KONVENSI & PERANGKAT HUKUM DALAM MELAWAN TERORISME UDARA. Oleh : Indro Dwi Haryono

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONVENSI & PERANGKAT HUKUM DALAM MELAWAN TERORISME UDARA. Oleh : Indro Dwi Haryono"

Transkripsi

1 KONVENSI & PERANGKAT HUKUM DALAM MELAWAN TERORISME UDARA Oleh : Indro Dwi Haryono Konvensi & Perangkat Hukum Dalam Melawan Terorisme Udara (Bagian I) Kejadian 11 September 2001 kembali mengingatkan orang betapa rapuh moda transportasi ini disalahgunakan demi kepentingan kriminal atau politik tertentu. Badan Penerbangan Internasional dan Nasional serta tidak ketinggalan badan dunia seperti PBB juga urun rembuk membuat konvensi dan perangkat hukum melawan terorime udara yang meresahkan ini. Terorisme pada pesawat udara atau dapat disebut sebagai terorisme udara merupakan salah satu bentuk tindak pidana atau bentuk kejahatan yang cukup serius terlebih lagi bila sampai memakan korban. Terorisme udara merupakan masalah pada aspek keamanan penerbangan. Pengertian terorisme sendiri banyak ragamnya tetapi dari pengertian kata dasarnya teror yaitu menimbulkan ketakutan kepada orang lain, atau dapat diambil kesimpulan pengertian terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam mencapai suatu tujuan entah politik, uang, dan sebagainya. Dalam konteks ini maka pengertian terorisme udara merupakan segala usaha untuk melakukan tindakan teror pada wahana udara terutama sipil. Tindakan ini dapat berupa tindakan kekerasan di dalam pesawat udara, pembajakan pesawat udara, sabotase terhadap pesawat udara, ataupun memasukan barang-barang berbahaya kedalam pesawat secara ilegal dengan tujuan membahayakan penerbangan, bahkan melakukan tindakan-tindakan terorisme yang mungkin hanya dapat terjadi pada film-film Hollywood seperti Die Hard 2 ataupun Critical Decission. Melihat definisi dan contoh diatas maka segala bentuk terorisme udara juga merupakan salah satu bentuk tindak pidana pada pesawat udara. Mengapa terorisme terhadap pesawat udara lebih sering terjadi pada pesawat komersial atau pesawat sipil? Ini dapat terjadi dikarenakan pesawat komersial mampu membawa banyak penumpang, terlebih lagi beberapa keunggulan moda wahana ini yaitu jangkauannya yang sangat 1

