RechtsVinding Online

dokumen-dokumen yang mirip
CEGAH PERKEMBANGAN RADIKALISME DENGAN DERADIKALISASI

Tahun Sidang : Masa Persidangan : IV Rapat ke :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

Mam MAKALAH ISLAM. Gerakan ISIS, Ancaman Ideologi dan Keamanan NKRI

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Muslim dunia (Top ten largest with muslim population, 2012). Muslim

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA KEGIATAN PELIBATAN KOMUNITAS SENI BUDAYA DALAM PENCEGAHAN TERORISME MELALUI FORUM KOORDINASI PENCEGAHAN TERORISME (FKPT). TAHUN ANGGARAN 2017

BAB IV PENUTUP. Hal itu dikarenakan kemunculannya dalam isu internasional belum begitu lama,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Secara historis masuknya Islam di Indonesia dengan sangat

Kata Kunci : Peran FKPT, pencegahan dan kebijakan pengaturannya.

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME NOMOR : PER - 03/K.BNPT/1/ 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York,

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

JARINGAN TERORIS SOLO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEAMANAN WILAYAH SERTA STRATEGI PENANGGULANGANNYA

RENCANA KEGIATAN PEMBERDAYAAN PEMUDA DAN PEREMPUAN DALAM PENCEGAHAN TERORISME MELALUI FORUM KOORDINASI PENCEGAHAN TERORISME (FKPT) TAHUN ANGGARAN 2017

DERADIKALISASI AJARAN ISLAM

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

RANCANGAN N RANCANGAN RANCANGAN

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. ini terjadi di Jalan Thamrin Jakarta. Peristiwa Bom Thamrin ini mengejutkan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PANITIA SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER DIES NATALIS FAKULTAS HUKUM UNNES KE-10

BAB I PENDAHULUAN. Merupakan istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk

KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM DALAM UPAYA PENANGANAN FAHAM RADIKAL DI INDONESIA

SAMBUTAN DIRJEN KESBANGPOL DISAMPAIKAN PADA FORUM KOMUNIKASI DAN KOORDINASI PENANGANAN FAHAM RADIKAL WILAYAH BARAT TAHUN 2014

There are no translations available.

NUSA DUA, BALI 10 AGUSTUS Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Selamat sore, salam sejahtera untuk kita semuanya. Yang saya hormati,

pendekatan agama-budaya atasi terorisme

BAB I PENDAHULUAN. dan menangkap pelaku-pelakunya, menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan yang

BAB IV KESIMPULAN Prosperity Outhority faktor sosial ekonomi politik

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahanya itu dilihat dari fakta

Ia mendesak dunia Barat untuk mengambil langkah agar khilafah bisa dicegah.

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB V KESIMPULAN. sehingga berada dalam ujung tanduk kehancuran, momentum yang tepat ini

BAB III PENUTUP. dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini adalah: a. Langkah Preemtif yang meliputi: tindak pidana terorisme.

tugas sosiolagi tentang bentuk akomodasi untuk mengatasi permasalahan teror Posted by cici - 30 Sep :25

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan kajian pustaka yang berkaitan mengenai

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS DATA. 1. Analisis tentang Persepsi Mahasiswa IAIN Antasari terhadap ISIS.

BAB V KESIMPULAN. Islamic State of Irak and Levant (ISIL) yang saat ini berubah nama menjadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

Orang Kristen yang membunuh kaum Muslim jauh lebih sadis tidak pernah sedikit pun dibilang sebagai teroris.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pandangan Agama Islam Mengenai Terorisme, Kekerasan, dan Jihad Oleh : Aprillani Arsyad, S.H., M.H. 1

ADAADNAN ABDULLA MUHAMMAD ADNAN ABDULLAH NEO KHAWARIJ MENGUNGKAP BIANG TERORISME, RADIKALISME, DAN SOLUSINYA. Diterbitkan secara mandiri

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah YouTube, yang berbentuk komunikasi massa audio visual. YouTube tidak

Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke :

Peristiwa apa yang paling menonjol di tahun 2009, dan dianggap paling merugikan umat Islam?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemajuan zaman yang semakin pesat membuat orang dapat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. memberantas tindak terorisme global khusunya ISIS (Islamic State of Irak and

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1

BAB 1 PENDAHULUAN. dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Universitas Sumatera Utara REKONSTRUKSI DATA B.1. Analisa

I. PENDAHULUAN. berada di tangan rakyat. Dalam sistem demokrasi, hak-hak asasi manusia

BAB IV KESIMPULAN. Dalam bab ini, penulis akan menuliskan kesimpulan dari bab-bab. sebelumnya yang membahas mengenai kelompok pemberontak ISIS dan

PEMANTAPAN KERUKUNAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM MENCEGAH BERKEMBANGNYA FAHAM RADIKAL PUSAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KEMENTERIAN AGAMA

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh

COUNTER TERRORISM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA. Abstrak

RENCANA KEGIATAN DIALOG PELIBATAN LEMBAGA DAKWAH KAMPUS (LDK) DALAM PENCEGAHAN TERORISME MELALUI FORUM KOORDINASI PENCEGAHAN TERORISME T. A.

