BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Pembahasan Degumming

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

Biodiesel Dari Minyak Nabati

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sunardi 1, Kholifatu Rosyidah 1 dan Toto Betty Octaviana 1

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan produk biodiesel dari Minyak Goreng Bekas dengan Cara Esterifikasi dan Transesterifikasi

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB II PUSTAKA PENDUKUNG. Ketersediaan energi fosil yang semakin langka menyebabkan prioritas

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

PENGARUH PENAMBAHAN NaOH DAN METANOL TERHADAP PRODUK BIODIESEL DARI MINYAK GORENG BEKAS (JELANTAH) DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI

Bab IV Hasil dan Pembahasan

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB II TINJUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi bahan bakar sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1 Prarancangan Pabrik Dietil Eter dari Etanol dengan Proses Dehidrasi Kapasitas Ton/Tahun Pendahuluan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Karakteristik Bahan Baku Biodiesel. Propertis Minyak Kelapa (Coconut Oil)

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisa awal yang dilakukan pada minyak goreng bekas yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel adalah sejenis bahan bakar yang termasuk kedalam kelompok bahan bakar nabati (BBN). Bahan bakunya bisa berasal dari berbagai sumber daya nabati, yaitu kelompok minyak dan lemak (H.R Sudradjat,2008). Biodiesel mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bahan bakar diesel dari minyak bumi. Bahan bakar biodiesel dapat diperbaharui. Selain itu juga dapat memperkuat perekonomian negara dan menciptakan lapangan kerja. Biodiesel merupakan bahan bakar ideal untuk industri transportasi karena dapat digunakan pada berbagai mesin diesel, termasuk mesin-mesin pertanian. Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari minyak tumbuhan (minyak kedelai, canola oil, rapeseed oil, crude palm oil), lemak hewani (beef talow, lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan dari minyak goreng bekas (yellow grease/rendered greases) (Davies, 2005). Proses reaksi yang digunakan pun bervariasi yaitu transesterifikasi berkatalis basa (NaOH, KOH), esterifikasi berkatalis asam (H 2 SO 4, HCl), dan metode supercritical (Zhang et al, 2003). Produksi biodiesel dengan metode transesterifikasi berkatalis basa, baik natrium hidroksida/naoh maupun natrium metoksida, banyak digunakan secara komersial namun metode ini memiliki laju reaksi yang lamban dan adakalanya reaksi berhenti sebelum terkonversi sempurna menjadi produk biodiesel (Boocock et al, 1998). Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan kandungan FFA rendah secara keseluruhan terdiri dari reaksi transesterifikasi, pemisahan gliserol dari metil ester, pemurnian metil ester (netralisasi, pemisahan methanol, pencucian dan pengeringan/dehidrasi), pengambilan gliserol sebagai produk samping (asidulasi dan pemisahan metanol) dan pemurnian metanol tak bereaksi secara destilasi/rectification. Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah 4

yang cukup besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester. Tabel 2.1. Standar mutu Biodiesel SNI 7182-2015 No Parameter Satuan Nilai Metode Uji 1 Massa jenis pada 40 C kg/m 3 850 ASTM D 1298 890 2 Viskositas kinematik mm 2 /s (cst) 2,3 6,0 ASTM D 445 pada 40 C 3 Angka Setana Min 51 ASTM D 613 4 Titik nyala (mangkok tertutup C, min 100 ASTM D 93 5 Titik kabut C, maks 18 ASTM D 2500 6 Air dan sedimen %-volume, maks 0,05 ASTM D 2709 atau ASTM D 1796 7 Angka Asam Mg-KOH/g, maks 8 Angka iodium %-massa (g- I2/100g),maks 0,5 AOCS Cd 3d- 63 atau ASTM D 664 115 AOCS Cd 1-25 Sumber: BPPT, 2015 2.2 Minyak Goreng Bekas ( Minyak Jelantah) Minyak yang telah dipakai menggoreng biasa disebut minyak jelantah. Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak yang telah rusak. Minyak yang tinggi kandungan LTJ (Lemak Tak Jenuh)-nya memiliki nilai tambah hanya pada gorengan pertama saja, sementara yang tinggi ALJ (Asam Lemak Jenuh)-nya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan rusak juga. Oleh proses penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi 5

