TINJAUAN PUSTAKA Habitat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Habitat"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Habitat Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan terhadap sumber pakan, air dan tempat berlindung (Alikodra 2002). Owa jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang keberadaannya saat ini terbatas pada kawasan taman nasional dan hutan lindung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penyebarannya terutama di Taman Nasional Gunung Halimun, Gunung Gede, TN. Ujung Kulon, Gunung Simpang, Leuweung Sancang, dan Gunung Tilu (Kappeler 1984; Nijman dan Van Ballen 1998). Secara spesifik, habitat owa jawa adalah hutan tropika, mulai dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian m di atas permukaan laut (Massicot 2001; CII 2000; Rinaldi 1999), sedangkan Rowe (1996) menyatakan bahwa habitat owa jawa adalah hutan primer dan sekunder serta hutan hujan tropika dari ketinggian setara permukaan laut sampai m dpl. Hutan hujan tropika di bawah ketinggian m dpl. merupakan habitat eksklusif bagi owa jawa (CII 2000; Kappeler 1981) karena beberapa sebab, yaitu 1) spesies tumbuhan hutan di atas ketinggian m dpl bukan merupakan sumber pakan, dan 2) banyaknya lumut yang menutupi pepohonan menyulitkan owa jawa melakukan pergerakan atau perpindahan. Rowe (1996) menyatakan bahwa pada wilayah di atas ketinggian m dpl, hanya terdapat sedikit spesies tumbuhan, dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk dimanfaatkan dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, suhu di atas m dpl. lebih rendah dibandingkan suhu di bawah ketinggian tersebut. Owa jawa adalah satwa yang benar-benar hidup arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan. Habitat yang sesuai bagi owa jawa adalah 1) hutan dengan tajuk yang relatif tertutup, 2) tajuk pohon tersebut memiliki cabang horizontal, dan 3) habitat yang memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun (Kappeler 1984). Owa jawa sangat jarang turun ke permukaan tanah, dan menggunakan sebagian besar waktunya di tajuk pohon bagian atas, sehingga kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon sebagai pelindung dan sumber pakan (Kuester 2000). Faktor utama yang membatasi penyebaran owa jawa adalah struktur ketinggian pohon

2 7 untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristik yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan spesies tersebut (Kappeler 1984a). Persentase hilangnya hutan antara tahun 1980 dan 1995 di beberapa negara di dunia antara lain: Afrika 10,5%; Amerika Latin dan Karibia 9,7%; Asia dan Oceania 6,4%, sedangkan rerata hilangnya luas hutan pada negara-negara yang memiliki primata adalah km 2 (Chapman dan Peres 2001). Di Indonesia, luas habitat owa jawa menyusut sekitar 96% dari semula memiliki habitat seluas km 2 menjadi sekitar km 2 akibat pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat (CII 2000). Prediksi hilangnya habitat di beberapa kawasan yang dihuni owa jawa menunjukkan persentase yang bervariasi: Cagar Alam Gunung Simpang, hampir kehilangan 15% (dari ha); TN. Ujung Kulon kehilangan 4% dari ha; dan TN. Gunung Halimun kehilangan 2,5% dari ha luas kawasannya (Supriatna 2006). Kerusakan habitat yang disebabkan oleh kegiatan penebangan selain menyebabkan populasi owa jawa menurun, juga menyebabkan perubahan tingkah laku pada beberapa spesies, diantaranya: 1) Lar gibbon (Hylobates lar) menunjukkan kecenderungan peningkatan tingkah laku berdiam diri dan menghindar, sedangkan tingkah laku bersuara menurun; 2) pola aktivitas pada H. Lar dan Presbytis melalophos menunjukkan peningkatan waktu istirahat dan penurunan pada aktivitas makan dan bergerak; 3) pada kedua spesies tersebut terjadi perpindahan dari kanopi atas ke bagian tengah; 4) pada saat terjadi gangguan yang sangat tinggi, aktivitas saling bersuara gibbon sering terhenti, dan tingkat bersuara tersebut akan tetap mengalami tekanan sampai beberapa tahun setelah aktivitas penebangan berhenti (Johns 1986). Akibat dari kerusakan hutan yang terjadi, maka habitat yang dapat dihuni owa jawa semakin sempit dan hanya tersisa terutama di Pulau Jawa bagian barat dan sebagian Jawa Tengah, seperti disajikan pada Gambar 2 (Nijman 2001).

