Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Ratna Wulaningrum Politeknik Negeri Samarinda Email: ratna_polsam@yahoo.com ABSTRACT The purpose of this study is to determine the local governments financial performance at the province of East Kalimantan. This research is descriptive quantitative. To analyze research problems, researcher used ratios for measured government s financial performance, which includes the degree of fiscal decentralization ratio, regional financial independence ratio, effectiveness of regional revenue ratio, regional financial efficiency ratio, and financial harmony ratio. The results of this study indicate that the financial performance of provincial government of East Kalimantan needs to be improved so that the allocation of budget funds can be used optimally. Keywords: Financial performance, local governments, effectiveness ABSTRAKSI Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Alat analisa yang digunakan adalah rasio-rasio untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah yang meliputi rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio keserasian yang terdiri atas rasio belanja operasi dan rasio belanja modal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur masih perlu untuk ditingkatkan agar alokasi dana APBD yang ditujukan untuk pengembangan daerah dapat dimanfaatkan secara optimal. Kata Kunci: Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektifitas dan Efisiensi, Rasio Keserasian
PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah di Indonesia didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi dan sudah efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Misi utama Undang-ndang Nomor 33 Tahun 2004 bukan hanya melimpahkan kewenangan pembangunan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan. Bastian (2001:6) menyatakan bahwa diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat menggambarkan sumber daya keuangan daerah berikut dengan analisis prestasi pengelolaan sumber daya keuangan daerah itu sendiri. Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja keuangan dari pemerintahan daerah yang dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumber-sumber ekonomis daerah untuk pemenuhan seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini maka perlu dibangun pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Pada umumnya, APBD suatu daerah didominasi oleh sumbangan pemerintahan pusat dan sumbangan lain-lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, yaitu sekitar 75% dari total penerimaan daerah. Hal ini menyebabkan daerah masih tergantung kepada pemerintahan pusat sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi terbatas. Rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah bukanlah 2
disebabkan oleh karena struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintahan pusat. Selain itu, sumber-sumber keuangan dikuasai oleh pusat sehingga hal ini menyebabkan daerah kurang mandiri dalam pengelolaan hasil materil sumber daya dan potensi daerah yang bersangkutan. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2014 dan 2015 berdasarkan rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian? Batasan Permasalahan Permasalahan di dalam penelitian ini dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur dengan menggunakan indikator analisis rasio keuangan pada APBD, yaitu meliputi rasio rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian. TINJAUAN PUSTAKA Otonomi Daerah Pengertian otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam kerangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Untuk itulah ada beberapa asas penting dalam undang-undang otonomi daerah yang perlu dipahami, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, tugas pembantuan dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (Bastian, 2006:338). 3
Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan daerah dengan menumbuhkembangkan seluruh potensi sumber pendapatan daerah dan mampu menetapkan belanja daerah secara wajar, efisien dan efektif, termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerjanya. Menurut Halim (2001:19), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan keuangan pusat dan daerah. Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan peraturan-peraturan manajemen keuangan daerah (Halim, 2007:2), pengelolaan keuangan daerah memiliki karakteristik antara lain: (1) Pengertian Daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, juga Kotamadya tidak lagi digunakan; (2) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya. Pemerintah ini adalah badan eksekutif, sedangkan badan legislatif di daerah adalah DPRD (pasal 14 UU No. 22 Tahun 1999). Oleh karena itu maka terdapat pemisahan antara legislatif dan eksekutif; (3) Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 5 PP No.108 Tahun 2000). Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas laporan perhitungan APBD, nota perhitungan APBD, laporan aliran kas, neraca daerah 4
