BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

BAB II KERANGKA TEORI

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

Sumatera Barat. Jam Gadang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

PENDAHULUAN. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat melalui kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari

Sulawesi Tenggara. Tugu Persatuan

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kalimantan Selatan. Pasar Terapung Muara Kuin

PENDAHULUAN. Latar Belakang

RPJMD KABUPATEN LINGGA BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km 2 dengan garis pantai terpanjang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perubahan. Dalam studi empirisnya Chenery memberikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masyarakat nelayan desa pesisir identik dengan kemiskinan,

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB 1. PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia menetap diperkotaan. Jumlah Desa di Indonesia. lebih 375 buah ( Rahardjo Adisasmita, 2006:1 ).

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

PENGARUH PDB DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PERIODE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan pesisir (coastal zone) merupakan daerah pertemuan antara

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN PESISIR SELATAN 2016

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

I. PENDAHULUAN. bagi setiap manusia untuk tercukupi kebutuhannya. Pangan merupakan bahan


BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2013

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luas wilayah lautan atau perairan di provinsi Riau 235.366.Km2 atau 71,33% dari luas total wilayah provinsi Riau. Bahkan jika mengacu pada Undang- Undang Nomor 5 tahun 1983, maka dengan kewenangan atas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang telah disepakati luas Provinsi Riau bertambah menjadi 379.000 Km2. Jumlah pulau besar dan kecil 3.214 buah dengan perairan pantai sepanjang 1.800 mil, hutan bakau (mangrove) seluas 300.000 hektar dan kawasan pasang surut seluas 3.920.000 hektar. Dengan pulau-pulau yang tersebar dan luas lautan atau perairan yang besar tersebut, maka Provinsi Riau memiliki sumberdaya alam perikanan melimpah. Potensi sumber daya alam perikanan ini potensial untuk dikembangkan. Orientasi kebijakan ini sangat tepat, mengingat potensi sumberdaya minyak dan gas serta hutan yang telah digarap selama ini telah menunjukkan penurunan (levelling off) yang sangat signifikan. Oleh karena itu pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan diharapkan akan dapat menjadi alternatif dan sumber pertumbuhan baru bagi berkesinambungan pembangunan di wilayah Provinsi Riau. Masyarakat nelayan sebagai komunitas wilayah pesisir, sering kali tersisih dari pembangunan sebab, prioritas kebijakan pemerintah berfokus kepada sektor pertanian atau daratan. Kehidupan nelayan yang masih menggantungkan nasib kepada hasil laut, masih dalam taraf sederhana dengan pola mata pencaharian menggunakan teknologi tradisional. Disamping alat tangkap mereka sudah jauh tertinggal, mereka melaut juga pada area penangkapan yang terbatas di wilayah pesisir. Rendahnya daya jelajah nelayan ini semakin menambah sulit nelayan memperbaiki kualitas hidupnya. Bila dibandingkan dengan komunitas lain, masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan ini dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang termiskin. Pendapat ini diperkuat oleh Data Semeru 2002 bahwa Indeks kemiskinan (Poverty Headcount Indeks) untuk masyarakat pesisir sebesar 0,3214 atau 32,14 artinya 32,14 persen dari masyarakat pesisir miskin tergolong sangat miskin. 1

