BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami menjadi tua sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal ini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BABI PENDAHULUAN. Pekerjaan merupakan salah satu aktivitas manus1a yang penting untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadikannya sebagai insal kamil, manusia utuh atau kaffah. Hal ini dapat terwujud

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tenaga kerja sebagai customer service. Customer service ini berfungsi untuk

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia dinilai masih

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I. Pendahuluan. mendapatkan pekerjaan, sehingga hal tersebut memberi kesempatan mereka yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Nining Sriningsih, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara Indonesia adalah. pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Andika, 2012).

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dan menuju usia lanjut, sebuah perjalanan hidup yang memang tidak bisa

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. ini walaupun dilahirkan kembar (Sunaryo, 2004). Manusia sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan formal maupun nonformal. mempermudah mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data dari Badan

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi. Kepemimpinan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. hasil yang dituju. Salah satu cara untuk memenuhi semua itu adalah dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. dirinya dapat menetap dalam jangka waktu lama. Setiap lingkungan tempat tinggal

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (human resource) guna menjalankan fungsinya dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di kalangan masyarakat luas, PT.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. 14 persen. Total dokter yang dibutuhkan secara nasional hingga tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI. pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan atau perusahaan yang

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang memang mengakui bahwa menjadi tua itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari, akan tetapi pada dasarnya setiap manusia akan mengalami menjadi tua sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal ini tidak jarang membuat takut setiap orang yang akan memasuki masa tua, oleh karena masa tua diasumsikan dengan penurunan kebugaran fisik, berdatangannya penyakit, kemunduran dalam kemampuan mengingat, penampilan fisik semakin tidak menarik serta hal-hal lain yang membatasi hidup. Walaupun pada kenyataannya setiap orang yang memasuki masa tua mengalami penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, tetapi penurunan kemampuan tersebut sering diartikan sebagai keharusan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan atau dari berbagai aktivitas. Padahal masih banyak diantara mereka merasa masih mampu ataupun masih memiliki kebutuhan untuk tetap aktif bekerja. Bekerja bagi seseorang merupakan salah satu aktivitas yang penting, hal itu dimulai saat individu memasuki usia dewasa awal, yang salah satu tugas perkembangannya adalah berusaha keras untuk mencapai karir, karena dengan bekerja individu dapat memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan sosial. Menurut Jacinta (http://www.e-psikologi.com/usia/pensiun.htm, 2001) dengan bekerja individu dapat mencapai kepuasan tersendiri karena 1

2 disamping mendapatkan uang dan fasilitas, bekerja juga memberikan nilai dan kebanggaan pada diri sendiri dikarenakan prestasi yang dicapai atau kebebasan yang diperoleh untuk menuangkan kreativitas. Akan tetapi setiap orang tidak bisa bekerja atau memiliki pekerjaan atau jabatan tertentu selamanya dikarenakan adanya batasan tertentu atau aturan yang berlaku yaitu masa berakhirnya suatu jabatan atau yang lebih awam dikenal dengan istilah pensiun. Masalah pensiun ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1979 Pasal 3 ayat (1) dan (2) tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang menjelaskan bahwa, ayat (1) Pegawai Negeri Sipil yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan ayat (2) batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 56 (lima puluh enam) tahun. Hal ini berarti seseorang yang telah bekerja dan mencapai puncak karir, dengan menduduki suatu jabatan selama waktu yang telah ditentukan, harus melepaskan masa jabatannya tersebut dan memasuki masa pensiun. Keberadaan suatu lembaga atau yayasan yang khusus menangani para pensiun, sangat membantu bagi kesejahteraan dan pelayanan kesehatan pegawai yang telah memasuki masa pensiun. Sebagai contoh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk memiliki sebuah yayasan yang bernama Yayasan Dana Pensiun PT Telkom atau biasa disebut Dapentel, berfungsi mengelola dana pensiun dan memberikan pelayanan bagi pensiunan dengan mengadakan pembinaan rohani dan jasmani juga penyelenggaraan keahlian dan keterampilan sebelum para pegawainya memasuki masa pensiun sesungguhnya, seperti memberikan pelatihan singkat

