BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

ABSTRAK. Kata Kunci : Cekungan Barito, Kalimantan Selatan STRATIGRAFI REGIONAL PENGANTAR

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

memiliki hal ini bagian

II. GEOLOGI REGIONAL

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB II TATANAN GEOLOGI

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

BAB II GEOLOGI REGIONAL

2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

Bab II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Batasan Masalah

Gambar 4.1. Peta penyebaran pengukuran gaya berat daerah panas bumi tambu

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB V SINTESIS GEOLOGI

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

Kerangka Tektonik dan Geologi Regional

BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

IV. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

BAB II GEOLOGI REGIONAL

UNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI BASIN DAN PENENTUAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA GAYABERAT (STUDI KASUS CEKUNGAN SUMATERA SELATAN)

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1

GEOLOGI DAERAH KLABANG

SURVEI GAYA BERAT DAN AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT) DAERAH PANAS BUMI PERMIS, KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI BANGKA BELITUNG

Berdasarkan persamaan (2-27) tersebut, pada kajian laporan akhir ini. dilakukan kontinuasi ke atas dengan beberapa ketinggian (level surface) terhadap

Yesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan Gultaf 2.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL. Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal)

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dengan batas koordinat UTM X dari m sampai m, sedangkan

Transkripsi:

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Kualitatif dan Kuantitatif Dalam menentukan sebuah besaran tertentu dari anomali gayaberat yang telah diperoleh, perlu adanya proses lanjutan yaitu interpretasi terhadap data tersebut. Interpretasi gayaberat secara umum dibedakan menjadi dua yaitu interpretasi kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan mengamati data gayaberat berupa anomali Bouguer. Anomali tersebut akan memberikan hasil secara global yang masih mempunyai anomali regional dan residual. Hasil interpretasi dapat menafsirkan pengaruh anomali terhadap bentuk benda, tetapi tidak sampai memperoleh besaran matematisnya. Misal pada peta kontur anomali gayaberat diperoleh bentuk kontur tertutup maka dapat ditafsirkan sebagai struktur batuan berupa lipatan (antiklin atau sinklin). Dengan interpretasi ini dapat dilihat arah penyebaran anomali atau nilai anomali yang dihasilkan. Interpretasi kuantitatif dilakukan untuk memahami lebih dalam hasil interpretasi kualitatif dengan membuat penampang gayaberat pada peta kontur anomali. Teknik interpretasi kuantitatif mengasumsikan distribusi rapat-massa dan menghitung efek gayaberat yang diamati. Interpretasi kuantitatif pada penelitian ini adalah analisis SVD, dengan melakukan slice penampang tegak lurus struktur, kemudian dibandingkan nilai mutlak maksimum dengan nilai mutlak minimumnya melalui grafik matematis. Yang 67

mana dari seluruh interpretasi ini diharapkan akan dapat mengetahui struktur geologi bawah permukaan pada daerah penelitian. 5.2 Analisis Peta Anomali Bouguer Lengkap (CBA) Dari seluruh data distribusi titik pengamatan gravitasi yang diambil secara acak di daerah penelitian, dan setelah melalui proses reduksi lalu digambarkan dalam bentuk peta anomali bouguer lengkap (CBA) (Gambar 5.1). Gambar 5.1 Peta anomali bouguer lengkap Pada peta CBA dapat dilihat pada bagian barat pola kontur yang berorientasi dominan timur laut baratdaya dan terlihat di bagian timur peta yang memiliki arah utara - selatan. Rentang nilai anomali bouguer di daerah penelitian berkisar -4.49 hingga 77.80 mgal. Anomali rendah atau anomali yang memiliki nilai percepatan rendah pada peta CBA diperlihatkan dengan indeks warna biru yang tersebar pada bagian barat dan tengah peta, anomali sedang atau anomali yang memiliki nilai percepatan sedang ditunjukkan 68

