindahan dan biasanya tidur di sekitar atau di dekat pohon pakan. Lama aktivitas makan tergantung pada jenis dan kelimpahan jenis pakan. Hylobates makan dengan cara memetik satupersatu buah atau daun muda yang dimakan (Rinaldi 1992).
11 Secara umum, jenis-jenis Hylobatidae memiliki perilaku yang sama. Hasil penelitian Iskandar (2007) perilaku yang dilakukan yaitu makan, sosial, lokomosi agresi dan istirahat. Owa jawa paling banyak melaksanakan aktifitas istirahat dan makan. Hampir sama dengan hasil penelitian Duma (2007) pada klawet, aktivitasnya lebih banyak makan dan istirahat. Lebih jauh menjelaskan, klawet memulai aktivitas harian antara pukul 04.50-07.10 WIB yaitu vokalisasi (duet call). Setelah itu mulai meninggalkan pohon tidur untuk berpindah, makan dan istirahat. Setelah pukul 16.00 WIB, klawet sudah beristirahat penuh. 2.8 Persaingan Hylobates adalah spesialis buah masak (Chivers 2001) yang menggunakan buah ficus sebagai sumber utama (Marshall et al. 2009). Asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobatidae lain juga ditunjukan dalam berbagai penelitian (Plombit et al. 1997). Chivers et al. (1986) mengusulkan bahwa siamang lebih akurat digambarkan sebagai ''pencari ficus,'' pemikiran ini didukung juga oleh Palombit (1997). Chivers et al. (1986) menunjukan Hylobates sebagai spesialis buah lunak, namun Palombit (1997) dan Marshall (2004) menemukan bahwa owa bertubuh kecil (H. lar and H. albibarbis) menekankan buah ficus pada tingkat yang sama seperti siamang. Dua spesies menempati relung ekologi yang sama dalam satu wilayah, akan menjadi sangat kompetitif, kecuali dua berbeda dalam beberapa dimensi relung digunakan (Brown et al. 1956). Spesies Hylobatidae bertubuh kecil memiliki distribusi yang lebih luas (dari Cina hingga Jawa) dari siamang dan memungkin hidup dalam tempat yang sama (simpatrik) atau berbeda (allopatrik) dengan siamang (Geissmann 1995). Jenis-jenis Hylobatidae bertubuh kecil umumnya allopatric dalam distribusinya, tersebar di Thailand, Malaysia, dan Kalimantan (Brockelman dan Gittins 1984; Gittins 1978; Marshall dan Brockelman 1986;. McConkey et al. 2002). Berbeda dengan siamang yang tumpang tindih dengan spesies Hylobatidae lain (H. lar atau H. agilis) di seluruh rentang mereka (Geissmann 1995). Oleh karena itu, siamang selalu menghadapi kompetisi intraspesifik dan persaingan dalam memperoleh sumberdaya sangat tinggi (Raemaekers 1984;. O'Brien et al. 2004). Ukuran tubuh besar siamang menjadi
12 peran kunci sehingga memungkinkannya hidup bersama dengan jenis yang ukurannya lebih kecil (Raemaekers 1984). Elder (2009) berasumsi siamang mengkonsumsi lebih banyak daun diharapkan untuk mengurangi persaingan langsung dengan Hylobatidae lain saat mereka hidup simpatrik. Teori ekologi memprediksi perbedaan relung antara spesies yang tinggal simpatrik (Brown et al. 1956), spesies Hylobatidae simpatrik menunjukan adanya tumpang tindih secara luas dalam ekologi dengan menggunakan bagian yang sama pada ruang kanopi (Raemaekers 1977; MacKinnon et al. 1980), makanan dan ukuran ruang (Raemaekers 1984; Palombit 1997). Siamang dan owa tangan putih dipelajari memiliki perbedaan dalam proporsi makan. Sebagai contoh, di bagian utara yang didominasi kedua spesies pemakan buah, makan lebih banyak buah ficus dan memperoleh sebagian besar protein mereka dari serangga, namun siamang menghabiskan lebih banyak waktu makan daun muda (siamang 16%, owa tangan putih 4%) dan owa tangan putih makan buah lunak lebih lama (owa tangan putih 26%, dari siamang 18%) (Palombit 1997). Jika, pada kenyataannya siamang dan Hylobatidae bertubuh kecil dibatasi oleh makanan yang berbeda (daun muda dan buah lunak), maka perbedaan dalam kepadatan populasi mereka mungkin mencerminkan variasi dalam ketersediaan sumberdaya (Elder 2009). O'Brien et al. (2004) menunjukkan bahwa dalam rentang distribusi siamang, kepadatan populasinya menurun dari selatan ke utara untuk siamang dan meningkat untuk ungko. Pola ini mungkin muncul dari lebih tingginya ketersediaan buah ficus di selatan ke utara (Palombit 1997; O'Brien et al. 2004). Siamang diharapkan memiliki keunggulan kompetitif dari ungko dalam memanfaatkan bagian ini karena ukuran tubuh yang lebih besar (Raemaekers 1984). Sebaliknya, kepadatan pohon buah-buahan meningkat lebih kecil dari selatan ke utara dan ungko mungkin lebih efisien dalam mencapai dan memakan sumberdaya lebih besar dalam dimensi ruang (O'Brien et al. 2004).