3 mengenai cara berbisnis yang dimaksudkan sebagai bekal para pensiunan di kemudian hari. Salah satu bentuk dari pensiun yang terjadi di Telkom adalah pensiun dini. Pensiun dini adalah putusnya hubungan kerja yang ditawarkan oleh TELKOM dan disetujui oleh karyawan sebelum mencapai batas usia pensiun normal (56 tahun) dengan mendapatkan kompensasi sesuai dengan kemampuan TELKOM (Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk : 2003). Pensiun dini terjadi ketika Telkom berupaya mengefektifkan jumlah karyawan. Sejak tahun 2002 hingga 2005 manajemen PT Telkom mengurangi ribuan karyawan melalui program pensiun dini dan tahun 2007 ini PT Telkom menargetkan sebanyak 1.800 orang untuk mengikuti pensiun dini dan 400 orang pensiun normal. Salah satu pertimbangan PT Telkom dalam menawarkan program pensiun dini bagi karyawannya adalah untuk mengurangi jumlah karyawannya yang dianggap terlalu banyak, yaitu mencapai 28.000 orang. PT Telkom menargetkan setiap tahunnya terjadi pengurangan tenaga kerja sekitar 2.500 orang, 500 diantaranya karena telah memasuki usia pensiun. Program pensiun dini tersebut ditawarkan kepada karyawan yang berminat dan tidak ada paksaan (Pikiran Rakyat, 30 Januari 2007). Perampingan jumlah karyawan memang berkaitan dengan kebijakan sistem pengelolaan SDM pada PT Telkom yang berbasis pada kompetensi CBHRM (Competency Based Human Resource Management). Pola pengembangan kompetensi SDM atau Competency Based Human Resource Management (CBHRM) merupakan proses pengelolaan SDM dalam rangka mempersiapkan karyawan yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan

4 pekerjaan dan jabatan (Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk : 2003). Kondisi ini dibutuhkan oleh PT Telkom agar dapat bersaing dalam industri telekomunikasi yang pada kenyataannya saat ini bukan lagi dimonopoli oleh PT Telkom. Oleh karena itu, PT Telkom memerlukan dukungan yang kuat dari segi SDM, sehingga karyawan yang merasa kurang mampu untuk beradaptasi dengan perkembangan tuntutan perusahaan ditawarkan untuk pensiun dini. Di samping itu PT Telkom tidak lagi bisa mengandalkan pendapatan dari telepon rumah, melainkan dari Speedy dan Flexi, yang pada September 2006 Flexi mencatat penerimaan Rp 1,9 triliun dengan jumlah pelanggan 4,1 juta (TEMPOInteraktif, 18 Januari 2007). Jumlah karyawan yang ribuan masih menjadi beban keuangan PT Telkom, kalaupun keuangan PT Telkom tahun lalu masih baik, sebagian besar merupakan sumbangan dari PT Telkomsel yang menjadi anak perusahaan PT Telkom (Pikiran Rakyat, 30 Januari 2007). Oleh karenanya, melalui program pensiun dini ini PT Telkom juga bermaksud menyejahterakan karyawannya. Pensiun menjadi tanda perubahan atau terhentinya pola kerja rutin. Di sisi lain pensiun juga menjadikan individu bersangkutan harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lagi sama kedudukannya dalam kelompok sosialnya, dan pensiun juga dianggap kenyataan pahit dari segi penghasilan; dimana para pensiunan tidak lagi menerima gaji bulanan seperti saat mereka masih aktif bekerja. Perubahan pola rutinitas tersebut seringkali menimbulkan ketidaknyamanan untuk mengisi hari-hari setelah pensiun atau perubahan tersebut menjadikan pensiunan merasa dirinya sudah tidak berguna lagi. Banyak orang mengalami problem saat memasuki masa pensiun, mulai dari menurunnya