2 Jika garis kemiskinan dan pengukuran telah ditetapkan, berbagai karakteristik kelompok yang berbeda (miskin dan sangat miskin) dapat dibandingkan untuk melihat korelasi kemiskinan. Dapat pula dibandingkan ukuran kemiskinan kelompok kelompok keluarga miskin dari karakteristik yang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Contoh penyajian data untuk analisis kemiskinan seperti pada tabel 1.1 Tabel 1.1 Klasifikasi kemiskinan berdasarkan kelompok sosial ekonomi Kelompok sosial ekonomi Head count ranking kesenjangan ranking keparahan ranking Petani kecil 81.6 1 41.0 1 24.6 1 Petani besar 77.0 2 34.6 2 19.0 2 Buruh kasar 62.7 3 25.5 4 14.0 5 Nelayan 61.4 4 27.9 3 16.1 3 Pensiunan/penyandang cacat 50.6 5 23.6 5 14.1 4 Sumber: World Bank 1996 Madagascar 1994 Dalam melakukan analisis harus diingat bahwa perbedaan karakteristik di antara kelompok berbeda, atau perbedaan persentase penduduk miskin di antara kelompok yang berbeda atau kurun waktunya haruslah secara statistik signifikan. Langkah pertama dalam menyusun profil kemiskinan adalah dengan mengangalisis karakteristik dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda ditinjau dari penghasilan atau konsumsinya. Data ini akan memberikan pemahaman siapa yang miskin dan apa perbedaan antara yang miskin dan tidak miskin. Ketika melakukan analisis akan lebih baik jika memisahkan data pada tabel yang diharapkan bisa bisa menunjukkan perbedaan yang nyata. Seperti pada tabel 1.2 yang menunjukkan informasi tentang indikator yang ada di desa dan kota. Tabel 1.2 Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi, 2011 Propinsi Persentase penduduk Garis kemiskinan (Rp) P1 (%) P2 (%) miskin Kota+ Kota Kota+ Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota+desa desa +desa desa NAD 13.,69 21,87 19,57 333355 292085 303692` 2,78 3,78 3,50 0,84 0,98 0,94 Sumatera Utara 10,75 11,89 11,33 271713 222226 246560 1,84 1,85 1,84 0,53 0,49 0,51 Sumatera Barat 7,42 10,07 9,04 293018 241924 261719 1,25 1,42 1,36 0,35 0,36 0,35 Riau 6,37 9,83 9,47 306504 267007 282479 0,77 1,48 1,21 0,16 0,37 0,29 Jambi 11,19 7,53 8,65 284522 210144 242272 1,31 0,81 0,96 0,26 0,14 0,18 dst Sumber: BPS 2012

3 Tabel diatas menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia lebih dalam terjadi di perdesaan daripada area perkotaan, bukan hanya persentase, namun juga tingkat kesenjangan dan keparahannya. Cara lain menyajikan informasi adalah dengan menunjukkan sebaran secara lebih merata, bukan hanya miskin dan tidak miskin, namun dengan menampilkan data decile (per sepuluh bagian) dan quintile (per lima bagian) sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.3. Indikator Tabel 1.3 Perbedaan sosial ekonomi dalam bidang kesehatan (studi kasus Senegal) Persentase penduduk miskin termiskin kedua Tengah tengah Garis kemiskinan (Rp) P1 (%) P2 (%) Ratarata Rasio keempat terkaya termiskin/terkaya populasi Desa Kota+ desa Kota Desa Kota+desa NAD 13.,69 21,87 19,57 333355 292085 303692` 2,78 3,78 3,50 0,84 0,98 0,94 Sumatera Utara 10,75 11,89 11,33 271713 222226 246560 1,84 1,85 1,84 0,53 0,49 0,51 Sumatera Barat 7,42 10,07 9,04 293018 241924 261719 1,25 1,42 1,36 0,35 0,36 0,35 Riau 6,37 9,83 9,47 306504 267007 282479 0,77 1,48 1,21 0,16 0,37 0,29 Jambi 11,19 7,53 8,65 284522 210144 242272 1,31 0,81 0,96 0,26 0,14 0,18 dst Sumber: BPS 2012 Indeks kemiskinan di Provinsi Riau dan kabupaten/kota akhir-akhir ini sudah bisa diturunkan, hal ini terlihat dari urutan 24 tahun 1999, menjadi urutan 20 tahun 2002. Keberhasilan penurunan Indeks kemiskinan di Provinsi Riau tidak terlepas dari semakin membaiknya akses penduduk terhadap air bersih dan fasilitas kesehatan serta adanya perbaikan gizi balita. Keberhasilan menurunkan nilai Indeks kemiskinan di kabupaten/kota merupakan hasil dari peningkatan penyediaan pendidikan dasar, perbaikan akses terhadap air bersih dan perbaikan gizi balita. Namun yang lebih penting adalah bukan sekedar melihat dari angka-angka yang menjadi indikatornya, tetapi yang lebih penting adalah menurunnya angka kemiskinan tersebut benar-benar bisa dilapangan. Artinya, penduduk memang sudah meningkat taraf kehidupannya dari tahun-tahun sebelumnya. Banyaknya pandangan yang berbeda sekarang ini dalam melihat defenisi tentang kemisikinan itu sendiri, sehingga menyebabkan angka-angka yang dikeluarkanpun terjadi perbedaan. Kemiskinan dari sudut pandang pendapatan tidak selalu sejalan dengan Indeks kemiskinan, karena kedua ukuran tersebut mengukur aspek kemiskinan