2 jauh, kecepatannya yang tinggi, dan segala jenis pelayanan barang, manusia bahkan hewan dari satu negara ke negara lain dapat sampai dalam waktu yang singkat. Penerbangan sipil juga menjadi target empuk terorisme karena bentuknya yang non-combat atau sebagai pihak lemah. Dari beberapa keunggulan tersebut maka sangat sering dilakukan tindakan terorisme udara terlebih lagi dampak psikologis dan politisnya besar sekali karena penumpang bisa terdiri dari berbagai bangsa dan negara. Berbagai cara dilakukan untuk menekan sedemikian rupa untuk tindak kriminal ini. Baik oleh negara maupun dunia sangat mengutuknya, oleh karena itu dibentuklah hukum-hukum unuk memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku terorisme udara, peningkatan kerjasama dengan negara lain unuk mencegah terorisme udara, dan bahkan pada negara-negara maju sudah diambil tindakan pencegahan seperti penetrasi dan penghancuran organisasi yang dicurigai sebagai pelaku dan otak terorisme udara. Banyak kejadian terutama sejak setelah Perang Dunia II, penerbangan sipil mengalami bentuk terorisme udara. Tercatat terorisme udara pertama tahun 1948 sebuah pesawat Cathay Pasific dibajak saat terbang yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas, setelah itu ada berbagai macam terorisme udara lainnya seperti pemasangan bom pada tragedi Kashmir Princess, meningkatnya pembajakan demi motif politik mencari suaka saat konflik Cina dan Taiwan, konflik dua Korea, konflik Amerika Serikat dan Kuba, serta konflik Perang Dingin. Naiknya tingkat pembajakan dan terorisme udara sangat terasa di Timur Tengah saat konflik Arab-Israel pada kurun waktu Tercatat peledakan tiga buah pesawat dari maskapai BOAC, SwissAir, dan TWA di Jordania oleh gerilyawan Palestina, pembajakan pesawat El Al Israel, pembajakan pesawat Lufthansa, dan usaha penembakan pesawat B747 El Al dengan rudal panggul oleh gembong terorisme Carlos The Jackal. Beberapa tindakan sabotase juga dilakukan. Tercatat ada dua buah kasus peledakan terhadap pesawat udara sipil yang membawa implikasi politis yaitu peledakan pesawat Korean Airlines Korea Selatan tahun 1987 oleh badan intelijen Korea Utara dan peledakan pesawat PANAM tahun 1988 di Lockerbie diduga dilakukan oleh badan intelejen Libya. Indonesia-pun juga tidak luput dari usaha terorisme udara ini seperti pembajakan pesawat Merpati dan pembajakan DC-9 Woyla. Terlihat pada kejadian-kejadian diatas bahwa tidak ada satupun negara yang mengoperasikan pesawat udara yang benar-benar imun terhadap terorisme udara bahkan pada suatu negara yang keamanannya luar biasa ketat seperti Israel sekalipun. 2

3 Oleh karena itu pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang cukup meresahkan ini maka dibuatlah konvesi yang mengaturnya. Konvensi ini ada tiga yaitu Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal Konvensi ini diadakan untuk mengatur tindak pidana pada pesawat udara dimana pada tiap konvensi melakukan berbagai macam perbaikan. Badan dunia seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB juga membuat beberapa resolusi serta International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Assosiation (IATA) mengeluarkan bentuk perjanjian serupa. Indonesia juga tidak ketinggalan membuat UU no dan no yang akan dijelaskan nanti. Instrumen Hukum Instrumen hukum Internasional yang mengatur masalah tindak pidana dan bentuk-bentuk terorisme penerbangan diantaranya tiga Konvensi Internsional yaitu Konvensi Tokyo, Den Haag, dan Montreal. Beberapa resolusi juga telah dibuat oleh PBB dan ICAO. Sementara di Indonesia telah mengambil ketentuan-ketentuan dalam ketiga konvensi tersebut sebagai dasar pembuatan Undang-Undang (UU) no.2 dan no sehingga pelaku tindak pidana penerbangan atau terorisme udara tidak kebal hukum di negara ini. Seperti yang diketahui, mengenai masalah tindak pidana penerbangan telah dibuat tiga konvensi yaitu: a. Konvensi Tokyo pada tahun 1963 (Convention on Offence and certain Acts Committed on Board Aircraft) b. Konvensi den Haag pada tahun 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft) c. Konvensi Montreal pada tahun 1971 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation) Konvensi Tokyo Asal mulanya Konvesi Tokyo dipersiapkan untuk menampung status hukum suatu pesawat udara (legal status of aircraft), yurisdikasi peradilan (judical jurisdiction), hukum yang dapat diterapkan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam pesawat udara dalam penerbangan (the applicable substantive law to govern allege offences committed on board aircraft in flight), dan wewenang komandan atau pilot menurut hukum yang berlaku yaitu wewenang hukum terhadap pesawat udara, awak pesawat,dan penumpang selama penerbangan. Konvensi Tokyo mengatur 3

