BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Posttraumatic Growth (PTG) 2.1.1 Pengertian Posttraumatic Growth is the experience of positive change that occurs as a result of the strunggle with highly challenging life cries (Tedeschi & Calhoun, 2004). Posttraumatic Growth adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi krisis kehidupan yang tinggi. Setelah beberapa decade orang - orang melihat reaksi negatif yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatic, Tedeschi & Calhoun, 2004. Membuka sebuah penelitian baru yang melihat reaksi positif yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatic yang kemudian dikenal dengan sebutan Posttraumatic Growth. Konstruk ini mengarah pada perubahan besar yang terjadi pada persepsi seseorang terhadap kehidupannya setelah orang tersebut berjuang menghadapi krisis didalam kehidupannya yang terjadi. Individu ini tidak hanya sekedar kembali pada keadaan sebelumnya, tetapi menggunakan trauma sebagai sebuah kesempatan untuk perkembangan diri selanjutnya (Zollerner & Maercker, 2008). Posttraumatic Growth memiliki dua pengertian penting, pertama Tedeschi & Calhoun (2004) menyatakan bahwa Posttraumatic Growth dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak 10
11 diinginkan atau tidak dinginkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya Posttraumatic Growth (PTG). Kedua, perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan pada masa lalu dan pada masa deapannya dalam menjalani kehidupan sehari - hari yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat. Istilah PTG lebih menangkap inti dari suatu fenomena yang tertjadi dibandingkan istilah lain, karena: (1) PTG terjadi secara khusus pada beberapa kejadian yang stressful dibandingkan pada kejadian yang dengan level stress rendah, (2) PTG disertai dengan transformasi perubahan kehidupan, (3) PTG merupakan hasil dari pengalaman traumatic bukan suatu mekanisme coping dalam menghadapi pengalaman traumatic, dan (4) PTG merupakan perkembangan atau kemajuan dari hidup seseorang (Linley & Joseph, 2004). Istilah lain yang terkait dalam fenomena PTG antara lain stren conversion, positive psychological change, perceived benefits, atau counstruing benefits, stress related - growth, discovery of meaning, positive emotions, flourishing dan thriving (Linley & Joseph, 2004). PTG digambarkan sebagai pengalaman individu yang berkembang setelah mengalami kejadian traumatik setidaknya pada beberapa area. Individu tersebut tidak hanya survive tetapi juga memiliki pertumbuhan dari keadaan sebelumnya yang menurutnya. PTG tidak hanya kembali
12 pada keadaaan semuala (normal), tetapi juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan yang pada beberapa orang terjadi dengan sangat luar biasa (Tedeschi & Calhoun, 2004). PTG bukan merupakan hasil langsung dari yang terjadi setelah pengalaman traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis yang mengguncang dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti. Kejadian yang mengguncang dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan berat, melakukan penyangkalan, atau mungkin kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi, dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia (Tedeschi & Calhoun, 2004). Setelah mengalami kejadian yang mengguncang seseorang akan membangun kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah terjadi gempa bumi. Struktur fisik dirancang agar manusia dapat lebih bertahan atau melawan kejadian traumatik dimasa depan, yang merupakan hasil pelajaran dari gempa bumi sebelumnya mengenai apa yang dapat bertahan dari guncangan dan apa yang tidak. Ini merupakan hasil dari suatu kejadian yang membangun PTG (Tedeschi & Calhoun, 2004).
13 2.1.2 Aspek Posttraumatic Growth Tedeschi & Calhoun (2004) menyebutkan perubahan dalam diri seseorang pasca kejadian traumatik yang juga merupakan elemen PTG antara lain : 1. Appreciation for life (penghargaan terhadap hidup) Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang. Perubahan yang mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat meningktkan penghargaan kepada hal - hal yang dimilikinya misalnya menghargai kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut misalnya menjadikan hal yang kecil menjadi sesuaatu yang penting dan berharga misalnya senyuman anak atau waktu yang dihabiskan untuk bermain bersama anak. Even the smallest joys in life took on a special meaning. 2. Relating to others (Hubungan dengan orang lain) Merupakan perubahan hubungan sepreti lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan keluarga atau temannya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan bahwa ia lebih empati terhadap siapapun yang sedang sakit dan siapapun yang mengalami kesedihan. 3. Personal stregth (Kekuatan dalam diri)
14 Merupakan perubahan yang berupa peningkatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan, Saya dapat mengatur semuanya dengan lebih baik. Hal - hal yang menjadi sesuatu masalah yang besar sekarang menjadi masalah yang tidak begitu besar bagi saya. 4. New posibitities (Kemungkinan - kemungkinan baru) Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengalami kehilangan orang tersayangnya karena suatu penyakit mempengaruhi dirinya untuk berjuang menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya seorang suster. Dengan menjadi seorang suster ia mencoba memberikan keperduliannya dan rasa nyaman pada orang lain yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang memperlihatkan ketertarikannya yang baru, aktivitas baru dan mungkin memulai pola kehidupan baru yang signifikan. 5. Spiritual Development (perkembangan spiritual) Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritualitas dan hal - hal yang bersifat eksistensial. Individual yang tidak religius atau tidak memiliki agama juga dapat mengalalmi PTG. Mereka dapat mengalami pertempuran yang hebat dengan pernyataan - pernyataan eksistensial yang mendasar atau pertempuran tersebut mungkin dijadikan sebagai pengalaman PTG.
