BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada awal tahun 2001 mulai diberlakukannya kebijakan otonomi daerah,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. derajat desentralisasi pemerintah daerah yang dihubungkan dengan karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori entitas yang dikemukakan oleh Paton menyatakan bahwa organisasi

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

tercantum dalam salah satu misi yang digariskan GBHN yaitu perwujudan

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya yang menerapkan sistem sentralisasi dimana segala kekuasan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

commit to user I.1 Latar Belakang Masalah Titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia yaitu pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan layanan tersebut di masa yang akan datang (Nabila 2014).

BAB I PENDAHULUAN. kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance adalah

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama dalam melaksanakan otonomi daerah pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. penting. Otonomi daerah yang dilaksanakan akan sejalan dengan semakin

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada awal tahun 2001 mulai diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, pemberian otonomi yang luas membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya undangundang yang diberlakukan telah diperbaiki dengan alasan adanya tuntutan tingkat efisiensi yang lebih tinggi, perubahan tersebut ditetapkan pada Undang-Undang No 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Dengan adanya perubahan undang-undang tersebut, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengatur rumah tangga daerahnya masing-masing. Untuk itu setiap daerah dituntut agar dapat membiayai daerahnya sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dimilikinya. Kemampuan daerah dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah yang dimilikinya sebagai sumber pendapatan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi daerah tersebut. Menurut Mardiasmo (2002: 59), tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang 1

2 semakin baik, pengembangan hidup demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam menjaga keutuhan Negara Indonesia. Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah suatu proses perbaikan yang berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik, dimana proses pembangunan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat serta harkat dan martabat manusia dengan berbagai peningkatan standar hidup serta perluasan pilihan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat (Todaro dan Smith, 1997). Dalam hal ini tugas mempertinggi tingkat kesejahteraan bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus mampu mendorong dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat, khususnya sektor swasta, untuk berperan lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, lebih adil dan lebih merata akan dapat dicapai dengan lebih baik dan lebih cepat (Hendarmin, 2012). Kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya sendiri. Menurut Munir dkk (2004: 105), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.

3 Pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan wewenang pengelolaan beberapa urusan pemerintah pusat ke daerah mengharuskan reformasi pengelolaan pemerintah pada berbagai aspek termasuk pengelolaan keuangan daerah (Carnegie, 2005). Dengan desentralisasi fiskal, terjadi aliran dana yang cukup besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Syahrudin, 2006). Pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan keuangan pemerintahnya. Idealnya desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah (Moisiu, 2013). Kondisi ini terbukti pada beberapa daerah dimana desentralisasi fiskal meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik (Liu, 2007). Tingkat kemampuan keuangan daerah salah satunya dapat diukur dari besarnya penerimaan daerah khususnya dari pendapatan asli daerah (PAD). Upaya dalam menggali kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio keuangan pemerintah daerah. Kinerja keuangan daerah dapat digunakan untuk menilai akuntabilitas dan kemampuan keuangan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan demikian, jika keuangan daerah itu baik maka daerah tersebut memiliki kemampuan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Kinerja keuangan merupakan tingkat pencapaian suatu target kegiatan keuangan pemerintah daerah yang diukur melalui indikator-indikator keuangan yang dapat dinilai dari hasil pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran

4 Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mardiasmo (2002: 67) mengungkapkan pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu: memperbaiki kinerja pemerintah, membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan, serta mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Mengukur kinerja/kemampuan keuangan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan menggunakan indikator derajat desentralisasi fiskal (Musgrave & Musgrave, 1980). Untuk melihat kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah khususnya dibidang keuangan dapat diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil (Sumarsono, 2009). Beberapa penelitian menggunakan indikator derajat desentralisasi fiskal seperti Davoodi dan Zou (1998) serta Phillips dan Woller (1997) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal tidak mempunyai dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Lebih jauh, Zhang dan Zou (1998) dan Xie et all. (1999) mendapatkan hasil bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kurang mengantungkan bagi pembangunan. Sebaliknya, hasil studi Iimi (2005) dan Malik dkk (2006) menunjukkan hasil berbeda, yakni bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian derajat desentralisasi sudah banyak dilakukan di Indonesia tetapi hanya mengukur kemampuan daerah untuk melakukan derajat desentralisasi fiskal seperti penelitian yang dilakukan Mega dan Makmur (2014) dan Agustina