4 yang berbeda. Kemiskinan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (angka kemiskinan) mengukur deprivasi relatif pada standar kehidupan yang sudah tercapai, sedangkan indeks kemiskinan mengukur deprivasi yang dapat menghambat kesempatan yang dimiliki penduduk untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Meskipun demikian, penggabungan antara kedua ukuran ini akan menghasilkan gambaran menarik tentang kondisi kemiskinan. Data di kabupaten/kota memperlihatkan bahwa daerah dengan indeks kemiskinan rendah cenderung untuk mempunyai angka kemiskinan yang rendah pula, namun daerah dengan nilai indeks kemiskinan tinggi memiliki angka kemiskinan yang lebih bervariasi. Untuk melihat jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau dari tahun 2002 sampai dengan 2006 dapat dilhat pada Grafik di bawah ini. Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Riau tahun 2002-2006 Sumber: BPS, 2007 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau relatif besar yang tersebar di kantong-kantong kemiskinan pada daerah pesisir, aliran sungai, kepulauan dan daerah pedalaman yang terisolir. Menurut data BPS yang diukur berdasarkan kebutuhan makanan sebesar 2.100 kalori per kapita per hari, pada tahun 2003

5 persentase penduduk miskin di Provinsi Riau sebanyak 660.700 jiwa atau 14,99 persen. Angka ini terus mengalami penurunan, dimana tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau sebanyak 658.600 jiwa atau 14.67 persen, tahun 2005 menjadi 600.400 jiwa atau 12.51 persen dan tahun 2006 menjadi 574.500 jiwa atau 11.20 persen. Dari data diatas terlihat bahwa kecendrungan penduduk miskin di Provinsi Riau dari tahun ke tahun selalu mengalami penurunan, hal ini seiring dengan berbagai program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut. Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu (1) kemiskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu seperti: struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan, seperti super-struktur tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang di implementasikan daiam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu, seperti: tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan, Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi. Demikian halnya dengan modal sosial, seperti kelembagaan lokal, kearifan lokal, norma-norma dan kebiasaan lokal yang sering terabaikan peranannya di dalam upaya memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat. Modal sosial yang baik sangat menentukan bagi keberhasilan peningkatan berbagai sektor ekonomi, dan biasanya modal sasial tersebut akan semakin baik jika disentuh oleh motivasi

6 eksternal seperti adanya bantuan modal ekonomi produktif, yang selama ini biasa diberikan oleh pihak luar baik dari pemerintah maupun non pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan yang dilaksanakan dapat merangsang perkembangan modal sosial masyarakat, secara etimologis modal sosial memiliki pengertian modal yang dimiliki masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ekonomi tersebut berasal dari pemerintah maupun non pemerintah, yang meliputi pemberian modal usaha dari pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat dan pembagian zakal, infak, dan sedekah (ZlS) dari lembaga amil zakat untuk modal usaha bagi masyarakat miskin dengan tujuan mengangkat derajat ekonomi mereka agar bisa keluar dari kemiskinan. Namun demikian, tidak sedikit kegagalan yang dialami dalam upaya mensejahterahkan masyarakat miskin melalui bantuan-bantuan modal usaha tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya potensi sumberdaya non ekonomi yang dimiliki masyarakat seperti tingkat pendidikan, keterampilan, kesehatan, gizi dan sebagainya dalam skala individual, serta kurang berperannya modal sosial dalam skala komunal. Paradigma pembangunan holistik, yaitu pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi yang sangat memperhatikan aspek spasial, yaitu pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan berbasis komunitas. Pembangunan berpusat pada rakyat, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berbasis kelembagaan. Untuk mewujudkan pembangunan yang holistik tersebut diperlukan alternatif strategi, yaitu strategi yang berorientasi pada sumber daya atau Resource Base Strategy, yang meliputi ketersediaan sumber daya, faktor keberhasilan serta proses belajar. Pendekatan ini merupakan strategi pengelolaan sumber daya lokal/pesisir dan kelautan yang berorientasi pada: kualitas, proses, kinerja, pengembangan, budaya, lingkungan (management by process) yang berdasarkan pada pembelajaran, kompetensi, keunggulan, berpikir sistematik, dan pengetahuan (knowledge based management). Kaum nelayan juga memiliki hubungan kerjasama dengan pihak pemerintah dalam pengelolaan sumber daya pesisir, dimana dalam hubungan ini