15 Selain itu Tedeschi & Calhoun (1999) (dalam Taku, dkk; 2008) juga membagi PTG dalam 3 aspek antara lain : 1. Perubahan dalam persepsi diri (change in perception of self), antara lain meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar, resiliensi atau kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dan mengembangkan kesempatan baru. 2. Perubahan dalam hubungan intrapersonal (change in intrapersonal relationship), antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan dengan orang lain. 3. Perubahan dalam filosofi hidup (change in philosophy of life), antara lain memiliki apresiasi yang lebih besar setiap harinya dan perubahan dalam hal spiritualitas dan religiulitas (kepercayaan agama).
16 2.1.3 proses terjadinya Posttraumatic Growth PERSON PRETRAUMA SEISMIC EVENT MANAGEMENT OF EMOTIONAL DISTRESS CHALLENGES Fundamental schemas beliefs & goals Life narrative Rumination moslty automatic & intrusive Self disclosure Writing, Talking, Praying Rumination of emosional distress management of automatic rumination disengagement from goals Rumination more deliberate schema change narrative development Social support Models for schemas, coping, posttraumatic growth Enduring distress Posttraumatic growth (5domains) wisdom Bagan 2.1 Proses Terjadinya Posttraumatic Growth
17 Bagan 2.1 Proses Terjadinya Posttraumatic Growth Pada skema diatas, dapat digambarkan beberapa karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman Posttraumatic Growth. Selanjutnya, tingkat self-disclosure seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peran dalam terjadinya posttraumatic growth pada seseorang. Kemudian juga dapat digambarkan cognitive process dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan (ruminative thoughts) juga berhubungan dengan munculnya posttraumatic growth. Terakhir, PTG dapat dengan cara signifikan berhubungan dengan kebijaksanaan dan narasi kehidupan individu (the indiviual s life narrative) (Tedeschi & Calhoun, 2004). a. Karakteristik personal atau individu Tingkatan trauma yang dialami oleh seseorang tentunya akan sangat mempengaruhi perkembangan PTG. Namun, karakteristik personal seseorang dalam menghadapi suatu trauma tersebut juga mengalami proses PTG. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Coste & Mc Crae (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan kepribadian ekstrovert berhubungan dengan perkembangan PTG. Orang dengan karakter seperti ini mungkin lebih memperlihatkan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaan sulit,
18 yang kemudian akan membantunya memahami informasi mengenai pengalaman yang ia alami dengan lebih efektif dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (PTG). Selain itu karakteristik lain seperti optimisme juga mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Orang yang optimis dapat lebih mudah untuk memperlihatkan hal mana yang penting baginya dan terlepas dari keadaan yang tidak terkontrol atau masalah yang tidak terselesaikan. ini merupakan hal penting dalam proses kognitif yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004). b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (managing distressing emotion) Saat seseorang mengalami krisis dalam hidupnya, ia harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya dapat membuat skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian membentuk PTG. Pada tahap awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang lebih bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu timbullah suatu perenungan (rumination) yang negatif dan merusak. Numun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya kemudian membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang ia jalani dalam hidup tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan (Tedeschi & Calhoun, 2004).