3 8 Gambar 2. Habitat Owa Jawa (Nijman 2001) Gibbon lebih menyukai pohon tinggi untuk melakukan aktivitasnya. Pada kondisi hutan yang terganggu, aktivitas gibbon berubah dari kanopi bagian atas ke bagian tengah seperti ditunjukkan H. Lar dan H. Moloch pada Gambar 3. Gambar 3. Persentase Penggunaan Kanopi oleh Dua Spesies Hylobates pada Hutan Terganggu dan Tidak Terganggu (Nijman 2006) Owa jawa diketahui hanya dapat diidentifikasi pada ketinggian tertentu. Pasang (1989) mengidentifikasi kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun pada ketinggian m dpl. Walaupun sebagian peneliti menyatakan bahwa ketinggian m dpl. merupakan posisi tertinggi sebaran owa jawa, terdapat laporan yang menyatakan bahwa spesies tersebut diidentifikasi pula pada ketinggian m dpl. (Kool 1992; Nijman dan Van Balen 1998). Faktor-faktor

4 9 yang membatasi penyebaran owa jawa berdasarkan ketinggian tempat (Balai Taman Nasional Gunung Halimun 1997): 1) struktur dan kerapatan pohon membatasi perilaku pergerakan dari satu tajuk ke tajuk lain, 2) keragaman komposisi floristik yang relatif rendah menyebabkan kurangnya potensi dan keragaman pakan, dan 3) rendahnya temperatur pada malam hari. Pohon Pakan Pada dasarnya, sumber pakan satwa primata dibedakan ke dalam tiga kategori (Fleagle 1988): 1. struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang, dan materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa); 2. bagian reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang atau mentah); 3. materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun, dan bunga. Kelompok gibbon pada umumnya mengkonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi (Geissmann 2004). Persentase jenis pakan tertinggi adalah buah-buahan matang (61%), daun-daunan (38%) dan bunga (1%) (Kappeler 1984; Rowe 1996; Kuester 1999). Terdapat 125 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan gibbon sebagai sumber pakan, terdiri dari 108 jenis pohon, 14 jenis tumbuhan liana, dua jenis tumbuhan palma dan satu jenis epifit. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan adalah Dillenia excelsa (Jack) Gilg, Dracontomelon mangiferum Blume, Garcinia dioica Blume, Ficus callosa Willd., Saccopetalum horsfieldii (Benn.) Baillon ex. Pierre, Ficus variegata Blume, Eugenia polyanta Wright, Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi, Bridelia minutiflora Hook.f. dan Antidesma bunius Sprengel (Kappeler 1984). Berdasarkan hasil penelitiannya, Rinaldi (1999) menyatakan terdapat 27 jenis tumbuhan yang merupakan sumber pakan owa jawa di TN. Ujung Kulon, diantaranya adalah purut (Parartocarpus veneroso), kiara koang (Schefflera macrostachya Jacq), kiara beunyeur (Ficus callopylla Blume), dahu

5 10 (Dracontomelon puberulum Miq) dan kicalung (Diospyros hermaphroditica Bakh.). Pohon pakan dan pohon tidur merupakan bagian habitat yang memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan gibbon. Buah-buahan merupakan sumber pakan utama gibbon dibandingkan bagian lain pada pohon pakan tersebut (Whiten 1982). Walaupun demikian, gibbon diidentifikasi pula mengkonsumsi pucuk daun, tangkai muda, bunga dan beberapa hewan invertebrata (Gittins 1982). Jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berasal dari famili Leguminosae, Myrtaceae, Annonacea, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae (Chivers 2000). Spesies yang memiliki sumber pakan sama dengan owa jawa adalah dua spesies lutung (Presbytis aygula, P. cristatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing (Ratufa bicolor), kelelawar (Pteropus vampyrus) dan tiga spesies rangkong (Anthracoceros convexus, Buceros rhinoceros, Rhyticerus undulates) (Kappeler 1981). Berdasarkan kesamaan sumber pakan tersebut, di TN. Ujung Kulon, owa jawa bersaing dalam menggunakan sumber pakan dengan spesies satwa primata lain, yaitu surili (P. comata), lutung (Trachipithecus auratus), dan monyet ekor panjang (M. fascicularis) (Iskandar 2001). Pohon Tidur Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan owa jawa sebagai tempat tidur dan tempat berlindung dari predator. Pohon tidur pada sebagian satwa primata merupakan salah satu tempat yang dipertahankan dari gangguan kelompok lain dan merupakan core area dari spesies tersebut. Core area adalah lokasi tertentu di dalam daerah jelajah yang dipertahankan secara intensif terhadap gangguan kelompok lain. Pemilihan tempat untuk istirahat dan tidur dilakukan secara hati-hati sehingga diperoleh lokasi yang benar-benar cocok (Fruth dan McGrew 1998). Pada umumnya, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur adalah pohon yang cukup tinggi, rindang dan rimbun sehingga selain bisa terhindar dari predator, dapat pula digunakan untuk berlindung dari perubahan cuaca (Reichard 1998).