dengan indeks warna hijau muda hingga warna jingga yang tersebar pada barat daya dan utara tengah peta, anomali tinggi atau anomali yang memiliki nilai percepatan tinggi ditunjukkan dengan indeks warna merah hingga merah muda yang tersebar pada bagian tengah dan timur peta. Perubahan dari anomali tersebut, tampak jelas dari barat ke timur dengan perubahan nilai anomali rendah ke tinggi yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh perubahan nilai kontras rapat-massa batuan yang terjadi pada daerah penelitian. Pada pola kontur yang menutup dan memiliki anomali yang cukup rendah pada bagian selatan dan barat laut peta yang memiliki distribusi rapat-massa bawah permukaan yang rendah diasumsikan sebagai cekungan, sedangkan pola kontur yang menutup dan memiliki anomali yang tinggi pada bagian tengah dan timur peta yang memiliki nilai distribusi rapat-massa bawah permukaan yang tinggi diasumsika sebagai tinggian perangkap hidrokarbon (Gambar 5.1). 5.3 Peta Anomali Regional Berdasarkan hasil analisis spektrum dari 4 lintasan penampang yang dibuat (dipaparkan pada Bab 4), hasil penapisan dengan lebar jendela 19x19 km didapatkan peta anomali regional. menunjukkan bahwa kedalaman rata-rata sumber anomali yang sifatnya regional pada daerah penelitian adalah berada pada kedalaman ±23332.5 meter berdasarkan perhitungan analisis spektrum pada (Tabel 4.6). Kedalaman regional ini mengindikasikan bahwa kedalaman kerak bawah hingga basement pada daerah penelitian. Peta anomali regional yang didapatkan dari hasil filtering menghasilkan lebar jendela tapis sebesar 19kmx19km, dengan nilai anomali berkisar 2.91 mgal hingga 52.54 mgal dapat 69

terlihat bahwa peta anomali regional hampir mendekati bentuk anomali Bouguernya (Gambar 5.2). Gambar 5.2 Peta anomali regional. Pada peta anomali regional pola kontur yang berorientasi dominan dari timurlaut baratdaya pada bagian barat peta dan utara selatan pada bagian timur peta. Anomali rendah ditunjukkan dengan warna biru, yang tersebar pada bagian baratlaut dan selatanpeta, anomali sedang ditunjukkan dengan warna hijau muda hingga jingga yang tersebar baratdaya dan utara peta, anomali tinggi ditunjukkan dengan warna merah hingga merah muda, yang tersebar pada bagian tengah dan timur peta. 5.4 Peta Anomali Residual Peta anomali residual diperoleh dari proses moving average ialah berupa anomali regional, sedangkan untuk mendapatkan anomali residual yaitu dilakukan pengurangan 70

anomali Bouguer lengkap dengan peta anomali regional hasil penapisan. Peta anomali residual ini menunjukkan sumber anomali yang bersifat lokal, biasanya berasosiasi dengan cekungan Tersier (mengindikasikan letak top basement dengan sedimennya) (Gambar 5.3). Peta anomali residual menunjukkan nilai -14.33 mgal hingga 25.09 mgal dan kedalaman rata-rata anomali residual di daerah penelitian berdasarkan perhitungan analisis spektrum pada (Tabel 4.6) berkisar ±2030.7 meter. Gambar 5.3 Peta anomali residual Pada peta anomali residual pola kontur yang berorientasi dominan dari timurlaut baratdaya pada bagian baratlaut peta dan utara selatan pada bagian timur peta dan baratlaut tenggara pada bagian tengah peta. Anomali rendah ditunjukkan dengan warna biru, yang tersebar pada bagian baratlaut, selatan, timur peta, anomali sedang ditunjukkan dengan warna hijau muda hingga jingga yang tersebar barat dan utara peta, anomali tinggi ditunjukkan dengan warna merah hingga merah muda, yang tersebar pada bagian tengah 71

