RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 Ketidakjelasan Rumusan Frasa antar golongan I. PEMOHON Habiburokhman, SH.,MH; Kuasa Hukum: M. Said Bakhri S.Sos.,S.H.,M.H., Agustiar, S.H., dkk, Advokat dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 13 September 2017. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016). KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: 1
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi: Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara. ; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2
b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 yang mana ketentuan tersebut berpotensi mengkriminalisasi Pemohon dalam mengeluarkan pendapat karena ketidakjelasan definisi kata antargolongan. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 yaitu: 1. Pasal 28 ayat (2): Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 2. Pasal 45A ayat (2): Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. 3
2. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3. Pasal 28E ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 4. Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon kerap mengeluarkan pendapat baik melalui media massa dan media sosial berupa kritik Pemohon kepada pemerintah mengenai berbagai hal yang menurut Pemohon harus diperbaiki; 2. Bahwa menurut Pemohon, pemberlakuan ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi Pemohon dalam mengeluarkan pendapat karena ketidakjelasan definisi dalam kata antargolongan ; 3. Bahwa istilah antar golongan dalam Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 tidak jelas apa batasannya sehingga dalam penerapannya bisa diartikan sangat luas menjadi kelompok apapun yang ada dalam masyarakat baik yang bersifat formal maupun non formal; 4. Bahwa karena ketidak-jelasan batasan istilah antargolongan ini sudah beberapa kali aktivis yang mengeluarkan pendapat berupa kritik kepada pemerintah melalui media sosial dilaporkan telah melanggar Pasal 28 ayat (2) 4
dan 45A ayat (2) UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016. Meskipun aktivis tersebut tidak membuat pernyataan yang menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama dan ras namun dia dituduh menyebabkan kebencian berdasarkan golongan. Hal ini dapat dilihat pada penangkapan dan pelaporan beberapa aktivis karena melanggar UU ITE yaitu: (i) Dandhy Dwi Laksono, (ii) Ustad Alfian Tanjung, dan (iii) Bambang Trimulyono; 5. Bahwa jika pengertian golongan dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 yang bersifat lex spesialis merujuk pada pengertian golongan dalam Pasal 156 KUHP yang bersifat lex generalis maka justru akan terjadi kerancuan karena ketidakjelasan batasan tersebut mengapa istilah antargolongan disejajarkan atau disederajadkan dengan istilah suku, agama dan ras dalam Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU ITE sehingga hukuman terhadap penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan antargolongan disamakan dengan hukuman terhadap penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama dan ras; 6. Bahwa istilah antargolongan dalam Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 sangatlah multi interpretatif, karena tidak ada batasan yang jelas sehingga rentan untuk ditafsirkan secara subyektif. Pengertian golongan bisa saja ditafsirkan hanya berdasarkan selera dan kepentingan penguasa dan bisa membuat masyarakat takut untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi yakni menyampaikan pendapat atau pikiran atau sikap melalui sistem elektronik. Sebab jika masyarakat mengkritik pemerintah terbuka kemungkinan untuk dikriminalisasi dan dianggap menghina golongan. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Pemohon; 5
2. Menyatakan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama dan ras (SAR). 3. Menyatakan ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan (SAR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia; Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon agar diberikan putusan yang seadil-adilnya. 6