7 pemerintah memberdayakan masyarakat pesisir dengan berbagai aktivitas, seperti bantuan permodalan, bimbingan dan pendampingan serta pemberian keterampilan teknis pada sektor perikanan. Di sisi lain, para nelayan memanfaatkan bantuan dana dan keterampilan ini dalam mengelola usaha perikanan mereka sehingga mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga yang akan meningkatkan indikator keberhasilan nelayan. Perubahan-perubahan iklim memang semakin menyulitkan nelayan dalam menangkap ikan. Globalisasi dan teknologi informasi menjadi warna baru budaya di pedesaan di kawasan pesisir antar individu dalam satu desa, kekompakan menurun drastis yang sekaligus merefleksikan hilangnya kohesifitas sosial di pedesaan. Semangat gotong royong dikenal sebagar samaturu, tolong-menolong, dan saling ingat-mengingatkan antar individu dalam suatu entitas masyarakat desa menurun drastis, bahkan lebih dari itu hilangnya rasa dan semangat untuk saling memberi (reciprosity), rasa saling percaya (trust) dan menipisnya jaringanjaringan sosial (social networking) di pedesaan kawasan pesisir. Budaya dengan orientasi inward looking dan sulit menerima ide-ide pembaharuan yang berasal dari luar kelompok dan lingkungan sosial dari suatu entitas sosial telah menghambat masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian nilai, norma, dan perilaku kelompok. Modal sosial tak dapat dipisahkan dari masyarakat. Sebuah ikatan kuat dari masyarakat di mana warga negara terlibat dalam berbagai kelompok sosial dipandang sebagai lahan subur tumbuhnya modal sosial. Dalam berbagai organisasi, warga negara akan belajar untuk saling percaya dan menjadi semakin terampil dalam mengatasi masalah melalui tindakan kolektif. Pemberdayaan masyarakat harus memasukkan dimensi modal sosial sebagai salah satu komponennya. Pemberdayaan masyarakat akan mengalami kegagalan tanpa menyadari pentingnya melibatkan dimensi kultural dan mendayagunakan peran modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat dalam mempercepat dan mengoptimalkan hasil dari proses pemberdayaan itu sendiri. Modal sosial yang berisikan trust, reciprositas, norma sosial dan nilai-nilai etis merupakan pondasi penopang yang akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di berbagai sektor kehidupan.

8 Dalam rangka untuk pembangunan masyarakat pesisir, diperlukan pemberdayaan yang merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottomup antara growth strategy dan people centered strategy. Konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam rnemahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan sebagainya. Dalam kerangka pembangunan yang terintegratif, Keberhasilan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) perlu didukung oleh basis Pemberdayaan kelompok sosial dan dalam bingkai kelembagaan sosial atau pranata budaya yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. B. Pentingnya atau keutamaan penelitian ini Luas wilayah lautan atau perairan di provinsi Riau 235.366.Km2 atau 71,33% dari luas total wilayah provinsi Riau. Dengan pulau-pulau yang tersebar dan luas lautan atau perairan yang besar tersebut, maka Provinsi Riau memiliki sumberdaya alam perikanan melimpah. Dalam mengelola sumber daya tersebut, diperlukan suatu pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pembangunan yang digunakan dalam paradigma pembanggunan yang berpusat pada manusia. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat pesisir, maka penguatan kapasitas individu masyarakat nelayan merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk meningkatkan kemudahan akses atas sumber daya baik yang material maupun non material. Sebelum dilakukan pengamatan terhadap keberhasilan pemberdayaan untuk kesejahteraan, maka sangat penting untuk menilai keberhasilan pemberdayaan di dalam meningkatkan modal sosial sebagai faktor yang memiliki peran penting di dalam memajukan tingkat kesejahteraan masyarakat.