jenuh. Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik yang bias mengakibatkan penyakit kanker, dan dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya.untuk itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak jelantah dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan, kegunaan lain dari minyak jelantah adalah sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Minyak goreng bekas mengandung asam lemak bebas (Free Fatty Acid, FFA) yang dihasilkan dari reaksi oksidasi dan hidrolisis pada saat penggorengan. Reaksi hidrolisis Minyak jelantah merupakan salah satu bahan baku yang memiliki peluang untuk produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Minyak jelantah merupakan limbah yang berpotensi menimbulkan bau busuk akibat degradasi biologi. Sementara untuk menekan biaya produksi sebagian pedagang biasanya tidak membuang minyak jelantah tersebut. Minyak jelantah yang digunakan kembali sebagai bahan makanan tidak baik untuk kesehatan karena dapat mengakibatkan kerusakan pada hati, ginjal, jantung dan bersifat karsinogenik (Hanif, 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha lain dalam pemanfaatan minyak jelantah tersebut. Salah satunya adalah sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel. Tabel 2.2. Komposisi Minyak Jelantah Asam Lemak Majalah Sasaran No.4, 1996 Ketaren, 2005 Mahreni, 2010 Oleat 38-50 30 45 30,71 Linoleat 5-14 7 11 54,35 Miristat 1-2 1,1 2,5 0,19 Palmitat 32-47 40 46 8,9 Stearat 4-10 3,6 4,7 3,85 Laurat 1 1 9,95 Linolenat 1 1 0,27 6

Minyak jelantah juga dapat diproses menjadi minyak yang bermutu, misalnya pembuatan biodiesel dari minyak jelantah. Akan tetapi minyak jelantah yang akan diproses untuk pembuatan biodiesel ini harus melalui proses pemurnian yang menggunakan katalis dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi (Gareso, 2010). Pemanfaatan jelantah dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama dengan melakukan beberapa proses pada jelantah tersebut hingga menjadi seperti solar. Misal dengan proses transesterifikasi. Hasilnya, jelantah tersebut dapat digunakan untuk bahan bakar pada metode pembakaran dalam (internal combustions) maupun pembakaran luar (external combustions). Tetapi, proses tersebut membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena ada tahapan pengendapan, penyaringan dan pencucian. Selain waktunya lama, proses tersebut juga membutuhkan biaya, yaitu untuk aditif dan katalisatornya. Proses ini juga tidak efisien bila volume jelantah hanya dalam skala kecil. Cara kedua adalah dengan memanfaatkannya secara langsung sebagai bahan bakar pembakaran luar. Cara tersebut relatif cukup praktis karena tidak membutuhkan proses yang rumit. Proses yang perlu untuk dilakukan hanyalah penyaringan, sehingga jelantah terbebas dari terak, kotoran ataupun agregat. Pemanfaatan dengan cara ini bisa dilakukan untuk berbagai skala volume, dan sangat sesuai terutama bila volumenya dalam skala yang kecil. Ketersediaan jelantah juga relatif terjaga karena pada saat ini, produksi maupun konsumsi minyak goreng di Indonesia terus meningkat (Hutomo, 2013). Jelantah merupakan salah satu pilihan yang menarik untuk digunakan sebagai bahan bakar karena memiliki beberapa keunggulan antara lain kandungan energi yang dimiliki cukup besar, sehingga dengan bobot atau volume yang tidak besar terdapat potensi kalor yang cukup tinggi, kondisinya relatif masih dalam fase cair sehingga pengaturan dalam operasional pembakaran relatif mudah, tidak gampang meledak sehingga aman dan penyimpanan persediaannya tidak membutuhkan prosedur ataupun persyaratan khusus (Hutomo, 2013). 7