4 tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan diatas laut lepas atau terra nullius. Yang dimaksudkan sebagai tindak pidana itu adalah segala bentuk tindak pidana yang termasuk atau diatur didalam UU Pidana masing-masing negara peserta Konvensi Tokyo dan perbuatan-perbuatan tertentu adalah perbuatan baik pidana atau bukan yang melanggar ketentuan disiplin dan ketertiban didalam pesawat udara. Kedua tindak pidana dan perbuatan-perbuatan ini berlangsung saat penerbangan diatas laut lepas. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi. Unsur-unsur di dalam Pasal 1 Konvensi yaitu: 1. Tindak pidana itu dilakukan didalam pesawat udara. 2. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta Konvensi. 3. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut lepas. 4. Pesawat udara berada di permukaan laut lepas. Sedangkan pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindakan pidana diatur dalam Pasal 3 Konvensi yaitu negara tempat pesawat udara didaftarkan dan juga ada kemungkinan bagi negara lain yang bukan tempat pesawat udara didaftarkan untuk melaksanakan yurisdikasinya bila negara tempat pesawat udara didaftarkan tidak mau melaksanakannya. Sedangkan pada Pasal 4 Konvensi juga diatur kemungkinan kepada negara-negara untuk melaksanakan yuridikasi bersama artinya negaranegara tersebut punya wewenang yang sama dengan negara tempat pesawat udara terdaftar untuk menyelesaikan tindakan pidana yang tercantum pada Pasal 1 Konvensi. Konvensi Tokyo ini masih memiliki banyak kelemahan seperti : 1. Tindak pidana sabotase yang sebagian besar memasukan bahan peledak secara diamdiam pada pesawat udara saat didarat dan juga terlalu mengkhususkan diri pada tindak pidananya yang kurang jelas terlebih lagi pada masalah pembajakan dan terorisme udara. 2. Hanya negara peserta Konvensi saja yang dapat dikenai ketentuan-ketentuan Konvensi. 3. Terlalu membatasi kondisi diatas laut lepas karena tidak seluruh negara memiliki kekuatan yurisdiksi saat pesawat udara berada dilaut lepas ataupun diatas wilayah diluar kekuasaan negara. Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa pihak saat itu masih mengganggap tindak pidana diatas laut lepas itu tidak terjangkau oleh hukum pidana manapun. 4

5 Oleh karena masih banyak kekosongan yurisdiksi pada Konvensi Tokyo ini maka negara-negara peserta konvensi ini mengadakan konvensi berikutnya yaitu Konvensi den Haag pada tahun Konvensi Den Haag Konvensi ini diadakan karena timbulnya kelemahan pada Konvensi Tokyo terlebih lagi perkembangan tindak pidana seperti melebarnya dimensi perbuatan pembajakan terhadap pesawat udara yang dulunya sangat terbatas menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu dan membahayakan penerbangan sipil pada lingkungan Internasional yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Internasional dengan ideologi dan politik yang berbeda-beda. Konvensi ini juga terkenal dengan nama konvensi mengenai hijacking pesawat udara (unlawful seizure of aircraft) atau dalam bahasa Indonesia pembajakan pesawat udara. Pada Pasal 1 Konvensi Den Haag memberikan batasan mengenai pembajakan pesawat udara, yaitu apabila orang tersebut telah melakukan tindakan pidana dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan sebagai berikut: Ayat a : unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act,or Ayat b : is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act. Terlihat jelas bahwa Konvensi Den Haag hanya mengkhususkan tindak pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dengan jalan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sedangkan pada bidang yurisdiksinya pada Konvensi Den Haag menghendaki negara-negara anggota memiliki yurisdiksi bilamana : a. Kejahatan dilakukan didalam pesawat udara yang didaftarkan di negara yang bersangkutan. b. Pesawat udara terhadap dari mana dilakukan pembajakan, mendarat diwilayahnya dengan pembajak berada didalam pesawat tersebut. c. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang disewakan (tanpa awak) kepada seseorang yang mempunyai domisili di negara tersebut. Yuridiksi pada konvensi ini menetapkan yurisdiksi pertama ditentukan oleh negara dimana pesawat udara mendarat dan adanya pembajak didalam pesawat udara. 5

