BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan disruptive passenger atau unruly passenger merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

KONVENSI & PERANGKAT HUKUM DALAM MELAWAN TERORISME UDARA. Oleh : Indro Dwi Haryono

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA)

BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. Pengertian pembajakan udara dapat dilihat dari berbagai konvensi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

MENGAGAS UU TERORISME: PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

ARTIKEL. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum. Disusun Oleh: YOHANAS FRENGKI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum berlaku dalam pesawat udara Indonesia ;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

TINJAUAN MATA KULIAH...

SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA DI DALAM PESAWAT UDARA SELAMA PENERBANGAN 1 Oleh: Jessica A. Amin 2

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

2015, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8)

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

BAB II YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA

2017, No Safety Regulations Part 65) Sertifikasi Ahli Perawatan Pesawat Udara (Licensing of Aircraft Maintenance Engineer) Edisi 1 Amandemen

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP PERUBAHAN-PERUBAHAN KUHP BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA AERIAL HIJACKING

2016, No udara niaga tidak berjadwal luar negeri dengan pesawat udara sipil asing ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BAB III PENGATURAN TERKAIT UNRULY PASSENGER DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA. Jumlah unruly passenger dalam penerbangan bertambah setiap tahun.

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

Yurisdiksi Negara dan Penguasaan Pesawat Udara secara Melawan Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR PK 7 TAHUN 2015 TENTANG INSPEKTUR PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA BADAN SAR NASIONAL

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. melanda hampir seluruh maskapai penerbangan, juga yang paling menyorot

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

TERORISME DALAM PERSPEKTIF POLITIK DAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. kepada bukan hanya kepentingan domestic tetapi juga kepentingan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

Transkripsi:

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional dalam tindak pidana penerbangan pada skripsi ini akan difokuskan pada ketiga konvensi ini saja, yakni Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal tahun 1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini saja yang dapat diberlakukan secara internasional untukmengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, ketiga konvensi ini pula yang dijadikan sumber utama dalam pembuatan Undangundang Nomor 4 Tahun 1976 yang menambahkan beberapa pasal tentang kejahatan penerbangan dan sarana/prasarananya di dalam KUHP. Beberapa sumber bahkan menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketiga konvensi ini sesungguhnya merupakan tindak pidana terorisme 21. Namun, akhir penentuan kategori kejahatan yang diatur lewat ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang kepada undang-undang yang dibuat oleh masing-masing negara peratifikasi. 22 Usaha-usaha untuk mendefinisikan terorisme sudah nampak di dunia internasional setidaknya sejak tahun 1937. Pada tahun 1937, Liga Bangsa-bangsa sebenarnya sudah merumuskan defenisi terorisme kedalam suatu konvensi sebagai All criminal acts directed agains a State and intended or calculated to create a 21 Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27. Lihat pula Paul Stephen Dempsey, Loc.Cit., hal.666. 22 Abdul Wahid.et.al, Op. Cit., hal 27. 16

state of terror in the minds of particular persons or a group or the general public. Namun draft konvensi ini tidak pernah disetujui, sehingga definisi ini tidak pernah dipakai 23 Berbagai lembaga internasional maupun regional sudah mengeluarkan produk-produk hukumya untuk menjelaskan defenisi terorisme tersebut. Konvensi-konvensi internasional yang mengkategorikan rumusan kejahatan yang diaturnya sebagai tindak pidana terorisme, sesungguhnya banyak yang telah dibuat, misalnya kejahatan pembajakan pesawat udara dan pembiayaan kegiatan teroris. 24 Namun, permasalahan sesungguhnya dari konvensi-konvensi ini adalah penerapannya. Kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam konvensi-konvensi tersebut sebenarnya baru dapat disebut sebagai tindak pidana terorisme atau bukan tergantung pada persetujuan Negara-negara peratifikasi di dalam undangundangnya masing-masing. 25 Ini dikarenakan belum adanya definisi menyeluruh mengenai terorisme itu sendiri yang tentunya dapat diterima oleh semua Negara, dan bahkan hingga kini Perserikatan Bangsa-Bangsa masih mencoba mencari rumusan defenisi yang tepat. 26 Konvensi-konvensi tersebut adalah : 27 1. Konvensi Tokyo Konvensi Tokyo yang dibuat tanggal 14 September 1963 di Tokyo ini diprakarsai oleh Internasioanal Civil Aviation Organization ( ICAO). 28 Konvensi 23.Aaron J.Noteboom, Loc. Cit., hal. 563. 24 Ibid., hal. 573. 25 Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal.27 26 Aaron J. Noteboom, Loc. Cit., hal. 573. 27 Abdul Wahid et al. Op.Cit., hal.27-28.

