BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan dari berbagai bangsa untuk diteliti. Hal ini disebabkan karena Minangkabau dinilai mempunyai adat istiadat dan budaya yang istimewa dari pada suku bangsa Indonesia lainnya. Perbedaannya karena sistem kekerabatan yang menurut garis ibu atau matrilineal dan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat, pada dasarnya diatur oleh adat istiadat dan kebiasaan dengan sistem hubungan keluarga bilateral atau seasal. Parsudi Suparlan (1982) menyatakan, sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang yang sekerabat yang melibatkan adanya berbagai tingkat, hak dan kewajiban orang-orang yang sekerabat, yang membedakannya dengan orang-orang yang tergolong tidak sekerabat. Sistem kekeluargaan yang dianut orang Minang ternyata mampu bertahan dan mampu menyebar ke luar wilayah budayanya sendiri dan dapat peka terhadap perubahan. Pola yang digunakan masyarakat Minang dalam berwirausaha adalah pola pembinaan badunsanak, dimana mereka memiliki rasa senasib sepenanggungan (rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan), menciptakan saling terbuka, saling percaya, saling menjaga, dan seiya sekata dengan pola awak samo awak dalam
mengembangkan suatu usaha yang dikelola oleh keluarga (http://www.cimbuak.net/ content/view/494/5/cimbuak_net Minangkabau Community Portal, 30/04/2008). Suku Minangkabau adalah suatu suku yang dikenal di Indonesia karena penduduknya yang taat beragama Islam, suka berdagang dan merantau, tiga ciri tersebut merupakan pembentuk keutuhan identitas orang Minang. Terlepas dari semua keunikan di atas, suku bangsa Minangkabau memang terkenal dengan tradisi merantaunya. Merantau dalam pengertian disini adalah meninggalkan kampung halaman mereka dan menetap di tempat lain yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang layak (Amir, 1982 : 219). Biasanya dalam periode di negeri orang inilah orang Minang yang merantau mulai mencari suatu bidang untuk dapat menghidupi dirinya. Bidang usaha yang ditekuni suku Minangkabau adalah berjualan makanan. Ini terlihat dari berdirinya warung-warung padang mulai dari restoran sampai pedagang nasi pinggir jalan. Pepatah bijak mengatakan Dimana bumi di pijak disana langit di junjung. Karena kemampuannya menjalin tali silaturahmi maka orang minang diterima di seantero nusantara. Dimanapun kita berada, selalu ditemukan orang minang, dan dimanapun orang minang berada, disana selalu ada masakan Padang (http://ksuheimi.blogspot.com2007/10/sisir.tanduk.html, 25/02/2008). Menurut Pelly, orang Minangkabau melihat hidup memburuh menduduki prestise yang paling rendah, karena itu sangat tidak populer di kalangan mereka, barulah pada generasi kedua para perantau banyak yang tertarik dengan lapangan kehidupan pegawai yang mempunyai pendidikan menengah keatas, sedangkan
mereka yang hanya memiliki ijazah sekolah dasar cenderung memilih okupasi buruh dan pedagang (Pelly, 1984: 47-48). Rumah makan merupakan salah satu mata pencaharian orang Minang baik di kampung maupun di rantau. Dalam pendirian dan aktivitas di rumah makan, terdapat berbagai kesepakatan-kesepakatan yang dibicarakan secara bersama-sama antara pemilik dan karyawan. Asal usul rumah makan sebagai salah satu mata pencaharian terbesar dari orang Minangkabau berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dengan kesadaran bahwa dengan bertani tidak akan menjadi kaya, sehingga mereka biasanya akan lari ke sektor perdagangan