19 Namun proses ini terjadi berbeda - beda pada seseorang, karena masih ditemukan rasa ketidak percayaan akan pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Stress yang dialami menjaga proses kognitif tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa ia telah menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam mengelola kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004). c. Dukungan dan keterbukaan (support and disclosure) Dukungan dari orang lain dapat membantu perkembangan PTG, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada orang yang mengalami trauma (trauma survivors) untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dapat membantu trauma survivor untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, trauma survivor dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain ( Tedeschi & Calhoun, 2004). d. Proses kognitif dan perkembangan ( cognitive processing and growth) Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan PTG. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat mengurangi ketidak sesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan orang dengan
20 kepercayaan diri yang rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, ia akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam hidupnya (Tedeschi & Calhoun, 2004). e. Perenungan atau proses kognitif (rumination or cognitive processing) Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur harus direkonstruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali skema tersebut untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman traumatik untuk berfikir ulang mengenai keadaan yang ia alami. Menurut Martin & Tesser (dalam Linley & Joseph, 2004) bentuk proses kognitif ini memiliki karakteristik lain masuk akal (making sense), menyelesaikan masalah (problem solving), mengenang (reminiscence), dan antisipasi (antisipation). Pemikiran ulang atau perenungan (rumination) ini merupakan suatu hal yang penting dalam keadaan krisis yang berguna untuk menyadari tujuan hidupnya yang belum tercapai, memastikan bahwa skemanya tidak lagi secara akurat merefleksikan keadaan saat itu, dan memastikan bahwa kepercayaannya tidak lagi tepat. Beberapa tujuan hidup yang tidak lagi dapat dicapai dan beberapa asumsi yang tidak dapat menerima realita baru pasca kejadian traumatik, memungkinkan seseorang memulai untuk membentuk formula tujuan baru dan
21 memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan keadaan kehidupannya (Linley & Joseph, 2004). f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (wisdom dan life narrative) Asumsi kita adalah pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang didalamnya terhadap pengaruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan, dan juga perkembangan pola pikirnya dalam memikirkan kehidupan. Ketangguhan seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat membentuk PTG dan bersifat memperbaiki cerita kehidupannya (misalnya sebelum dan sesudah perang, sebelum dan sesudah mengalami kekerasan kriminal). Berdasarkan bagan 2.1, perkembangan cerita kehidupan seseoarang dan PTG dapat bersifat saling mempengaruhi (Tedeschi & Calhoun, 2004). 2.1.5 faktor faktor yang mempengaruhi Posttraumatic Growth Ada beberapa faktor yang mempengaruhi PTG, adalah : a. Harapan (Hope) Ho dkk (2010) menenmukan bahwa harapan memiliki ikatan yang positif dengan PTG. Harapan dapat menjadi sebuah coping positif saat menghadapi situasi stressful dan memegang peranan dalam perkembangan PTG. Harapan berbeda dengan optimis, harapan tidak sekedar ekspetasi bahwa tujuannya dapat dicapai,
22 namun juga kapasitas seseorang untuk membayangkan cara dalam mencapai tujuan tersebut. b. Dukungan sosial (social support) Seperti yang telah dijelaskan pada skema pembentukan PTG, disebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung perkembangan PTG seseorang. Dukungan sosial seseorang mungkin mempelopori perkembangan PTG dengan mempengaruhi perilaku coping seseorang dan membantu keberhasilan seseorang dalam menghadapi krisis. Untuk mengatasi dan beradaptasi dengan trauma akan terjadinya dengan bantuan lingkungan sosial. Selanjutnya menurut Lepore dkk kesempatan untuk mendiskusikan pengalaman traumatiknya yang mungkin dapat membantu memahami situasi tersebut dan menciptakan PTG (dalam Digens, 2003). c. Optimisme Beberapa penelitian menunjukan bahwa optimisme memiliki korelasi yang positif terhadap PTG. Optimisme memberikan pengaruh pada orang - orang yang mengalami kejadian traumatik, sebagai contoh dengan menampilkan kemampuan beradaptasi pada stressor medis diantaranya pada pasien yang melakukan operasi jantung, kelahiran anak, keguguran, dan orang dengan HIV positif (Tedeschi dkk, 1998).