ini lahir dari keinginan dunia untuk mengkriminalisasikan tindak pidana dalam penerbangan yang makin marak, yang pada waktu itu secara internasional belum dianggap sebagai kejahatan. 29 Tujuan dari konvensi ini adalah mengkriminalisasikan tindakan-tindakan yang terjadi di dalam pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan penumpang dan barang di dalam pesawat udara tersebut, dan ini merupakan konvensi pertama yang mengikutsertakan secara formal kewenangan internasional terhadap tindak kriminal para pembajak. 30 Di dalam konvensi ini yang utama diatur adalah mengenai masalah yurisdiksi Negara atas sebuah pesawat udara yang dibajak, suatu hal yang sebelumnya sering dijadikan bahan perdebatan antar Negara mengenai kewenangan suatu Negara atas suatu pesawat udara yang dibajak di atas laut bebas, wilayah internasional, atau di dalam wilayah negara asing. Konvensi Tokyo menganut prinsip law of the flag, artinya yang memiliki yurisdiksii terhadap pelanggar di dalam pesawat udara adalah Negara di mana pesawat tersebut didaftarkan atau Negara bendera pesawat tersebut (pasal 3). Namun prinsip ini dapat dikecualikan oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 konvensi tersebut, yakni apabila suatu Negara yang mendapatkan suatu pesawat udara berbendera asing dibajak di dalam wilayah mereka dan dapat berpengaruh terhadap keamanan Negara tersebut, maka Negara ini dapat mengambil langkahlangkah untuk mengamankan pesawat udara tersebut. 31 Kemudian mengatur pula kewenangan seorang komandan pesawat udara (kapten pilot) untuk dapat 28 Konvensi ini berjudul Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Lihat K. Martono,.Op.Cit., hal.157. 29 Michael S. Simons, Loc. Cit., hal. 742.. 30 Ibid, hal. 741 31 K. Martono, Op. Cit, hal 306.

memastikan kondisi keamanan pesawat udara, dengan memberikan kewenangankewenangan yang belum pernah ada sebelumnya. Kewenangan ini antara lain adalah menahan tersangka dan menurunkan tersangka di Negara anggota (peserta konvensi Tokyo), hal ini merupakan kewenangan kepolisian yang dapat dipergunakan kapten pilot manakala ada indikasi kuat keselamatan penerbangan terancam dan tidak ada aparat kepolisian yang dapat melakukan kewenangannya 32 Mengenai tindak kejahatan yang diatur di dalam konvensi ini, selain mengatur tindakan-tindakan melawan hukum yang membahayakan keselamatan penumpang, pesawat udara, barang serta tata tertib penerbangan, 33 juga mengatur tindakan pengambilalihan pesawat udara secara melawan hukum atau yang biasa disebut sebagai pembajakan pesawat udara. 34 Dari Pasal 11 Konvensi Tokyo yang mengatur tentang pembajakan, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 35 1. Pesawat udara tersebut harus dalam penerbangan; 2. Pelaku pembajakan harus ada dalam pesawat udara; 3. Perbuatan tersebut harus melanggar hukum; 4. adanya paksaan atau ancaman paksaan. Hal yang harus diperhatikan dalam Konvensi Tokyo ini adalah konvensi ini dirancang utuk mewajibkan Negara peratifikasi agar dapat menolong komandan pesawat udara ( kapten pilot) mengamankan pesawat udaranya dari gangguan pembajakan dan kejahatan lainnya yang diatur dalam konvensi ini. Namun tidak mewajibkan negara tersebut untuk menghukum apalagi 32 Ibid., hal.159. 33 Pasal 1 ayat 1 huruf b Konvensi Tokyo. Lihat Ibid, hal.305. 34 Pasal 11 Konvensi Tokyo. Lihat Ibid, hal. 309. 35 Ibid, hal.164.