BAB I PENDAHULUAN. kepada bukan hanya kepentingan domestic tetapi juga kepentingan

AKUNTABILITAS KEGIATAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN TERORISME MELALUI 32 FKPT TAHUN 2017

BAB V KESIMPULAN. menolak Islamophobia karena adanya citra buruk yang ditimbulkan oleh hard

BAB 1 PENDAHULUAN. konstruksionis, realitas bersifat subjektif, relitas dihadirkan oleh konsep subjektif

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

MI STRATEGI

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi

PARAMETER DERADIKALISASI TERORISME DI INDONESIA OLEH : DR. AGUS SUBAGYO, SIP, M.SI DEKAN FISIP UNJANI CIMAHI JABAR

Tabel 1. Potensi Ancaman Perang Asimetris di Indonesia Ditinjau dari Berbagai Aspek Pelaku Sasaran Skala Metode Motif Dampak

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

BAB I PENDAHULUAN. atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mampu menembus ruang dan waktu. Berbagai informasi dan berita yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota,

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

BAB V KESIMPULAN. di Kerajaan Saudi. Ulama berperan dalam mendukung segala kebijakan-kebijakan

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Sarana dan Prasarana DDII, Bekasi, 27 Juni 2011 Senin, 27 Juni 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TERORISME: POLA AKSI DAN ANTISIPASINYA

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

PROFIL NARAPIDANA BERDASARKAN HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW. Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Transkripsi:

KEBIJAKAN NEGARA NON PENAL DALAM MENGATASI MASALAH TERORISME Oleh : Yuristyawan Pambudi Wicaksana * Naskah diterima: 24 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 Akhir-akhir ini marak terjadi aksi-aksi terorisme yang sudah menjurus pada penyerangan terhadap alat-alat negara, sebagai tindakan yang bertujuan untuk menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas atau menimbulkan korban jiwa massal yang mengakibatkan kehancuran terhadap obyek-obyek vital atau fasilitasfasilitas umum dengan sarana kekerasan. Kenyataan tersebut menyebabkan hard approach yang telah dilakukan oleh pemerintah dengan menjatuhkan sanksi pidana yang berat menjadi sangat tidak efektif, sebab penanggulangan terorisme dengan hanya menyelesaikan gejala kausatik (causatic measures) telah terbukti gagal apabila upaya-upaya penal tidak diikuti dengan soft approach terhadap akar masalah terjadinya terorisme. Padahal soft approach baru dilaksanakan pemerintah sejak terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2010. Secara umum kebijakan soft approach diarahkan untuk melakukan pencegahan dengan beberapa langkah, Pertama melakukan pemecahan permasalahan yang penting dan mendesak dalam bidang pencegahan terorisme, Kedua perlindungan dari aksi terorisme dan terakhir adalah deradikalisasi terhadap kelompok inti dan militan terorisme 1. Penggunaan kebijakan soft approach terutama dalam bidang pencegahan tidak dapat berjalan apabila tidak diketahui terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya terorisme, oleh karena itu baik penulis mengutip pendapat salah satu pakar mengenai terjadinya terorisme. Menurut Dr. Rozaq Asyhari 2, terorisme lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan yang kompleks dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memunculkan katalisator dan prakondisi terjadinya terorisme. Menurut Dr. Rozaq adanya modernisasi yang 1 https://damailahindonesiaku.com/kebijakan/negara/ke lembagaan/ akses pada 22 Februari 2016 2 Moh. Rozaq Asyhari, Sesat Pikir Kontra Terorisme, Republika, Kol.3 Bidang 13, terbit 11 September 2012 1