6 11 Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam dan Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, owa jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa, dan terakhir jantan dewasa (Reichard 1998). Rerata waktu yang digunakan Hylobates moloch di pohon tidur di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah 13,05 jam (Malone et al. 2006). Pohon tidur dan pohon yang digunakan pada saat bersuara merupakan tempat penting di dalam teritori gibbon. Terdapat banyak pohon tidur yang digunakan gibbon pada satu lokasi. Banyaknya jumlah pohon tidur tersebut berperan penting dalam mempertahankan kehangatan (Gittins 1982). Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa (Hylobates moloch) Genus Hylobates dikelompokkan ke dalam empat subgenus, yaitu Bunopithecus, Hylobates, Nomascus dan Sympalangus seperti disajikan pada Tabel 1 (Geissmann 1995). Tabel 1. Klasifikasi dan Distribusi Genus Hylobates Genus Subgenus Spesies Subspesies Penyebaran Hylobates Bunopithecus Hoolock Hoolock Assam, Bangladesh, Burma Leuconedys Burma, Yunnan Hylobates Agilis agilis albibarbis Sumatra Barat, Kalimantan?unko Malaysia, Sumatra Lar Carpenteri Thailand Entelloides Thailand, Burma Lar Semenanjung Malaysia Vestitus Sumatra Utara?yunnanensis Yunnan Moloch Jawa Barat Muelleri Abboti Kalimantan Funerius Kalimantan Mueleri Kalimantan Pileatus Thailand, Kamboja Klosii Pulau Mentawai Nomascus Concolor Concolor Vietnam, Yunann?jingdongensis Yunnan

7 12 Hainanus ssp.nov. cf.nasutus?lu Pulau Hainan Vietnam Vietnam Laos

8 13 Tabel 1. (Lanjutan) Genus Subgenus Spesies Subspesies Penyebaran leucogenys Leucogenys Laos, Vietnam, Yunnan Siki Laos, Vietnam Gabriellae Laos, Vietnam, Kamboja Symphalangus syndactylus?continentis Semenanjung Malaysia Syndactylus Sumatra Owa jawa (Hylobates moloch) dikenal pula dengan nama Javan gibbon atau Silvery gibbon, memiliki susunan taksonomi sebagai berikut (The IUCN Red List of Threatened Species 2003): ordo: Primata; famili: Hylobatidae; genus: Hylobates; spesies: Hylobates moloch (Audebert 1797), dan nama lokal: owa, wau-wau kelabu. Arti kata Hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya. Morfologi Genus Hylobates tidak memiliki ekor, kepala berukuran kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil dan pendek, dada lebar dengan rambut yang tebal dan halus (Grzimek 1972). Salah satu ciri mencolok dari Genus Hylobates adalah adanya pembengkakan pada alat kelamin betina, terutama pada Hylobates moloch, H. muelleri, H. agilis, H. Albibarbis dan H. lar. Pembengkakan pada alat kelamin betina ini tidak begitu nyata pada H. pileatus (Mootnick 2006). Owa jawa merupakan salah satu spesies dalam Genus Hylobates yang memiliki bantalan duduk (ischial callosities). Bantalan duduk tersebut tidak terdapat pada semua jenis satwa primata (Fleagle 1988). Salah satu cara untuk membedakan populasi gibbon adalah melalui perbedaan rambut. Berdasarkan perbedaan warna rambut tersebut, dapat pula digunakan untuk membedakan jenis kelamin pada spesies tertentu (Chivers 1984). Owa jawa memiliki rambut tebal berwarna abu-abu keperakaan. Rambut di atas kepala dan muka berwarna hitam, sedangkan alis berwarna putih (Massicot 2006). Jantan dan betina owa jawa memiliki rambut tebal dan berwarna abu-abu keperakan menutupi hampir seluruh tubuh. Rambut di atas kepala berwarna gelap, beberapa diantaranya memiliki warna rambut lebih gelap

9 14 pada bagian dada. Warna rambut pada bayi berwarna lebih terang dibandingkan owa jawa dewasa (Rowe 1996). CII (2000) menyatakan bahwa rambut pada bagian kepala owa jawa berwarna abu-abu kehitaman, muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu terang atau cenderung putih. Supriatna dan Wahyono (2000) menambahkan, dagu pada beberapa individu owa jawa berwarna gelap dan terdapat sedikit perbedaan warna rambut antara jantan dan betina, terutama dalam tingkatan umur. Bobot tubuh owa jawa sekitar 6 kg (Massicot 2001). Antara jantan dan betina tidak terdapat perbedaan menyolok baik dari bobot badan maupun warna rambut (Kuester 1999). Panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara cm, memiliki lengan yang panjang dan tubuh ramping. Bentuk tubuh seperti ini sangat ideal untuk melakukan pergerakan diantara tajuk pohon di dalam hutan (Kuester 2000). Owa jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967). Status Konservasi Sebagai upaya melindungi owa jawa dari kepunahan, spesies ini telah dilindungi sejak jaman penjajahan Belanda oleh Undang-undang berdasarkan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar 1931 nomor 266 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Dit. PPA 1978). Perlindungan terhadap spesies endemik ini diganti oleh Undang-Undang No. 5/1990; Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 ( nl/2006). Pada tahun 1986, owa jawa telah dimasukkan ke dalam kategori endangered species dalam daftar IUCN. Status tersebut berubah pada tahun 1996, menjadi critically endangered species (CI 2000) setelah PHVA workshop (Supritna et al. 1994). Mulai tahun , owa jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia (IUCN/CI 2000). Kategori Owa jawa dalam daftar CITES termasuk ke dalam Appendix I (Kuester 1999).