mengekstradisi pelaku pembajakan ke Negara bendera pesawat udara tersebut. 36 Hal inilah yang menjadi kelemahan konvensi ini. 37 2. Konvensi Den Haag Konvensi The Hague atau Konvensi The Haag diberlakukan di Den Haag, Belanda tanggal 16 Desember1970. 38 K. Martono mengatakan bahwa konvensi Den Haag memiliki lingkup keberlakuan lebih luas, dan juga memiliki ketentuan tentang ekstradisi yang lebih tegas dibandingkan Konvesi Tokyo. 39 Selain itu, ketentuan di dalamnya juga memperbarui defenisi tindakan pembajakan dalam pesawat udara dan mengamanatkan pula hukuman yang berat bagi pelakunya kepada Negara-negara peratifikasi. 40 Sayangnya hukuman yang berat ini tidak didefinisikan dalam konvensi ini, hal mana yang disesalkan oleh beberapa kalangan, dan menciptakan suatu ketidakseragaman dalam penghukuman bagi pelaku di masing-masing Negara peratifikasi 41 Pasal 1 Konvensi Den Haag ini berbunyi sebagai berikut : Any person who on board an aircraft in flight : (a) unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act, or (b) is an accomplice of a person who performs or attemps to perform any such act commits an offence ( hereinafter reffered to as the offence 36 Michael S. Simsons, Loc. Cit., hal. 742. 37 K.Martono, Op. Cit., Hal. 166. 38 Abdul Wahid et al., Op. Cit., hal. 27. Konvensi in berjudul The Suppression on Lawfil Seizure of Aircraft dan hanya ditujukan bagi penindakan atas pembajakan di dalam pesawat udara, dan dibuat atas inisiatif ICAO pula. 39 K. Martono, Op. Cit., hal. 190. 40 Michael S. Simons, Loc. Cit., hal. 743. 41 Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.667.

Perbedaan yang mencolok dari definisi ini dibandingkan dengan definisi yang dimiliki oleh Konvensi Tokyo adalah adanya penambahan ketentuan bahwa seseorang yang membantu terjadinya pembajakan pesawat udara, dianggap melakukan tindak pidana yang sama dengan orang yang dibantunya. Sama halnya seperti Konvensi Tokyo, konvensi inipun menyimpan kelemahan. Satu diantaranya adalah Konvensi Den Haag ini tidak mengkriminalisasikan kejahatan penyabotasean suatu pesawat udara. 42 Kebutuhan pemidanaan atas kejahatan sabotase ini makin mendesak manakala pembajakan atas pesawat udara berkurang tetapi angka sabotase terhadap fasilitas Bandar udara dan peledakan pesawat udara dengan bom yang didesain meledak pada saat pesawat udara terbang makin meningkat. Namun ha ini akan diperbaiki lewat Konvensi Montreal. 43 3. Konvensi Montreal Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Konvensi Montreal yang dilahirkan tanggal 23 September 1971 sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan internasional akan pemidanaan terhadap sabotase pesawat udara dan fasilitas penunjangnya di bandara. Walaupun demikian, Konvensi Montreal dalam beberapa segi merupakan perulangan dari Konvensi Den Haag. Di dalam Pasal 1 Konvensi Montreal, seperti yang dikutip dari Dempsey, rumusan kejahatan yang berbeda dengan konvensi sebelumnya adalah : (1) acts of violence likely to endanger the safety of an aircraft; (2) destruction of or serious damage to an aircraft or air navigation 42 Paul Stephen Dempsey, Loc. Cit., hal.669. 43 Ibid, hal. 670.

facilities; and (3) communication of false information that endangers the safety of an aircraft. Juga mengenai percobaan tindak pidana, percobaan atas kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal, dianggap melakukan kejahatan : Any person also commits an offence if he: (a) attempts to commit any of the offences mentioned in paragraph 1 of this Article