2.3 Metanol Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk alcohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri. Secara fisika metanol mempunyai afinitas khusus terhadap karbon dioksida dan hidrogen sulfida. Titik didih metanol berada pada 64,7 o C dengan panas pembentukan (cairan) 239,03 kj/mol pada suhu 25 o C. Metanol mempunyai panas fusi 103 J/g dan panas pembakaran pada 25 o C sebesar 22,662 J/g. Tegangan permukaan metanol adalah 22,1 dyne/cm sedangkan panas jenis uapnya pada 25 o C sebesar 1,370 J/(gK) dan panas jenis cairannya pada suhu yang sama adalah 2,533 J/(gK). Sebagai alkohol alifatik yang paling sederhana dengan rumus kimia CH3OH, reaktifitas metanol ditentukan oleh group hidroksil fungsional. Metanol bereaksi melalui pemutusan ikatan C-O atau O-H yang dikarakterisasi dengan penggantian group H atau OH. Metanol dapat diproduksi dari dua macam metoda yaitu metoda alamiah dengan cara ekstraksi atau fermentasi, dan metoda sintesis dengan cara sintesis gas hidrogen dan karbon dioksida atau oksidasi hidrokarbon atau dengan cara elektro/radiasi sintesis gas karbon dioksida. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Reaksi kimia metanol yang terbakar di udara dan membentuk karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut: 2 CH3OH + 3 O2 2 CO2 + 4 H2O Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera 8

akibat api yang tak terlihat. Karena sifatnya yang beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan additif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan industri; Penambahan "racun" ini akan menghindarkan industri dari pajak yang dapat dikenakan karena etanol merupakan bahan utama untuk minuman keras (minuman beralkohol). Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida; kemudian, gas hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap sintesisnya adalah eksotermik. Metanol digunakan secara terbatas dalam mesin pembakaran dalam dikarenakan metanol tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bensin. Metanol juga digunakan sebagai campuran utama untuk bahan bakar model radio kontrol, jalur kontrol, dan pesawat model. Salah satu kelemahan metanol jika digunakan dalam konsentrasi tinggi adalah sifat korosif terhadap beberapa logam, termasuk aluminium. Ketika diproduksi dari kayu atau bahan oganik lainnya, metanol organic tersebut merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan hidrokarbon. Namun mobil modern pun masih tidak bisa menggunakan BA100 (100% bioalkohol) sebagai bahan bakar tanpa modifikasi. Metanol juga digunakan sebagai pelarut dan sebagai antibeku, dan fluida pencuci kaca depan mobil. Sifat Fisika dan Kimia Methanol Sifat fisik : Freezing point/melting point : -98 o C Boiling point (760mmHg) : 64.7 o C Flash point : 11 o C Viscocity (20 o C) : 0,55 Cp 9

Sifat kimia : Rumus molekul Berat molekul Solubility Bersifat polar (Knothe, Gerhard. 2004) : CH3OH : 32.04 g mol-1 : miscible 2.4 Katalis Katalis adalah suatu zat yang mempercepat suatu laju reaksi dan menurunkan energi aktivasi, namun zat tersebut tidak habis bereaksi. Ketika reaksi selesai, kita akan mendapatkan massa katalis yang sama seperti pada awal kita tambahkan. Zat yang menghambat berlangsungnya reaksi disebut inhibitor. Dalam suatu reaksi kimia, katalis tidak ikut bereaksi secara tetap sehingga dianggap tidak ikut bereaksi. 2.4.1. Katalis Asam Pembuatan biodiesel dapat juga dengan menggunakan ``katalis asam. Selain dapat mengkatalisis reaksi transesterifikasi minyak `menjadi biodiesel, katalis asam juga dapat mengkatalisis reaksi esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi biodiesel. 2.4.2. Katalis Basa Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. 2.4.2.1. Katalis Basa Homogen Katalis homogen adalah katalis yang mempunyai fase yang sama dengan reaktan dan produk. Katalis homogen yang banyak digunakan adalah KOH dan NaOH dalam alcohol. Penggunaan katalis homogen mempunyai kelemahan, yaitu bersifat korosif, sulit dipisahkan dari produk dan katalis tidak dapat digunakan 10