dan timur peta. Dari peta residual penulis melihat adanya anomali tinggi serta pola kontur yang diinterpretasikan sebagai intrusi. Berdasarkan peta geologi regional diduga salah satunya merupakan intrusi dangkal. 5.5 Peta Anomali Second Vertical Derivative (SVD) Analisis untuk menentukan jenis sesar yang terdapat pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan hasil analisis menggunakan peta anomali SVD (Gambar 5.4). Yang mana pada peta anomali SVD didapat berdasarkan konsep Elkins (1951) dengan matriks 5x5. Setelah mengamati dan membandingkan antara hasil peta anomali residual (Gambar 5.3) dengan peta anomali derivatif vertikal kedua (Gambar 5.4), tampak bahwa antara kedua peta anomali tersebut memiliki suatu pola kelurusan kontur dan deliniasi area anomali rendahan yang identik. Dari hasil peta anomali SVD tersebut didapatkan harga anomali, yakni anomali terendah 4.29 mgal hingga anomali tertinggi 4.98 mgal. Gambar 5.4 Peta anomali second vertical derivative 72

Setelah didapatkan peta anomali SVD maka dibuat pola sayatan yang menginterpretasikan adanya sesar pada area tersebut. Dari kontras densitas yang berbeda dan dengan dibatasi oleh nilai kontras densitas nol atau mendekati nol, maka dapat disimpulkan sebagai batas karakteristik adanya pola struktur sesar. Kemudian pada peta anomali SVD tersebut dibuat beberapa lintasan atau penampang, yang mana lintasan tersebut digunakan untuk menentukan jenis sesar berdasarkan data respon gravitasi model sintetik (Gambar 5.5). Gambar 5.5 Peta anomali second vertical derivative dengan slice penampang Cara yang digunakan pada beberapa penampang tersebut adalah dengan cara slicing. Lalu hasil slice tersebut dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik jenis sesar yang terdapat pada daerah penelitian, apakah sesar tersebut berupa sesar naik, sesar turun, ataupun sesar mendatar. 73

Dari penampang slice pada peta anomali SVD dapat dianalisis berdasarkan nilai ϑ2 (Δg) ϑz 2 min dengan 2 (Δg) ϑ ϑz 2 max, sehingga perbandingan antara kedua puncak anomali dengan nilai anomali yang berbeda akan menggambarkan pola struktur sesar dari kurva tersebut. Gambar 5.6 Contoh hasil slice penampang A A Hasil dari pola-pola sayatan penampang pada peta SVD (Gambar 5.6) diatas, maka dapat ditentukan jenis sesarnya (Tabel 5.1). Untuk lebih jelasnya, kurva analisis sesar tiap penampang dapat dilihat pada (Lampiran Terikat 2). Tabel 5.1 Hasil analisis slice penampang SVD. Penampang Anomali SVDmax ( g z² )max Anomali SVDmin ² g z² min SVD max dan SVD min A A 1.277-0.866 SVD max > SVD min B B 2.064-0.884 SVD max > SVD min C C 2.09-2.019 SVD max > SVD min Jenis Turun Turun Turun 74

D D 1.102-0.766 SVD max > SVD min E E 1.661-1.532 SVD max > SVD min F F 1.826-2.235 SVD max > SVD min G G 0.534-0.649 SVD max > SVD min H H 1.513-0.727 SVD max > SVD min I I 1.563-0.731 SVD max > SVD min J J 1.402-0.655 SVD max > SVD min K K 2.008-2.123 SVD max > SVD min L L 0.529-1.721 SVD max > SVD min M M 1.131-2.257 SVD max > SVD min N N 0.586-2.240 SVD max > SVD min O O 0.744-2.106 SVD max < SVD min P P 1.477-1.641 SVD max < SVD min Q Q 2.007-2.297 SVD max < SVD min R R 1.81-2.378 SVD max > SVD min S S 2.093-2.216 SVD max < SVD min T T 2.163-2.41 SVD max < SVD min U U 0.732-1.134 SVD max < SVD min V V 1.658-2.241 SVD max < SVD min Turun Turun Naik Naik Turun Turun Turun Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik 75