dilengkapi dengan penilaian berdasarkan tolok ukur Renstra (pasal 38 PP No.105 Tahun 2000); (4) Pinjaman APBD tidak lagi termasuk dalam pos pendapatan (yang menunjukkan hak Pemda) tetapi masuk dalam pos penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemda); (5) Masyarakat termasuk di dalam unsur-unsur penyusunan APBD di samping pemerintah daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD; (6) Indikator kinerja pemerintah daerah mencakup perbandingan antara anggaran dan realisasinya, perbandingan antara standar biaya dan realisasinya, target dan persentase fisik proyek, serta meliputi standar pelayanan yang diharapkan; (7) Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya laporan perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandng konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD; (8) Digunakan akuntansi di dalam pengelolaan keuangan daerah. Sumber-sumber pendapatan/penerimaan daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 terdiri atas pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, sumber pendapatan daerah, persentase dana perimbangan. Untuk Pembiayaan Penyelenggaraan Negara, penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban APBN, sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai dari dan atas beban APBD. Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Persentase dana perimbangan terdiri dari dana perimbangan, bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 (pengganti PP No.105 Tahun 2000) dan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 (pengganti Permendagri No. 13 tahun 2006 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) memberikan pendekatan baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan yang terjadi cukup besar, namun tetap dilakukan secara bertahap sesuai dengan semangat reformasi, tidak radikal dan revolusioner. Perubahan itu sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, 5
dokumen dan formulir yang digunakan, fungsi-fungsi otorisasi untuk tujuan sistem pengendalian internal, laporan dan pengawasan. Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 (pasal 1, pasal 36, dan pasal 70) merupakan dasar hukum penyajian laporan keuangan pemerintah berbasis akrual. Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual (PP No.24 tahun 2005) menjadi penerapan SAP berbasis akrual (PP No. 71 Tahun 2010). SAP yang ditetapkan dengan PP No.24 Tahun 2005 berbasis kas menuju akrual sebagian besar telah mengacu pada praktik akuntansi berbasis akrual. Disebutkan dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 bahwa basis akrual adalah suatu basis akuntansi dimana transaksi ekonomi atau peristiwa akuntansi diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas diterima atau dibayarkan. Pendapatan diakui pada saat hak telah diperoleh (earned) dan beban (belanja) diakui pada saat kewajiban timbul atau sumber daya dikonsumsi. Manfaat dari basis akrual antara lain adalah: (1) memberikan gambaran yang utuh atas posisi keuangan pemerintah, (2) menyajikan informasi yang sebenarnya mengenai hak dan kewajiban pemerintah, dan (3) bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja keuangan pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah peraturan pemerintah yang fundamental yang mengusung amanat penerapan akuntansi berbasis akrual selambat-lambatnya untuk pelaporan keuangan pemerintah tahun 2015. Agar dapat mengimplementasikan SAP berbasis akrual, perlu mempersiapkan strategi yang cermat dan terukur, dimulai dari penyelesaian masalah-masalah akuntansi dan pelaporan yang masih timbul dalam praktik akuntansi kas menuju akrual serta meningkatkan pemahaman tentang isi standar akuntansi berbasis akrual. 6
Kinerja Keuangan Daerah Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Menurut Halim (2004:24) kinerja keuangan daerah atau kemampuan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Mardiasmo (2002:24) mengemukakan bahwa dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan pendapatan asli daerah. Aspek kedua yaitu dari sisi manajemen pengeluaran daerah, karena sesuai asas otonomi daerah maka pengelolaan keuangan daerah hrus lebih akuntabel dan transparan maka muncul tuntutan kepada daerah untuk lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kinerja keuangan dalam pemerintah daerah merupakan tingkat pencapaian sdari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan APBD yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran dengan membandingkan anggaran sebelum dan sesudahnya. Bentuk dari penilaian kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD. Di dalam penilaian indikator kinerja, sekurang-kurangnya ada empat tolok ukur penilaian kinerja keuangan pemerintahan daerah yaitu: penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan dalam APBD, efisiensi biaya, efektifitas program, dan pemerataan dan keadilan. Beberapa analisa rasio di dalam pengukuran kinerja keuangan daerah yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD dapat berupa rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan rasio-rasio tersebut untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintahan kabupaten di propinsi Kalimantan Timur. 7
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total Pendapatan Daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap Total Pendapatan Daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah, menurut Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval seperti pada tabel berikut: Tabel 1 Skala Interval Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal (%) Kemampuan Keuangan Daerah 00,00 10,00 Sangat Kurang 10,01 20,00 Kurang 20,01 30,00 Cukup 30,01 40,00 Sedang 40,01 50,00 Baik >50,00 Sangat Baik Sumber: Wulandari (2001:22) Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Derajat Desentralisasi Fiskal Total Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah 100% Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah 8