5 kesehatan, hingga munculnya depresi akibat mental yang tidak stabil (Eni Setiati, Erika Yuliasari, Valentino Dinsi, 2006 : h.9). Juga dikatakan Jacinta (http://www.e-psikologi.com/usia/pensiun.htm, 2001) pada saat ini cukup banyak lansia pensiunan yang menderita post power syndrome setelah mengalami masa pensiun. Mereka merasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan mereka setelah berhenti atau pensiun dari pekerjaan. Dikatakan pula oleh Eni Setiati, Erika Yuliasari dan Valentino Dinsi (2006 : 18) umumnya seseorang yang mengalami post power syndrome secara perilaku malu untuk bertemu dengan orang lain, suka melakukan kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat lain. Walaupun tidak semua pensiunan merasakan hal demikian, namun tidak jarang mereka merasa rendah diri dengan status baru yang disandangnya. Setiap pensiunan haruslah dapat melakukan penyesuaian diri atau adjustment terhadap segala situasi yang terjadi setelah mereka pensiun, baik penyesuaian dalam kehidupan keluarga maupun penyesuaian dalam kehidupan sosial. Di samping itu, setiap pensiunan haruslah dapat menyesuaikan terhadap status dan peran sosial yang baru, penyesuaian dengan rutinitas kegiatan yang baru, penyesuaian terhadap menurunnya kondisi finansial serta fasilitas-fasilitas penunjangnya, serta penyesuaian terhadap menyempitnya kontak sosial. Schneiders (1964, 454-455) mengatakan bahwa penyesuaian sosial (social adjustment) menandakan kapasitas individu untuk bereaksi secara efektif, sehingga dapat memenuhi syarat-syarat untuk diterima dalam kehidupan sosial dan dapat terpuaskan secara norma. Dimana seseorang yang mampu melakukan penyesuaian sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat dikatakan sebagai

6 seseorang yang mampu menyelesaikan konflik mental, frustrasi, dan kesulitankesulitan personal maupun sosialnya dan mereka juga relatif terbebas dari kecemasan yang berlebihan, keragu-raguan, kegelisahan, obsesi, fobia, kebimbangan, atau gangguan lain yang dapat menghambat seluruh tujuan kehidupannya. Seseorang yang baik dalam penyesuaian diri akan jauh lebih bahagia daripada orang yang tidak dapat atau tidak mampu melakukan penyesuaian (Hurlock 1997, h.373). Hurlock (1997 : 373) juga mengatakan bahwa individu yang buruk dalam menyesuaikan diri akan mengembangkan konsep diri yang negatif dengan ciri-ciri merasa diri tidak berguna, dan tidak bernilai. Cara setiap individu dalam melakukan penyesuaian diri menghadapi pensiun pun berbeda-beda, tergantung pada individu yang bersangkutan dan merupakan sesuatu yang khas sesuai dengan karakteristik yang dimiliki individu tersebut sepanjang masa hidupnya. Penyesuaian selalu dipengaruhi dan dikondisikan oleh keterlibatan kepribadian (Schneiders 1964, h.99). Schneiders (1964 : 121) juga mengatakan bahwa kepribadian berfungsi sebagai faktor utama yang menentukan penyesuaian diri. Kepribadian dikatakan sebagai organisasi dinamis dalam individu sebagai menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap sekitarnya (Allport, 1997). Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, M.Psi (http://www.epsikologi.com/usia/090402.htm, 2002) mengatakan bahwa sifat kepribadian seseorang sewaktu muda akan lebih nampak jelas setelah memasuki lansia sehingga masa muda diartikan sebagai karikatur kepribadian lansia. Hal ini seperti yang dikatakan pula oleh Allport (1997) bahwa sifat (trait) memiliki kapasitas

7 untuk menjadikan banyak stimulus konsisten dan membimbing bentuk-bentuk tingkah laku tersebut secara konsisten. Salah satu bentuk dari model kepribadian yakni sistem klasifikasi Big Five yang telah membuktikan kegunaannya sebagai kerangka kerja untuk mengatur penemuan-penemuan dalam kepribadian orang dewasa dengan bermacam-macam area, seperti area tingkah laku genetik dan area psikologi industri (Pervin and John, 1999 : 103). Dikatakan Big Five dapat menolong kita untuk memahami secara teoritis, secara sosial, akan perkembangan yang signifikan mengenai hidup (Pervin and John, 1999 : 126). Costa & McCrae (1992) mendefinisikan secara singkat mengenai dimensi big five personality trait, meliputi trait-trait Neuroticism, Extraversion, Openness to experience, Agreeableness dan Conscientiousness, yang pada masing-masing trait terdiri atas 6 facet. Neuroticism meliputi facet kegelisahan, mudah marah, depresi, pemalu, menuruti kata hati, dan tidak percaya diri. Extraversion meliputi facet kehangatan, suka berteman, selalu memikirkan kepentingan orang lain, aktivitas, selalu mencari kesenangan, dan memiliki emosi yang positif. Openness to experience (versus close mindedness) meliputi facet fantasi, nilai estetika, perasaan, tindakan, ide-ide dan nilai-nilai. Agreeableness meliputi facet kepercayaan, sifat berterus terang, kepentingan orang lain, kerelaan, kesederhanaan dan simpati. Conscientiousness meliputi facet kemampuan, keteraturan, keterkaitan tugas, keinginan mencapai target, disiplin diri, dan pertimbangan yang mendalam.