Berdasarkan hasil analisis sesar pada tabel diatas, dapat diasumsikan peta struktur secara lateral, struktur patahan daerah penelitian memiliki pola kemenerusan struktur yang relatif utara selatan, dan baratdaya timurlaut (Gambar 5.7). Dari hasil interpretasi struktur dengan metode SVD didapatkan jenis struktur pada daerah penelitian yang kemudian dibandingkan dengan peta geologi regional serta kelurusan topografi daerah penelitian (Gambar 5.8). Dari kesebandingan tersebut dapat kita lihat adanya pola yang relatif sama dengan yang didapat dari metode SVD. Gambar 5.7 Memperlihatkan adanya pola kelurusan yang sama diantara peta anomali SVD (a), dengan kelurusan topografi (b), serta peta geologi regional (c) 76

Gambar 5.8 Peta anomali residual yang telah di overlay dengan struktur yang dihasilkan oleh peta SVD 5.6 Pemodelan Kedepan (Forward Modelling) Pemodelan geologi bawah permukaan diperoleh melalui proses pemodelan kedepan 2D terhadap suatu lintasan atau penampang pada peta anomali residual gravitasi daerah penelitian. Pada studi tersebut, dibuat 1 penampang untuk kedepannya menghasilkan model geologi bawah permukaan daerah penelitian (Gambar 5.9). 77

Gambar 5.9 Peta Anomali CBA dan Residual dengan penampang A A Konsep pada pemodelan ini didapat berdasarkan gravitasi hasil perhitungan (gravity calculated) dibandingkan hasil pengukuran di lapangan (gravity observed). Pemodelan dilakukan dengan cara mengubah-ubah parameter (trial and error), seperti rapat-massanya (density), nilai kedalamannya, serta bentuk strukturnya agar nilai (gravity calculated) dan nilai (gravity observed) mendekati kesamaan dalam profilnya. Cara ini 78

digunakan sebagai pembanding untuk menunjukkan hasil pengukuran gravitasi di lapangan dengan interpretasi geometri struktur bawah permukaan. A A A Gambar 5.10 Peta Geologi daerah penelitian Dalam memodelkan kontras densitas bawah permukaan tersebut, peneliti memerlukan informasi pendukung, yaitu berupa data geologi daerah penelitian dan data seismik. Data geologi yang digunakan berupa peta geologi (Gambar 5.10) dan stratigrafi regional daerah penelitian. Lalu untuk data seismik, diambil beberapa line yang dibutuhkan untuk mendukung pemodelan data gravitasi sedangkan besarnya rapat-massa yang diperkirakan yaitu dengan menggunakan hasil uji laboratorium fisika dan untuk formasi lain nya digunakan tabel rapat-massa dari Telford (1990) sebagai bahan perbandingan. 79

Berdasarkan penilaian dari beberapa aspek, penentuan lintasan penampang A A yang diambil relatif tegak lurus dengan struktur geologi yang ada dan memiliki variasi kontras rapat-massa yang mencolok. Penampang model dari hasil slicing peta anomali CBA dan residual kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Modelvision untuk menginterpretasikan penampang bawah permukaan dari berbagai hasil interpretasi serta data-data pendukung lainnya. Hasil model geologi bawah permukaan penampang A-A dapat dilihat pada (Gambar 5.11) dan (Gambar 5.12), penampang yang ditentukan relatif berarah barat - timur. Pada sayatan pemodelan kedepan berikut ini memiliki panjang model yaitu sekitar 148 km dengan nilai anomali dari peta CBA (deep section) 12 hingga 50 mgal dan untuk nilai anomali dari peta residual (shallow section) -8 hingga 11 mgal. Ketebalan pemodelan shallow section berkisar dari 0 hingga 2.6 km, sedangkan untuk ketebalan pemodelan deep section berkisar dari 0 hingga 34 km. 80

Gambar 5.11 Penampang gravitasi deep section model line A A Gambar 5.12 Penampang gravitasi shallow section model line A A 81