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pusat ataupun dari pinjaman. Rasio Kemandirian Pendapatan Asli Daerah Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman 100% Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Tabel 2 Skala Interval Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan Rendah Sekali 0% - 25% Instruktif Rendah 25% - 50% Konsultatif Sedang 50% - 75% Partisipatif Tinggi 75% - 100% Delegatif Sumber: Halim (2007:169) Pola hubungan instruktif memiliki arti bahwa peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah). Pola hubungan konsultatif adalah kondisi di mana campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah. Pola hubungan partisipatif, menunjukkan bahwa peranan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati untuk mampu melaksanakan urusan otonomi daerah. Pola hubungan 9
delegatif menunjukkan campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Rasio Efektifitas PAD Rasio efektifitas PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio Efektifita s Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Target Penerimaan PAD yang Ditetapkan Berdasarka n Potensi RiilDaerah Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100% (seratus persen). Namun demikian, semakin tinggi rasio efektifitas berarti menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Agar memperoleh ukuran yang lebih baik, maka rasio efektifitas perlu diperbandingkan dengan rasio efisiensi yang dicapai pemerintah daerah. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Rasio efisiensi keuangan daerah menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja keuangan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%. Semakin kecil rasio efisiensi keuangan daerah maka hal tersebut berarti kinerja keuangan pemerintah daerah semakin baik. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Realisasi Belanja Daerah Realisasi Penerimaan PAD 100% Tabel 3 Skala Interval Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Persentase Efisiensi Kriteria Efisiensi 100% ke atas Tidak Efisien 90% - 100% Kurang Efisien 10
80% - 90% Cukup Efisien 60% - 80% Efisien Kurang dari 60% Sumber: Halim (2007:234) Sangat Efisien Pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal tersebut perlu dilakukan, karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan target penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu akan menjadi kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatan lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterima (Halim, 2007:234). Rasio Keserasian Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja operasi dan belanja modal secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja operasi berarti persentase belanja modal yang diperlukan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana, rasio keserasian dapat diformulasikan sebagai berikut (Halim, 2007:236): Rasio Belanja Operasi Total Belanja Operasi Total Belanja Daerah 100% Rasio Belanja Modal Total Belanja Modal Total Belanja Daerah 100% Rasio belanja rutin maupun belanja pembangunan terhadap APBD sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. 11
Pemerintah daerah memiliki peranan penting untuk memacu pelaksanaan pembangunan yang masih relatif kecil. Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif kuantitatif, yaitu melakukan perhitungan terhadap data keuangan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja keuangan pada pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur dilihat dari rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio keserasian. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dan tersedia di buku-buku literatur maupun sumber-sumber lain. Data sekunder ini diperoleh dari BPS Kalimantan Timur, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara dokumentasi dan studi kepustakaan. Teknik dokumentasi dilakukan melalui pencatatan maupun softcopy untuk data-data yang diperlukan. Sedangkan teknik kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan melalui buku-buku, literatur-literatur dan lain-lain yang berkaitan dengan semua informasi mengenai tema penelitian yang dilaksanakan. Metode Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan merupakan analisis deskriptif kuantitatif yang didasarkan pada penggambaran yang mendukung analisa. Analisa yang digunakan pada analisis kinerja keuangan daerah dalam bentuk rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD, yaitu 12
terdiri dari rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio keserasian.. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Keuangan Daerah di Provinsi Kalimantan Timur Bagian terbesar pendapatan asli daerah Provinsi Kalimantan Timur dari pajak daerah (local tax) sebesar 81,48 persen dari total PAD. Sumbangan retribusi daerah terhadap PAD sangat kecil dan tidak mencapai satu persen, sementara laba perusahaan daerah menyumbang PAD sebesar 4,65 persen dan penerimaan lainlain sebesar 13,64 persen (Kalimantan Timur dalam Angka, 2015:433). Data pendapatan dan belanja Provinsi Kalimantan Timur untuk tahun 2014 dan 2015 disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4 Anggaran dan Realisasi APBD Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 (dalam Juta Rupiah) No. Uraian Tahun 2014 Anggaran Realisasi % A PENDAPATAN 11.192.327 11.205.052 100,11 1 Pendapatan Asli Daerah 5.771.202 6.582.337 114,05 2 Pendapatan Transfer 5.405.630 4.605.933 85,21 3 Lain-lain Pendapatan yang Sah 15.495 16.782 108,31 B BELANJA 12.217.683 11.206.226 91,72 1 Belanja Operasional 6.931.814 6.431.152 92,78 2 Belanja Modal 2.699.113 2.210.373 81,89 3 Belanja Tak Terduga 10.000 1.500 15,00 4 Transfer 2.576.756 2.563.201 99,47 SURPLUS / DEFISIT (1.025.356) (1.174) 0,11 Tabel 5 Anggaran dan Realisasi APBD Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2015 (dalam Juta Rupiah) No. Uraian Tahun 2015 Anggaran Realisasi % A PENDAPATAN 10.497.633 9.087.008 86,56 1 Pendapatan Asli Daerah 5.095.146 4.572.242 89,74 2 Pendapatan Transfer 5.387.932 4.503.361 83,58 3 Lain-lain Pendapatan yang Sah 14.555 11.405 78,36 13