8 Berdasarkan hasil survey awal melalui wawancara yang dilakukan kepada mantan karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung yang telah memutuskan untuk mengambil pensiun dini tahun 2002 hingga tahun 2004, didapatkan fakta sebagai berikut : 40% pensiunan dini (4 orang) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyesuaian diri pada kehidupan bermasyarakat, walaupun pada akhirnya mereka dapat melakukan penyesuaian pada kehidupan bermasyarakat. Pada awalnya mereka cenderung mengalami kecemasan yang berlebihan, keragu-raguan, kegelisahan, kebimbangan, atau gangguan lain yang menghambat aktivitas sosialnya. Dari 40% tersebut, sebesar 20% pensiunan dini membatasi pergaulannya (trait neuroticism, facet pemalu dan depresi) kemudian memiliki usaha warung (trait openness to experience, facet ideide); 10% pensiunan dini sering berdebat dengan isterinya serta tampak kurang percaya diri dengan status barunya yang membuat dirinya tampak ingin mengesankan masih aktif bekerja dengan tetap pergi setiap pagi (trait neuroticism, facet tidak percaya diri dan mudah marah), kemudian kembali bekerja (trait openness to experience, facet ide-ide); dan 10% lainnya sering melamun setelah pensiun dini sehingga akhirnya lebih banyak berdiam diri di rumah sebelum akhirnya memiliki aktivitas pengganti (trait neuroticism, facet depresi), kemudian memiliki usaha futsal (trait openness to experience, facet kemampuan dan trait conscientiousness, facet ide-ide). Alasan mereka mengambil program pensiun dini beragam, yakni merasa Telkom kurang obyektif dalam memberikan penilaian, uang kompensasi pensiun dini yang besar, dan kekurangnyamanan akibat issueissue mengenai Telkom yang akan segera mengimplementasikan sistem CBHRM.

9 Sisanya sebanyak 60% pensiunan dini (6 orang) menunjukkan kemampuan melakukan penyesuaian diri pada kehidupan bermasyarakat, mereka tidak mengalami kesulitan ataupun gangguan dalam menghadapi lingkungannya. Dari 60% pensiunan dini tersebut, 10% di antaranya mendirikan perusahaan bersama beberapa orang temannya (trait openness to experience, facet ide-ide) dan keputusannya untuk mengambil program pensiun dini tersebut disertai pemikiran yang cukup lama (trait conscientiousness, facet pertimbangan mendalam); 10% pensiunan dini meneruskan hobinya mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta yang kemudian direalisasikan setelah ia pensiun dini (trait agreeableness, facet mementingkan kepentingan orang lain dan trait conscientiousness, facet keterkaitan tugas); 10% pensiunan dini berkonsentrasi dengan mengurus rumah tangga dan memiliki bisnis kecil-kecilan (trait extraversion, facet kehangatan dan trait openness to experience, facet ide-ide); 10% pensiunan dini hanya menimang cucu-cucunya setelah pensiun dini (trait extraversion, facet kehangatan); 10% pensiun dini kemudian berkonsentrasi dengan kegiatan bersifat sosial selaku pengurus tempat ibadah di lingkungannya (trait openness to experience, facet nilai-nilai); dan 10% lainnya menekuni hobi dalam bidang pembudidayaan tanaman anggrek bersama isterinya dan keputusannya untuk mengambil program pensiun dini tersebut disertai pemikiran yang cukup lama (trait conscientiousness, facet pertimbangan mendalam dan trait openness to experience, facet nilai estetika). Adapun alasan mereka mengambil keputusan untuk mengikuti program pensiun dini yakni berkembangnya issue-issue bahwa Telkom akan mengimplementasikan sistem CBHRM yang membuat mereka merasa tidak dapat

10 bersaing, kesempatan yang cukup baik untuk mendapatkan uang kompensasi, serta keinginan untuk berkonsentrasi pada wirausahanya dan mengembangkan hobi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung di atas, peneliti menemukan adanya variasi trait kepribadian dalam melakukan penyesuaian sosial pada kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh trait kepribadian terhadap penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai trait kepribadian dan penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung.