kembali. Keuntungan dari katalis homogeny yaitu memiliki yield yang besar dan reaksi suhu yang rendah. 2.4.2.2. Katalis Basa Heterogen Katalis basa heterogen merupakan suatu zat yang dapat mempercepat terjadinya suatu reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi, mempuyai sifat basa, dan fasa zatnya berbeda dengan fasa reaktannya. Katalis basa heterogen dapat mempercepat reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel. Reaksi transesterifikasi adalah reaksi antara minyak tumbuhan atau lemak hewan dengan alkohol membentuk ester dan gliserol. Jika menggunakan metanol maka ester yang dihasilkan dikenal dengan nama Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Reaksi ini digunakan secara luas untuk mengurangi viskositas trigliserida (Murugesan, dkk., 2008; Samik dkk,2011). Katalis heterogen antara lain CaO, MgO. Saat ini banyak industri menggunakan katalis hetrogen yang mempunyai banyak keuntungan dan sifatnya yang ramah lingkungan yaitu tidak bersifat korosif, mudah dipisahkan dari produk dengan cara filtrasi serta dapat digunakan berulang kalidalam jangka waktu yang lama. (Widyastuti, L., 2007). Berikut adalah reaksi yang terjadi antara asam lemk bebas dengan katalis basa : 2.5 Transesterifikasi Reaksi antara minyak (trigliserida) dan alkohol adalah merupakan reaksi transesterifikasi (Darnoko dan Cheryan, 2000). Transesterifikasi adalah suatu reaksi yang menghasilkan ester dimana salah satu pereaksinya juga merupakan senyawa ester. Jadi disini terjadi pemecahan senyawa trigliserida dan migrasi 11

gugus alkil antara senyawa ester. Ester yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi ini disebut biodiesel. R adalah gugus alkil dan R1 R3 merupakan gugus asam lemak jenuh dan tak jenuh rantai panjang: CH2-O-COR1 R1COOR CH2OH 3 R OH + CH-O-COR2 katalis R2COOR CHOH CH2-O-COR3 R3COOR CH2OH Alkohol Trigliserida Ester/Biodiesel Gliserol Reaksi Transesterifikasi Reaksi transestrifikasi dikenal dengan sebutan reaksi alkoholis. Hal ini disebabkan pada transestrifikasi direaksikan suatu ester, dalam hal ini trigliserida dalam minyak, dengan alcohol membentuk metil ester. Alkohol yang biasanya digunakan dalam reaksi transestrifikasi adalah methanol. Tujuan dari reaksi transestrifikasi dalam pembuatan biodiesel adalah menghilangkan secara seutuhnya kandungan trigliserida, menurunkan titik didih, titik nyala, titik beku dan juga viskositas dari minyak yang direaksikan. Hal ini dilakukan agar metil ester yang dihasilkan dapat digunakan sebagai biodiesel pada mesin diesel tanpa merubah atau merusak mesin diesel. Transestrifikasi berkatalis basa umum digunakan pada proses produksi biodiesel secara komersial. Metode ini dapat mencapai 98% konversi dengan waktu reaksi yang minimum. Sedangkan metode transestrifikasi asam memerlukan waktu reaksi yang lebih lama. (Jannah, 2008). 2.5.1 Hal hal yang mempengaruhi Reaksi Transterifikasi Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi transestrifikasi antara lain : 1. Kandungan Asam Lemak Bebas dan Air. Pengaruh asam lemak bebas dan air pada alkoholis dari lemak daging dan methanol telah diselidiki (Fangrui Ma,1999). Hasilnya 12