seperti tekstil, kelontong dan rumah makan (www.cimbuak.net/content/view/63/71, 30/04/2008) Lapau atau rumah makan juga merupakan bentuk usaha keluarga yang biasanya menjadi pekerjaan sampingan dari suami dan istri. Dengan demikian usaha rumah makan dikelola oleh keluarga sendiri. Tetapi dengan perkembangan ekonomi banyak juga yang merekrut karyawan dengan sistem upah yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dari masing-masing pemilik rumah makan. Pada rumah makan minang biasanya bermula dari sebuah bisnis keluarga yang melibatkan sebagian anggota keluarga di dalam kepemilikan dan operasionalnya (Rudito,1991:46). Perbedaan yang dapat dilihat dari bisnis yang menggunakan nilai-nilai kekeluargaan pada bisnis orang Minang dengan bisnis yang menggunakan nilai-nilai kekeluargaan modern pada bisnis orang Cina adalah sebagai berikut : Nilai-nilai kekeluargaan yang ada pada bisnis orang Minang dicirikan sebagai berikut;
1. Etika-etika ekonomi orang Minangkabau berhubungan dengan sistem kekeluargaan, dalam kaitannya dengan proses sosial dan realitas ekonomi politik dan perubahan sosial yang lebih mencakupinya; 2. Kenyataan bahwa sebagian besar orang Minangkabau masih mendukung ekonomi keluarga menurut garis keturunan ibu (matrilineal), terutama saudara perempuan dan anak dari saudara perempuan yang memacu mereka untuk melakukan akumulasi ekonomi; 3. Etika ekonomi orang Minang lebih bersifat kompetitif; memiliki orientasi pada kemajuan yang lebih terarah pada keberhasilan ekonomi dan mobilitas yang lebih tinggi; dan menempatkan dirinya secara berbeda ke tahap yang lebih tinggi dalam usaha dagang kecil dan kegiatan kewirausahaan lainnya; 4. Di kalangan orang Minangkabau, para wanita sangat didukung untuk kepemilikan dan pewarisan rumah, juga dalam mengelola sumber-sumber rumah tangga, dan mereka memainkan peran penting dalam kegiatan jual beli. Dalam konteks ini biasanya mereka terlibat dalam perdagangan kecil, pengelolaan kedai-kedai nasi atau rumah makan kecil dan sebagainya (Hefner, 1999 : 262-276). Sedangkan nilai-nilai kekeluargaan yang ada pada bisnis orang Cina dicirikan sebagai berikut; 1. Keluarga Cina dan perusahaan keluarga memiliki jaringan legendaris yang menjelajahi Asia Tenggara, yang saling menjalin berbagai perekonomian dengan garis keturunan atau sesuku (clan) tempat mereka saling dukung segala bentuk perusahaan keluarga dengan tingkat kewirausahaan yang tinggi; 2. Rumah tangga Cina terlibat dalam pembaruan dan penciptaan kembali (Patriakalisme) berbasiskan keluarga, dimana tuntutan keluarga perusahaan atas tenaga kerja dan upah anak yang dipekerjakan, terutama anak wanita; 3. Keluarga Cina lebih siap menghimpun pendapatan untuk memenuhi keperluan keluarga, tunduk kepada otoritas keluarga, dan menyumbang banyak jam kerja tanpa bayaran kepada perusahaan keluarga yang dipandang sebagai perusahaan rumah tangga bersama; 4. Sistem kekeluargaan dan hubungan sosial Cina disusupi oleh ambivalensi yang dicirikan oleh dinamika pembangunan yang tidak hanya kondusif dengan realisasi ambivalensi yang merusak kemungkinan dapat bertahannya bisnis keluarga yang berjangka panjang. (Hefner, 1999:180-260) Pegelolaan dan bisnis keluarga biasanya berdasarkan kemitraan dimana semua saudara maupun anak adalah mitra, dan semuanya bergiliran dalam mengurus dan menangani segala urusan dan mengatur pembayaran bagi masing-masing anggota dan semuanya mendapat bagian sesuai dengan bagiannya (Walton, 1996 : 6-7).