5 (2010). Hasilnya menunjukan bahwa rata-rata kabupaten/kota di Indonesia memiliki tingkat DDF yang diukur dari rasio PAD terhadap TPD di bawah 10% yang menunjukan kinerja kemampuan keuangan daerah dalam melakukan desentralisasi fiskal masih sangat kurang. Akan tetapi ada pemerintah daerah yang mendapatkan derajat desentralisasi fiskal yang baik, ini menunjukan adanya perbedaan karakteristik kemampuan keuangan daerah dalam melakukan desentralisasi fiskal. Penelitian Mustikarini dan Fitriasasi (2012) membuktikan bahwa karakterististik suatu pemerintah daerah (ukuran, tingkat kekayaan, tingkat ketergantungan dan belanja daerah) dan temuan audit BPK memiliki pengaruh terhadap skor kinerja pemda kabupaten/kota dilakukan dengan menggunakan beberapa metode regresi untuk 275 PEMDA untuk tahun 2007. Kinerja keuangan daerah dinilai dari Laporan Hasil Evaluasi Pemeringkatan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan LPPD Tahun 2007 Tingkat Nasional dengan range nilai 0-4. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan derajat desentralisasi fiskal dalam mengukur kinerja kemampuan keuangan pemerintah daerah. Lesmana (2010) mengatakan bahwa karakteristik pemerintah daerah berarti sifat khas dari otoritas administratif pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Elemen-elemen yang terdapat dalam laporan keuangan pemerintah daerah dapat menggambarkan karakteristik pemerintah daerah. Laporan keuangan merupakan suatu alat yang memfasilitasi transparansi akuntabilitas publik, yang menyediakan informasi yang relevan mengenai

6 kegiatan operasionalnya, posisi keuangan, arus kas dan penjelasan atas pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan tersebut. Karakteristik pemerintah daerah adalah ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh suatu pemerintah daerah. Penelitian terdahulu mengenai karakteristik daerah diantaranya dilakukan oleh Patrick (2007) yang dilakukan pada pemerintah daerah Pennsylvania dengan menggunakan karakteristik pemerintah daerah sebagai variabel independen yang terdiri dari : (1) budaya organisasi (2) struktur organisasi (3) lingkungan eksternal. Variabel yang paling sering digunakan untuk menggambarkan karakteristik pemerintah daerah adalah kekayaan daerah, ukuran daerah, dan intergovernmental revenue. Kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya sendiri (Yosephen Mentari, Saleh dan Wachid, 2012). Menurut Munir dkk (2004: 105), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Yang dan Hsieh (2007) mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja merupakan bagian penting dalam melakukan reformasi pemerintah di seluruh dunia. Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