B BELANJA 11.484.260 10.141.807 88,31 1 Belanja Operasional 6.243.954 5.700.393 91,29 2 Belanja Modal 2.347.393 1.997.304 85,09 3 Belanja Tak Terduga 18.000 3.434 19,08 4 Transfer 2.874.913 2.440.676 84,90 SURPLUS / DEFISIT (986.627) (1.054.799) 106,91 Rasio yang digunakan peneliti untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur adalah rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio keserasian. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Rasio derajat desentralisasi fiskal menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Hasil dari perhitungan rasio derajat desentralisasi fiskal dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini: Tabel 6 Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2014-2015 Tahun Anggaran Total Pendapatan Asli Daerah (Rp) Total Pendapatan Daerah (Rp) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal (%) Kemampuan Keuangan Daerah 2014 6.582.337 11.205.052 58,74 Sangat Baik 2015 4.572.242 9.087.008 50,32 Sangat Baik Sumber: Data Diolah Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa kinerja keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur jika dilihat dari rasio derajat desentralisasi fiskal dapat dikategorikan sangat baik. Hal ini berarti bahwa PAD memiliki kemampuan yang sangat baik dalam membiayai pembangunan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kalimantan Timur memberikan kontribusi yang besar terhadap total pendapatan daerah. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan 14
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Hasil perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 7 Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2014 2015 Tahun Anggaran PAD (Rp) Pendapatan Transfer (Rp) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (%) Pola Hubungan 2014 6.582.337 4.605.933 142,91 Delegatif 2015 4.572.242 4.503.361 101,53 Delegatif Sumber: Data Diolah Berdasarkan hasil perhitungan yang ditampilkan pada tabel di atas, kemampuan keuangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur sangat tinggi dan pola hubungannya termasuk pola hubungan delegatif di mana campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Hal ini berarti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan dari pihak ekstern (terutama bantuan dari pemerintah pusat) sangat rendah. Rasio Efektifitas PAD Rasio efektifitas PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektifitas PAD, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah. Hasil perhitungan untuk rasio efektifitas PAD provinsi Kalimantan Timur disajikan pada tabel berikut: Tabel 8 Perhitungan Rasio Efektifitas PAD Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2014 2015 Tahun Anggaran Realisasi PAD (Rp) Anggaran PAD (Rp) Rasio Efektifitas PAD (%) Kriteria 2014 6.582.337 5.771.202 114,05 Efektif 2015 4.572.242 5.095.146 89,74 Tidak Efektif Sumber: Data Diolah 15
Rasio efektifitas PAD provinsi Kalimantan Timur mengalami penurunan di tahun 2015, sehingga kondisinya menjadi tidak efektif jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang berada pada kondisi efektif. Pemerintah daerah harus terus mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatan yang ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya peningkatan PAD. Pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif yang memungkinkan untuk dapat terus meningkatkan pendapatannya, dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program kerjasama dengan pihak swasta maupun program peningkatan PAD, yaitu dengan pendirian BUMD sektor potensial. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Rasio efisiensi keuangan daerah menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Hasil perhitungan rasio efisiensi keuangan daerah provinsi Kalimantan Timur disajikan pada tabel berikut. Tabel 9 Perhitungan Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2014 2015 Tahun Anggaran Realisasi Belanja Daerah (Rp) Realisasi Pendapatan Daerah (Rp) Efisiensi Kinerja Keuangan (%) Kriteria 2014 11.206.226 11.205.052 100,01 Tidak Efisien 2015 10.141.807 9.087.008 111,61 Tidak Efisien Sumber: Data Diolah Kinerja keuangan pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur masih tidak efisien untuk tahun 2014 dan 2015, karena jumlah realisasi pendapatan daerah yang diperoleh masih lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan realisasi belanja daerah. Hal ini disebabkan masih banyaknya sarana dan prasarana penting yang masih terus dibangun di daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Timur. Rasio Keserasian 16
Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintahan daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja operasi dan belanja modal secara optimal. Hasil perhitungan rasio keserasian Provinsi Kalimantan Timur disajikan pada tabel berikut: Tabel 10 Perhitungan Rasio Keserasian Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2014 2015 (Belanja Operasi) Tahun Anggaran Total Belanja (Rp) Realisasi Belanja Operasional (Rp) Rasio Belanja Operasi (%) 2014 11.206.226 6.431.152 57,39 2015 10.141.807 5.700.393 56,21 Sumber: Data Diolah Rasio keserasian belanja operasi pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2015 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2014. Hal yang sama juga terjadi pada rasio keserasian belanja modal pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur sebagaimana disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 11 Perhitungan Rasio Keserasian Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2014 2015 (Belanja Modal) Tahun Anggaran Total Belanja (Rp) Realisasi Belanja Modal (Rp) Rasio Belanja Modal (%) 2014 11.206.226 2.210.373 19,72 2015 10.141.807 1.997.304 19,69 Sumber: Data Diolah Berdasarkan data yang diperoleh dari perhitungan mengenai rasio belanja operasi dan rasio belanja modal menunjukkan bahwa sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja operasi, sehingga rasio belanja modal relatif kecil. Besarnya alokasi dana untuk belanja operasi terutama dikarenakan besarnya dinas-dinas otonomi dan belanja pegawai untuk gaji pegawai negeri sipil. Sama dengan pemerintahan daerah di kabupaten/kota di Provinsi lainnya, pada umumnya pemerintah daerah masih lebih condong pada pengeluaran-pengeluaran 17
rutin untuk pemenuhan aktifitas pemerintahan dan belum memperhatikan pembangunan daerah. Hal ini dapat juga dipengaruhi karena belum tersedianya batasan yang pasti untuk belanja modal, sehingga pemerintah daerah masih berkonsentrasi pada pemenuhan belanja operasi yang mengakibatkn belanja modal masih kecil atau belum terpenuhi. Diharapkan ke depannya pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Timur dapat lebih memperhatikan pelayanan kepada masyarakat yang nantinya dapat dinikmati langsung oleh publik. PENUTUP Simpulan Kinerja keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur jika dilihat dari rasio derajat desentralisasi fiskal dapat dikategorikan sangat baik. PAD memiliki kemampuan yang sangat baik dalam membiayai pembangunan daerah. Kemampuan keuangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur sangat tinggi dan pola hubungannya termasuk pola hubungan delegatif di mana daerah telah mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur di tahun 2014 dan 2015 masih belum efektif dan efisien. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah realisasi pendapatan daerah yang diperoleh masih lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengarn realisasi belanja daerah. Keadaan ini disebabkan masih banyaknya sarana dan prasarana penting yang masih terus dibangun di daerahdaerah di Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari perhitungan mengenai rasio belanja operasi dan rasio belanja modal menunjukkan bahwa sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Daerah di Provinsi Kalimantan Timur masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja operasi, sehingga rasio belanja modal relatif kecil. Besarnya alokasi dana untuk belanja operasi terutama dikarenakan besarnya dinas-dinas otonomi dan belanja pegawai untuk gaji pegawai negeri sipil. Saran 18
Pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur diharapkan dapat terus meningkatkan penerimaan dari sektor pendapatan potensial yang telah ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya peningkatan PAD. Peningkatan PAD bisa dilakukan pemerintah daerah dengan cara melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan retribusi daerah serta melakukan pengawasan dan pengendalian secara sistematis dan berkelanjutan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan dalam pemungutan PAD oleh aparatur daerah. Pemerintah daerah juga harus terus mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatan yang ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya peningkatan PAD. Penelitian tentang penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah dapat terus dikembangkan dengan menggunakan rasio-rasio penilaian kinerja keuangan yang lain. Diberlakukannya berbagai Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan lain-lain dapat menjadi landasan dalam mengembangkan penelitian di sektor publik menjadi lebih beragam. DAFTAR PUSTAKA Adhiantoko, Hony. 2013. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten Blora (Studi Kasus pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Blora Tahun 2007 2011). Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur 2015. Kalimantan Timur dalam Angka 2015. ISSN: 0215 2266. Nomor Katalog: 1102001.64. Bank Indonesia. 2015. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Timur Triwulan IV 2015. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Timur. Bastian, Indra. 2001. Manual Akuntansi Keuangan Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: BPFE. Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP UMP YKPN.. 2007. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.. 2012. Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 19
Mahmudi. 2010. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Edisi Dua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Maridasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Rudiyanto, Muhamad. 2015. Analisis Kinerja Keuangan serta Kemampuan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi pada Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Banten). Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Wulandari, Anita. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah di Kota Jambi dalam Melaksanakan Otonomi Daerah. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Kemampuan Keuangan Daerah, Volume 5 Nomor 2, November 2001. 20