11 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa besar pengaruh trait kepribadian terhadap penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis Sebagai landasan informatif untuk penelitian selanjutnya mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan Psikologi Perkembangan, khususnya mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung. 1.4.2. Kegunaan Praktis Memberikan informasi bagi karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk khususnya wilayah Bandung yang akan mengambil program pensiun dini mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap penyesuaian sosial. Menjadi acuan dalam upaya pengembangan program penyuluhan yang mungkin dapat diadakan oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk bagi para pensiunan dini sebagai salah satu usaha untuk

12 meningkatkan kesejahteraan mental mereka, baik sebelum atau sepanjang masa pensiun dini mereka. 1.5. Kerangka Pemikiran Pensiun adalah akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu (Schwartz 1997, h.417). Pensiun dapat berupa pensiun sukarela atau kewajiban. Adapun yang dimaksud dengan pensiun sukarela yaitu pensiun sebelum masa pensiun wajib. Hal ini dilakukan atas alasan kesehatan atau keinginan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan melakukan hal-hal yang lebih berarti untuk diri mereka daripada pekerjaannya. Kadang-kadang pensiun lebih awal diambil karena kebijaksanaan manajemen yang ingin mengadakan berbagai perubahan dan pembaharuan sehingga mendesak pekerja lanjut usia untuk berhenti bekerja dan memberikan kesempatan pada pekerja baru. Berbeda dengan pensiun wajib (atau wajib pensiun) yang dikarenakan oleh organisasi tempat mereka bekerja menetapkan usia tertentu sebagai batas seseorang untuk pensiun tanpa mempertimbangkan apakah mereka senang atau tidak (Hurlock 1997, h.417). Menurut keputusan direksi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk tahun 2003 salah satu bentuk pensiun adalah pensiun dini, yaitu putusnya hubungan kerja yang ditawarkan oleh TELKOM dan disetujui oleh karyawan sebelum mencapai batas usia pensiun

13 normal (56 tahun) dengan mendapatkan kompensasi sesuai dengan kemampuan TELKOM. Usia seseorang ketika memutuskan untuk menjalani pensiun sukarela atau pensiun dini dapat dikategorikan ke dalam usia dewasa tengah (middle adulthood), seperti yang dikatakan oleh Santrock (2002 : 139) sebagai periode perkembangan yang dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an. Pada masa dewasa tengah, individu menghadapi berbagai perubahan. Perubahan pada perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perubahan karir, kerja serta waktu luang, dan perubahan perkembangan sosio emosi. Setiap perubahan perkembangan yang terjadi pada masa dewasa tengah membutuhkan penyesuaian untuk menghadapinya. Orang-orang yang memiliki penyesuaian yang paling baik terhadap pensiun adalah yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupan sebelum pensiun (Palmore dkk, 1985). Juga dikatakan Antonucci (1989) & Rook (1987) bahwa persahabatan terus menjadi penting pada masa dewasa madya sama halnya dengan persahabatan pada masa dewasa awal. Keaktifan seseorang dalam membina relasi yang luas dan membina persahabatannya sebaiknya ditunjang dengan penyesuaian sosial yang baik pula. Adapun penyesuaian sosial (atau social adjustment) menurut Schneiders (1964 : 454 455) menandakan kapasitas untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat dalam situasi dan relasinya di kehidupan sosial, sehingga dapat memenuhi syaratsyarat untuk diterima dalam kehidupan sosial dan dapat terpuaskan secara norma.