Dari hasil pemodelan penampang A A (Gambar 5.11) dan (Gambar 5.12) terlihat bahwa upper mantle yang merupakan batas bidang moho berada diatas batuan alas memiliki nilai densitas 3,07 gr/cm 3 berada pada kedalaman dan untuk batuan alas yang mengalasi formasi formasi diatasnya memiliki nilai densitas 2,67 gr/cm 3. Pada Formasi Ultramafik kompleks yang di perkirakan sebagai batuan alas oseanik yang terangkat berada pada timur peta dengan densitas 2,87 gr/cm 3, Formasi ini berumur Jura. Berdasarkan model yang dibuat, batuan sedimen mulai muncul pada kedalaman sekitar ±1600m yang bila dikorelasikan dengan data geologi dapat diasumsikan sebagai Formasi Pitap dengan densitas 2,43 gr/cm 3, berdasarkan model penampang A A ketebalan yang dibuat dari Formasi ini ±400 600 m. Formasi Pitap ini berumur Kapur Akhir dan diduga Formasi ini merupakan Formasi tertua yang menjemari dengan intrusi Granit dan Breksi Basaltik/Lava Basalt pada daerah penelitian. Intrusi Granit setempat yang berada pada penampang model A A mulai muncul pada kedalaman ±1000 1300 m dan menerobos Formasi Pitap dengan densitas 2,67 gr/cm 3. Intrusi Granit ini berumur Kapur Akhir. Kemudian Formasi Kasale Vulkanik Haruyan setempat pada penampang model A A yang juga menjemari dengan Formasi Pitap mulai muncul di kedalaman ±1000 1200 m dan memiliki densitas 2,62 gr/cm 3. Formasi Kasale Vulkanik Haruyan ini memiliki umur Kapur Akhir. Lalu diatas Formasi Pitap diendapkan Formasi Kuaro setempat yang memiliki densitas 2,39gr/cm 3, dan mulai muncul pada bagian timur penampang model A A di kedalaman ±600m dengan ketebalan rata rata 100 200m, yang berumur Eosen Awal Eosen Akhir. Kemudian pada mayoritas penarikan penampang model A A di 82

atas Formasi Pitap diendapkan Formasi Tanjung yang memiliki densitas 2,33 gr/cm 3, dan mulai muncul pada kedalaman ±1200 1600 m dengan ketebalan rata rata ±600 800 m, yang berumur Eosen Awal Oligosen Awal. Kemudian dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Berai, Formasi ini memiliki nilai densitas 2,23 gr/cm 3 yang berumur Oligosen Awal Miosen Awal. Pada Formasi Berai, terdapat pengendapan secara menjemari dengan Formasi Montalat dan Formasi Pamaluan. Formasi Montalat setempat memiliki nilai densitas 2,23 gr/cm 3 dan muncul pada kedalaman ±200 400 dengan ketebalan rata rata ±50 100 m, Formasi ini berumur Oligosen Awal Oligosen Akhir. Kemudian untuk Formasi Pamaluan setempat memiliki nilai densitas 2,23 gr/cm 3 dan muncul pada kedalaman ±500 600 m dengan ketebalan rata rata ±600 m, Formasi ini berumur Oligosen Awal Oligosen Akhir. Kemudian diatas Formasi Berai diendapkan Formasi Warukin dengan nilai densitas 2,12 gr/cm 3, Formasi ini mulai muncul pada kedalaman ±400 m dengan ketebalan Formasi sebesar ±200 m, Formasi ini berumur Miosen Awal Miosen Akhir. Kemudian diatas Formasi Warukin diendapkan Formasi Dahor yang memiliki nilai densitas 2,03 gr/cm 3, Formasi ini mulai muncul pada kedalaman ±200 m dengan ketebalan Formasi ±200 m, Formasi ini berumur Pliosen Awal Plistosen. Pada penampang model A - A dapat diasumsikan bagian yang sangat mengontrol keadaan bawah permukaan daerah penelitian adalah Intrusi Granit, pengangkatan Formasi Ultramafik, serta struktur inversi sepanjang penampang model A A. Kemudian untuk endapan Alluvial hanya terbentuk di sisi timur penampang model A A memiliki nilai densitas 1,7 gr/cm 3 apabila mengacu kepada tabel estimasi rapat massa menurut Telford (1990), akan tetapi peneliti memasukkan endapan Alluvial 83