memunculkan problema sosial, ekonomi di dalam masyarakat termasuk munculnya teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, kedua lokasi geografis yang mendukung terjadinya terorisme seperti kota-kota yang menyediakan fasilitas pendukung terorisme lebih baik ketimbang di desa, dan ketiga sistem politik dan sistem pemerintahan yang menimbulkan kesenjangan masyarakat terutama untuk memperoleh kesejahteraan. Sementara itu empat faktor yang menjadi katalisator terjadinya terorisme adalah adanya diskriminasi keadilan terhadap kelompok tertentu, tersumbatnya saluran partisipasi politik, faktor sosial budaya dan adanya fasilitas dan persenjataan yang memadai. menurut Dr. Rozaq apabila faktorfaktor yang menjadi prakondisi dan katalisator terjadinya terorisme itu dapat ditangani, maka tindakan penanggulangan tersebut merupakan suatu strategi kontra terorisme yang sangat efektif. Dapat disimpulkan secara umum soft approach merupakan pendekatan yang lebih meningkatkan kehadiran negara sebagai welfare state dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan dan meningkatkan akses keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat serta membuka sumbatan dalam saluran-saluran politik seluas-luasnya untuk menangkap aspirasi masyarakat. Menurut Laporan Patern of Global Terorisme tahun 2000 yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat 3, fakta bahwa trend terorisme yang sering berkembang adalah terorisme bermotif agama dan ideologilah yang banyak terjadi, namun motif-motif itu tidak lepas hanyalah sebuah identitas yang kuat bagi para terorisme untuk melancarkan aksinya. Tanpa adanya prakondisi dan katalisator motif apapun yang akan dibangkitkan sebagai media identitas, terorisme akan gagal untuk berkembang, begitupun sebaliknya tanpa adanya motif yang dapat digunakan sebagai identitas personal dan komunal agar memicu masyarakat bersedia berbuat apa saja demi motif itu maka gerakan yang muncul tidak akan tersusun secara terencana. 3 Zuly Qodir, Deradikalisasi Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama, Jurnal Pendidikan Islam, Edisi No. 2 Vol. 1, Desember 2012, hlm 86. 2

Dengan demikian dapat dipahami mengapa teroris mengambil agama dan ideologi sebagai identitas komunal agama merupakan isu paling sensitif pada masyarakat Indonesia dan lebih berpengaruh daripada identitas kesukuan. Untuk memuluskan langkah tersebut maka agama diradikalkan, dimunculkan pahampaham dalam agama tersebut atau suatu aliran keras yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara keras, drastis dan sikap ekstrem suatu aliran politik. Menurut Said Aqil Siroj 4 radikalisasi ini tumbuh akibat sikap ghuluw yaitu bentuk ekspresi manusia dalam merespon persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran manusia. Kemudian berkembang menjadi tatharuf yaitu sikap berlebihan karena dorogan emosional yang berimplikasi terhadap empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat sehingga berujung pada sikap irhab yaitu sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. Sikap irhab inilah yang menjadi dasar untuk membenarkan cara-cara kekerasan atas nama agama Islam sekalipun. Dengan didasari sikap irhab proses radikalisasi agama Islam dimulai dengan interpretasi terhadap ajaran agama serta pemahamannya yang kurang tepat dan keras sehingga melahirkan sosok ekstremis yang memusuhi orang-orang yang seagama maupun beragama lain karena perbedaan paham. Teks-teks agama pun digunakan dan disalahtafsirkan secara atomistik, parsialmonolitik (monolithic-partial), sehingga menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama dijadikan barang komoditi yang dapat dimonopoli dan ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi 5. Media dakwah yang mengajak ke orisinilaitas jaman Nabi Muhammad SAW dijadikan kedok untuk mencap thaghut terhadap segala yang berbau Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penyesatan juga terus dicapkan kepada kelompokkelompok Islam lainnya yang mendukung pemerintah. Intoleransi terhadap umat beragama lainnya terus digelorakan. Kegiatan radikalisasi umat Islam lebih 4 Said Aqil Siroj, Darurat Terorisme, Kompas, Kol. 2-5 Bidang 9, terbit 9 Juni 2014, hlm 6. 5 Zuly Qodir, Deradikalisasi op. cit., hlm 87. 3

diperparah lagi dengan jaringan dan pola perekrutan yang terorganisir rapi, kecil dan tidak tercium oleh aparat. Hasil kaderisasi tersebut umumnya sangat eksklusif tidak mau merubah jalan hidup dan pemikiran yang dibawanya seolah-olah tidak ada alternatif kebenaran lain yang akan ditemuinya meskipun bisa jadi ia hidup bergaul dengan masyarakat sekitar. Untuk melakukan deradikalisasi terhadap orang-orang seperti ini akan memerlukan langkah yang lebih sulit. Radikalisasi secara umum lebih mudah daripada deradikalisasi orang-orang yang telah termakan oleh paham yang salah. Radikalisasi adalah mengisi kosongnya pintu hati oleh kosong oleh pemahaman agama yang benar (sehingga dicari orang-orang yang memang sangat jauh ilmu agamanya) untuk diisi paham-paham radikal, sementara untuk membaliknya maka diperlukan pemahaman tersendiri tentang apa mindset di balik ajaran radikal tersebut. Untuk itu baiklah penulis mengutip beberapa pandangan para ahli terkait mindset radikal. Pola pikir (mindset) radikal menurut Wahid dan Ma arif bertumpu pada ilusi pemecahan segala problem masalah dengan pendirian negara Islam, menganggap paling paham dan paling benar tentang segala doktrin agama sehingga dengan dasar tersebut pula mereka merasa punya otoritas memaksa dan menghakimi orang atau kelompok yang berbeda pemahaman atas nama Tuhan 6. Menurut Dr. Naji Ibrahim & Syaik Ali Halaby 7, pola pikir radikalisme yang menjurus kepada terorisme dengan mengatasnamakan agama Islam cukup dapat dikenali dari dua ciri yang utama yaitu adanya paham takfiri dan pemahaman yang sempit dan sangat ekstrim terhadap definisi jihad sebagai jalan yang mudah menuju surga. Memerangi terorisme bukan belum pernah dilakukan Pemerintah dengan metode soft approach, beberapa langkah sudah dilakukan pemerintah melalui BNPT pertama-tama adalah dengan memperbaiki konsep jihad yang digembar-gemborkan pelaku ke berbagai lapisan masyarakat demi 6 Ansyaad Mbaai, Strategi Menangkal Propaganda ISIS Islamic State of Iraq and Syria, dalam www.bnpt.go.id Akses19 Februari 2016. 7 Ibid. 4

