BAB V PENUTUP Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan melakukan kesimpulan dan mengusulkan saran, sebagai berikut: A. KESIMPULAN Indonesia adalah sebuah kata yang dapat menggambarkan tentang kenyataan hidup berbangsa dan bernegara yang majemuk baik agama, budaya, warna kulit, ras, suku, adat, dan masih banyak lagi perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia dan harus diakui bahwa keragaman/kemajemukan yang dimiliki merupakan kebanggaan bagi anak bangsa. Dalam keragaman ini, rakyat Indonesia diikat oleh satu Kesatuan Negara Republik Indonesia. Dan untuk dapat tetap merekatkan semangat Kesatuan NKRI maka seharusnya seluruh rakyat Indonesia tidak membuang dari ingatannya tentang masa-masa kelam yang pernah menghadirkan kesengsaraan, namun juga menumbuhkan rasa sepenanggungan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Enam puluh sembilan tahun sudah bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Enam puluh sembilan tahun juga bukanlah waktu yang singkat untuk membenahi dan mengarahkan bangsa ini pada kemerdekaan yang sesungguhnya memerdekakan seluruh rakyat tanpa pengecualian. Sayangnya, dalam memasuki usia yang keenam puluh sembilan tahun, bangsa ini pun belum sepenuhnya menghadirkan nilai-nilai keadilan yang benar-benar memerdekakan seluruh rakyatnya, misalnya; tidak diperhatikannya anak bangsa yang berdiam pada wilayah-wilayah yang sangat terpencil, diskriminasi terhadap wilayah-wilayah tertentu, egoisme yang ada pada golongan elit yakni hanya mementingkan kesejahteraan golongan dan kelompoknya, 119
ketidakadilan baik dalam dunia pendidikan, ekonomi, dan sebagainya, bahkan dalam hal ini juga masih belum meratanya perlakuan yang adil terhadap kaum perempuan. Namun setidaknya harus diakui bahwa sebagian dari kaum perempuan telah berhasil memperoleh kebebasan untuk keluar di wilayah publik dan keadaan ini harus disambut dengan penuh semangat oleh kaum perempuan lainnya dalam rangka mendorong semua kaum perempuan untuk berjuang dan mendapatkan haknya sebagai masyarakat yang benar-benar merdeka. Tetapi, pencapaian keberhasilan yang diperoleh oleh sebagian kaum perempuan juga masih diwarnai dengan unsur-unsur ketidakadilan. Artinya bahwa keberhasilan ini tidaklah langsung menjadi jaminan seorang perempuan mempunyai hak sepenuhnya dalam berkarya dan menuangkan talenta bahkan potensinya pada wilayah publik, lebih dari pada itu keberhasilan ini tidak dapat menjamin bahwa perempuan tidak akan menemui tindakan-tindakan yang tidak adil dan kemerdekaan yang benar-benar memerdekakan ketika bergabung pada wilayah publik. Hal ini menegaskan pada dasarnya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Perempuan Indonesia yang hidup di negaranya sendiri masih mendapatkan perlakuan diskriminatif, masih ditempatkan sebagai kaum kelas nomor dua, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dilihat bahwa masih terjadinya ketidakadilan pada ranah publik. Salah satu problem yang melatarbelakangi maraknya ketidakadilan pada wilayah publik ialah kurang diberikannya perhatian terhadap kehidupan keluarga yang merupakan dasar terbentuknya masyarakat. Masyarakat kita belum sepenuhnya sadar untuk melihat peran penting dari kehidupan keluarga. Artinya, hampir semua orang hanya fokus terhadap hal-hal yang kelihatan dari luar dan tidak menghiraukan bahkan tidak peduli dengan nilai-nilai moral yang seharusnya dibentuk dari dalam keluarga inti. Salah satu contoh yang akan diberikan untuk dapat memperjelas tentang peran 120
penting keluarga akan dikemukakan dari kehidupan keluarga penulis sendiri. Berikut ini adalah penuturannya. Saya adalah seorang perempuan yang semenjak lahir tidak dibesarkan oleh orang tua kandung. Setelah beranjak dewasa, saya bertemu dengan seorang pria. Hari demi hari pun berlalu dengan begitu cepatnya dan saya pun menjalin hubungan dengan laki-laki tersebut. Proses pengenalan antara kami tidak berjalan lama dan setelah itu kami menikah lantaran saya telah mengandung. Pernikahan kami secara tidak langsung membatasi ruang gerak saya hanya pada wilayah domestik. Namun saya berpikir bahwa itu merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai seorang istri. Masa-masa di awal pernikahan adalah masa yang sangat menyenangkan bagi kami. Terlebih ketika usia kandungan saya sudah tidak dikatakan muda lagi, yakni saya akan segera melahirkan. Perasaan senang pun semakin bertambah pada saat saya melahirkan anak pertama. Kehidupan rumah tangga yang kami jalani terlihat sangat bahagia dan jauh dari pertengkaran dan ketidakadilan. Tahun demi tahun kami lewati bersama dalam bingkai kehidupan rumah tangga. Banyak hal bahkan banyak permasalahan yang turut menemani kehidupan keluarga. Kini kami dikaruniai tiga orang anak lak-laki yang pada waktu itu masih berusia sekitar 5 tahun, 3 tahun, dan 1 tahun. Tidak banyak orang yang tahu tentang kondisi keluarga kami, khususnya kondisi antara saya dan suami. Namun, secara kasat mata para tetangga dapat melihat dengan jelas setiap hari pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya harus mengerjakan pekerjaan rumah, harus mengurus ketiga anak yang masih kecil-kecil, bahkan saya juga harus mengurusi semua keperluan dan kebutuhan suami. Jika dibandingkan dengan suami, tidak satupun pekerjaan rumah tangga yang ia kerjakan. Setiap harinya dia keluar bekerja dan 121