6 Konvensi Montreal Konvensi Montreal pada tahun 1971 sengaja ditujukan untuk menakuti mereka yang ingin melakukan tindakan kekerasan didalam pesawat pada umumnya dan juga tindakan sabotase dimana pada Konvensi Den Haag tidak mengatur secara jelas karena lebih memfokuskan pada pembajakan pada pesawat udara. Konvensi ini juga dimaksudkan sebagai suplemen pada pengaturan terhadap pembajakan pada Konvensi Den Haag tersebut. Latar belakang terbentuknya konvensi antara lain disebabkan dua peristiwa sabotase terhadap pesawat sipil SwissAir dan peledakan ruang kargo pesawat Austrian Airlines. Disamping itu kemajuan dan keberhasilan cara-cara pemberantasan pembajakan udara juga memberikan implikasi diadakannya konvensi ini. Pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal mengatur tidak pidana sebagai berikut : a. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. b. Dengan sengaja dan secara melawan hukum merusakkan pesawat udara dalam dinas (in service) atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatannya dalam penerbangannya. c. Menempatkan atau memungkinkan penempatan suatu bahan peledak atau suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara bagaimanapun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan peswat udara tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan. d. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya, sehingga dapat membahayakn keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. e. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan pesawat udara dalam penerbangan. Konvensi ini mengikuti pola yang ada dalam konvensi terdahulu bahkan dalam aspek yurisdiksi hukum telah dimasukkan sangsi-sangsi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya dan 6

7 kemungkinan untuk ekstradisi pelakunya (penyerahan) ke negara dimana tindakan tersebut mulamula dilakukan. Pada konvensi ini juga berisi tindakan pembajakan dan terorisme udara sehingga konvensi ini dapat dikatakan sempurna karena memuat kedua tindakan tersebut. Resolusi MU dan DK PBB Dalam rangka mengatasi bentuk terorisme udara ini, PBB selaku badan dunia ikut bertanggung jawab atas masalah ini, terlebih lagi terorisme udara telah dianggap menjadi kejahatan Internasional. Beberapa diantaranya Resolusi Majelis Umum (MU) dan Dewan Keamanan (DK) PBB : a. General Assembly Resolution on Forcible Diversion of Civil Aircraft in Flight (Resolution 2551 XXIV), 12 Desember 1969 yang isinya antara lain mengajak negara-negara bekerjasama dalam mengatasi pembajakan dan meratifikasi Konvensi Tokyo b. Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 9 September 1970 yang isinya mengenai pembajakan pesawat udara dan bentuk kejahatan lainnya serta pencegahan terhadap pembajakan. c. Resolusi Majelis Umum PBB 2645 (XXV), 30 November 1970, berisi : condemns, without exeption whatsoever, all acts of aerial hijacking, call upon States to take all appropriate measures to deter, prevent or suppress such acts within their jurisdiction. d. Pernyataan berbentuk konsensus dan diterima secara aklamasi oleh sidang Dewan Keamanan PBB 20 Juni 1972 menyatakan : grave concern of the Security Council at the threat to the lives of passengers and crews arising from aerial hijacking, condemn(ed) and consider(ed) it necessary to put an end to acts of hijacking; and once again(ed) upon States to take all appropriate measures within their jurisdiction to deter and prevent hijackings. Instrumen Hukum Internasional Lainnya Selain beberapa Konvensi dan Resolusi ternyata juga terdapat beberapa instrumen hukum yang cukup diakui keberadaanya terutama yang berasal dari ICAO, badan penerbangan kelas dunia yang sangat memperhatikan keamanan dan keselamatan terbang. 7