14 Kehidupan sosial tidak terlepas dengan kehidupan bermasyarakat, seperti juga dikatakan oleh Schneiders (1964 : 451) bahwa penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat (atau adjustment to society) merupakan bagian dari penyesuaian sosial. Seseorang yang mampu melakukan penyesuaian yang baik secara sosial dalam kehidupan bermasyarakat adalah seseorang yang dengan keterbatasannya dan dengan kemampuannya sendiri serta dengan pola kepribadiannya, telah belajar untuk bereaksi pada dirinya sendiri dan lingkungannya dengan cara yang dewasa, menyeluruh, efisien, dan dengan cara yang memuaskan, dan dapat menyelesaikan konflik secara mental, frustrasi, dan kesulitan-kesulitan personal maupun sosial tanpa menimbulkan perilaku yang simptomatik. Seseorang yang baik dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat juga relatif terbebas dari gejala yang melumpuhkan (disabling symptom), seperti kecemasan yang kronis, keragu-raguan, kegelisahan, obsesi, fobia, kebimbangan, dan gangguan psikosomatik yang mengganggu moral, sosial, religi, atau tujuan-tujuan vokasionalnya (Schneiders, 1964 : 51 55). Schneiders (1964 : 455 458) menjabarkan beberapa kriteria yang dibutuhkan untuk membangun penyesuaian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, yakni kebutuhan untuk mengenali dan memahami hak-hak orang lain dalam lingkungan bermasyarakat, kebersamaan dengan orang lain dan mengembangkan persahabatan jangka panjang, ketertarikan dan simpati untuk menyejahterakan orang lain, kebaikan untuk menderma dan mementingkan orang lain, serta menghormati nilai dan integritas dari hukum, tradisi, dan adat dalam kehidupan bermasyarakat.

15 Penyesuaian selalu dipengaruhi dan dikondisikan oleh keterlibatan kepribadian (Schneiders 1964, h.99). Schneiders (1964 : 121) juga mengatakan bahwa kepribadian berfungsi sebagai faktor utama yang menentukan penyesuaian diri. Allport (1997) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap sekitarnya. Kepribadian selalu berkembang dan berubah dan organisasi kepribadian itu sendiri meliputi kerja tubuh dan jiwa yang tidak terpisah-pisah. Salah satu bentuk model dari kepribadian adalah big five personality trait yang diperkenalkan oleh Costa & McCrae (1992). Big five personality trait meliputi trait-trait Neuroticism, Extraversion, Openness to experience, Agreeableness, serta Conscientiousness; yang dalam setiap traitnya memiliki enam facet. Trait Neuroticism ditandai dengan perasaan gugup, cemas, sedih dan tegang. Meliputi facet anxiety (kegelisahan), angry hostility (mudah marah), depression (depresi), self-consciousness (pemalu), impulsiveness (menuruti kata hati), dan vulnerability (tidak percaya diri). Trait Extraversion meliputi facet warmth (kehangatan), gregariousness (suka berteman), assertiveness (selalu memikirkan kepentingan orang lain), activity (aktivitas), excitement-seeking (selalu mencari kesenangan), dan positive emotion (memiliki emosi yang positif). Trait Openness to experience meliputi facet fantasy (fantasi), aesthetics (nilai estetika), feelings (perasaan), actions (tindakan), ideas (ide-ide) dan values (nilai-nilai). Trait Agreeableness meliputi facet trust (kepercayaan), straightforwardness (sifat berterus terang), altruism (mementingkan kepentingan

16 orang lain), complience (kerelaan), modesty (kesederhanaan) dan tendermindedness (simpati). Terakhir adalah trait Conscientiousness, ditandai dengan berfikir sebelum bertindak, menunda kegembiraan, mengikuti norma dan aturan serta rencana, mengorganisasi, dan mendahulukan tugas. Meliputi facet competence (kemampuan), order (keteraturan), dutifulness (keterkaitan tugas), achievement striving (keinginan mencapai target), self-dicipline (disiplin diri), dan deliberation (pertimbangan yang mendalam). Pensiunan dini yang dominan pada trait neuroticism akan cenderung merasa gelisah jika dihadapkan pada situasi untuk memahami dan menghargai hak-hak orang lain di lingkungannya; pensiunan dini yang trait neuroticism-nya dominan akan cenderung kurang nyaman untuk bersama dengan orang lain dan membina persahabatan jangka panjang. Pensiunan dini yang trait neuroticism-nya dominan akan cenderung gelisah jika dihadapkan pada orang lain untuk membantu mereka, serta pada situasi ketika mereka harus mementingkan orang lain. Pensiunan dini ini akan cenderung memiliki ide yang irasional ketika mereka dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka untuk taat pada aturan hukum atau nilai-nilai adat yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, seperti cenderung untuk mengabaikan sopan santun yang dianut di lingkungan tempat mereka tinggal akibat ketidakmampuan melakukan mengontrol dorongan dalam diri. Pensiunan dini yang dominan pada trait extraversion akan cenderung hangat, cenderung untuk memikirkan orang lain dan menghargai hak-hak orang lain di lingkungannya; juga cenderung mampu memiliki persahabatan jangka