7 fiskal. Kabupaten/kota di Pulau Jawa memiliki dana alokasi umum yang banyak karena memiliki luas wilayah yang besar, jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan mempunyai jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Dana alokasi umum dihitung dengan indeks jumlah penduduk, indeks jumlah wilayah, indeks kemahalam konstruksi, indeks pembangunan manusia dan indeks pertumbuhan domestik bruto menurut PP No.2 tahun 2014 mengenai dana alokasi umum daerah provinsi kabupaten/kota di Indonesia. Pulau Jawa adalah pusat perekonomian di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, namun hal tersebut tidak bisa serta merta membuat kabupaten/kota di Jawa menjadi daerah yang benar-benar mandiri, dalam arti mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya sendiri dengan segala potensi yang dimiliki (Sistiana Mega dan Makmur, 2014). Perbedaan karakteristik pemerintah daerah bisa menyebabkan terjadinya perbedaan kemampuan daerah dalam melaksanakan derajat desentralisasi fiskal. Menurut penelitian Sistiana Mega dan Makmur (2014), dari 27 kabupaten yang terdapat di Jawa Timur, hampir 90% rasio PAD terhadap TPD berada pada kisaran kurang dari 10%. Hal tersebut menandakan derajat desentralisasi fiskal di lihat dari rasio PAD terhadap TPD sangat rendah sekali. Kabupaten Sidoarjo, Jombang, Tuban, Gresik merupakan empat kabupaten yang memiliki rata-rata tingkat DDF berada di atas 10% per tahunnya dan 23 kabupaten yang lain dari tahun ke tahun mengalami keragaman perkembangan tingkat DDF yang rata-rata kurang dari 10% per tahun. Dari 23 kabupaten yang memiliki tingkat DDF ratarata kurang dari 10% per tahun, Ngawi merupakan kabupaten dengan nilai DDF

8 paling kecil, yaitu rata-rata di bawah 5% per tahunnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Agustina (2010) tentang Desentralisasi Fiskal, Tax Effort dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Empirik Kabupaten Kota se-indonesia) menunjukkan hasil, yaitu rata-rata kabupaten/kota di Indonesia memiliki tingkat DDF yang diukur dari rasio PAD terhadap TPD di bawah 10% pada tahun 2001-2008. Berdasarkan hasil uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal dengan objek penelitian, yaitu pada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa dengan topik Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2013).

9 B. Rumusan Masalah Pengukuran kinerja kemampuan keuangan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam mencapai pemerintahan yang baik (Halacmi, 2005). Kinerja dalam sektor publik bersifat multidimensional, sehingga tidak ada indikator tunggal yang dapat digunakan untuk menunjukkan kinerja secara komprehensif, lain halnya dengan sektor swasta, karena sifat output yang dihasilkan sektor publik lebih banyak bersifat intangible output, maka ukuran finansial saja tidak cukup untuk mengukur kinerja sektor publik, perlu dikembangkan pula ukuran kerja non finansial. Permasalahan yang sering terjadi terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi adalah bagaimana daerah dapat mengatasi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dalam hak ketergantungan fiskal untuk kebutuhan segala kegiatan pembangunan daerah (Kuncoro, 2004). Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan dalam bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah. Otonomi daerah yang sudah diterapkan pada masing-masing pemerintah daerah, memaksa pemerintah daerah untuk berusaha menjalankan sendiri rumah tangga pemerintahannya dengan memaksimalkan potensi-potensi yang ada pada masingmasing daerah. Salah satunya ditunjukkan dengan derajat desentralisasi fiskal yang dapat dihasilkan oleh daerah tersebut. Berdasarkan atas latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

10 1. Apakah terdapat pengaruh ukuran pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal? 2. Apakah terdapat pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal? 3. Apakah terdapat pengaruh jumlah SKPD pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal? 4. Apakah terdapat pengaruh umur pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal? 5. Apakah terdapat pengaruh status pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal; 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal; 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah SKPD pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal; 4. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal; 5. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh status pemerintah daerah terhadap derajat desentralisasi fiskal.

11 D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak, diantaranya: 1. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pada pemerintah daerah di Jawa Timur untuk memaksimalkan potensi karakteristik yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya untuk meningkatkan penerimaan dari pendapatan asli daerah sehingga dapat mengurai ketergantungan terhadap intergovermental revenue menuju peningkatan derajat desentralisasi fiskal pemerintah daerah. 2. Bagi Legislator Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi legislator/dprd dimana mereka memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap pemerintah daerah terutama dalam hal kinerja keuangannya sehingga kualitas APBD yang akan datang mampu meningkatkan derajat desentralisasi fiskal daerah. 3. Bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) Penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada KSAP selaku standard setter dalam penyusunan SAP terutama terkait dengan penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah yang seharusnya sudah dihubungkan dengan karakteristik pemerintah daerah.