kedalam satu Formasi Dahor dikarenakan keberedaan Alluvial yang tidak cukup besar dalam penampang model A A. Pada penampang model A A memperlihatkan adanya beberapa struktur yang berperan dalam mengontrol bentukan konfigurasi bawah permukaan daerah penelitian. Struktur yang tampak adalah berupa struktur inversi atau reverse fault yang diduga merupakan akibat tektonik kompresi pada Miosen Awal (Satyana & Silitonga, 1994). Akibat dari tektonik tersebut menyebabkan bentukan dari Cekungan Barito menjadi asimetris, yaitu semakin kearah timur batuan dasar akan semakin dalam, sebaliknya semakin kearah barat akan semakin dangkal. Pada bagian barat yang lebih besar dinamakan Lereng Barito Barat atau Paparan Barito, dan bagian yang lebih dalam dinamakan Barito Deep, juga disebut sebagai Barito Foredeep (Kusuma dan Darin, 1989, Satyana dan Silitonga, 1991). Struktur perkiraan lipatan berupa antiklin pada penampang tersebut didapat, dari pola kontur anomali residual dan juga hasil interpretasi pemodelan kedepan. Sedangkan untuk struktur sesar, seperti sesar turun dan sesar naik didapatkan dari hasil interpretasi data dengan metode analisis SVD. 5.7 Tectonic Extension (Beta Factor) Berdasaarkan nilai perhitungan terhadap penebalan kerak, makandaoat disimpulkan bahwa pada daerah penelitian umumnya memiliki trend cekungan dengan penebalan kearah timur dengan range 1,119 1,402, meskipun kenyataannya pada bagian barat terdapat pula nilai 1,422. Nilai 1,422 diperkirakan sebagai penyeimbang/manifestasi dari terangkatnya Meratus. Apabila dikaitkan dengan ketebalan sedimen, maka sedimen yang tebal bagian barat relatif tidak terganggu, 84

sedangkan pada bagian timur relatif terganggu oleh hadirnya piggy back basin akibat pengangkatan (Satyana, 1994) Gambar 5.13 Gambar analisis beta factor pada penampang model A A (deep section) daerah penelitian 5.8 Tektonik Implikasi Pada Kapur Awal Pulau Kalimantan belum terbentuk seperti saat ini. Southwest Borneo dan Paternoster Micro-Continent bergerak konvergen sehingga menutup Mesotethys akibat dari membukanya Cenotethys (Hall, 2012). Haruyan FM. dan Pitap FM. merupakan Vulkanik Basa-Intermediet juga saling mensubduksi. Pada Late Cretaceous Southwest Borneo collision dengan Paternoster sehingga menyebabkan adanya remnant Mesotethys dan Meratus Fold Belt. 85

Gambar 5.14 Tektonik Tahap Awal collision Southwest Borneo dan Paternoster Pada Kapur Akhir Paleocene Awal diperkirakan terjadi regangan pada daerah penelitian. Hal tersebut mengakibatkan adanya rifting dengan nilai Beta Factor sebesar 1,119 1,422 (rata rata). Trend dari rifting ini adalah Northeast Southwest pada kala tersebut atau Northwest Southeast setelah anti clockwise rotation. Diperkirakan fase ekstensi tersebut sebagai konsekuensi dari oblique convergence pada Kalimantan akibat menutupnya Mesotethys di Barat Sumatera (Hall, 2012). Pada kala Eocene terendapkan Formasi Tanjung yang merupakan fluvio-deltaic sedimen. 86

Gambar 5.15 Tektonik Tahap Kedua hasil akibat dari collision Southwest Borneo dan Paternoster Pada Late Oligocene hingga Early Miocene diperkirakan merupakan fase transgresi dimana terendapkan Formasi Berai yang merupakan batuan karbonat. Pada Middle Miocene hingga Pliocene diperkirakan merupakan fase regresi dimana terendapkan Formasi Warukin dan Formasi Dahor, kemudian terjadi kembali anticlockwise rotation dari Sundaland akibat dari terus menunjamnya Samudera Pasifik di Utara (hall,2012). Anti-clockwise tersebut menyebabkan adanya inversi pada Barito Basin. Tegasan utama pada periode ini relatif Northwest - Southeast akibat tumbukan di Utara Kalimantan dan membukanya Makassar Strait. 87