10 15 Status owa jawa saat ini dikategorikan sangat kritis (genting) berdasarkan pertimbangan: 1) pengurangan setidaknya 80% habitat layak huni atau berkurangnya kualitas habitat selama tiga generasi terakhir (45 tahun) (Supriatna et al. 1994); 2) estimasi populasi kurang dari 250 individu dewasa dan terjadi penurunan secara terus menerus ( Penyebab sangat kritisnya populasi owa jawa dan satwa lain adalah akibat aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian habitat dan satwa yang hidup di dalamnya. Pada umumnya, hampir semua habitat spesies penting di dareah penyebaran owa jawa telah musnah. Lebih dari 95% habitat owa jawa dan lutung telah rusak, dan hanya 2% daerah penyebaran alaminya yang dilindungi (Primack et al. 1998). Gambar 4 menyajikan berbagai ancaman terhadap populasi primata dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi populasi primata tersebut. Gambar 4. Ancaman Utama Terhadap Populasi Primata dan Pendekatan dalam Melindungi Ordo tersebut (Chapman dan Peres 2001). Penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi owa jawa di beberapa kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa populasi spesies tersebut masih lebih dari individu. Berdasarkan hasil penelitiannya, Nijman (2004) menyarankan peninjauan kembali atas status owa jawa dari status saat ini critically endangered species

11 16 menjadi endangered species karena pertimbangan masih cukup banyaknya populasi owa jawa di alam. Penyebaran Gibbon lebih menyukai hutan dataran rendah karena memiliki keanekaragaman dan kepadatan pohon-pohon berbuah sangat tinggi (Chivers 2000). Penyebaran owa jawa hanya terdapat di separuh P. Jawa ke arah barat. Daerah sebaran di Jawa Barat meliputi TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Salak, HL Gunung Ciremai, Gunung Papandayan, Gunung Wayang, Gunung Jayanti dan Gunung Porang. Di Jawa Tengah, owa jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, Gunung Prahu, dan Pegunungan Dieng (CII 2000; Nijmann dan Sozer 1995). Spesies gibbon tersebar menurut geografis. Sebaran ini dapat digunakan sebagai indikasi keragaman spesies tersebut selain perbedaan warna rambut. Penyebaran gibbon berdasarkan letak geografis disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Penyebaran Gibbon Berdasarkan Letak Geografis (Chivers 1984)

12 17 Owa jawa telah diidentifikasi keberadaannya pada 20 areal yang masih berhutan, terutama di Jawa Barat. Pada beberapa areal dengan populasi owa jawa sedikit, diperkirakan populasi tersebut tidak akan bertahan dalam kurun waktu lama (Massicot 2006). Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan owa jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. moloch moloch yang memiliki warna rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih terang. Menurut Geissmann (2004), owa jawa yang sebarannya di Jawa Barat adalah H. moloch moloch, sedangkan di Jawa Tengah adalah H. moloch pangoalsoni. Aktivitas Harian dan Pola Interaksi Pada saat melakukan aktivitas harian, owa jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi (Kuester 1999; Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (CII 2000). Aktivitas tersebut ada di dalam daerah jelajahnya. Pola aktivitas harian diawali dengan mengeluarkan suara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari makan (Rinaldi 2003), siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling menelisik antara jantan dan betina pasangannya, atau antara induk dan anaknya, sedangkan pada malam hari, tidur pada percabangan pohon (Cowlishaw 1996). Pergerakan dari satu cabang ke cabang lain atau dari pohon ke pohon lain dibagi ke dalam dua kecepatan, yaitu lokomosi cepat terjadi ketika menghindari predator, terdengar suara peringatan dari betina dan ketika terjadi perebutan teritori. Lokomosi lambat dilakukan pada saat menempuh jarak pendek (50-100m) dan terdiri atas bergelayutan tanpa fase melayang, berjalan dengan dua kaki (bipedal), berjalan dengan empat kaki (quadrupedal), fase melayang untuk menjangkau cabang atau pucuk pohon (Kappeler 1981). Cara bergerak owa jawa dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: 1) brankiasi; 2) berjalan dengan dua kaki (bipedal); 3) memanjat; dan 4) melompat (leaping). Aktivitas owa jawa di TN. Ujung Kulon dimulai antara jam dan 7.15 pagi tergantung kepada kondisi cuaca. Pada saat musim kemarau, aktivitas harian owa jawa dimulai pada pukul 06:00 pagi, sedangkan pada musim hujan, aktivitas