mencari pengikut-pengikut baru. Memutus mata rantai teror memang bukan hal yang mudah sebagaimana sulitnya melakukan deradikalisasi terhadap orang-orang yang sudah radikal. Terkadang pelaku yang sudah dilakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan berpura-pura berkelakuan baik, tampak sudah mau berideologi Pancasila dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia namun di balik itu semua hanyalah kedok agar segera dilepas untuk dapat kembali kepada pengikutnya. Strategi penanggulangan terorisme yang telah dilakukan oleh BNPT secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu 8 : 1) Program Kontra Radikalisasi yang ditujukan terhadap masyarakat yang belum terpapar paham radikal, dan 2) Program Deradikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok yang sudah terpapar paham radikal dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi, resosialisasi dan reedukasi. Program Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi dilaksanakan kepada lapisan- lapisan masyarakat yang rawan menjadi ladang berjangkitnya terorisme. BNPT telah memetakan ada lima kategori masyarakat yang akan menjadi sasaran program tersebut 9 : 1) Kelompok Inti sebagai pusat radikalisme yang berfungsi melakukan cuci otak dan perekrutan terhadap militan yang siap melakukan bunuh diri sebagai ujung tombak terdepan serangkaian aksi pemboman di Indonesia, 2) Kelompok Militan yaitu para eksekutor yang siap mati untuk melakukan aksi terorisme. 3) Kelompok Pendukung yaitu individu atau kelompok yang tidak secara langsung terlibat dalam aksi teror namun kelompok ini dengan kerelaan hati menyediakan sarana pendukung bagi aksi terorisme, seperti tempat pelatihan, pendanaan, dan tempat persembunyian anggota-anggota teroris, 4) Kelompok Simpatisan yaitu kelompok yang memfasilitasi penyebaran paham radikal mengenai pentingnya Negara Islam, Khilafah Islam, dan penyesatan tentang makna jihad yangdisebarkan keseluruh lapisan masyarakat dan 5) Terakhir adalah 8 https://damailahindonesiaku.com/kebijakan/negara/str ategi/ akses pada 22 Februari 2016. 9 Ibid. 5

masyarakat Indonesia yang rentan turut menjadi sasaran radikalisme. Bentuk konkret strategi kontra radikalisasi dan deradikalisasi adalah untuk mencegah timbulnya prakondisi dan katalisator terjadinya terorisme. Dalam bidang ekonomi adalah melakukan pelatihan kewirausahaan terhadap mantan teroris yang telah menjalani hukuman pidana, dalam bidang pendidikan, BNPT melakukan koordinasi dengan Kementrian Pendidikan dan Kementrian Agama untuk melakukan seleksi terhadap materi-materi buku pelajaran dan terhadap yayasan yang menyelenggarakan tugas pendidikan agar menutup pintu masuk paham terorisme, untuk kontra propaganda terutama lewat media telematika, BNPT berkoordinasi dengan Kementerian Teknologi dan Informatika agar menutup dan menyensor website yang berisi ajakan, video atau artikel yang mengajarkan paham radikal. Guna mengatasi motif terorisme yang berkedok agama Islam tidak ada jalan lain BNPT juga harus memperbaiki konsep jihad yang salah kaprah yang dijadikan dasar bagi para pelaku terorisme. Selama ini khusus mengenai persoalan agama, BNPT hanya menyerahkan kepada tokoh-tokoh agama atau kepada Kementrian Agama agar berkoordinasi melakukan penanggulangan di instansi-instansi pendidikan dan instansi keagamaan seperti pesantren. Hemat penulis sudah waktunya kini BNPT sebagai kepanjangan tangan Negara dalam mengatasi masalah terorisme di Indonesia juga melakukan pengkajian keagamaan yang utuh untuk dijadikan dasar dalam melawan ajaran sesat yang dibawa oleh teroris. * Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 6