23 d. Agama dan Spiritualitas Shaw dkk (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara agama atau spiritualitas dengan trauma, dimana agama dan spiritualitas dapat membantu seseorang dalam menghadapi trauma dan dapat membantu meningkatkan perkembangan PTG. Shaw dkk juga menyatakan bahwa aspek intristik dari agama dan spiritualitas memiliki hubungan dengan PTG. e. Usia dan Jenis Kelamin Usia seseorang mempengaruhi bagaimana perkembangan PTG pada dirinya. Diggens (2003) menjelaskan bahwa beberapa studi menunjukan seseorang dengan usia yang lebih muda memiliki PTG yang lebih besar dibandingkan yang lebih tua. Hal ini mungkin terjadi karena dengan usia lebih muda lebih fleksibel dan tetap terbuka terhadap perubahan dalam hidupnya. f. Dukungan sosial Dukungan sosial dibutuhkan dalam pembentukan PTG. Oleh karena itu, semakin tinggi dukungan sosial yang dimiliki seseorang cenderung mendorong orang tersebut untuk memiliki tingkat PTG yang juga jauh lebih tinggi (Tedeschi dan Calhoun, 2004b). g. Status pernikahan Menurut Seidmahmoodi, Rahimi, dan Mohamadi (2011), individu yang sudah menikah dan mengalami peristiwa traumatis, akan menunjukan PTG yang lebih tinggi daripada individu yang
24 belum menikah. Hal ini mungkin disebabkan oleh hubungan dekat, dan saling membantu dengan pasangan dalam situasi yang menekan. 2.2 HIV/AIDS 2.2.1 Pengertian HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV), sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), muncul setelah HIV menyerang sistem kekebalan tubuh selama hampir sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih dari satu penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa lebih berat dari pada biasanya. HIV positif bukan berarti langsung jatuh sakit. Seseorang dapat hidup dengan HIV didalam tubuhnya selama bertahun - tahun tanpa merasa sakit atau mengalami gangguan kesehatan yang serius. Lamanya sehat in sangat dipengaruhi oleh keinginan yang kuat dari kita sendiri dan bagaimana menjaga kesehatan dengan pola yang sehat. 2.2.2 Cara Menularnya HIV/AIDS Cara paling umum penularan HIV adalah : a. Melalui seks dengan orang mengidap HIV tanpa menggunakan kondom;
25 b. Menggunakan jarum suntik secara bergantian dengan orang mengidap HIV; c. Dari ibu ke bayinya sebelum bayi dilahirkan, selama proses melahirkan, atau melalui ASI. Tanpa intervensi, kurang lebih 30% bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu mengidap HIV positif akan terinfeksi HIV. Penggunaan obat tertentu diakhir waktu kehamilan dan selama kelahiran dapat mengurangi kemungkinan bayi terinfeksi menjadi dibawah 10%, tetapi tidak akan mencegah infeksi HIV untuk seluruh bayi; d. Melalui transfusi darah, pencangkokan organ atau jaringan tubuh; e. penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bersama - sama, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang positif HIV. Sedangkan menurut Kaplan (1997) penularan HIV paling sering terjadi melalui hubungan seksual atau perpindahan darah yang terkontaminasi, seks anal, seks vaginal dan virus yang terkontaminasi paling mungkin menularkan virus. Penularan dari darah yang terkontaminasi paling sering terjadi jika seseorang yang ketergantungan pada zat intravena memungkinkan jarum hipodermik bersama - sama atau teknik sterililasi yang tepat dan anak-anak dapat terinfeksi in - utera atau melalui air susu ibu jika ibunya terinfeksi dengan HIV. Penulis menyimpulkan HIV terdapat dalam darah, sperma dan cairan vagina. Penularan virus ini akan terjadi ketika cairan yang
26 terinfeksi masuk kedalam aliran darah, penularan atau penyebaran melalui seks anal, vaginal dan oral yang tidak terlindungi dapat menularkan virus. HIV/AIDS tidak akan menular melalui hubungan sosial maupun tinggal bersama, dengan catatan mencegah terjadinya kontak dengan darah yang terinfeksi. Kategori yang beresiko tinggi adalah pengguna nakotika suntik yang tidak steril yang digunakan bersama - sama dan bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV. 2.2.3 Pencegahan HIV/AIDS Menurut Davidson (2004) pencegahan bisa dilakukan melalui perubahan perilaku. Para ilmuwan secara umum sepakat bahwa program - program penggantian jarum suntik atau pembagian jarum suntik secara gratis dan alat suntik, mengurangi penggunaan jarum secara bergantian dan mengurangi penyebaran infeksi melalui penggunaan narkoba intravera. Fokus utama dalam mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks adalah mengubah cara - cara berhubungan seks, seseorang yang dapat menghilangkan kemungkinan tertular dengan melakukan hubungan monogami dengan hanya satu orang yang hasil tes HIV - nya negatif. Walaupun demikian pencegahan terbaik adalah mendorong orang-orang yang berhubungan seksual secara aktif untuk menggunakan kondom, karena efektivitas kondom dalam pencegahan HIV hampir 90%.