13 18 dimulai pada pukul 07:15 pagi dan beristirahat pada siang hari. Aktivitas diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan. Aktivitas makan dimulai setelah matahari terbit dan aktivitas bersuara (Rinaldi 1999, 2003). Respon gibbon pada saat ada manusia yang mendekat adalah segera menghindar, respon seperti ini bisa disertai oleh menggoyangkan cabang pohon dan bersuara. Respon lain yang mungkin muncul adalah berdiam diri dan bersembunyi. Respon bersuara biasanya terjadi apabila satwa mendeteksi kehadiran manusia pada jarak yang sangat dekat (Nijman 2006). Salah satu pola interaksi yang dilakukan owa jawa adalah bersuara (Dallman & Geismann 2001). Terdapat dua jenis suara pada owa jawa, yaitu usual dan unusual call. Usual call biasanya dikeluarkan oleh betina dewasa baik secara solo maupun duet dengan jantan dewasa atau remaja. Aktivitas ini dilakukan sebelum mengeksplorasi daerah jelajah dan teritori. Unusual call dilakukan oleh betina dewasa, jantan dan anggota kelompok ketika bertemu dengan kelompok lainnya di perbatasan teritori dan merespon adanya gangguan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, owa akan bersuara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call dengan durasi antara menit. Owa jawa dan siamang kerdil (H. klosii) tidak bersuara secara duet, melainkan suara solo (Geismann dan Nijman 1999). Pada saat bersuara ini, betina owa jawa akan lebih mendominasi (Dallmann and Geismann 2001). Suara owa jawa dapat diidentifikasi hingga jarak m (Kappeler 1981). Suara yang dapat diidentifikasi menurut CII (2000): 1) suara betina untuk menandakan teritorinya; 2) suara jantan ketika bertemu kelompok lainnya; 3) suara antar individu ketika terjadi konflik; dan 4) suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (alarm call, harassing call). Populasi Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Kappeler (1981) memperkirakan populasi owa jawa antara dan individu. Empat belas tahun kemudian, populasi owa jawa dinyatakan menurun cukup tajam menjadi individu (Asquith et al. 1995). Penurunan populasi yang cukup tajam ini disebabkan oleh rusak atau hilangnya habitat akibat meningkatnya populasi manusia yang disertai meningkatnya kebutuhan

14 19 manusia akan lahan untuk pengembangan sektor pertanian lainnya. Pada tahun 2000, Supriatna dan Wahyono menyatakan estimasi populasi owa jawa pada kisaran dan individu, bahkan diperkirakan jumlah sebenarnya bisa melebihi populasi tersebut. Peningkatan estimasi populasi tersebut dipertegas dengan hasil penelitian Nijman (2004) yang melaporkan hasil survei yang dilakukannya di Pulau Jawa dengan memprediksi populasi owa jawa berada pada kisaran individu. Tabel 2 menyajikan populasi owa jawa di beberapa lokasi di P. Jawa. Tabel 2. Populasi Owa Jawa pada beberapa lokasi di Pulau Jawa No. Lokasi Estimasi Populasi (individu) Sumber 1. TN. Gunung Gede Pangrango TN. Gunung Halimun Cagar Alam Gunung Salak Cagar ALam Gunung Simpang TN Ujung Kulon Gunung Papandayan Gunung Slamet 96 1 Keterangan: 1 = Djanubudiman et al. (2005); 2 = Rinaldi (2003); 3 = Asquith et al. (1995) Aktivitas yang berakibat secara langsung terhadap menurunnya populasi owa jawa antara lain: 1) hilangnya habitat; 2) perburuan dan penangkapan untuk keperluan hewan peliharaan; dan 3) hilangnya koridor sebagai dampak dari hilangnya habitat. Selain itu, faktor yang turut berperan semakin menurunnya populasi owa jawa adalah tingkat reproduksinya yang relatif rendah (Geissmann 1991). Kepadatan kelompok dan populasi owa jawa pada berbagai tipe habitat dan ketinggian tempat menunjukkan jumlah kelompok dan populasi berbeda. Tabel 3 menyajikan kepadatan kelompok dan kepadatan populasi owa jawa berdasarkan ketinggian dari atas permukaan laut.

