Who Are We?? Oleh: (Chatreen Moko) Copyright 2013 by (Chatreen Moko) Penerbit (Nida Dwi Karya Publishing) Desain Sampul: Zul Rachmat Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Ucapan Terimakasih: Pertama-tama saya ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya akhirnya saya bisa menyelesaikan buku yang berjudul Who Are We?? ini. Buku ini saya persembahkan untuk seluruh anak brokenhome di Indonesia terkhusus untuk followers di @Broken_homeINDO,terima kasih atas semua dukungannya terhadap saya,tanpa kalian saya bukan siapa-siapa. Terima kasih buat kakak Susan,Cledhyta,dan Marcel yang sudah memberikan support kepada saya lewat tawa,ejekan,sindiran,itu semua saya jadikan motivasi. Terima kasih pula saya ucapkan kepada kakak Umhy dan Anggy yang selalu mensupport disaat saya lagi down. Terimakasih pula kepada @nulisbuku yang telah membantu saya dalam menerbitkan buku ini.dan kepada semua pihak,saya berharap,saran&kritiknya. Juni,2013 Chatreen.Moko 2
Pendahuluan Image anak brokenhome dimata masyarakat sangat buruk.dimata masyarakat anak brokenhome itu identik dengan anak nakal,brutal,pergaulan bebas,narkoba,dan hal-hal buruk lainnya.padahal ngga semua anak brokenhome itu punya kelakuan buruk.walaupun harus diakui jumlah anak brokenhome yang kuat lebih sedikit dibanding anak brokenhome yang lemah. Buku ini berisi kisah-kisah nyata anak brokenhome yang mampu bangkit dari keterpurukan,sehingga dengan adanya buku ini pandangan masyarakat tentang anak brokenhome ngga lagi buruk seperti saat ini. Penulis sangat berharap buku Who Are We?? ini dapat bermanfaat.baca,khayati,dan ambil hikmahnya. 3
You Are Still My Beloved Father Saat ku lihat sosok yang ku panggil ayah memukuli ibuku, sungguh aku sangat membencinya. Aku sempat berpikir kalau ayah tak ada semua akan lebih baik. Aku tak perlu ketakutan saat mendengar pintu diketuk tanda ayah pulang. Aku tak harus takut apakah hari ini akan ada pertengkaran hebat lagi atau tidak,kalau ayah tidak ada mungkin ibuku tak akan pernah menangis lagi. Aku sempat berpikir kalau mereka berpisah semua akan baik baik saja. Semua akan lebih indah. Sampai pada suatu saat terjadi pertengkaran yang begitu riuh, waktu itu umurku baru 6 tahun. Aku dan kakakku tak melihatnya, yang kulakukan adalah lari ke kamarku dan bersembunyi dikolong tempat tidur sambil menangis. Aku hanya bisa mendengar ibuku menangis 4
dan ayahku memarahi ibuku sambil memecah barangbarang yang ada disekitarnya. Entah sudah berapa lama, yang aku rasakan hanyalah lelah karena menangis. Tiba tiba tangan aku dan kakak yang waktu itu baru berumur 9 tahun ditarik oleh ibuku dan kita pergi dari rumah. Aku tak tahu kemana tujuan ibuku. Aku tak berani bertanya dan tak berani menatapnya. Waktu itu ku ingat masih pukul 04.00 dinihari, kami berhenti disuatu rumah, aku langsung mengerti, ini rumah nenek. Kami akan tinggal dirumah nenek. Saat tiba dirumah nenek, kulihat muka ibuku yang biru bahkan hampir hitam bekas pukulan ayahku, dan kakinya yang pincang mungkin terkena lemparan vas bunga ayahku. Ibuku babak belur. Aku semakin membenci ayahku. 5
Aku mengagumi ibuku, dia adalah orang yang mandiri. Dia menyimpan rapat rapat semua yang ayah lakukan kepadanya. Dia tak pernah menangis di depan banyak orang. Dia selalu tersenyum.dia yang selalu menggendongku keluar dari kolong tempat tidur saat bersembunyi dan tertidur karena capek menangis mendengarkan ayah dan ibu bertengkar. Dia ibu yang kuat. Setelah insiden aku, kakak, dan ibuku pergi meninggalkan rumah, aku tak pernah bertemu ayahku. Yang aku pikirkan pertama kali adalah aku bebas. Bebas dari rasa takut yang selama ini terus menguntitku. Aku tak akan melihat ibuku dipukuli lagi. Tidak akan melihat ibuku menangis. Tidak akan bersembunyi dibawah kolong tempat tidur lagi. 6
Setelah pergi dari rumah, ayahku tak pernah berusaha menemuiku. Yang menghidupi aku dan kakakku adalah ibuku. Aku kagum padanya. Dia ibu sekaligus ayah yang baik bagiku. Aku tak memerlukan ayah lagi. Pikirku saat itu. Aku mencintai ibuku. Dia adalah orang yang tak pernah mengeluh. Dia adalah bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku. Sehari hari aku lewati seperti anak lain. Aku tumbuh seperti kebanyakan anak lain. Aku ceria, senang bermain dan aku bisa hidup tanpa ayah. Waktu itu umurku 15 tahun, ibuku mengajukan perceraian kepada ayahku. Dan aku sangat mendukungnya. Aku berpikir ibuku akan lebih bahagia kalau dia sudah mempunyai status yang jelas bukan istri dari ayahku lagi. Proses perceraian itu diurus oleh kuasa hukum ayahku. Aku tak bertemu dengan ayah. Dan 7
sudah kurang lebih 8 tahun aku tak pernah melihat wajahnya. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajah lelaki itu. Ambisiku untuk melupakannya membuat semua yang berhubungan dengan dia terasa jelek. Tapi dia adalah ayahku, bagaimanapun aku menghapus dia dari hidupku, aku adalah bagian dari dirinya. Darahnya masih mengalir di tubuhku. Itu yang tidak bisa diubah. Semakin aku berusaha menghilangkan semua tentang dia semakin banyak kenangan yang muncul bersama dia. Semakin aku berusaha membenci dia, semakin aku merasa bahwa aku mencintai lelaki itu. Setelah proses cerai selesai, saat aku melihat surat cerai itu, aku menyadari aku tidak bahagia dengan surat itu. Aku sedih, aku merasa benar benar kehilangan sosok ayah.diam-diam aku mulai merindukannya. Aku selalu menampik bahwa aku sebenarnya merindukan 8
ayahku. Aku selalu berusaha menolak kenyataan bahwa sebenarnya aku membutuhkan ayah. Aku melihat banyak teman temanku diantar sekolah oleh ayahnya dan aku selalu berangkat sendiri karena ibuku sibuk mencari uang untukku. Diam diam aku berharap bertemu dengan ayahku. Diam diam aku mulai berharap ayahku datang mencariku. Diam diam aku mulai mengharapkannya. Aku iri pada teman- temanku. Ku jalani hidupku seperti biasa.aku tetap aku yang ceria, aku tak mau ibuku sedih melihatku yang murung. Dan tak pernah terbersit sedikitpun dalam benakku untuk menjadi anak brutal seperti kebanyakan cerita anak brokenhome... 9