pulang pada malam hari. Tidak jarang juga dia pulang dalam kondisi yang sudah mabuk. Tidak ada cara lain yang harus saya lakukan selain mengurusinya walaupun dengan kondisi yang lelah karena bekerja seharian. Kondisi seperti ini terjadi dalam waktu yang lama. Hingga pada akhirnya saya mengetahui bahwa orang yang sangat dekat dengan saya bahkan orang yang sangat saya kasihi yang tidak lain adalah suami memiliki hubungan dengan wanita lain. Rasanya sangat berat perjalanan hidup rumah tangga yang saya jalani. Saya berusaha tegar dalam mengatasi permasalahan ini. Ketika itu perlakuan tidak adil mulai saya rasakan dari suami. Biaya kehidupan bagi saya dan anak-anak telah berkurang bahkan juga tindakan dan perkataan kasar menjadi hal yang tidak luput dalam keseharian. Pada akhirnya saya jatuh sakit. Selama tubuh ini diserang penyakit, tidak pernah saya dibawa pergi ke rumah sakit. Dalam ketidakberdayaan, saya menanggung semua rasa sakit, baik sakit fisik maupun sakitnya perasaan karena dikhianati. Meski demikian, saya tetap menjalankan tugas sebagai seorang istri dengan baik. Hingga pada satu ketika penyakit di dalam tubuh ini tidak dapat diajak kompromi sehingga nyawa saya pun direnggut oleh penyakit itu. Saya meninggalkan tiga orang anak yang masih sangat kecil dan masih sangat membutuhkan kehadiran serta kasih sayang seorang ibu. Cerita di atas menggambarkan bahwa betapa seorang perempuan, ibu, istri diperlakukan dengan sangat tidak adil, didiskriminasi, dan kemanusiaannya tidak dianggap. Yang diperlukan adalah tenaganya untuk mengerjakan berbagai macam pekerjaan rumah tangga/keluarga. Namun tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri dan talenta. Ruang geraknya dibatasi untuk bekerja keras pada wilayah domestik sehingga talenta dan kreatifitas yang ada pada perempuan menjadi hilang bahkan mati. Konteks aktual yang dituangkan melalui cerita di atas setidaknya 122
hendak menyampaikan pesan yang sangat penting bahwa betapa keluarga memegang peranan besar untuk menerapkan nilai-nilai keadilan yang dimulai dari dalam keluarga yang pada akhirnya akan berkontribusi bagi masyarakat dan negara. Karena itu, salah satu indikator terjadinya ketidakadilan di dalam keluarga yakni paham patriaki yang berkembang dalam pemahaman masyarakat haruslah diputuskan sehingga tidak terfokus pada pandangan-pandangan yang pada akhirnya menghadirkan ketidakadilan tetapi mampu menanamkan nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang lebih bermoral dan bermartabat untuk kemanusiaan seorang perempuan dan juga laki-laki. Dengan begitu bagi penulis, pandangan dan solusi yang dikemukakan oleh Susan Okin mengenai penerapan nilai-nilai moral yang disertai dengan praktik-praktik keadilan tidak hanya sekedar menjadi formalitas untuk menunjukkan bahwa adanya aktifitas pendidikan yang dilakukan dari dalam keluarga tetapi sebaliknya merupakan suatu kebutuhan yang harus diterapkan mulai dari wilayah yang paling intim atau wilayah yang paling dekat dengan kehidupan pribadi masing-masing orang yaitu keluarga. Begitu juga dengan kehidupan masyarakat pun harus disertai dengan tindakan-tindakan moral yang menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat yang dalam hal ini juga berawal dari dalam keluarga. Dengan demikian antara kehidupan keluarga dan masyarakat seharusnya tidak dipisahkan karena merupakan dua unsur yang saling melengkapi. Pada akhirnya kesadaran akan kesetaraan gender dan keadilan terlebih dahulu harus dimulai dari dalam hubungan keluarga yaitu antara suami dan isteri, maupun antara orang tua anak. B. SARAN Keluarga merupakan basis utama terbentuknya masyarakat yang adil. Karena itu, sebelum seseorang melangkah keluar wilayah publik, terlebih dahulu harus 123
mengerti, memahami, dan mempraktekkan nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang adil di dalam keluarga. Suami dan isteri harus menunjukkan totalitas dan kualitasnya sebagai orang tua yang baik dalam mendidik dan membina anak-anak tentang nilainilai yang adil sejak usia dini sehingga ketika anak-anak mengalami perjumpaan dengan masyarakat, mereka mampu hadir dan menyumbangkan tindakan-tindakan yang adil atas nama kemanusiaan. Kaum laki-laki harus menelanjangi sistim berpikirnya yang mendominasi kaum perempuan serta harus menanggalkan sifat-sifat egois dan memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengembangkan diri pada wilayah publik. Juga kaum perempuan harus berani bertindak tegas dan berani melangkah keluar dari cara berpikir klasik yang mengharuskan setiap perempuan mengabdikan seluruh tenaga dan hidupnya hanya pada wilayah domestik. Selain itu, kaum laki-laki dan kaum perempuan harus menggabungkan seluruh tenaga dan daya pikirnya untuk meruntuhkan hasil konstruksi masyarakat yang telah berkembang selama ratusan bahkan ribuan tahun sehingga mendominasi sebagian besar pemikiran masyarakat luas yang hadir hingga saat ini. Cara-cara semacam ini dapat ditempuh melalui proses sosialisasi dan edukasi yang dilakukan secara terbuka dan berkelanjutan bagi semua anggota keluarga, masyarakat, golongan, kelompok, suku, bahkan pada tingkat kenegaraan. 124