17 panjang dan berbagai aktivitas bersama orang lain. Pensiunan dini yang trait extraversion-nya dominan cenderung akan giat aktif untuk membuat orang lain bahagia, serta melakukan tindakan nyata dengan menolong orang lain sebagai bentuk mementingkan orang lain. Pensiunan dini ini juga cenderung mampu menghormati nilai dan integritas dari hukum, tradisi dan adat dalam kehidupan bermasyarakat, seperti ramah dan mengedepankan norma dalam bertingkah laku di lingkungan. Pensiunan dini yang dominan pada trait openness to experience akan cenderung terbuka pada berbagai cara baru dan mencoba idenya untuk selalu dapat memahami serta menghargai hak-hak orang lain di lingkungannya. Pensiunan dini ini juga akan membina persahabatan jangka panjang dan kebersamaan dengan cara yang tidak konvensional, dan membina persahabatan itu dengan nilai estetika. Pensiunan dini yang trait openness to experience-nya dominan akan terbuka pada ide-ide baru dalam menolong orang lain seperti kreatif membuat program tahunan untuk penyandang cacat. Dan mereka juga cenderung tidak konvensional dalam mengkaji nilai dan integritas dari hukum, tradisi dan adat dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tetap dapat menerima perbedaan tradisi yang ada dengan tidak mengurangi keyakinannya pada adat yang dianutnya. Pensiunan dini yang dominan pada trait agreeableness cenderung percaya dan bersunguh-sungguh dalam memahami dan dalam menghargai hak-hak orang lain di lingkungannya disertai oleh kerelaan. Pensiunan dini yang trait agreeableness-nya dominan akan cenderung untuk percaya, terus terang untuk

18 bersama orang lain, rela dalam membina persahabatan jangka panjang dengan kesederhanaannya. Pensiunan ini juga akan cenderung untuk menaruh simpati untuk membuat orang lain bahagia. Mereka juga cenderung untuk murah hati dalam menolong dan selalu membantu ataupun mementingkan orang lain. Dan pensiunan dini yang trait agreeableness-nya dominan akan rela untuk menghormati nilai dan integritas dari hukum, tradisi dan adat dalam kehidupan bermasyarakat, mereka menghormati aturan yang ada tanpa paksaan dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pensiunan dini yang dominan pada trait conscientiousness akan cenderung bijaksana, cermat, disiplin untuk terus memahami orang lain, dan mencoba untuk mempertimbangkan secara mendalam ketika menghargai hak-hak orang lain. Pensiunan dini yang trait conscientiousness-nya dominan akan cenderung bijaksana, berpikiran sehat, disiplin dan memiliki tujuan yang jelas untuk bersama dan mengembangkan persahabatan jangka panjang. Pensiunan dengan trait concientiousness ini juga akan cenderung cermat dalam membahagiakan orang lain seperti memikirkan dengan bijaksana cara yang tepat untuk menyumbangkan dana pada satu panti jompo sesuai kemampuan. Mereka juga akan mencoba disiplin dan teratur dalam menolong orang lain seperti secara teratur memberi sumbangan pada panti jompo. Pensiunan dini yang trait conscientiousness-nya dominan juga akan berpikir sehat dan bijaksana dalam menjalani nilai dan integritas dari hukum, tradisi dan adat dalam kehidupan bermasyarakat, seperti mencari win-win solution dalam mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya bersama orang lain.