8 Beberapa instrumen hukum yang dikenal saat ini adalah : a. Mukadimah Konvensi Chicago 1944 yang mejamin adanya kebebasan ruang udara (freedom of the air) dan kutipan yang menyatakan : that International civil aviation should be develop in a safe and orderly manner. Memang tampaknya cukup luas pengertian safe ini, tetapi hal ini juga dimaksudkan sebagai keamanan terhadap gangguan teror dan kejahatan. b. Perjanjian multilateral yaitu Convention for the Prevention and Punishment of Terorism di Genewa, Swiss pada tanggal 16 November Dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak peserta konvensi telah memandang secara jauh pada tahun 1937 mengenai masalah ini. c. Di bawah naungan ICAO terbentuk pada tahun 1973 yaitu Convention on the Pervention and Punishment of Crimes Againts Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, lalu pada tahun 1977 diadakan The European Convention on The Suppression of Terrorism. d. Beberapa deklarasi juga dibuat terutama untuk kerjasama internasional seperti The Bonn Declaration Hukum Nasional Indonesia Indonesia meratifikasi ketiga konvensi tersebut menjadi Undang-Undang (UU) No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung terikat oleh ketentuan-ketentuan pada ketiga konvensi tersebut. Dengan kata lain Indonesia berhak melaksanakan hal yurisdikasi bila hukum nasional belum mengaturnya. Sedangkan untuk hukum pidana, sebelum tahun 1976 tidak berlaku tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Lalu Indonesia memperluas berlakunya hukum pidana Indonesia sehingga berlaku terhadap pesawat udara yang berada diluar wilayah Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976 yakni Undangundang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP. 8

9 Sangat jelas terlihat pada Pasal 479 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) mengambil ketentuan pada Konvensi Montreal bahkan dapat diambil bandingannya. Pasal 479 yang dimaksud adalah : a. Pasal 479a s/d 479d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas penerbangan, sedangkan pada Konvensi tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (d). Perhatikan pada pembahasan Konvensi Montreal sebelumnya! b. Pasal 479e s/d 479h mengatur tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, baik sengaja atau kealpaan, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran, dan sebagainya terhadap pesawat udara dengan maksud mencari keuntungan untuk dirinya sendiri atas kerugian penanggungan asuransi. Dapat dibandingkan dengan jelas Pasal 1 ayat 1 (b) Konvensi Montreal. c. Pasal 479l mengenai tindak pidana sengaja melakukan kekerasan terhadap seseorang dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan. Tercantum pula pada Pasal 1 ayat 1 (a) Konvensi Montreal. d. Pasal 479n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (c) Konvensi. e. Pasal 479p yang berisi memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan yang juga sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 (e) Konvensi. Setelah melihat pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa sangat mengikuti (khususnya) Konvensi Montreal. Ini sebetulnya sangat riskan bila pada ketentuan-ketentuan Montreal terhadap kesalahan ataupun terhadap celah hukum yang memungkinkan terjadinya hal itu. Untung saja untuk sementara ini Konvensi Montreal cukup baik ketentuannya dan nyaris tidak terdapat kesalahan yang dapat dikhawatirkan dapat terjadi (ataukah pada suatu saat terjadi?). 9