15 20 Tabel 3. Kepadatan Kelompok dan Populasi Owa Jawa Berdasarkan Ketinggian di Atas Permukaan Laut (dpl.) Lokasi Ketinggian (m dpl) Kepadatan Sumber Kelompok (kelompok/km2) Populasi (individu/km2) Ujung Kulon ,9 8,3 1 Gunung Halimun ,6 9,9 2 Telaga Warna ,1-2,1 3,3-6,3 3 Gunung Dieng ,9-1,1 3,0-3,6 4 Keterangan: 1. Gurmaya et al. 1995; 2. Sugarjito et al. 1997; 3. Nijman 2004; 4. Nijman dan Van Balen 1998 individu/km 2 Kepadatan populasi owa jawa di hutan hujan dataran rendah adalah 2 dan di hutan hujan dataran tinggi 7 individu/km 2. Perbedaan kepadatan ini disebabkan habitat owa jawa lebih banyak tersebar di dataran tinggi sampai pada ketinggian m dpl (Massicot 2001). Kepadatan populasi owa jawa yang diidentifikasi di daerah Cibiuk dan Reuma Jengkol yang merupakan bagian dari kawasan TN Ujung Kulon, yaitu 9,2 individu/km 2. Rerata kepadatan kelompok pada kedua daerah di TN Ujung Kulon tersebut adalah 2,8 kelompok/km 2, dengan besar ukuran kelompok 3,3 individu. Kisaran jumlah individu yang ditemukan pada setiap identifikasi adalah 1-5 individu (Iskandar 2001), sedangkan pada tahun 1984, Kappeler melaporkan hasil penelitiannya yang memperkirakan kepadatan kelompok owa jawa di TN. Ujung Kulon sekitar 2,7 kelompok/km 2. Komposisi Kelompok Owa jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain kedua induk, terdapat 1-2 individu anak yang belum mandiri (Supriatna dan Wahyono 2000), sehingga rerata setiap kelompok berjumlah 4 individu (Kuester 1999). Pada kelompok tertentu hanya terdiri dari pasangan induk jantan dan betina (Nijman 2004). Kematangan seksual owa jawa baru dicapai pada umur 4-5 tahun, sedangkan periode kebuntingan berkisar antara hari dengan interval kelahiran 3-4 tahun (Geismann 1991). Dalam sistem monogami, keberhasilan jantan dalam bereproduksi cenderung menurun, hal ini diperkirakan karena ketersediaan niche dan penyebaran sumber pakan. Selain itu, energi

16 21 yang diperoleh dari sumber pakan digunakan untuk berpatroli dan mempertahankan teritori (Chivers 2000). MacKinnon dan MacKinnon (1984) menyatakan bahwa keuntungan kelompok dengan sistem hidup monogami dan mempertahankan teritori adalah 1) mengurangi aktivitas reproduksi yang tidak diperlukan dan meningkatkan perlindungan bagi anak-anaknya yang masih kecil; 2) mengurangi gangguan dan kompetisi dengan kelompok lain; 3) meningkatkan efisiensi dalam menemukan sumber pakan; dan 4) mengurangi kompetisi dalam perkawinan. Kekurangan kelompok populasi dengan sistem hidup monogami adalah 1) tidak fleksibel dalam penggunaan ruang; 2) perbandingan jenis kelamin tidak beragam sehingga menyebabkan berkurangnya keberhasilan reproduksi; 3) kecilnya ukuran kelompok mengurangi kemampuan berkompetisi dengan spesies lain; 4) peningkatan spesiasi merupakan bagian dari evolusi. Owa jawa yang kehilangan pasangannya, tidak akan mencari pengganti pasangan sampai akhir hayatnya. Kondisi demikian, dapat mempercepat penurunan populasi (Sudarmadji 2002). Gibbon dengan sistem hidup monogami lebih memfokuskan sumber pakannya pada pohon berbuah dengan diameter besar dan tinggi untuk menghindari persaingan dengan kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) seperti macaques dan orangutan. Lebih dari 60% waktu makannya digunakan untuk mengkonsumsi buah-buahan (Chivers 2000). Umur betina siap kawin berkisar antara 6-7 tahun (CII 2000). Pasangan owa jawa akan menghasilkan 5-6 anak selama masa reproduksinya yaitu antara tahun. Anak yang dihasilkan setiap kelahiran berjumlah satu individu, dengan lama menyusui sekitar tujuh bulan. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya adalah 40 bulan (Kuester 2000). Jantan dan betina muda menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok keluarga yang baru (Kirkwood & Stathatos 1992). Di alam, satwa yang termasuk famili Hylobatidae dapat bertahan hidup sampai usia tahun (Mommens 1998; Arazpa 2004), sedangkan di penangkaran, umumnya dapat hidup sampai umur 44 tahun. Hylobates moloch diduga dapat mencapai kisaran umur yang sama (Kuester 2000).

17 22 Daerah Jelajah Daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu. Rowe (1996) mendefinisikan daerah jelajah sebagai estimasi penggunaan lahan oleh suatu kelompok pada kurun waktu tertentu. Daerah jelajah bisa sangat berbeda dari tahun ke tahun tergantung perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, persaingan dengan kelompok lain dalam satu spesies yang sama, dan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia, seperti perburuan, penebangan pohon dan meluasnya kegiatan pertanian. Pernyataan Rowe tentang perubahan luas daerah jelajah, sama dengan yang dikemukakan Collinge (1993), bahwa luas daerah jelajah bisa berubah tergantung dari ketersediaan sumber pakan, air dan tempat berlindung. Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Ditambahkan pula, daerah jelajah harian bisa berubah setiap harinya tergantung pergerakan kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Jelajah harian (day range) adalah jarak tempuh rata-rata suatu kelompok dalam satu hari, sedangkan core area adalah areal di dalam daerah jelajah yang paling sering digunakan oleh satu kelompok (Rowe 1996). Owa jawa sangat tergantung kepada daerah jelajah yang telah dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan, owa jawa akan tetap bertahan pada wilayah yang telah dikuasai tersebut, sehingga perilaku ini menyebabkan kelangsungan hidup spesies tersebut mudah terancam jika hutan mengalami kerusakan (Geissmann 2002). Daerah jelajah gibbon bervariasi satu sama lain, H. lar di Thailand, 16 ha, H. moloch di Jawa, 17 ha, hoolock di Bangladesh, 45 ha, H. lar di Malaysia, 56 ha, sedangkan luas daerah jelajah siamang berkisar antara ha. (Chivers 2000). Luas daerah jelajah owa jawa sekitar 17 ha, luasan ini lebih sempit dari rata-rata luas daerah jelajah Genus Hylobates yaitu 34,2 ha (Nowak 1999). Genus Hylobates adalah satwa primata yang sangat mempertahankan teritori. Sekitar 75% spesies dalam genus ini mempertahankan teritori kelompoknya dari kelompok lain (Nowak 1997). Cara untuk menandai teritori pada kelompok ini adalah dengan mengeluarkan suara nyaring pada pagi hari (Leighton 1987) dalam kisaran waktu antara menit (Geissmann 2000).