Bisnis keluarga mempunyai karakteristik dengan kepemilikan atau keterlibatan antara dua orang atau lebih anggota keluarga yang sama dalam kehidupan dan fungsi bisnisnya. Kebanyakan bisnis keluarga berukuran kecil dikarenakan adanya pertimbangan keluarga menjadi hal yang penting (Longenecker, 2001: 34-36). Keluarga dan bisnis muncul dengan alasan mendasar yang berbeda. Keluarga bertujuan untuk mengembangkan kesempatan dan penghargaan yang sama terhadap anggotanya, sedangkan tujuan bisnis adalah mencari keuntungan dan ketahanan hidup Banyak keuntungan yang berhubungan dengan keterlibatan keluarga diantaranya mereka akan terikat erat pada bisnis dalam keadaan susah dan senang, mereka juga terkadang dapat mengorbankan penghasilan demi berjalannya bisnis. Tetapi penurunan keuntungan bisnis bisa mengakibatkan karyawan yang bukan anggota keluarga mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Para karyawan yang bukan anggota keluarga masih dipengaruhi oleh pertimbangan keluarga. Rumah makan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Dari situ terlihat mengenai sifat kewiraswastaan masyarakat Minang dengan kemungkinan mobilitas mereka, meskipun pada kenyataannya di kota-kota besar, tidak selamanya rumah makan Minang itu dimiliki atau pemiliknya adalah orang Minang sendiri (http:malindo23.blogspot.com/2008/01/rumahmakan Minangkabau.html,25/02/2008). Dalam manajemen rumah makan Minang, tampak adanya rasa kekeluargaan, keadilan, yang semuanya dilandaskan pada kemampuan kerja dan profesionalisme. Pengelolaan rumah makan minang banyak yang menganut falsafah Minang yang demokratis, seperti Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Hubungan antara
anggota keluarga sangat dekat sekali, jadi sistem kekeluargaan atau kekerabatan memegang peranan penting dalam kesempatan kerja. Pada rumah makan Minangkabau tercermin sistem ekonomi pancasila yang memiliki sifat kerjasama antara semua pihak, dimana tindakan ditujukan bagi kepentingan umum. Sistem Ekonomi Pancasila digambarkan sebagai suatu sistem yang khas Indonesia karena berasaskan pada sistem kekeluargaan (http://www.kompas.com/kompas.cetak/0305/latar/331202.htm>,. Segi Positif dari rumah makan Minang yang melahirkan sistem kekeluargaan dalam suatu bisnis adalah sebagai berikut; 1. Sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat mendukung usaha kegiatan di perantauan. Dimana mereka dapat saling membantu baik dalam kehidupan sosial maupun kegiatan permodalan yang terjadi pada para perantau di perkotaan; 2. Selain bersifat komunal yang dapat memajukan kegiatan usaha orang Minang, biasanya faktor lain yaitu adanya sifat keuletan dan agresifitas mereka dalam bekerja sama dalam suatu bisnis keluarga; 3. Suku Minang berkaitan erat dengan tradisi Saling Mengangkat dalam arti mereka yang telah mapan di perantuan akan membiayai keluarga mereka yang merantau untuk mengajak keluarga mereka mengikuti jejak mereka dan dengan bantuan dana maupun modal untuk hidup mandiri; 4. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat perjanjian, kontrak hukum dan bahkan secarik kertas karena mereka melakukan dengan rasa saling percaya, karena mereka merasa dari kampung halaman yang sama dan memiliki dialek bahasa yang sama; 5. Kebiasaan saling mengangkat berakar dari persepsi atau pandangan yang dibentuk oleh adat. Persepsi tentang keluarga sebagai suatu satuan yang tidak bisa dipisahkan karena anggota keluarga berkewajiban untuk saling bantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar (extended family), namun meluas sampai ikatan suku, sekampung halaman, atau sesama orang minang. Kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem nilai matrilineal dari orang minangkabau, dan biasanya terdapat pada usaha rumah makan minang yang biasanya membutuhkan tenaga kerja dari orang sekampung maupun dari kenalan-kenalan dekat; 6. Jaringan bisnis orang minang merupakan jaringan bisnis yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan, ikatan kesukuan, kampung halaman atau kenalankenalan dekat yang sifatnya relatif longgar atau tidak mengikat para pekerjanya.