menunjukkan bahwa kandungan air dari lemak daging seharusnya dijaga dibawah 0,06% berat dan kandungan asam lemak bebasnya dibawah 0,5% berat untuk mendapatkan konversi terbaik. Kandungan air adalah variabel yang lebih diperhatikan daripada asam lemak bebas. Menurut Bioscience and Bioengineering (2001) bahwa transesterifikasi tidak menghendaki adanya nitrogen dilingkungan. Reaktor terbuka ke atmosfer melalui kondensor dan oksigen larut dalam minyak yang menguap ke atmosfer ketika reaktor dipanaskan sehingga alcohol menguap memudahkan prosesnya. Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida. (Freedman, 1984) 2. Katalisator Fungsi katalisator adalah mengaktifkan zat pereaksi sehingga pada kondisi tertentu konstanta kecepatan reaksi bertambah besar. Untuk mempercepat reaksi katalisator yang biasanya digunakan adalah katalisator asam (misalnya asam klorida dan asam sulfat) atau katalisator basa (misalnya natrium hidroksida dan kalium hidroksida). Katalis digunakan untuk menyempurnakan reaksi dalam waktu yang singkat yaitu 30 menit pada suhu rendah 50 o C. katalis yang digunakan kira-kira 0,1%. Jika konsentrasi katalis tinggi maka akan kehilangan minyak secara berlebih sebagai pembentuk sabun dan methyl ester. Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling popular untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH 3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak nabati. Jumlah 13

katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium hidroksida. 3. Perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah. Perbandingan metanol dalam minyak juga sangat berpengaruh. Perbandingan molar biasanya antara 5 : 1 sampai 10 : 1 walaupun menggunakan metanol berlebih juga dapat mengakibatkan pemisahan gliserin. (Kapilakarn,2007) Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alcohol dengan minyak nabati 6 : 1 dapat menghasilkan konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6 : 1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3 : 1 adalah 74-89% dan pada 8 : 1 adalah 79-81% karena metanol yang berlebih akan mengakibatkan sulitnya pemisahan gliserol. Sisa gliserol yang masih terdapat pada biodiesel akan mengurangi kadar metill ester yang terbentuk. (Ma, Fangrui., 1999). Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum. 4. Suhu reaksi Temperature mempunyai peranan yang sangat penting pada kualitas produk. Umumnya, batasan temperatur yang digunakan dalam proses adalah 50 o C 65 o C. Jika temperatur lebih besar dari titik didih metanol (68 o C) menyebabkan methanol akan lebih cepat menguap sedangkan jika temperatur dibawah 50 o C menyebabkan viscositas biodiesel tinggi. (Kapilakarn,2007). Menurut Brackman dkk temperatur transesterifikasi terjadi mengikuti suhu didih me-tanol (60-70 o C), sedangkan Korus Roger A menyatakan bahwa temperatur yang lebih tinggi menyebabkan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konversi maksimum dan bahwa kecepatan pengadukan mempengaruhi kece-patan tercapainya fasa homogen antara minyak dengan alkohol. (Arbianti,2008). 14

5. Waktu reaksi Waktu reaksi mempengaruhi konsentrasi dari methyl ester, konsentrasinya meningkat setelah 5 60 menit sedangkan konsentrasi dari minyak nabati dan gliserol sedikit menurun. (Kulchanat Kapilakarn,2007) Kecepatan konversi meningkat dengan waktu reaksi (Fangrui Ma,1999). Alkoholis yang termasuk dalam ineteresterifikasi dapat dilakukan dengan pemanasan minyak/lemak pada suhu yang relatif tinggi <200 o C selama waktu yang lama. Katalis digunakan untuk menyempurnakan reaksi dalam waktu yang singkat misalnya 30 menit pada suhu rendah 50 o C. Katalis yang digunakan kirakira 0,1%. Jika konsentrasi katalis tinggi maka akan kehilangan minyak secara berlebih sebagai pembentuk sabun dan methyl ester. Darnoko D menyimpulkan bahwa waktu reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi metil ester yang dihasilkan. (Arbianti,2008). 15