10 Konvensi & Perangkat Hukum Dalam Melawan Terorisme Udara (Bagian II) Pembajakan dan terorisme udara pada dasarnya baru dikenal pada awal abad XX dan asal mulanya tidak dikenal. Masalah ini menjadi masalah yang meresahkan setelah manusia mampu menggunakan ruang udara bagi hubungan satu dengan lainnya. Hukuman Terhadap Pelaku Diakui beberapa negara tidak memiliki hukum yang cukup untuk tindak pidana ini sehingga hanya bisa menggunakan hukum pidana negaranya sendiri yang isinya terbatas seperti tindakan perampasan, ancaman kekerasan, dan sebagainya. Hal ini memang menjadi kejadian yang sulit bila dilakukan diatas laut bebas dimana negara yag bersangkutan tidak memiliki dasar hukum angkasa yang kuat. Pada Konvensi Den Haag dan Montreal memberikan batasan apa yang disebut pembajak dan tindak pidana udara. Konvensi tersebut hanya mengatur untuk pesawat komersial dan untuk penerbangan domestic. Oleh karena itu pada tiap-tiap negara harus dibuat hukum nasionalnya masing-masing agar masalah diluar pesawat komersial dan jalur domestik terpecahkan. Yurisdikasi dan Ekstradisi Penentuan masalah yurisdiksi saat ini merupakan hal yang sulit. Apalagi bagi beberapa negara yang tidak memiliki instrumen hukum yang mengaturnya serta tidak menjadi anggota Konvensi dan anggota badan penerbangan dunia. Umumnya peristiwa terjadi diluar wilayah negara dimana pesawat itu akan mendarat dan juga kepintaran para pelaku memanfaatkan kelemahan hukum dan prinsip hukum angkasa negara tertentu. Prinsip-prinsip yang didasarkan pada Hukum Angkasa dan Hukum Internasional adalah prisnsip kebangsaan korban, prinsip kebangsaan pelaku pembajak dan teroris, prinsip efektif dan prinsip dimana pesawat mendarat. Pelaku kejahatan ini merupakan tindak pidana yang sangat berat dan besar harapan dari masyarakat Internasional untuk mendapatkan keadilan lewat ukum dan konvensi yang berlaku terlebih lagi menurut pandangan mereka, kejahatan sepeti ini dikatakan sebagai international crime. Ekstradisi kepada para pelaku sering tidak dimungkinkan karena ada kalanya antara kedua atau beberapa negara tidak memiliki perjanjian mengenai ekstradisi tersebut. Masalah ini 10

11 terpecahkan pada Konvensi den Haag dengan mengklasifikasikan sebagai extraditible offence sehingga bila tidak ada perjanjian maka keputusan konvensi ini menjadi dasar yang sah untuk menyerahkan para pelaku kepada negara-negara yang meminta penyerahannya untuk diadili. Melihat hal-hal diatas maka bagi para pelaku tidak ada tempat untuk bersembunyi dan cuci tangan atas perbuatannya. Sayangnya hal ini dinodai oleh aspek-aspek politis yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya terhadap instrumen hukum angkasa manapun dari beberapa negara di dunia. Yang sangat terkenal adalah tindakan negara Libya yang melindungi pelaku sabotase peledakan pada pesawat PANAM Amerika Serikat diatas Skotlandia pada tahun Negara Libya bersitegang dengan Amerika Serikat. Aspek politis amat kental pada kasus ini dimana Amerika Serikat menuntut keadilan atas peristiwa tersebut karena banyak warganya ada di pesawat tersebut sedangkan Libya melindungi pelaku karena intervensi yang berlebihan dari negara Amerika Serikat. Beberapa waktu yang lalu Libya telah menyerahkan para pelaku sabotase itu setelah 13 tahun lebih (!) namun penyelesaian hukum terhadap pelaku masih belum jelas kelanjutannya. Pada kasus peledakan pesawat PANAM tadi, Libya sebagai negara yang terlibat melindungi para pelaku harus menghadapi sangsi yang cukup berat. Sangsi yang diterapkan antara lain : a. Negara-negara menolak dan memutuskan perjanjian penerbangan dengan negara Libya. b. Warga negara Libya tidak diberi fasilitas dan dipersulit untuk mendapatkan visa. c. Pemboikotan dan embargo baik secara terselubung atau terang-terangan. Disamping itu juga bagi negara-negara peserta ICAO dan IATA yang melakukan tindakan seperti Libya maka akan dikeluarkan dari keanggotaannya. Memang cukup banyak kelemahan dari sangsi tersebut diatas yang bisa saja menimbulkan ketegangan antar kedua negara seperti yang sedang terjadi antara Amerika Serikat dan Libya. Tindakan Pencegahan Tindakan pencegahan menggunakan alat dan cara untuk menghindari serta menekan bahaya terorisme udara. Beberapa kombinasi telah diterapkan seperti penerapan prinsip psikologi, sosiologi, teknologi, dan hukum. 11