Sedangkan Segi Negatif dari rumah makan Minang yang melahirkan sistem kekeluargaan dalam suatu bisnis adalah sebagai berikut; 1. Dengan adanya bisnis keluarga yang pekerjanya berasal dari anggota keluarga sendiri bisa menimbulkan terjadinya percekcokan antar keluarga yang menjalankan suatu usaha atau bisnis yang bisa mengganggu hubungan kekerabatan yang ada; 2. Orang Minang tidak seperti Cina yang memperluas jaringan sosialnya dengan membuat kelompok usaha dan pusat finansial yang meluas hingga mendunia; 3. Usaha etnis Minang cenderung tidak mau melakukan upaya kapitalis yang tidak seperti Cina yang berusaha mencari laba sebesar-besarnya dengan meminta dukungan dari birokrasi pemerintahan; 4. Jaringan bisnis yang dimiliki orang Minang tidak seluas seperti Cina yang memiliki ikatan primordial yang kuat, karena jaringannya sangat sederhana yaitu antara orangtua dan anak atau hubungan dalam kekerabatan, karena jaringan bisnisnya memiliki komando yang didasarkan pada senioritas usia (http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=download&file:i ndex&req=getit&lid=54). Ideologi kekeluargaan yang menekankan kesetaraan diantara para anggota garis keturunan dan suku yang merintangi realisasi ketidaksetaraan kultural yang ditimbulkan oleh meningkatnya ketergantungan pada tanaman cepat yang menghasilkan uang dan integrasi yang lebih luas jangkauannya dalam ekonomi dunia. Etika-etika ekonomi orang Minangkabau berhubungan dengan sistem kekeluargaan, dalam kaitannya dengan proses sosial dan realitas ekonomi politik dan perubahan sosial yang lebih mencakupinya. Kenyataan bahwa sebagian besar orang Minangkabau masih mendukung ekonomi keluarga menurut garis keturunan ibu, terutama saudara perempuan dan anak dari saudara perempuan yang memacu mereka untuk melakukan akumulasi ekonomi (Robert, 1999 : 273-276). Dilihat dari kenyataan tersebut, maka perlu kiranya kita mengkaji bagaimana corak usaha yang sama bisa berubah struktur maupun sistem pengelolaannya menurut ruang dan waktu walaupun eksistensinya tetap saja sama. Dalam proses perkembangannya, yang menjadi persoalan adalah sampai dimana sifat keaslian
masih dapat dirasakan pada prinsip kebersamaan dengan sistem kekeluargaan itu masih berjalan. Sejauh mana sebenarnya karakteristik sistem kekeluargaan mempengaruhi pengelolaan rumah makan minang. Serta bagaimana sebenarnya sistem perekrutan dan pengupahan yang ada pada rumah makan Minangkabau. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi perumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimanakah karakteristik sistem kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang tipe sederhana? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik sistem kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang sederhana. 2. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengupahan secara kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang sederhana. 3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk sistem perekrutan pekerja secara kekeluargaan pada rumah makan minang sederhana.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan rumah makan minang dengan sistem kekeluargaan yang ditujukan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi, masyarakat maupun wirausahawan. 2. Manfaat Praktis Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi hasil-hasil penelitian lainnya dan dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Dan khususnya bagi masyarakat minang yang memiliki usaha rumah makan untuk dapat meningkatkan pengetahuannya tentang pengelolaan rumah makan minang.
1.5. Defenisi Konsep Untuk memperjelas maksud dan pengertian tentang konsep yang digunakan dalam tulisan ini, maka dibuat batasan konsep yang dipakai sebagai berikut : 1. Sistem Kekeluargaan / Familisme Adalah segala sesuatu yang dilakukan bersama-sama untuk kepentingan yang ditujukan kepada keluarga. Dengan kata lain, pertimbangan kepentingan keluarga pada kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Pengelolaan Adalah segala sesuatu hal yang bertujuan untuk mengurus suatu usaha atau, perusahaan maupun organisasi. 3. Rumah Makan Minang Adalah sebagai suatu usaha rumah makan yang khusus menyajikan masakan Padang dan dikelola / dimiliki oleh Orang Padang atau Urang Awak. 4. Upah Adalah uang yang biasanya dibayarkan sebagai pembalas jasa atau bayaran dari tenaga yang sudah dipakai. 5. Pekerja Adalah seseorang yang bekerja di sebuah tempat usaha baik itu di rumah makan, di pabrik, maupun badan usaha lainnya dan menawarkan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk menyediakan barang dan jasa. 6. Pemilik Adalah orang yang memiliki bisnis atau usaha yang menanamkan uang atau barangnya dengan mengharapkan adanya pendapatan atau keuntungan.