Gambar 5.16 Tektonik Tahap Akhir hasil akibat dari collision Southwest Borneo dan Paternoster 5.9 Analisis Petroleum Systems Daerah Penelitian Berdasarkan hasil analisis peta anomali residual dan pemodelan kedepan kemudian dikombinasikan dengan informasi geologi yang ada, maka dapat dianalisis petroleum systems pada daerah penelitian. Pada peta anomali CBA yang telah dikombinasikan dengan hasil interpretasi rendahan yang diperkirakan sebagai batuan induk dari petroleum systems daerah penelitian (Gambar 5.17). Pada peta anomali SVD yang telah dikombinasikan dengan hasil interpretasi struktur kemudian dizonasikan (Gambar 5.18), dimana menggambarkan kondisi geologi bawah permukaan berupa daerah tinggian maka kedua hal tersebut dapat dikaitkan dengan aspek petroleum system. 88

Gambar 5.17 Area batuan induk yang diperkirakan pada daerah penelitian Gambar 5.18 Area perangkap yang diperkirakan pada daerah penelitian 89

Gambar 5.19 Overlay antara area potensi batuan induk dengan perangkap hidrokarbon dengan perkiraan arah migrasi hidrokarbon Pada gambar gambar diatas Anomali rendah (telah dizonasi) pada Gambar 5.14 yang ditunjukkan oleh garis merah putus putus yang menunjukkan area batuan induk daerah penelitian yang merupakan tempat terbentuknya hidrokarbon. Mengacu pada prinsip perbedaan tekanan, yaitu fluida mengalir dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah bertekanan rendah (Rizka, dkk., 2011), maka dapat diasumsikan kemungkinan migrasi hidrokarbon dari area batuan induk (bertekanan tinggi) menuju ke anomali yang lebih tinggi (bertekanan rendah) yang ditunjukkan oleh area dengan indeks warna merah dan merah muda dan telah dizonasi pada Gambar 5.15 yang ditunjukkan oleh garis kuning putus putus. Hal ini diasumsikan adanya struktur tinggian yang diperkirakan sebagai antiklin atau struktur tutupan (closure). Namun untuk lebih jelasnya 90

perangkap hidrokarbon dan lapisan penutup dapat diidentifikasi dari hasil pemodelan kedepan dari lintasan yang telah dibuat. Pada area Tanjung raya hidrokarbon terbentuk dari batuan induk Formasi Tanjung bagian bawah dan Formasi Warukin bagian bawah. Hidrokarbon terjebak pada structural trap yang mengandung batupasir Formasi Tanjung bagian bawah dan Formasi Warukin bagian atas. Batuan Induk Tahap pertama, sedimen diendapkan di graben Paleogen berupa alluvial channel dan fan mengalami progradasi hingga ke lingkungan danau. Sejumlah lapisan tipis batubara diduga diendapkan sepanjang tepi danau. Lingkung danau dalam terbentuk pada bagian sumbu graben. Lingkungan ini menghasilkan lingkungan reduksi yang baik bagi akumulasi algae. Lapisan batuan induk berupa alga danau dapat membentuk prolific oil. Carbonaceous clay/shale dan lapisan tebal batubara lebih dari 10 meter di temukan sedimentasi tahap 2. Kebanyakan hidrokarbon di lapangan Tanjung raya diduga terbentuk dari tahap 2 ini. Maturasi Dari analisis maturasi batuan induk Formasi Tanjung bagian bawah, diketahui paada bagian baratlaut maturasi hidrokarbonnya adalah immature early mature, dan pada bagian tengahnya mature, sedangkan dibagian tenggaranya maturasinya overmature ( bagian paling dalam basin ini). 91