12 Beberapa alat dan cara yang dipakai adalah : 1. Pemeriksaan daftar penumpang dan barang secara teliti. 2. Penggunaan alat pencari senjata dan deteksi logam serta X-ray. 3. Memperketat pengawasan dan penjagaan organisasi pelabuhan udara. 4. Mempersenjatai awak pesawat udara. 5. Memasang alat khusus pada pesawat udara seperti pintu perangkap dan alat pengurang tekanan secara tiba-tiba. 6. Larangan memasuki tempat tertentu dalam pesawat udara seperti kokpit. Cara dan alat tersebut diatas masih banyak memiliki kekurangan karena tidak ada jaminan bahwa cara diatas akan efektif. Pelaku terorisme sering melakukan penyamaran tertentu yang sulit diungkap dan dapat menyeludupkan senjata atau bom dalam berbagai cara. Alat pendeteksi senjata kadang-kadang kurang efektif terhadap bom plastik dan bahkan senjata yang terbuat dari bahan non-logam. Mempersenjatai awak pesawat udara sering tidak disukai oleh awak yang bersangkutan karena dinilai lebih banyak bahayanya daripada amannya. Alat-alat khusus pada pesawat udara juga dapat membahayakan penumpang serta larangan memasuki tempat seperti kokpit akan tidak efektif bila si pelaku menyandera penumpang atau awak pesawat udara. Konvensi & Perangkat Hukum Dalam Melawan Terorisme Udara (Bagian III) Apapun alasannya tindakan terorisme udara demi mengatasnamakan agama, perjuangan kemerdekaan, ideologi ataupun murni demi kepentingan pribadi adalah kejahatan yang tidak terampuni. Kesimpulan Adalah sangat tidak adil bila penumpang yang tidak tahu apa-apa dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Oleh karena itu Badan Internasional dan Nasional maupun badan penerbangan sipil telah memuat perangkat hukum serta sarana atau prasarana untuk melawan tindakan kejahatan pengecut ini. Tapi hendaknya pula badan ini juga selalu meng-upgrade perangkat hukum karena masih banyak celah yang selalu diambil pihak pelaku kriminal. Kerjasama Internasional perlu segera diambil karena kejahatan ini tetap dianggap sebagai kejahatan yang meresahkan dunia. Karena bisa jadi walaupun terorisme udara dilakukan di negara 12

13 tertentu atau maskapai negara tertentu, sedangkan para penumpangnya adalah dari negaranegara lain. Kerjasama Internasional dapat meliputi kerjasama dalam fasilitas pengamanan bandara, penyelidikan terhadap kemungkinan terjadinya terorisme udara, pelatihan awak udara terhadap bahaya terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada tempat bagi pelaku terorisme udara untuk bersembunyi. (Sudiro Sumbodo,Jakarta, 2002). Sumber Pustaka : 1. Angkasa, Majalah Bulanan, Kecelakaan Pesawat Tercatat Pada Abad 20 Lalu, No.4 Januari Angkasa, Majalah Bulanan, Lockerbie: Siapa Yang Membayar Pelurunya?, No. 3 Desember Angkasa, Majalah Bulanan, Terorisme Dalam Penerbangan,No.5 Febuari Diktat Kuliah Hukum Penerbangan Universitas Suryadarma 5. Katz, Samuel H., Super Elite Mossad, Mega Abadi Jakarta, Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Poulantzas, Nicholas, The Anti Hijack Convention of December 1970, Barry Rose Publishers, Saleh, K. Wantjik, Pelengkap KUHP UU Pidana Baru dan Perubahan KUHP, Sheperd I.M, Air Piracy : The Rule of The International Federation of Airline Pilots Associations, Cornel International Law Journal Vol.3, Wiradipradjo Saefullah S.H, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, RK Karya CV, y_category=&lower_limit=15. 13