19 Memulai aktivitas-aktivitas lain atau mengisi waktu senggang sebelum memasuki usia pensiun merupakan hal penting sebagai bentuk persiapan menyongsong masa pensiun. Schneiders (1964 : 122) menjabarkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, yakni kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, faktor-faktor psikologis, kondisi lingkungan dan faktor-faktor budaya. Faktor kondisi fisik mempengaruhi pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian dalam kehidupan bermasyarakat. Pensiunan dini yang berada dalam kondisi fisik yang baik, seperti tidak mengalami cacat tubuh, kelemahan fisik dan sebagainya, akan lebih mudah melakukan penyesuaian dibandingkan mereka yang mengalami kekurangan dari segi fisik. Faktor perkembangan dan kematangan juga turut berperan dalam penyesuaian. Pensiunan dini yang secara intelektual, emosi, sosial dan moral lebih matang; seperti pensiunan dini yang memiliki ketertarikan untuk memperluas pengetahuannya dan mampu membuat judgement yang obyektif, dapat mengontrol emosinya dalam menghadapi masalah, mampu mengkomunikasikan segala persoalan dengan baik dan mampu bertanggung jawab akan segala sesuatu yang diperbuatnya cenderung akan lebih mudah melakukan penyesuaian dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor-faktor psikologis juga turut membantu pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian. Faktor ini meliputi learning, conditioning, self determination, frustrasi dan konflik. Pensiunan dini yang mencoba berulang kali untuk menghilangkan perbuatan yang tidak diterima oleh lingkungannya dan

20 mengulangi perbuatan yang dianggap lingkungannya menyenangkan dan diterima oleh lingkungannya, serta pensiunan dini yang memiliki tekad yang kuat untuk dapat mengatasi konflik dan frustrasi akibat keadaannya yang telah pensiun dini akan memudahkan para pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi lingkungan (khususnya rumah dan keluarga) turut menjadi faktor penentu dalam penyesuaian pada pensiunan dini. Dukungan yang datangnya dari keluarga seperti pengertian pasangan dan anggota keluarga terhadap status yang disandang oleh pasangan atau orang tua mereka akan mendukung keberhasilan pensiunan dalam melakukan penyesuaian dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor terakhir yakni faktor-faktor budaya, termasuk agama di dalamnya. Para pensiunan dini yang menjadikan agama sebagai basis dalam mengatasi segala konflik dan frustrasi akan lebih mampu untuk melakukan penyesuaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dikatakan dalam Schneiders (1964 : 162) bahwa agama dapat mereduksi konflik, perasaan-perasaan yang menghancurkan dan frustrasi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diturunkan kerangka pemikiran dalam bagan berikut ini :

21 Ciri-ciri perkembangan middle adulthood (usia 35 60 tahun) Kriteria-kriteria penyesuaian sosial dalam kehidupan bermasyarakat : - Kebutuhan untuk mengenali dan memahami hak-hak orang lain - Kebersamaan dengan orang lain dan mengembangkan persahabatan jangka panjang - Ketertarikan dan simpati untuk menyejahterakan orang lain - Kebaikan untuk menderma dan mementingkan orang lain - Menghormati nilai dan integritas dari hukum, tradisi, dan adat dalam kehidupan bermasyarakat Pensiunan Dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Trait kepribadian Big Five Penyesuaian sosial - Kondisi fisik - Perkembangan dan kematangan - Faktor-faktor psikis - Kondisi lingkungan - Faktor-faktor budaya Bagan 1.1. Skema Kerangka Pemikiran

22 1.6. Asumsi Penelitian Dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat ditarik asumsi sebagai berikut : 1. Trait neuroticism yang dominan akan mempengaruhi pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian diri yang tercermin pada kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat. 2. Trait extraversion yang dominan akan mempengaruhi pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian diri yang tercermin pada kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat. 3. Trait openness to experience yang dominan akan mempengaruhi pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian diri yang tercermin pada kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat. 4. Trait agreeableness yang dominan akan mempengaruhi pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian diri yang tercermin pada kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat. 5. Trait conscientiousness yang dominan akan mempengaruhi pensiunan dini dalam melakukan penyesuaian diri yang tercermin pada kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan bermasyarakat.

23 6. Penyesuaian sosial pensiunan dini berkaitan dengan faktor-faktor kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, faktor-faktor psikis, kondisi lingkungan, dan faktor-faktor budaya. 1.7. Hipotesis Penelitian Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka dapat ditarik hipotesis penelitian bahwa trait kepribadian berpengaruh terhadap penyesuaian sosial pada pensiunan dini PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Bandung.