Reservoar Reservoar utama berupa syn-rift sand tahap 1, post rift sag fill tahap 2 dan 3. batupasir syn-rift pada tahap 1 (disebut batupasir A dan B atau Z 1015 dan Z 950) diendapkan dilingkungan alluvial fan dan lingkungan delta front lacustrine, dan memiliki ketebalan 30 50 meter. Batupasir pada tahap 2 (batupasir c dan d atau Z.860 dan Z.825) mewakili batupair alluvial fan. Properti Reservoar pada batupasir Z.860 ini lebih baik di bandingkan batupasir pada Formasi Tanjung bagian bawah, Batupasir ini memiliki pemilahan yang bagus dan maturasi mineral yang bagus, ketebalan 25 30 meter, dengan nilai porisitas dan permeabilitas rata rata yang bagus. Tidak seperti Z.860, batupasir Z.825 tipis dan diskontinyu (melensis) dengan ketebalan 3 5 meter. Tahap 3 reservoarnya terdiri dari Batupasir e (Z.710 dan Z. 670). Batupasir-E di endapakn pada pantai/barrier bar pada lingkungan garis pantau yang terus mengalami regresi.ketebalan maksimum dari batupasir- E ini 30 meter. Batuan Tudung Fase post rifting dari transgresi regional subsidence setelah pengendapan dari sagfill sedimen menghasilikan shallow marine mudstone pada tahap 4 Formasi Upper Tanjung. Batuan mudstone marine ini menyediakan sealing yang efektif bagi 92

reservoar Formasi Tanjung bagian bawah. Tersusun atas 800 meter dengan dominasi neritic shale dan silty shale. Traping Mechanism Hidrokarbon terbentuk, bermigrasi dari batubara Formasi Tanjung tengah - bawah, carbonaceous shales, dan carbonaceous shales pada Formasi Warukin bagian bawah. Batuan induk utama terletak pada depocentre basin sekarang. Batuan penutup dihasilkan dari intra-formational shales. Pembentukan, migrasi, dan pemerangkapan hidrokarbon terjadi sejak pertengahan awal Miosen (20 Ma). Cekungan Barito merupakan contoh dari efek interaksi tektonik terhadap tempat pembentukan hidrokarbon (petroleum system). Tektonik ekstensional pada Tersier awal membentuk rifted basin, dan grabennya diisi oleh lacustrine Tanjung shales dan coals. Lingkungan lacustrine inilah yang akan membentuk batuan induk Formasi Tanjung. Karena subsidence yang terus berlangsung dan rifted structure makin turun, shale diendapkan semakin melebar, dan akan membentuk Penutup untuk reservoar yang ada dibawahnya. Kondisi ini juga yang menyebabkan penyebaran pengendapan batuan reservoar. Patahan ekstensi merupakan media untuk migrasinya hidrokarbon yang terbentuk dibagian terbawah dari graben. Selama Miosen Akhir, Cekungan mengalami permbalikan akibat naiknya Meratus, membentuk cekungan asimetris, Cekungan Barito mengalami dipping kearah NW dan makin ke SE semakin curam. Akibatnya bagian tengah dari mengalami subsidence, sehingga batuan induk Formasi Tanjung semakin terkubur, dan 93

menghasilkan kedalaman yang cukup bagi batuan induk untuk tereduksi menjadi hidrokarbon. Hidrokarbon mengisi jebakan melalui patahan dan melalui batupasir yang permeable. Pada awal Pliocene, batuan induk Formasi Tanjung kehabisan cairan fluida hidrokarbon, sehingga membentuk gas dan bermigrasi mengisi jebakan yang telah ada. Batuserpih Formasi Warukin bagian bawah pada cekungan depocentre mencapai kedalaman dari oil window selama Plio-Pleistocene. Minyak terbentuk dan bermigrasi ke jebakan struktural dibawah batupasir Warukin. Migrasi Hidrokarbon Inversi struktural yang terjadi di awal Miosen sangat mempengaruhi cekungan pada akhir Miosen sampai Pliosen dan telah menurunkan batuan induk dari Formasi Tanjung bagian bawah ke kedalaman dimana hidrokarbon dapat dihasilkan. Hidrokarbon yang bermigrasi terperangkap pada antiklin yang terbentuk selama inversi. Inversi Plio- Pleistosen juga menghasilkan jebakan baru atau merusak akumulasi hidrokarbon sebelumnya, sehingga hidrokarbon kembali bermigrasi dan terperangkap pada stuktruk inversi yang lebih baru. 94