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA) Sumber: LN 1976/26; TLN NO. 3080 Tentang: PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum berlaku dalam pesawat udara Indonesia ;

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum berlaku dalam pesawat udara Indonesia ; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat dari aksi-aksi teror yang terjadi dewasa ini seolah-olah memberi gambaran bahwa kejahatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan disruptive passenger atau unruly passenger merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan disruptive passenger atau unruly passenger merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan disruptive passenger atau unruly passenger merupakan salah satu masalah yang tidak dapat diduga dalam penerbangan dan dapat membahayakan keselamatan

Lebih terperinci

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN A. Perkembangan Peraturan-Peraturan yang Berkaitan dengan Tindak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. Pengertian pembajakan udara dapat dilihat dari berbagai konvensi

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. Pengertian pembajakan udara dapat dilihat dari berbagai konvensi BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Pembajakan Udara Pengertian pembajakan udara dapat dilihat dari berbagai konvensi internasional terkait dengan pembajakan udara. Salah satunya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan

BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL 2.1 Konsep Penerbangan Sipil Internasional A. Pengertian Hukum Udara Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian hukum

Lebih terperinci

ARTIKEL. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum. Disusun Oleh: YOHANAS FRENGKI

ARTIKEL. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum. Disusun Oleh: YOHANAS FRENGKI TINJAUAN YURIDIS SISTEM PENGAMANAN BANDAR UDARA INTERNASIONAL DI INDONESIA DALAM RANGKA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA DAN IMPLEMENTASINYA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU ARTIKEL

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman yang disebut era globalisasi membuat semakin banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan sarana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme. TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 SEBAGAI TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI (TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) 1 Oleh: Edwin Fernando Rantung 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP PERUBAHAN-PERUBAHAN KUHP BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA AERIAL HIJACKING

PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP PERUBAHAN-PERUBAHAN KUHP BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA AERIAL HIJACKING 64 PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP PERUBAHAN-PERUBAHAN KUHP BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA AERIAL HIJACKING Oleh: Ruby Hadiati Johny Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA 1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme a.

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF Disusun oleh : Abdul Jabbar NIM : 103045128131 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001 PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001 Oleh: Muh. Miftachun Niam (08430008) Natashia Cecillia Angelina (09430028) ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar. Dengan demikian masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana transportasi guna mendukung mobilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Istilah

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MASKAPAI PENERBANGAN DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA Oleh Theresia Carmenia Yudithio Ni Putu Purwanti Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA Disusun oleh : Robinson Smarlat Muni NPM : 07 05 09786 Program Studi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH ROMANIA TENTANG KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL, TERORISME DAN JENIS KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah

Lebih terperinci

Ancaman Terhadap Ketahanan Nasional

Ancaman Terhadap Ketahanan Nasional Ancaman Terhadap Ketahanan Nasional Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa pengeboman yang terjadi di Wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas. Mengakibatkan hilangnya nyawa serta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK POLANDIA TENTANG KERJASAMA PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL DAN KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

KETENTUAN DAN SYARAT PENGANGKUTAN DHL EXPRESS ( Ketentuan dan Syarat ) PEMBERITAHUAN PENTING

KETENTUAN DAN SYARAT PENGANGKUTAN DHL EXPRESS ( Ketentuan dan Syarat ) PEMBERITAHUAN PENTING KETENTUAN DAN SYARAT PENGANGKUTAN DHL EXPRESS ( Ketentuan dan Syarat ) PEMBERITAHUAN PENTING Ketika memesan layanan DHL, anda sebagai Pengirim, menyetujui, atas nama anda dan atas nama orang lain yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against

I. PENDAHULUAN. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity), serta merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK 2012, No.149 4 PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara merupakan suatu pilihan yang tidak dapat dielakkan, Indonesia adalah negara yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan

Lebih terperinci