18 23 Penangkaran Penangkaran merupakan suatu upaya mengembangbiakkan satwa liar yang dilakukan secara intensif di dalam kandang. Pengembangbiakkan satwa primata di dalam penangkaran mempunyai dua tujuan utama, yaitu menghasilkan satwa untuk kepentingan penelitian biomedis, serta melindungi spesies satwa yang terancam punah (De Mello 1991). Pada dasarnya, sisitem perkandangan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem perkandangan tertutup (indoor enclosures) dan sistem perkandangan terbuka (outdoor enclosures). Pada sistem perkandangan tertutup, satwa ditempatkan di dalam suatu bangunan sehingga satwa tidak terganggu oleh cuaca maupun lingkungan luar, sedangkan pada sistem perkandangan terbuka, satwa ditempatkan pada kandang terbuka yang memungkinkan adanya pengaruh dari perubahan cuaca di luar (Bismark 1984). Berdasarkan tipenya, kandang dibagi menjadi tiga bagian (Bennet 1995), yaitu: 1) kandang individual (jantan/betina) dan sering disebut kandang individual atau berpasangan; 2) individual jantan/banyak betina, biasa disebut kandang harem; 3) banyak jantan dan banyak betina, disebut juga kandang kelompok (troop). Berdasarkan lokasinya, kandang dibagi ke dalam tiga lokasi: 1) dalam ruangan, biasanya diperuntukkan bagi kandang individual atau berpasangan; 2) kandang di luar ruangan, biasanya disebut kandnag koral atau kandang lapang; 3) kandang dalam/luar, disebut runs, biasanya merupakan gabungan konsep kedua jenis kandang tersebut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada saat mendisain suatu kandang antara lain adalah: 1) memberikan kenyamanan fisik pada satwa yang sedang dikandangkan; 2) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan normal satwa; 3) pemeliharaan yang sesuai dan mampu menjaga kesehatan satwa; 4) kandang harus memenuhi syarat penelitian dan perawatan satwa (Bennet et al 1995). Pertimbangan tersebut salah satunya bertujuan mengurangi tingkat stres yang biasa terjadi pada satwa di dalam penangkaran. Ukuran kandang satwa primata berdasarkan bobot badan disajikan pada Tabel 4.

19 24 Tabel 4. Rekomendasi Ukurang Kandang Satwa Primata Berdasarkan Berat Badan Satwa Primata Berat (kg) Luas/individu Tinggi Monyet ft 2 m 2 in cm Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok 7 > Kera Kelompok Kelompok Kelompok 3 > Sumber: Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences, National Research Council (1996) Model Estimasi Populasi Model adalah suatu contoh, acuan atau pola (Badudu dan Zain 1996), Dalam studi ekologi, model merupakan formulasi yang memberikan gambaran tentang keadaan sebenarnya (real world situation). Populasi berubah-ubah sepanjang waktu, maka dengan adanya model dimungkinkan untuk mengadakan ramalan-ramalan mengenai keadaan populasi yang bersangkutan untuk waktuwaktu tertentu. Suatu model dapat diaplikasikan pada sesuatu yang bersifat sederajat atau bisa pula digunakan pada sesuatu yang bersifat beda dengan kemungkinan dilakukannya koreksi terhadap model yang sudah ada (Tarumingkeng 1994). Dalam menentukan suatu model populasi dapat dilakukan pendekatan satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi pada habitat tertentu. Dengan model, penjelasan mengenai sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif (Tarumingkeng 1994). Estimasi populasi adalah suatu upaya dalam menjelaskan dan meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam menentukan estimasi populasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi. Hasil yang diperoleh dari estimasi populasi merupakan