27 Sedangkan menurut Kaplan (1997) pencegahan HV/AIDS bisa dilakukan dengan cara melakukan hubungan seks yang aman dan menghindari menggunakan jarum suntik hipodermik yang sudah di gunakan secara bersama - sama atau terkontaminasi. Penulis menyimpulkan pencegahan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan cara melakukan perubahan perilaku yaitu dengan cara tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian, setia pada pasangan dan dalam melakukan hubungan seksual menggunakan kondom. 2.2.4 Dinamika psikologis penderita HIV/AIDS Menurut Hutapea (2004) seorang yang menderita HIV/AIDS sering mengalami masalah - masalah psikologis, terutama kecemasan, depresi, rasa bersalah (akibat perilaku seks dan penyalahgunaan obat), marah dan dorongan untuk melakukan bunuh diri. Orang yang tertular HIV/AIDS sering marah kepada kalangan medis karena ketidak berdayaan mereka menemukan obat atau vaksin penangkal HIV/AIDS. Mereka juga jengkel terhadap masyarakat luas yang mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS. Untuk sebagian penderita HIV/AIDS, ketidak pastian nasib pengidap HIV dan potensi untuk menderita AIDS akan menimbulkan perasaan cemas dan depresi. Sering dihinggapi perasaan menjelang maut, rasa bersalah akan perilaku yang membuat infeksi dan rasa diasingkan oleh orang lain. Stress akan ikut melemahkan sistem imun, yang terlebih dahulu sudah dilumpuhkan oleh HIV. Banyak orang yang
28 tertular HIV/AIDS ditinggalkan oleh teman atau kekasih mereka. Stress yang disebabkan kehilangan ini pun akan ikut melemahkan sistem imun mereka. Menurut Kaplan (1997) orang HIV/AIDS berbeda kondisinya dengan orang yang menderita penyakit parah lainnya seperti kanker dan stroke. Infeksi HIV/AIDS selain berpengaruh terhadap fisik pengidapnya juga memiliki pengaruh terhadap psikososial seperti hubungan status emosi, perubahan dalam pola adaptasi perilaku dan fungsi kognitifnya, perilaku hidup sehat, perubahan tujuan, hidup dan peranannya dimasyarakat, perubahan dalam kehidupan spiritual sampai persiapan menjelang kematiannya. Dari penjelasan di atas penulis mendapatkan kata kunci dinamika psikologis yang dialami penderita HIV/AIDS yaitu kecemasan, depresi, rasa bersalah, marah, dorongan untuk melakukan bunuh diri. Infeksi HIV/AIDS selain berpengaruh terhadap fisik berpengaruh juga terhadap psikososial seperti status emosi, perubahan pola adaptasi, perilaku dan fungsi kognitif, perilaku hidup sehat dan perubahan tujuan. 2.2.5 Pandangan Masyarakat Tentang HIV/AIDS Menurut Merati (dalam Cholil; 1997) stigma utama masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS adalah karena infeksi HIV/AIDS berkonotasi segala macam bentuk yang negative karena fakta menyebutkan 80% ditularkan melalui hubugan seksual, sisanya adalah pecandu narkoba
29 dengan jarum suntik, PSK (Pekerja Seks Komersial), istri yang tertular dari suami dan seorang istri yang melahirkan anak positif HIV. Singkatnya, penderita HIV/AIDS adalah orang yang pergaulannya bebas (hubungan seks bebas), pecandu narkoba, orang yang melanggar norma - norma agama dan sosial. Dari pernyataan di atas penulis menyimpulkan stigma yang diberikan masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS karena sebagian besar secara norma sosial dan masyarakat adalah orang yang melanggar norma - norma tersebut diantaranya adalah PSK, pecandu narkoba dan pengguna jarum suntik. 2.2.6 Persepsi Penderita HIV/AIDS Terhadap Stigma Masyarakat Hasil penelitian Waluyo, dkk (2007) membuktikan bahwa persepsi penderita HIV/AIDS terhadap stigma yang diberikan kepada penderita HIV/AIDS bermacam - macam yaitu, menjauhi penderita HIV/AIDS karena pandangan dan pengetahuan masyarakat sempit tentang penderita HIV/AIDS, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, sangat menular, penyakit yang paling buruk, penyakit sebagai hukuman dari Tuhan. Masyarakat memandang penderita HIV/AIDS sebagai orang yang perlu dihindari. ODHA memang layak terinfeksi HIV karena perilaku yang melatar belakangi penderita HIV/AIDS. Masyarakat takut dan pada akhirnya mengucilkan penderita HIV/AIDS. Masyarakat berpikir bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat ditakuti, sangat menular
30 dan sangat mematikan. Dari penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa persepsi penderita HIV/AIDS terhadap stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka diantaranya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS, penyakit tidak bisa disembuhkan, penyakit buruk, penyakit hukuman Tuhan. ODHA layak terinfeksi karena perilaku yang melatar belakangi mereka.