20 25 gambaran tentang keadaan suatu populasi pada waktu dan tempat tertentu berdasarkan faktor yang mempengaruhinya (Tarumingkeng 1994). Simulasi Populasi Simulasi adalah pekerjaan tiruan atau meniru (Echols dan Shadily 1976). Simulasi populasi adalah suatu upaya untuk mengetahui status suatu populasi pada masa yang akan datang berdasarkan pendekatan keadaan populasi saat ini, data biologi, potensi ancaman terhadap populasi tersebut dan berbagai aspek yang mempengaruhi suatu populasi. Simulasi populasi owa jawa bertujuan untuk mengetahui prediksi populasi spesies tersebut pada kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan faktorfaktor ancaman terhapat populasi owa jawa pada saat itu. Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan masyarakat (Badudu dan Zain 1996). Kondisi sosial ekonomi bisa diartikan sebagai keadaan ekonomi suatu masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan mata pencaharian masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis mata pencaharian dan kemampuan setiap individu dalam menjalani mata pencaharian tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan keadaan sosial ekonomi lingkungannya. Sosial ekonomi masyarakat hutan yang berada di lingkungan hutan, memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup secara langsung atu melalui pemanfaatan lahan hutan sebagai kawasan agroforestry. Pemanfaatan hutan yang tidak terkendali dapat mempengaruhi populasi satwa terutama melalui perburuan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK JAWA BARAT ENTANG ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Owa Jawa

II. TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Owa Jawa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio Ekologi Owa Jawa 2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa Terdapat sebelas jenis primata dari family Hylobatidae yang tersebar di Asia Tenggara, enam spesies diantaranya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI

OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI BAB II OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI 2.1 Pengetian Satwa Primata Menurut Jatna Supriatna dan Edy Hendras Wahyono (2000) Primata adalah anggota dari ordo biologi primata. Ordo atau bangsa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 40 spesies primata dari 195 spesies jumlah primata yang ada di dunia. Owa Jawa merupakan salah satu dari 21 jenis primata endemik yang dimiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber:

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber: 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) 2.1.1 Taksonomi Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2008), klasifikasi owa jawa atau Silvery

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 16, No. 3 Desember 2011 : 133 140 ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Population Analysis of Javan Gibbon (Hylobates

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi (Daily behavior of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi 2.1.1 Taksonomi Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus : Animalia :

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Siamang merupakan satwa liar yang termasuk dalam ordo Primata dari famili Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor

Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.9-13. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Beruang Madu (Helarctos malayanus) Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di beberapa negara bagian Asia Tenggara dan Asia Selatan, yaitu Thailand,

Lebih terperinci

PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI

PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI SKRIPSI YESI MAHARDIKA PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.14-18. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.

Lebih terperinci

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera Orangutan Tapanuli Pongo tapanuliensis Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Baru-baru ini Orangutan Tapanuli dinyatakan sebagai spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

Deskripsi Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Margasatwa Ragunan

Deskripsi Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Margasatwa Ragunan Jurnal Sainsmat, September 2013, Halaman 93-106 Vol. II, No. 2 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Deskripsi Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Margasatwa Ragunan

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian studi perilaku dan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011 JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN Volume 6/Nomor 3, Desember Media Konservasi Vol. 6, No. 3 Desember : 33-4 (Population Analysis ofjavan Gibbon (Hvlobates moloch Audebert

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

6 Hewan dan tumbuhan langka di dunia dan keterangannya diantaranya sbb:

6 Hewan dan tumbuhan langka di dunia dan keterangannya diantaranya sbb: 6 Hewan dan tumbuhan langka di dunia dan keterangannya diantaranya sbb: 1. Hainan Gibbon Hainan Gibbon Hainan owa hitam jambul atau Gibbon Hainan (Nomascus hainanus), adalah spesies siamang yang hanya

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR LAMPIRAN... ix

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR LAMPIRAN... ix DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3.Tujuan

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kokah Menurut jumlah dan jenis makanannya, primata digolongkan pada dua tipe, yaitu frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan daun. Seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Genus Subgenus Spesies Penyebaran Hylobates. Agilis. Lar. Moloch Muelleri Pileatus Klosii Concolor. Leucogenys Gabriellae.

TINJAUAN PUSTAKA. Genus Subgenus Spesies Penyebaran Hylobates. Agilis. Lar. Moloch Muelleri Pileatus Klosii Concolor. Leucogenys Gabriellae. TINJAUAN PUSTAKA Owa jawa Taksonomi Owa jawa (Hylobates moloch), dikenal pula dengan nama Javan gibbon atau Silvery gibbon, menurut Napier dan Napier (1985), diklasifikasikan sebagai berikut: Ordo Subordo

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I.

Lebih terperinci

KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH YULIUS DUMA

KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH YULIUS DUMA KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET (Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH YULIUS DUMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.24-29. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.19-24. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang

Lebih terperinci

Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat

Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No. 2 Desember 2010, p. 55-59. ISSN 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA

STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO : Penyiapan Pelepasliaran DEDE AULIA RAHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menyumbangkan ekosistem alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan konservasi yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Habitat merupakan kondisi yang ada pada suatu area yang menyebabkan suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997). Pengelolaan habitat

Lebih terperinci